Jumat, 03 April 2015

Anak Kembar, Ed. 1: "Oh, Lumut!"

"Aaaaaaa, Lisda.... Berhentilah mengolokku" dia menunjuk-nunjuk luka di lututku.

"Apa yang harus aku hentikan? Coba lihat tanganku sedang sibuk mengurut kaki. Dia mencoba mematahkan tuduhanku −dengan berpura-pura sibuk−  lebih tepatnya menyibukkan diri, setelah aku berhasil meneriakinya.


Saat ini, kami sama-sama terbaring. Satu dalam keadaan luka dan satu diantara kami terbaring karena urat di kaki membengkok entah kemana (baca: keseleo). Kejadian itu sangat cepat, memaksa diri terambang; entah dalam mimpi, entah dalam kenyataan. Beberapa menit lalu, raut wajahku tidak begini. Meringis menahan ngilu, ketika alkohol menyetuh kulitku yang berhasil membuka celah, sehingga darah B ku mengalir.

“Aduuuuhhh.... perih. Jangan, jang...jangaaan. Aduhh...” rasa ngilu itu membuat lidahku melontarkan kata yang tak beraturan. Oh...

“Tahan ya, dik. Kalau tidak diberi alkohol, lukamu akan ditumbuhi bakteri. Dan kalau sudah begitu, luka yang ada di kaki adik akan makin parah, bisa membusuk” perawat mungil dengan kerudungnya itu mengancamku. Memaksa pasiennya agar mau diobati.

“Baiklah.” Jawabku, setelah mendapat ancaman yang sedikit ngeri tadi. Perawat berhasil memaksaku berdamai dengan permintaannya. Meringis lagi.

Semenjak siang itulah, aku hanya bisa duduk atau sekedar merebahkan badan ketika mulai lelah dengan posisi duduk itu. Ibu dengan suaranya yang menentramkan itu, menawariku makan.

“Makan, ya? Ibu ambilkan. Lisda juga, ya?” tawar ibu padaku, juga Lisda. Ibu sudah seperti perawat yang ada di rumah sakit, dengan terampil ia melayani kebutuhan kami; yang saat ini tak bisa melakukannya, tanpa bantuan orang lain.

***
“Gigit sendoknya, gigit.” Suara itu lantang, jelas itu bukan suara ibu. Itu suara, seorang laki-laki paruh bayah yang sudah seperti keluarga; dia menganggap kami seperti cucunya. Amat baik.
Sekarang, bergantian Lisda yang meringis. Aku melihatnya sedikit tersenyum, senyum dalam artian mengejek. Karena sedari tadi dia menggodaku dengan berbuat ulah pada luka-lukaku.
Tapi, selebihnya aku nampak iba padanya. Aku melihat, air matanya berderai memenuhi wajahnya yang –sedikit berisi− tembem. Dia menahan rasa sakit itu dengan guliran-guliran airmatanya. Itu sangat menakutkan.

“Aaaaaaaaaaaaa....aaaaaaaa......aaaaaaaa.... sakit, sakiiiiiittttttt!!!!” suara itu keras; jeritan. Luar biasa powernya. Nampaknya kesakitan yang dideranya sungguh dahsyat. Dia bukan golongan si cengeng seperti aku. Kalau airmatanya berderai, pastilah rasa sakit itu di atas rata-rata. Mungkin jika ditulisan, suara jeritan itu akan dipenuhi dengan huruf a. Sejak tadi, dia tak hentinya melapaskan kata-kata itu. Aku meringis lagi, lukaku seperti ditarik. Benar saja, obatku mulai bereaksi. Dan aku bersama Lisda mengalami rasa sakit itu.

Teriakan-teriakan selanjutnya, saling bersahutan. Bukan dengan aku, tapi dia sendiri. Walaupun aku didera rasa sakit, sakitku tak separah milik saudara kembarku itu. Aku hanya menjerit, satu kali −mungkin− ketika tangan perawat mungil tadi mengusapkan obat di lukaku. Sedang, Lisda. Dari awal proses urut hingga tahap akhir, ia masih sesekali menjerit kesakitan. Bahkan, ada beberapa kali, ia harus menggigit sendok dengan keras. Agar kesakitannya, dapat tertahan, walau sedikit.

Berbekas airmata itu di pipinya, aku nampak jelas. Ia lemas, energinya berhasil terkuras. Berhasil meloncat keluar bersama jeritannya. Luar biasa. Padahal hanya dengan jeruk nipis dan doa, tangan itu mulai mengurut urat-urat yang tak tau rumahnya, liar ke sana-kemari. Sangking, parahnya dia harus merangkak, tak bisa berjalan.

***
Persis, kejadian yang mengerikan itu terjadi di Jumat siang. Ketika pulang sekolah. Aku dan Lisda yang biasa berboncengan telah siap untuk melaju. Namun, entah kenapa hari ini raut wajah si Lisda, tak bersahabat. Dia sedikit murung. Tanpa ada beberapa patah kata, ia melaju membawa aku sebagai penumpangnya. Selalu penumpangnya, aku tak bisa mengemudikan mesin itu, sepeda yang memiliki mesin; motor. Aku selalu menjadi penumpang yang baik.

Tak jauh dari sekolahku, tiba-tiba motor sedikit kehilangan keseimbangan; bergoyang tak tentu. Namun, si motor tetap berdiri dan melaju. Perasaanku memang sudah tidak lagi baik. Ketika melihat Lisda murung dan sekarang. Si motor bertumburan dengan beberapa lumut kecil di tepian jalanan beraspal itu. Setiap kebiasaanku, berdasarkan amanat ibu, aku membaca doa ketika hendak menaiki kendaraan. Aku membuka mulut, dan akan memulai membacanya. Tiba-tiba..
“Bammmmmm.......”
Tubuhku terhempas di badan jalan yang beraspal itu; sedikit terseret. Aku hampir menjerit keras, saat aku melihat beberapa jengkal di belakangku, mobil angkutan siswa-siswi SMA berjalan tepat di belakangku. Segera ia berhenti, dengan sedikit keras. Denyut jantungku sangat kencang, aku tak bisa mengeluarkan apapun dari mulutku. Aku mencoba mengangkat badanku.

Sementara, Lisda. Setelah ia kehilangan penumpang. Motor yang ditumpanginya menjadi semakin hilang kendali. Itu membuatnya terperosok. Ia bersama si motor masuk ke dalam parit. Aku hanya berhasil menangkap lambaian tangannya, dan susulan suaranya.

“Tolooooooooong...tolong.. kakiku patah. Kakiku patah.” Mendengar itu, aku berlari menujunya, tergopoh-gopoh. Aku berhasil menjumpainya, dan melepaskan jeratan motor dari kakinya. Padahal dalam keadaan normal, aku tak pernah mampu menaklukan si motor. Itu sangat berat bagiku, tapi tidak kali ini.

Kebetulan, siang itu sangat sepi. Untungnya, aku tak sendiri. Ada temanku yang segera menyusulku. Ketika ia menyadari, kami tak berada di belakangnya. Ia juga berlari mengejarku. Namun, saat mereka tiba. Beberapa warga telah mengepung kami.

“Ayo, bawa mereka ke teras itu” mencoba menenangkan kami berdua.

Sebenarnya, hatiku ini menangis. Setelah melihat Lisda tak bisa berjalan, satu kakinya benar-benar tidak bisa dipakai untuk menapak. Dalam hatiku, benarkah kakinya patah. Seperti teriakannya tadi. Namun, bukan aku yang menangis. Malah ku lihat Lisda yang menangis, setelah melihatku. Melihat lukaku tepatnya. Tanganku tergores aspal, juga lututku. Seragamku berwarna putih itu sedikit robek dibagian sikunya. Tanganku mengeluarkan darah. Melihat itu, Lisda menangis.

Awalnya, rasa perih itu tak aku gubris. Namun, setelah aku melihatnya rasa perih itu mulai hadir, walau tak terlalu. Sikuku tetap dalam keadaan baik, terlindungi bajuku; yang kebetulan saat itu aku memakai baju dua lapis. Walaupun lapisan pertama berhasil ditembus oleh aspal. Entahlah, kenapa pagi tadi aku memutuskan untuk melapiskannya. Mungkin pertanda.

“Kamu tidak apa-apakan?” aku benar-benar tidak bohong, ia menangis. Airmatanya menetes, walaupun tak deras.

Naluri cengengku, menghantar airmataku juga berderai. Sedikit. Aku malu, karena di sekeliling kami banyak sekali orang.

“Telepon saja orang tuanya” salah satu warga mengeluarkan argumennya.

“Jangan, pak. Tidak perlu melakukan itu. Biar kami yang mengantar mereka pulang” ya, itu suara sahabatku, Eva dan Andin.

Merekalah yang membawa kami pulang, dan Lisda. Dia benar-benar tidak bisa menapakkan kakinya, mungkinkah patah. Pertanyaan itu menjejal di otakku.

Ketika pulang ke rumah, benar saja. Bapak dan ibu sangat panik melihat kondisiku. Bapak sempat marah –sifat kerasnya− sebenarnya bukan marah, tapi menasehati aku dan Lisda.

“Kan, sudah bapak katakan. Jangan pernah berkendara dengan keadaan emosi. Dia akan mengganggu konsentrasi si sopir” bapak membaca gerak-gerik kami tadi pagi. Kami sedikit cecok mulut, gara-gara kerjaku yang lelet.

Aku langsung di bawa ke sebuah klinik dekat rumah, di sanalah aku mendapat perawatan. Kemudian, Lisda dengan tangan yang mengurutnya.Ini bukan kali pertamanya, sudah beberapa kali –sering terjadi− bahkan ada empat sampai lima kali. Astagfirullah. Rentetan cerita di bagian selanjutnya akan menjelaskan kenapa hingga saat ini, aku tak bisa mengendarai motor.


Peringatan: jangan mengendarai motor ketika diri Anda, tak mampu mengontrol emosi yang sedang bertahta. Salam sastra, salam OWOP!!! Tetap bersyukur kepada Allah ^^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar