Minggu, 19 April 2015

Aroma Ke-pesimis-an


Akibat didera rasa dilema atas ketidakberhasilanku bersyukur. Ampuni aku, Oh..Allah. Aku tersadar. Membuatku membuka mata yang tertutup aroma ke-pesimis-an. Dan lihatlah, mimpimu akan tetap tercapai, walau orang tuamu bukan ahli materi. Tidak ada jaminan yang pasti atas materi.  Walau orang tuamu tak dikenal. Karena keridhoan kedua orang tua. Karena ridho Allah bersama ridho kedua orang tua.


Sekedar catatan teruntuk laki-laki yang berharga dihidupku. Jangan iri ya, bu. Catatan selanjutnya akan didedikasikan untuk ibu kok hehehe.

Aku sadar pak, perjalananku kedepannya semakin sulit. Aku sadar, sekarang langkah kakiku menjadi lebih berat. Kini aku bukan lagi anak kembar yang selalu dalam timangan. Sekarang aku sudah beranjak ke tingkatan yang lebih tinggi. Aku sadar pak, ini bukan lagi waktunya bermain. Atau sebentar, aku juga tak berhak lagi merengek minta uang jajan. Aku tak pantas lagi bermain boneka barbie yang bapak belikan dulu. Aku boleh merindukan itu, tapi aku tak berhak lagi bercengkrama dengannya.

Aku sadar pak, sekarang aku harus berusaha mengejar harapan itu. Harapan yang entah berasal dari mana. Aku ingin jadi “penulis”. Aku takut mengutarakannya, aku takut bapak terlalu menaruh harap pada anakmu ini. Walau aku tau, tak ada yang tidak mungkin. Ada Allah yang siap menampung segala harapanku.

Aku sadar pak, aku harus merayap sendiri. Aku harus berangkat sendiri. Melebarkan sayap-sayapku. Aku harus berjuang agar tulisanku dapat dikenal. Aku tau itu tidak mudah. Aku mengerti materi yang tengah melingkupi keluarga kecil kita sangat sederhana. Aku tak pernah berharap pergi berlibur di tempat mewah. Aku juga tak pernah berharap, bapak akan memanjakanku dengan materi-materi itu. Aku juga tak pernah berharap, bapak menjadi publik figur yang selalu muncul di televisi. Aku tak pernah berharap begitu, pak. Aku hanya berharap, mimpi itu akan aku wujudkan melalui jerih payahmu memetik rezeki dari Allah.

Aku ingin menulis, pak. Menulis banyak hal. Agar aku bisa mengajak semua orang tertawa dan bahagia. Menulis banyak manfaat. Menulis surat cinta kepada orang-orang  yang berhati mulia. Menulis banyak hal tentang kasih sayang Allah.

Aku tau pak, di luar sana. Ku lihat lelaki seusia bapak, bekerja keras, memikul-mikul, menantang mentari. Kulitnya hitam, pak. Peluhnya mengalir begitu deras. Bapak tau? Itu ketakutanku. Meskipun aku tau, bapak takkan merasakan hal itu. Tapi, hati kecilku tersayat, pak. Mereka sama seperti bapak. Lelaki mulia yang mencari ribuan kasih sayang Allah, melalui berbagai macam pintu rezeki. Izinkan aku membantu mereka, pak. Hanya sekedarnya, membantu seikhlasnya.

Sekarang, anak kembarmu ini tengah berada jauh darimu. Melanglang buana di negeri orang. Mencari ilmu; mengejar cita-citaku. Aku tak pernah menyesali semua ini, pak. Aku malu, dulu aku sempat menghakimi takdir. Aku mencibirnya. Karena semua keinginanku termuntahkan begitu saja. Harapanku belajar di pulau Jawa menikmati hidup di dunia farmasi. Aku tau, kala masa itu terjadi. Masa sulit keluarga kita. Materi yang sederhana harus memaksa pengeluarannya untuk memenuhi kebutuhan pendidikan anak kembar bapak. Ketika itu aku malah menangis dengan egoisnya. Memaksakan kehendakku sendiri yang akhirnya menghasilkan pilihan pahit. Anak kembarnya harus memilih, siapa yang tahun ini lebih beruntung aku atau dia. Salah satu harus tertinggal dan menyusul di tahun depan. Aku hampir saja membuat keputusan bodoh kala itu, pak. Namun, aku memilih melupakan mimpi itu. Aku mengurungnya begitu dalam. Agar aku tak selalu menyesalinya di kemudian hari.

Itu bukan artiaan kekecewaan, pak. Itu suatu kebijaksanaan yang bapak ajarkan. Lebih baik berjalan, berjalan terus. Tentang bagaimana akhirnya, serahkan pada Maha Pengatur. Dan, sekarang Allah mengaturku ke tempat ini. Tempat ini membuatku dekat dengan keluarga ibu. Di sini, aku bisa mengenal mereka dengan baik. Belajar banyak hal. Tentunya semakin mengenal cita-citaku.

Aku tau, pak. Bapak tak pernah memaksaku untuk menjadi anak yang berbakti. Namun, naluri ini yang menuntunnya sendiri. Dorongan dan bimbingan sejak kecil dulu membuatku mengerti. Mengerti bagaimana cara membalas budi kedua orang tua yang telah membesarkannya.

Wah, sekarang aku teringat waktu proses kelahiranku, pak. Ketiba-tibaan itu datang. Aku ingat ketika itu semua perlengkapan ku serba satu. Atau bapak tak mengetahui kelahiran anak kembarnya? Memang iya. Tapi, aku tak pernah membenci keadaan itu. Dulu hidup kita jauh di desa, pak. Aku harus dibantu sang dukun beranak untuk lahir ke bumi Allah ini.

Aku juga tau, kala itu bapak panik. Bapak pergi ke pasar dadakan setiap hari Minggu. Allah memang adil ya, pak. Pasar telah menanti kehadiran anak kembarmu. Tak masalah  perlengkapan yang hanya satu itu. Lucunya, penjual itu memberi bapak secara cuma-cuma perlengkapan bayi itu. Alasannya karena aku kembar. Maafkan aku, pak. Aku selalu merepotkan. Maafkan ketika nama yang bapak berikan harus dieliminasi oleh (almarhum) sang kakek. Mungkin itu keinginan terakhirnya sebelum ia pergi. Dan aku sedih, sebab perjumpaan itu terjadi ketika panca inderaku belum bisa bekerja secara sempurna.

Melangkah kedepannya, sekarang tugasku membahagiakan bapak juga ibu. Biarlah kepayahanku datang, biarlah aku harus berpeluh. Biarkan juga kalau mata ini harus mengeluarkan aliran-alirannya yang deras ketika hidup serasa membelit. Biarlah, biar. Doakan anak kembarmu, pak. Mintakan pada Allah kemudahan untuk anak kembarmu ini. Aku akan melakukan hal yang sama tanpa bapak memintanya. Mendoakan yang terbaik untuk keluarga kecil kita.
Bapak telah berhasil mengantarkan kakak tertua sukses menerima gelar wisudanya. Berkat doa dan usaha yang selalu dimunajahkan.

Tak ada yang boleh menyakitimu, pak. Tetaplah semangat melawan rasa sakit itu. Semuanya akan baik-baik saja.

Terima kasih, pak; masih semangat berjuang, mengajari anak-anak yang haus pendidikan. Semoga jadi guru yang teladan, pak. Yang mau dengan tulus mengabdi tanpa korupsi. Dan yang terpenting selalu  taat dalam beribadah kepada Allah. Aku takkan menyesali menjadi anak kembarmu J

TUTUP AROMA KE-PESIMIS-AN INI. BUKA RASA SYUKURMU SELUAS-LUASNYA!!

Sabtu Kelabu, 18 April 2015

 - Lisma Nopiyanti

 -

4 komentar:

  1. Waouw, keren banget semua isi tulisan ini. Aku terkesima melihat isinya. Kamu telah berhasil menguntaikan perasaanmu lewat tulisan melalui media. Aku kagum padamu sobat. Aku ingin sepertimu, yang bisa mencurahkan segala perasaan yang pernah terjadi dalam hidup ini kepada media sosial. Namun, kurasa aku belum mampu untuk mengatasi ketakutanku.

    BalasHapus
  2. Aku terharu kak lisma :') ini tulisan mengalir seadanya, bermakna dalam :)

    BalasHapus
  3. Eka putri: Masih banyak belajar, masih banyak yang harus diperbaiki. Lupakan ketakutanmu. Mulailah menulis :)

    Kak piti: Pujian yang sama untuk tulisan kak piti yang lebih gereget :))

    BalasHapus
  4. Lisma dalem bgt. Ada baiknya disampein ke Bapaknya juga, mungkin bs dlm bentuk masakan kesukaan/apapun yg buat beliau tersenyum.����

    Eh, iya. Ini bener utk Bapaknya Lisma kan yah? Kalo aku nulis utk suamiku, yg kupanggil Ayah, utk membiasakan anakku manggil Ayah juga, hehe.

    BalasHapus