"Aaaaaaa, Lisda.... Berhentilah mengolokku" dia
menunjuk-nunjuk luka di lututku.
"Apa yang harus aku hentikan? Coba lihat tanganku
sedang sibuk mengurut kaki. Dia mencoba mematahkan tuduhanku −dengan
berpura-pura sibuk− lebih tepatnya
menyibukkan diri, setelah aku berhasil meneriakinya.
Saat ini, kami sama-sama terbaring. Satu dalam keadaan luka
dan satu diantara kami terbaring karena urat di kaki membengkok entah kemana
(baca: keseleo). Kejadian itu sangat cepat, memaksa diri terambang; entah dalam
mimpi, entah dalam kenyataan. Beberapa menit lalu, raut wajahku tidak begini.
Meringis menahan ngilu, ketika alkohol menyetuh kulitku yang berhasil membuka
celah, sehingga darah B ku mengalir.
“Aduuuuhhh.... perih. Jangan, jang...jangaaan. Aduhh...”
rasa ngilu itu membuat lidahku melontarkan kata yang tak beraturan. Oh...
“Tahan ya, dik. Kalau tidak diberi alkohol, lukamu akan
ditumbuhi bakteri. Dan kalau sudah begitu, luka yang ada di kaki adik akan
makin parah, bisa membusuk” perawat mungil dengan kerudungnya itu mengancamku.
Memaksa pasiennya agar mau diobati.
“Baiklah.” Jawabku, setelah mendapat ancaman yang sedikit ngeri tadi. Perawat berhasil memaksaku
berdamai dengan permintaannya. Meringis lagi.
Semenjak siang itulah, aku hanya bisa duduk atau sekedar
merebahkan badan ketika mulai lelah dengan posisi duduk itu. Ibu dengan
suaranya yang menentramkan itu, menawariku makan.
“Makan, ya? Ibu ambilkan. Lisda juga, ya?” tawar ibu
padaku, juga Lisda. Ibu sudah seperti perawat yang ada di rumah sakit, dengan
terampil ia melayani kebutuhan kami; yang saat ini tak bisa melakukannya, tanpa
bantuan orang lain.
***
“Gigit sendoknya, gigit.” Suara itu lantang, jelas itu
bukan suara ibu. Itu suara, seorang laki-laki paruh bayah yang sudah seperti
keluarga; dia menganggap kami seperti cucunya. Amat baik.
Sekarang, bergantian Lisda yang meringis. Aku melihatnya
sedikit tersenyum, senyum dalam artian mengejek. Karena sedari tadi dia
menggodaku dengan berbuat ulah pada luka-lukaku.
Tapi, selebihnya aku nampak iba padanya. Aku melihat, air
matanya berderai memenuhi wajahnya yang –sedikit berisi− tembem. Dia menahan
rasa sakit itu dengan guliran-guliran airmatanya. Itu sangat menakutkan.
“Aaaaaaaaaaaaa....aaaaaaaa......aaaaaaaa.... sakit,
sakiiiiiittttttt!!!!” suara itu keras; jeritan. Luar biasa powernya. Nampaknya
kesakitan yang dideranya sungguh dahsyat. Dia bukan golongan si cengeng seperti
aku. Kalau airmatanya berderai, pastilah rasa sakit itu di atas rata-rata.
Mungkin jika ditulisan, suara jeritan itu akan dipenuhi dengan huruf a. Sejak
tadi, dia tak hentinya melapaskan kata-kata itu. Aku meringis lagi, lukaku
seperti ditarik. Benar saja, obatku mulai bereaksi. Dan aku bersama Lisda
mengalami rasa sakit itu.
Teriakan-teriakan selanjutnya, saling bersahutan. Bukan
dengan aku, tapi dia sendiri. Walaupun aku didera rasa sakit, sakitku tak
separah milik saudara kembarku itu. Aku hanya menjerit, satu kali −mungkin−
ketika tangan perawat mungil tadi mengusapkan obat di lukaku. Sedang, Lisda.
Dari awal proses urut hingga tahap akhir, ia masih sesekali menjerit kesakitan.
Bahkan, ada beberapa kali, ia harus menggigit sendok dengan keras. Agar
kesakitannya, dapat tertahan, walau sedikit.
Berbekas airmata itu di pipinya, aku nampak jelas. Ia
lemas, energinya berhasil terkuras. Berhasil meloncat keluar bersama
jeritannya. Luar biasa. Padahal hanya dengan jeruk nipis dan doa, tangan itu
mulai mengurut urat-urat yang tak tau rumahnya, liar ke sana-kemari. Sangking,
parahnya dia harus merangkak, tak bisa berjalan.
***
Persis, kejadian yang mengerikan itu terjadi di Jumat
siang. Ketika pulang sekolah. Aku dan Lisda yang biasa berboncengan telah siap
untuk melaju. Namun, entah kenapa hari ini raut wajah si Lisda, tak bersahabat.
Dia sedikit murung. Tanpa ada beberapa patah kata, ia melaju membawa aku
sebagai penumpangnya. Selalu penumpangnya, aku tak bisa mengemudikan mesin itu,
sepeda yang memiliki mesin; motor. Aku selalu menjadi penumpang yang baik.
Tak jauh dari sekolahku, tiba-tiba motor sedikit kehilangan
keseimbangan; bergoyang tak tentu. Namun, si motor tetap berdiri dan melaju.
Perasaanku memang sudah tidak lagi baik. Ketika melihat Lisda murung dan
sekarang. Si motor bertumburan dengan beberapa lumut kecil di tepian jalanan
beraspal itu. Setiap kebiasaanku, berdasarkan amanat ibu, aku membaca doa
ketika hendak menaiki kendaraan. Aku membuka mulut, dan akan memulai
membacanya. Tiba-tiba..
“Bammmmmm.......”
Tubuhku terhempas di badan jalan yang beraspal itu; sedikit
terseret. Aku hampir menjerit keras, saat aku melihat beberapa jengkal di
belakangku, mobil angkutan siswa-siswi SMA berjalan tepat di belakangku. Segera
ia berhenti, dengan sedikit keras. Denyut jantungku sangat kencang, aku tak
bisa mengeluarkan apapun dari mulutku. Aku mencoba mengangkat badanku.
Sementara, Lisda. Setelah ia kehilangan penumpang. Motor
yang ditumpanginya menjadi semakin hilang kendali. Itu membuatnya terperosok.
Ia bersama si motor masuk ke dalam parit. Aku hanya berhasil menangkap lambaian
tangannya, dan susulan suaranya.
“Tolooooooooong...tolong.. kakiku patah. Kakiku patah.”
Mendengar itu, aku berlari menujunya, tergopoh-gopoh. Aku berhasil
menjumpainya, dan melepaskan jeratan motor dari kakinya. Padahal dalam keadaan
normal, aku tak pernah mampu menaklukan si motor. Itu sangat berat bagiku, tapi
tidak kali ini.
Kebetulan, siang itu sangat sepi. Untungnya, aku tak
sendiri. Ada temanku yang segera menyusulku. Ketika ia menyadari, kami tak
berada di belakangnya. Ia juga berlari mengejarku. Namun, saat mereka tiba.
Beberapa warga telah mengepung kami.
“Ayo, bawa mereka ke teras itu” mencoba menenangkan kami
berdua.
Sebenarnya, hatiku ini menangis. Setelah melihat Lisda tak
bisa berjalan, satu kakinya benar-benar tidak bisa dipakai untuk menapak. Dalam
hatiku, benarkah kakinya patah. Seperti teriakannya tadi. Namun, bukan aku yang
menangis. Malah ku lihat Lisda yang menangis, setelah melihatku. Melihat lukaku
tepatnya. Tanganku tergores aspal, juga lututku. Seragamku berwarna putih itu
sedikit robek dibagian sikunya. Tanganku mengeluarkan darah. Melihat itu, Lisda
menangis.
Awalnya, rasa perih itu tak aku gubris. Namun, setelah aku
melihatnya rasa perih itu mulai hadir, walau tak terlalu. Sikuku tetap dalam keadaan
baik, terlindungi bajuku; yang kebetulan saat itu aku memakai baju dua lapis. Walaupun
lapisan pertama berhasil ditembus oleh aspal. Entahlah, kenapa pagi tadi aku
memutuskan untuk melapiskannya. Mungkin pertanda.
“Kamu tidak apa-apakan?” aku benar-benar tidak bohong, ia
menangis. Airmatanya menetes, walaupun tak deras.
Naluri cengengku, menghantar airmataku juga berderai.
Sedikit. Aku malu, karena di sekeliling kami banyak sekali orang.
“Telepon saja orang tuanya” salah satu warga mengeluarkan argumennya.
“Jangan, pak. Tidak perlu melakukan itu. Biar kami yang
mengantar mereka pulang” ya, itu suara sahabatku, Eva dan Andin.
Merekalah yang membawa kami pulang, dan Lisda. Dia
benar-benar tidak bisa menapakkan kakinya, mungkinkah patah. Pertanyaan itu
menjejal di otakku.
Ketika pulang ke rumah, benar saja. Bapak dan ibu sangat
panik melihat kondisiku. Bapak sempat marah –sifat kerasnya− sebenarnya bukan
marah, tapi menasehati aku dan Lisda.
“Kan, sudah bapak katakan. Jangan pernah berkendara dengan
keadaan emosi. Dia akan mengganggu konsentrasi si sopir” bapak membaca
gerak-gerik kami tadi pagi. Kami sedikit cecok mulut, gara-gara kerjaku yang
lelet.
Aku langsung di bawa ke sebuah klinik dekat rumah, di
sanalah aku mendapat perawatan. Kemudian, Lisda dengan tangan yang mengurutnya.Ini
bukan kali pertamanya, sudah beberapa kali –sering terjadi− bahkan ada empat
sampai lima kali. Astagfirullah. Rentetan cerita di bagian selanjutnya akan
menjelaskan kenapa hingga saat ini, aku tak bisa mengendarai motor.
Peringatan: jangan mengendarai motor ketika diri Anda, tak
mampu mengontrol emosi yang sedang bertahta. Salam sastra, salam OWOP!!! Tetap
bersyukur kepada Allah ^^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar