Sabtu, 31 Desember 2016

The Power of Qada (Diary 4)

Diary 4

Hari selanjutnya...

Aku memang setia memilih kursi di gugusan depan (red: bukan yang paling-paling depan). Bagiku barisan itu paling tepat. Tidak terlalu mencolok untuk menyelidik. Dan posisi itu aman dari intaian dosen yang kadang menunjuk secara serampangan untuk menjelaskan materi saat itu.

Ah, sebenarnya ini cerita yang membosankan, bukan? Sekali lagi aku ulangi, mungkin cerita ini sudah banyak terombang-ambing di dunia kita. Klasik sekali. Kekuatan pandangan. Tapi, aku sengaja menuliskannya. Karena kebetulan yang aku anggap selama ini tak bertujuan apa-apa adalah kesalahan besar. Baiklah kita lanjutkan ceritanya.

Di pertemuan sastra selanjutnya, Azka... Eh berhenti, Ken! Kau selalu mengintainya. Tidak, tidak. Biar aku jelaskan. Pertemuan kali ini. Sejak jam sudah bergantian, aku sudah nyaman duduk di kursiku. Dan tiba-tiba... Azka datang, menjulurkan tangannya. Baiklah, kita ulangi menjulurkan tangannya. Dia ingin mengajakku berkenalan? Atau mau minta maaf atas ke-cuek-an dia selama ini? Ah, ini bukan ftv.

"Ini bagianku. Sudah selesai." Azka menyerahkan tiga lembar kertas hvs hasil ringkasan materi miliknya.

Aku.. Ah, belum sempat menjawab atau sekedar menunjukkan ekspresi wajah. Punggung Azka sudah tidak terlihat di muka pintu. Secepat itukah? Aku hanya ingin menjelaskan, aku tak butuh soft copy yang diberikannya. Huh.

Kelas sudah tenang, itu artinya Pak Dosen memulai materinya. Azka masuk beberapa menit setelahnya. Ohya, Eno. Eno sudah duduk dari tadi. Mengamatiku sejak Azka menjulurkan tangannya. Sial. Dia pasti ingin menertawakan aku.

Keadaan tempat duduk yang selalu bersebrangan membuatku sulit untuk menjelaskannya. Aku siang itu, sesibuk-sibuknya mencari jalan agar terlihat biasa. Baiklah, akukan, Ken, orang yang bisa diandalkan (itu yang dibilang Eno ketika aku dengan rajinnya memberi permen untuk mengisi mulutnya dengan perhitungan waktu yang tepat)

"Azka, yang aku minta bukan soft copynya. Aku mau minta soft filenya." Iya benar sekali, aku berhasil menyelesaikannya ketika mata kuliah benar-benar usai.

"Ohhh.. " Azka dengan ligat memeriksa kantongnya. Dan taraaa... Dia menjulurkan tangan untuk kedua kalinya. Kali ini dia memberiku flashdisk. Duh... Bahasanya berlebihan. Dia meminjamkanku flashdisknya. Aku jadi berlebihan yaa. Maaf.

"Datanya ada di flashdisk itu." Lagi-lagi aku belum sempat memberi balasan. Sebenarnya aku atau dia yang berlaku tak sopan? Aku tak sempat berterima kasih untuk kerja samanya. Kurasa dia tak membutuhkannya. Berarti dia yang berlaku tak sopan. Seharusnya, dia minta maaf padaku. Hmm.

(BERSAMBUNG)

Jumat, 23 Desember 2016

The Power of Qada (Diary 3)

Bulan-bulan tertinggal di belakang. Menyisikan setiap langkahan kaki yang pernah mengiringi. Bayang-bayang. Hanya ayunan biasa. Atau terlupakan begitu saja. Atau malah menjadi kenangan yang tak seberapa. Baiklah, bagi kalian, mungkin cerita ini hanyalah ketidakpentingan belaka atau cerita klasik yang sudah lumrah seperti kebanyakan. Namun, apakah kita lupa? Bukankah rasa kecewa itu tetap sama dalam cerita klasik? Tetap menyakitkan.

***

Beberapa bulan ke depan, cerita kelas sastraku hanya terdengar flat. Tidak ada hal spesial yang harus diceritakan. Nothing. Jadi, untuk bulan ini kebetulan itu tidak kutemukan•••

Baiklah, cerita ini dialihkan di semester selanjutnya. Saat aku, Eno, dan salah satu temanku lainnya, Ririn, memutuskan untuk berganti haluan. Kami memutuskan memilih kelompok B. Dan dengan mudah ditebak, kebetulan itu mengikutiku. Sayang, aku tak pernah menyadari kalaulah kebetulan itu memang akulah yang mengaturnya sendiri.

Semenjak saat itu, jadwalku terasa lebih menarik. Tentu saja karena aku menganggap kebetulan itu hal yang tak mudah didapat oleh setiap orang. Walau pada akhirnya, aku harus benar-benar mengedit apa yang sudah aku tuliskan tadi. Huh.

Tepat hari ini, entah hari apa kala itu. Ada pembagian kelompok. Dan... Kabar dukanya, ehh gembiranya, kelompok ditentukan dosennya. Aku sebenarnya ketakutan. Takut Eno tak sekelompok denganku. Sedangkan, aku tak cukup baik mengenal yang lainnya.

"Pasti kita nggak satu kelompok, Ken." Eno memonyongkan bibirnya.

Aku diam, sebenarnya mengiyakan bicaranya Eno. Hampir setiap pembagian kelompok, aku tak pernah berjodoh dengannya. Padahal apa salahku? Bukankah aku dan Eno sahabat? Jadi, haruskah lebih seru kalau dipisahkan? Tapi, entah apa namanya, kebetulan. Atau apalah itu. Memang aku tak pernah bisa satu kelompok dengannya.

"Kita dengar baik-baik, yaa." Eno masih bisa senyum. Aku? Aku sudah malas bicara, sejak tau kelompokku dan Eno pasti berbeda.

Satu per satu nama telah menemukan kelompoknya. Dan yang aku takutkan, benar-benar menjadi kenyataan. Bak digulingkan ke jurang, aku merasa jatuh dan gagal lagi. Ah, itu bahasa yang berlebihan ya? Tapi, memang kecewa sekali. Aku dan Eno selalu berakhir naas. Aku dengan keyakinan penuh merasa takkan mampu menyelesaikan tugas ini dengan baik, kalau anggota kelompokku tak kukenal dengan baik. Nggak akan asyik.

Tiba-tiba... Kelompok 8 menghendaki namaku. Namaku disebut keras. KEN, MYTHA RISTYA, AZKA DEWANTARA. Demi mendengar nama itu, jantungku berdegup kencang. Kaget. Aku mendekapkan jari ke jantung. Anggota tubuhku segera kontraksi. Stimulusku berjalan tanpa kendali pemiliknya. Mendengar nama itu benar-benar disebut untuk kelompokku. Eno tiba-tiba melirikku. Entah notif apa yang berhasil ditangkapnya. Aku mendelik kasar padanya.

"Kau kenapa, Ken?" Eno menahan senyumnya. Aku jadi malu sendiri.

Sementara aku yang duduk tak jauh dari 'mereka' mendengar sayup-sayup.

"Gampang kalau satu kelompok dengan Ken, apalagi ada Eno. Iyakan, No?" David menyerukan nada persekongkolan mereka. Sialan mereka satu kelompok, dan satu kelas. Sementara aku? Aku terpecah belah dengan teman satu kelasku yang mengikuti kelas sastra ini.

David dengan gayanya, ikut-ikutan mempengaruhi Azka. Kata David, siapapun yang satu kelompok denganku, tugas kelompoknya pasti beres.

Aku menjawab dalam hati, "Ah, seenaknya saja kau bicara seperti itu, Vid!"

"Ken!" ada yang memanggilku, jelas itu bukan Eno. Eno sedang mengurusi kelompoknya juga dengan Ririn. Ah, betul ini memang tak adil.

"Iyaa." Aku segera berbalik badan dari posisi dudukku. "Oh, Mytha."

"Kita dapat materi teori Feminisme, Ken." Mytha menyerahkan catatannya. Melihatkannya padaku.

"Iyaa, Myt. Aku ada bukunya, kok. Kita bagi tiga saja materinya, yaa." Aku dengan gaya sok kepimpinan. Hehe

"Eh, jangan!" Mytha segera protes. "Kita berdua aja, Ken. Gak perlu Azka. Dia mana mau." Mytha teman satu kelasnya, sepertinya sudah hafal dengan perangai temannya itu. Ya, yang belakangan ini aku tau. Kalau mereka satu geng, eh biar kerennya satu komplotan, ehh satu tim.

"Ya, kalau dia gak mau kerjakan bagian dia. Biar aja, dia gak bakal masuk kelompok kita. Tenang. Pasti dia bertanggung jawab." Aku entah memberikan penjelasan apa. Jelas-jelas Mytha yang lebih tau tentang Azka. Aku terkekeh, sendiri.

Mytha mengangguk, ya. Menyatakan persetujuannya denganku. Deal. Walaupun tanpa persetujuan Azka. Untunglah, Mytha bisa diandalkan.

***
Dipertemuan selanjutnya, setiap kelompok digilir dengan urutannya. Mana peduli Azka. Lho, kok aku langsung ke Azka ya? Ya. Kenapa? Karena dia memang tidak peduli dengan tugas kelompoknya. Dan... Pada akhirnya, akulah yang harus mengetuai. Padahal dia laki-laki.

"Myt, ini bagianmu. Pahami materi ini. Nanti ketik materinya. Aku minta soft filenya. Biar aku gabungin jadi satu." Aku segera memberikan kertas bagiannya.

"Ini buat Azka?" Mytha bertanya.

"Yups. Tolong sampein ke dia, yaa. Itu materi yang harus dipertanggungjawabkannya." Aku dengan kepedean tingkat tinggi menyerahkan beban itu untuk Azka. Hehe. Merasa semua bisa teratasi dengan baik.

Sampai pada akhirnya...

(BERSAMBUNG)

Rabu, 21 Desember 2016

The Power of Qada (Diary 2)

"Mana minum? Aku haus." Aku harus menyasati. Eno tengah mencurigai aku.

"Ini lagi. Selalu rahasia. Rahasia. Malas." Eno berlalu. Dia cepat sekali berubah. Entah manusia seperti apa dia.

"Eh, tunggu!" Aku masih berusaha menahannya. Tapi, sayang. Itu hanya sia-sia. Jangankan untuk kembali, menoleh ke arah dudukku saja dia enggan.

Sisa-sisa keringat masih bertetesan. Angin-angin berhembus di sekitaran membuat keringat menguap. Bajuku yang tadinya basah. Sekarang sudah terasa ringan, kering.

"Oh, itu nama panjangnya. Akhirnya...." Aku tertatap lagi. Dan sekarang, dia benar-benar berlalu.

***
Hari itu, kelas ramai. Hari pertama pembagian jurusan. Semua nampak antusias. Apalagi ini kali pertamanya ada kelas tambahan. Semacam perkenalan di awal pertemuan dan perjanjian yang lebih serius nantinya. Aku dan Eno sudah duduk rapi, mengambil posisi paling depan. Memang masih sedikit asing, tapi di sini ada Eno. Bagiku itu sudah cukup.

"Itu yang duduk di belakang itu siapa?" tanya ketua pelaksana kelas tambahan itu. Semua mata segera mengikuti ujung jari ibu Yuni, selaku ketua pelaksana.

"Berdiri!" bu Yuni melanjutkan.

Aku masih setia mengintai.

"Besok jangan pakai celana jeans ya. Ini tetap kelas saya, dan mata kuliah saya. Jadi, ke depannya kamu harus mengikuti aturan yang saya terapkan." Kelas mendadak lengang, suara-suara yang tadinya bergemuruh sekarang sudah menyepi.

Aku menelan ludah. Menatap tak percaya, ada kebetulan lagi di sini. Di ruangan ini. Ada aku, ada kebetulan itu. Atau hanya aku saja yang kepedean yang menganggap ini lebih dari sekedar kebetulan? Ah, itu bukan masalahku. Come on, ken!

"Kok ngelamun sih?" Eno menepuk bahuku.

"Ehh." Aku balas singkat, aku setengah kaget. "Nggaak, nggaakk. Aku lagi mikirin masa depan." Aku mengelak cepat. Jangan sampai ada kecurigaan.

Eno terkekeh, lantas membalas kecut, "Masa depan? Masa lalu, kelesss."  Tidak terlalu cerewet, tidak antusias, tidak peduli.

"Mulai deh." Aku membalas acuh.

Eno tak membalas apa-apa. Mungkin baginya informasi yang didengarnya lebih penting dibanding melayani bicaraku yang tak seberapa itu. Eno menyimak intruksi dengan baik. Walaupun, sebenarnya aku ikut menyimak. Tapi, otakku melakukan hal lain.

"Kelas sastra ini akan dibagi jadi dua kelompok. Kelompok A dan B. Silahkan dipilih berdasarkan jadwal masing-masing. Jangan sampai bentrok." Bu Yuni mengakhiri bicaranya. Suara gemuruh dimulai lagi.

Aku dan Eno memilih kelompok A dengan segala pertimbangannya. Berhubung jadwal kelompok B terlalu mendesak dengan jadwal kuliah setelahnya. Hari itu, yap kebetulan kali itu, diakhiri begitu saja. Aku tak pernah menyangka, kebetulan hari itu, akan menjadi sesuatu yang terus aku perhitungkan.

(BERSAMBUNG)

Kamis, 07 April 2016

Ikhlaskan, Dik?

Pagi itu, cahaya temaram masih menerangi badan jalan. Cahayanya jelas masih terasa. Selasa pagi yang mendung. Hujan yang turun semalaman membuat hawa sekitar terasa menyejukkan. Tak seperti biasanya.

Seperti jadwal biasanya, hari ini jadwal perkuliahan dimulai pukul 7 pagi. Ada kalanya serangan fajar harus dilakukan. Serangan fajar dalam artian 'kesiangan'. Terkadang alarm tak terdengar, kalau sudah begitu, perkara yang paling nyata adalah serangan fajar (baca: buru-buru). Prioritasnya ya pasti kewajiban subuh. Itu tak kenal alasan 'lalai'. Bahkan, untuk meneguk mineral pun tak lagi sempat.

Sayangnya, firasat buruk tak tampak di pagi yang mendung itu.

Ah, sudahlah. Ceritaku sebenarnya bukan di pagi hari itu. Cerita yang akan didendangkan ini, kisah di sore harinya. Tapi, mungkinkah ada hubungannya dengan pagi yang mendung? Mungkin saja.

***

Setelah menyelesaikan perkuliahannya, Lisda buru-buru menjemputku. Sore itu, cuaca tak lagi memdung. Cerah benderang. Cuaca kadang tak setia dengan keadaannya. Terkadang mendung tiba-tiba cerah, atau terkadang cerah tiba-tiba mendung lalu turun hujan. Ah, berenti. Itu hak Allaah. Jangan ikut urus campur, tugas kita ya menjalani. Ya. Harus begitu.

Bunyi klakson memanggilku.

"Iya, sebentar." Aku buru-buru menuruni anak tangga.

Bersiap, lalu bergegas. Aku sudah jadi penumpang. Motor berjalan semestinya begitupun dengan sopirnya. Angin berdesakkan menghantam wajahku. Angin sedang ramah-ramahnya bertiup.

Belum separuh perjalanan, si sopir merasakan firasat itu. Namun, sayang si sopir lupa kalau di belakang ada penumpang. Dia diam tak memberikan keterangan apa-apa. Semua pertanyaan itu tak lama lagi akan terjawab.

Motor mulai diketepikan. Aku bingung sendiri adakaj masalah yang serius.

Lisda menarik roknya, "Ma, jangan injak rokku."

Aku menarik kakiku, "Mana ada aku injak roknya." Aku kebingungan.

"Coba turun, lihat rok aku." Lisda menginstruksikan.

Ketika hendak turun, aku masih dalam keadaan bingung sekaligus takut. Jalanan tengah ramai. "Eh, ramai kali jalannya." Aku bergumam.

"Itukan ada batasnya. Mana mungkin pengendara itu menabrakmu. Cepat lihat!" Lisda tetap duduk di motornya itu.

Aku melirik,"Astagfirullah. Rokmu masuk ke motor. Mana bisa ditarik." Aku berusaha menarik rok yang tersangkut itu. Mencobanya berkali. Nihil. Usahaku menarik rok itu tak membuahkan hasil.

Mendapati kenyataan itu, Lisda yang ikut-ikutan panik hendak mencari pelarian lain.

"Turun, Ma. Pinjam pisau atau gunting di kedai itu." Dia menunjuk kedai makan yang posisinya tepat di dekat tkp.

Aku masih berpikir. Ragu untuk melangkah. Aku mencoba lagi; menarik rok itu lagi. Sama saja tetap gagal.

"Cepatlah pinjam. Mana mungkin aku yang harus pinjam. Mau kubawa motor ini jalan ke sana?" Lisda mendesak.

Beratpun tetap terlangkah juga. Kakiku berjalan sesuai perintah tuannya. Aku sudah berada di kedai makan itu. Aku clingak-clinguk dengan settingan wajah bingung.

"Ada apa dik? Lagi cari teman ya?" salah satu laki-laki paruh baya menemuiku. Ia pemilik kedai makan itu.

"Nggak, pak. Mau pinjam pisau atau gunting. Ada pak?" aku segera menyebutkan kebutuhanku.

Bapak itu segera mendekat. Dia meminta pekerjanya mengambil apa yang aku minta. Pekerja kedai itu memberi pisau kecil.

"Eh, ada gunting bang?" aku menanyakan alternatif lain.

"Gunting, ada dik. Tapi tumpul." Pekerja itu menunjukkan gunting yang lumayan berkarat.

Laki-laki paruh baya yang tadinya menghampiriku menatap bingung, sembari melemparkan pertanyaan, "Untuk apa pinjam pisau dik?"

"Itu... Rok teman saya masuk ke dalam motor, Pak."

"Apa? Loh kok bisa?" Bapak pemilik kedai bersama pekerjanya berjalan menghampiri Lisda. Aku juga menyusul di belakang.

"Itu...." Aku menunjuk rok lisda.

"Wah, ini parah dik. Rumah kalian dimana?" pekerja kedai itu memeriksa rok Lisda yang tergiling di motor itu.

"Di Sudirman, bang." Jawab singkat Lisda.

"Mau dipanggilkan ambulan nih dik. Parah kali." Pekerja kedai mengolok kami.

Aku dan Lisda meringis, ketawa kecut yang tak manis. Jelas sekali sore itu mentari tengah semangatnya bersinar.

"Eh, potong aja roknya bang." Aku memberi intruksi.

"Yakin? Sayang loh rok barunya nanti rusak." Entah itu jalan keluar atau olokan lagi.

"Potong aja, nggakpapa." Lisda ikut bicara.

"Ikhlaskan, dik?" Tanyanya lagi.

Kami menjawab, "Ikhlas-ikhlas."

Awalnya, pekerja kedai dengan seragam batik ungu itu mencoba menarik rok yang bernasib buruk itu. "Ini bisa jalan dik motornya?"

"Tadi bisa, bang." Lisda menjawab lagi.

Dia meminta bantuan temannya mengambilkan tang. Dengan kesepakatan bersama, rok hitam yang bernasib buruk tersebut dipotong. Aku dan Lisda hanya saling pandang. Kesal rasanya, itu rok yang menjadi favorit aku juga Lisda. Tapi, lebih lebih bersyukur lagi, kami berdua tidak dihadapkan masalah lain yang 'mungkin' bisa lebih menakutkan.

Setelah berhasil dipotong, pekerja kedai yang menolong kami tadi berusaha mengeluarkan sisa rok yang menyangkut di badan motor. Lumayan menelan waktu beberapa menit. Hingga pada akhirnya, sisa rok tersebut bisa dieksekusi keluar.

Lega rasanya.

Aku dan Lisda segera berterima kasih atas bantuannya. Mereka sekadar berbagi saran pada aku juga Lisda. Mulai ke depannya harus lebih berhati-hati.

Jumat, 18 Maret 2016

The Power of Qada (Diary 1)

Diary 1

Ken. Aku memulainya dengan nama itu. Itu nama yang Tuhan sematkan pada diriku. Simple memang, tapi sungguh kisahku tak se-simple itu. Sungguh.

Perkenalan. Sungguh itu kesan pertama yang seharusnya diabadikan dengan manis. Apalagi memaknainya dengan mata yang lain. Mata yang hanya bisa dilihat dengan batin. Perkenalan semacam ini akan lebih menyulitkan. Karena banyak maksud yang harus aku jabarkan setelahnya. Kuharap hati tetap baik-baik saja.

***

"Kau percaya kebetulan, Ken?" Eno menyikutku.

"Percaya." Aku tetap setia meratapi sisa uang belanjaku. Persediaannya makin menipis. Padahal minggu ini belum berakhir.

"Alasannya?" Eno menatap tajam.

Aku menatapnya balik, "Alasan? Aku tak butuh alasan. Karena kebetulan itu sama saja dengan ketidaksengajaan. Jadi, kenapa aku harus punya alasan untuk hal yang tak pasti?"

"Aduh.... Ceritanya, aku lagi yang harus ngalah." Eno mengeluarkan sesuatu disakunya.

"Coba kau lihat ini." Eno menjulurkan tangannya.

"Ini?" aku merampasnya pelan.

"Kau pasti tak mengenalnya? Manusia cuek sepertimu pasti alergi sesuatu yang baru, bukan?" Eno mengernyit.

Aku menutupnya. "Aku tak tertarik, menceritakan benda semacam ini."

"Lho, aku belum selesai bicara. Kau mau kemana?" Eno buru-buru bersiaga. Ia berusaha melarangku untuk bergegas meninggalkannya.

"Ada yang lebih penting dari kondisi keuanganku yang makin menipis? Kalau tidak ada, lebih baik berhembus dari tempat ini." Aku tak suka dengan cara Eno, mengapa 'dia'?

Terik mentari siang itu, memisahkan aku dan Eno. Bagiku, pembicaraan tentang kebetulan adalah hal paling 'absurb sedunia'. Isi kepalaku masih penuh. Semuanya berdesakkan. Tak maukah dia lebih mengasihi otakku?

"Aduh....Bingung juga kalau gini ceritanya. Coba ada Eno. Aku bisa tukar pendapat." Aku tengah menepi di sebelah ruangan ber-AC. Pengumuman yang terpajang di layar membuatku harus menambah isi kepalaku (lagi).

Mataku masih berpedar, memata-matai Eno. Mana mungkin dia bisa meninggalkan aku dalam waktu yang lama. Seharusnya, dia sudah berada di sampingku. "Kemana si Eno?" kepalaku masih setia berkeliling menatap sekitaran.

Sekarang mataku berhenti. Tepat lurus di hadapanku. Ada puluhan langkah ke depan. Ada yang berusaha menuju ke arahku. Aku menatapnya jelas. Sayang, panggilan Eno menghentikan tatap itu. Aku kehilangan jejaknya. Kebetulan yang semacam inilah yang sering menuntut pengorbanan dan kerja kerasku. Baiklah, aku maafkan.

"Ken! Ken!" Eno melambaikan tangannya. Nafasnya tersengal.

Belum sempat berkata apa-apa, wajahnya sudah penuh dengan kertas pemberitahuan milikku. "Ini rasakan!" aku sengaja menutup wajahnya. Itu balasan untuk keterlambatannya.

"Apa yang kau lakukan, Ken! Kau merusak kerudungku. Lihat!" Eno menunjuk-nunjuk kerudungnya, yang keadaannya memang tak pernah rapi. Ia ingin meminta pertanggungjawabanku.

"Berhenti menuntutku. Aku tak melakukan apa-apa dengan kerudungmu itu. Kau tak tahu, kau telah merusak rencanaku." Lagi-lagi aku harus berkelahi dengannya.

"Cukup! Ini kertas apa?" Eno menghentikan pertikaian siang itu.

"Ini jadwal tambahan kita. Ini tentunya akan menjadi minggu-minggu paling melelahkan." Aku menarik nafas dalam.

"Kelas baru lagi? Aduh harus penyesuaian lagi." Eno ikut-ikutan. Bahkan, ia terlihat lebih kecewa dibanding aku.

Aku dan Eno masih kesal menatap kertas pemberitahuan itu. Sementara, orang-orang yang berkebutuhan dengan dinding pemberitahuan itu segera menyesak. Mereka berduyun-duyun memenuhinya.

"Ken, lebih baik kita tinggalkan tempat ini. Kalau tidak kaki kita dalam masalah." Eno buru-buru bertindak.

Aku tahu, kakiku memang sebentar lagi atau beberapa detik lagi akan menjadi korban keganasan orang-orang yang antusias dengan informasi terbaru ini. Mereka akan menghantam kaki-kaki yang tak bermata lincah. Tapi, ada sesuatu yang membuatku masih bertahan.

"Tunggu dulu. Aku masih harus memastikan kita kelas berapa. Terus jadwalnya jam berapa. Sabar, Eno!" aku berusaha meyakinkan Eno. Setidaknya, Eno harus bertahan selama maksudku belum tertunaikan.

"Kita udah punya jadwalnya. Apalagi?" Eno menarik lenganku.

"Lepas! Jangan tarik! Menepilah, nanti aku menyusul." Suaraku termakan keramaian.

Tepat jarinya menunjuk nama itu. Aku sudah dibawa ke tempat yang berbeda. Eno menarikku lebih keras.

"Aku sudah mengakhiri perkenalan ini, Eno! Setidaknya, arti sebuah nama harus segera aku pelajari, setelah ini." Bisikku dalam batin.

Eno menatapku tajam, "Apa yang membuatmu bertahan di keramaian itu?"

(Bersambung)

Sabtu, 12 Maret 2016

Asal Mula Malming-Baper

"Kemana malming?" tanya Rebo kebingungan.

"Aku juga bingung, Bo. Coba kamu tanya Sebtu." Kemis sedang bersantai dengan tayangan kesayangannya.

"Gimana, Tu?" Rebo mencolek Sebtu yang sejak tadi murung.

"Untuk apa dicari, untuk apa ditunggu? Tidak penting!" Sebtu menggerutu kesal. Rencana indahnya bersama Pera gagal total.

"Loh? Kenapa?" Kemis ikut antusias.

"Aku tau, Pera lebih menyukai malming dibanding Sebtu, ya aku ini. Dia selalu menelantarkan aku. Tepatnya, hati dan perasaanku!" Sebtu memelas; hatinya sakit.

Suasana malam itu berubah menjadi hening. Rebo dan Kemis bingung. Seserius itukah arah pembicaraan Sebtu.

"Kenapa hening?" Sebtu mendelik.

Rebo dan Kemis menggeleng; acuh tak acuh.Memang tidak tau.

"Nah sekarang, kalian berdua masih juga bertanya 'kemana malming?' Lebih baik aku tidur, karena kalian tak mengenali aku, hati, dan perasaanku. Aku sakit. Katakan pada malming 'aku sakit'." Sebtu meninggalkan ruangan itu. Baginya bertanya tentang malming, hanya menambah rintikkan dukanya makin deras. Sama seperti malam ini, hujan menjatuhkan ribuan pasukan air. Jatuh mengalir di atap rumah petak Rebo, Kemis, dan Sebtu.

***

Sebtu mengurung dirinya. Mengurung kebahagiaanya makin dalam. Amarahnya sudah mengepul bebas. Ibarat asap, hasrat amarahnya sudah membumbung parah dan pekat di angkasa.

Malam ini, ia ingin melemparkan serapahnya pada gemuruh. Agar semesta tau, dia tengah berduka. Agar semesta mau membalaskan sakit hatinya. Kepada kekasihnya yang lalu. Kepada sahabatnya yang kini sebentar lagi akan menggantikan posisinya di pelaminan.

"Oh gemuruh... Bisakah kau membantuku? Bisakah kau hadiahkan kutukan ini pada mereka? Jika memang cinta diantara keduanya adalah cinta sejati, maka biarlah aku menikmati hari-hari bebasku, hari libur untuk semua dukaku! Bantu aku melupakannya!" Sebtu menatap langit yang sesekali terang karena bertemu kilat. Dia berharap, keikhlasan hatinya akan menghadirkan kebahagiaan yang lain. Tetap berharap kebaikan untuk orang lain, untuk Pera juga sahabatnya.

Sementara itu, Rebo dan Kemis sudah asyik mencuri rintihan hati Sebtu di balik pintu kamarnya. Mereka tau, luka Sebtu bukan sebuah candaan yang bisa dijadikan bahan hiburan.

***
Tiba-tiba, terdengar suara salam seseorang.

Rebo dan Kemis berburu. Berebut ingin membuka pintu.

"Biar aku, Bo." Kemis menghentikan langkah Rebo.

"Minggir! Biar aku yang membukanya!" Rebo pun berusaha menghentikan langkah Kemis.

Sementara itu, suara dibalik pintu masih berbunyi. Sekarang makin cepat.

"Rebo, Kemis, buka pintu! Aku basah kuyup!" suara dari balik pintu.

"Ah, sialan. Dia yang datang. Kukira delivery yang kita pesan." Rebo dan Kemis kecewa. Mereka kembali ke ruang tv. Menunggu tamu yang sebenarnya.

"Rebo, Kemisssssss! Buka pintunya!" sementara suara itu terus menerus berbunyi tanpa henti.

Sayang, Rebo dan Kemis sudah menyumbat telinga mereka dengan musik.

***

Tak lama kemudian, terdengar suara dentuman. Langkah yang gusar itu menuju suara yang berada di balik pintu. Pintu berdecit. Demi melihat seseorang di balik pintu itu, Sebtu berubah jadi gemetar.

"Tunggu...." suara itu benar-benar menghentikan langkah Sebtu.

"Berhentilah jika kau mencintai aku. Tolong, berhenti! Aku bisa menghentikan semua ini!" Itu suara Pera, iya itu suara Pera.

Langit kembali terang, pertanda genuruh akan datang. Sebtu sudah bersiap dengan serapahnya. Ini saatnya.

1...2...3... Glrrrrkkkkkk!

"Aku bersumpah aku akan bahagia dengan hari-hari bebasku! Kau bukan milikku. Kau hanya jodohnya!" Sebtu berlari, mengunci dirinya.

Di dalam kamar. Sebtu merenungi pilihannya. Setidaknya, dia yakin gemuruh akan mengabulkan permintaannya. Itu cukup membuatnya tenang.

"Aku takkan memaksakan kehendak Tuhan. Jika semesta tak mengharapkan aku bersamanya. Maka tugasku hanya bahagia bersama ketetapan-Nya. Aku, Sebtu, akan selalu bahagia. Aku bisa menikmati hari bahagiaku, berlibur dari luka. Aku bahagia! Walau kutau, hari ini, esok,  ataupun selamanya malming akan terus bersama baper. Aku rela!" Sebtu menutup malam itu dengan cinta tak terbalasnya.

***

Sementara, Rebo dan Kemis lagi-lagi terlambat. Mereka melepas penyumbat telinga mereka. Menemui tamu yang tak diharapkan tadi.

"Malming? Baper? Eh, Mbak Pera maksudnya?" Rebo dan Kemis pura-pura tak tau.

"Kenapa kalian tidak membukakan pintu untukku? Kau lihat aku sudah basah kuyup. Aku datang kemari, ingin mengundang kalian ke acara pernikahanku dan dia." Rebo dan Kemis baru menyadari kesakitan Sebtu yang sebenarnya.

"Lalu, bagaimana dengan Sebtu? Kau, kita ini sahabat. Mengapa kau memberinya hari-hari duka?" Kemis menatapnya tajam.

"Dia mencintai aku. Aku mencintainya. Dengan izin atau tanpa izin kalian pun, akan tetap menikahinya." Percakapan berakhir begitu saja. Menyisakan sunyi.

Rebo dan Kemis mengusap dadanya. Mereka tak percaya atas kenyataan yang hadir dihadapannya. Inilah luka yang tak berdarah itu. Menyakitkan sungguh.Mereka berusaha memanggil Sebtu; berkali-kali. Sayang tak berbalas apa-apa. Kamar Sebtu sudah hening.

Malam itu, ada banyak pertanyaan yang tak bisa dipikirkan keabsahannya. Pernikahan yang penuh kesakralan tetap terjadi. Tak peduli perasaan Sebtu. Tak peduli sakit hatinya Sebtu. Gemuruh sudah menjawab serapahnya. Bahwa benar mereka keduanya adalah cinta sejati. Dan cinta milik Sebtu adalah cinta sendiri. Sebtu kini berhak bahagia, berhak merasakan hari libur untuk semua dukanya. Karena bagi Sebtu mencintai Pera adalah kesakitan yang menyebabkan luka. Melepasnya pergi, itu pilihan terbaik.

Di hari itu... Resmilah pernikahan malming (Selamat Minggu) dan baper (Mbak Pera).

Itulah asal mula mengapa malam Minggu sering memunculkan baper. Mungkin inilah yang dinamakan cinta sejati (?)
Dan inilah juga asal mula mengapa hari Sabtu diidentikkan dengan weekend (Hari Libur). Ini karena serapah Sebtu yang dikabulkan semesta. Ia ingin libur dari dukanya, bebas. Dengan cara melepaskan sesuatu yang bukan takdirnya.

Just intermezzo~

Rabu, 09 Maret 2016

Gerhana Matahari (?)

"Bangun, gi! Banguuun!" suara itu meramaikan isi telinga Ogi. Sudahlah, hari libur pun sama dengan hari biasanya. Tiada hening yang didapatinya. Tetap saja riyuh gemuruh.

Tak lama, beberapa langkah makin mendekat. Mimpi Ogi makin indah.

"Astagfirullah, Gik! Banguuun!" tangan itu menepuk lengan Ogi keras. Menggoyahkan mimpi-mimpi indahnya.

"Mak, kenapa bangunkan Ogi sepagi ini? Mamak lupa ini hari apa?" Ogi mengucek matanya. Mata yang masih nyaman dengan mimpi-mimpinya.

"Kau kira mamakmu ini tak pernah sekolah? Mamak tahu ini tanggal merah!" Muka mamak mengerut. Nadanya agak meninggi.

"Nah itu tahu," Ogi membulatkan mulutnya. Dia benar-benar ingin melanjutkan tidurnya.

"Ogi, kau lupa dengan tugasmu? Ayo, bangun!" mamak masih berjuang. Berharap anak bujangnya bangun.

Demi mendengar suara itu, Ogi terperanjat. Matanya terbelalak hebat. "Tugas?"

"Iya, tugas gerhanamu." Sekarang mamak yang terlihat senang. Dia sadar, Ogi dalam masalah besar.

Ogi melirik jam yang menggantung di dinding kamarnya. Menatap lamat-lamat angka yang ditunjukkan jarumnya.

"Mak! Ini jam.. Aduh, mak. Ogi harus apa, mak?" Ogi menggaruk kepalanya yang gatal. Menggaruk-garuk lagi. Ogi merengek, ketakutan. Khawatir tugasnya mendapat nol besar.

"Mamak sudah bangunkan kau berkali-kali. Kau hanya berkata 'Nyepi, mak. Nyepi, mak.' Mamak kira kau sudah bangun." Mamak cengingisan melihat anaknya meringis ketakutan. Ogi, anak berseragam putih-merah yang menggemaskan.

"Mak, tugas gerhana Ogi gimana, mak? Ibu guru pasti marah, mak. Ogi takut, mak." Ogi sudah bangun dari mimpinya. Benar-benar sadar.

Mamak tersenyum.

"Mak, nanti Ogi dimarah ibu guru, mak." Ogi makin gusar melihat mamaknya tersenyum diam.

"Mudah saja, Gi. Kita tunggu 30 tahun lagi. Bagaimana? Kau harus banyak bersabar, Gi." Mamak melanjutkan senyumnya.

"Mak, mamak mau Ogi tak lulus SD. Mak, Ogi tak mau jadi anak SD terus. Mak, tolong Ogi, mak!" Ogi menendangi bantalnya.

"Ogi, kenapa kau takut? Apa sewajib itu mengabadikan foto gerhana itu? Apa ibu gurumu tak berpesan lain?" mamak mendekati Ogi.

Ogi tertunduk lemas. Ia khawatir, tugasnya menjelaskan foto gerhana gagal diselesaikan. Ia takut tak bisa melanjutkan sekolah menengahnya.

"Dengar mamak ya, Gi. Sampaikan maaf mamak pada ibu gurumu. Katakan seperti ini: 'Yang wajib itu menunaikan salat gerhana bukan foto gerhana, bu.' Jadi, walaupun kau tak membawa fotonya, tetap saja, kau bisa menyelesaikan tugasnya. Mamak akan menjelaskan semuanya padamu." Mamak mengelus kepala Ogi. Menyalurkan energi positif.

Bagi mamak kekhawatiran anak seusianya memang adakalanya luar biasa. Baginya tugas dari guru adalah kewajiban yang harus dilakukan. Bahkan terkadang mengacuhkan apa yang dijelaskan orang tuanya. Karena bagi anak seusia Ogi, tugas adalah hutang yang harus dibayar sesuai dengan jumlahnya. Apa yang diucapkan gurunya harus dipenuhi secara sempurna. Sama persis, sesuai pesanan. Seperti resep obat yang harus ditebus secara tepat.

Ogi menekuk senyumnya. Hari Nyepi yang meliburkannya dari sekolah, membuatnya lalai akan tugasnya.

"Mak, kenapa kita harus salat, mak?" Ogi mulai antusias. Sejenak melupakan tugas gerhananya.

"Itu sesuai yang diajarkan Rasulullah, Gi. Kita diperintahkan salat, ketika datang gerhana. Bukan sibuk foto, ya!" Mamak tersenyum licik; menghardik Ogi.

Ogi membalasnya dengan senyum kecut.

"Sudah, jangan berkecil hati. Lihat ke dapur." Mamak menunjuk arah dapur.

"Mau lihat apa? Gerhana?" Ogi berdiri. Bersiap menghampiri dapur.

"Iya, kau akan menemukannya." Sekarang, mamak tersenyum manis.

Saat Ogi meletakkan kakinya di dapur.

Benar saja, ia melihat gerhananya. Begitu jelas. Di depan matanya.

Note:
Tulisan ini sengaja dibuat karena pengalaman adik bungsuku yang bingung harus berbuat apa dengan tugas foto gerhananya. (Just intermezzo)

Jumat, 26 Februari 2016

Kunjungan Nurani


Oleh Lisma Nopiyanti
(Ditemani senandung Haddad Alwi feat Farhan - Ibu)

Assalamu’alaikum hutang menulisku. Malam ini, aku berusaha untuk menyelesaikannya satu per satu. Malam ini, ceritaku berkisah tentang kunjungan yang agendanya sungguh dadakan.
***
Siang selepas salat Jumat berjamaah berakhir, aku, Lisda, Rizka, juga si Dika memutuskan kunjungan ini. Memang udara tak terlalu terik, namun kegiatan menunggu membuat kami jadi kering. Berjam-jam menanti kedatangan tetua regu kami kala itu, Firadika (atau sebut saja ‘Dika’). Aku, Lisda, juga Rizka terus mengeja satu per satu motor yang lalu lalang di hadapan kami. Perjanjian yang sudah terulur entah berapa jam.

Sabtu, 13 Februari 2016

Seratus Dua Puluh Hari


Stasiun ramai pagi ini. Pelantaran sesak karena antrian calon penumpang. Berdesak-desakkan mencari tempat teduh. Anak-anak pedagang asongan hilir mudik menjajakan minuman, tak peduli hujan menitik dengan derasnya di luar. Tak lama, suara kereta datang, bersahut-sahutan peluitnya. Penumpang dengan kaki-kaki lincahnya berduyun-duyun memenuhi kereta api kelas ekonomi itu −begitu antusias− selepas pemberhentian yang dilakukan masinis.

Stasiun Jatinegara
Ding dong.. Kereta Jurusan Jakarta-Bogor akan segera berangkat. Di mohon agar para penumpang bersiap-siap.
“Percepat langkahmu, Mid! Sebentar lagi kereta berangkat. Tetap pegang tanganku!” Terlihat laki-laki dewasa berkulit sawo matang berlari bersama adik laki-lakinya menerobos keramaian penumpang yang hendak masuk ke dalam kereta. Keduanya kepayahan berlari mencari celah. Keringat mengalir pelan.

Berkat usaha sang kakak, mereka berdua mendapatkan jatah kursi. Laki-laki pemilik wajah bersahaja itu memilih kursi urutan ketiga persis di dekat jendela. Badannya sungguh tegap −nampak berisi. Rambutnya hitam ikal tertutup Beanie Hat –kupluk; sejenis topi rajutan yang tepat digunakan saat hawa dingin atau musim hujan. Sama seperti hari ini, musim hujan di bulan Desember sudah menyapa. Hujan dengan ramahnya turun. Beruntung, stasiun tidak banjir. Hanya membuat sekitar basah saja. Hawa dingin mulai berdomisili di kereta ekonomi itu. Sesekali kaca jendela berembun. Tiba-tiba, tangan laki-laki itu terangkat, semakin mendekati kaca di jendela. Diukirnyalah tulisan sederhana dengan telunjuknya. Sebentar-bentar dihapusnya. Mengukir lagi, dihapus lagi. Ada rasa sesak yang segera memenuhi dadanya. Ia mengukir lagi: Elina.

Senin, 25 Januari 2016

Ruang Gelap

Apa yang bisa dilakukan ketika mati lampu, selain pasrah? Berkicau pun takkan terdengar. Lebih baik tenang.
Apa yang bisa dilihat ketika mati lampu, selain gelap? Menyala lilin pun tetap remang. Nasi di dalam piring tak berlauk pun tak jua tampak.
Apa yang bisa didengar ketika mati lampu, selain suara nyamuk? Berdenging. Dari telinga kiri ke sebelah kanan. Lalu berperang. Perang sendiri. Musuh tak jua nampak.
Apa yang bisa dilakukan ketika mati lampy, selain bersyukur? Yaa, mungkin ada rencana baik Allaah yang tak kita tahu dari terang yang menjadi redup ini.
Selamat menikmati peperangan ini..
Teruntuk nyamuk,
Ini raket listrikku! Haaaaayaaaaaa!
Peletusan di sana- di sini..

Pekanbaru, 22012016
Di ruang gelap bersama pasukan nyamuk~

[Story Blog Tour] Sepenggal Harap

Ini adalah Challenge menulis OWOP (One Week One Paper), temanya STORY BLOG TOUR. Di mana member lain yang sudah diberi urutan absen melanjutkan sesuai imajinasinya di blog pribadinya. Aku, Lisma, mendapatkan giliran untuk membuat episode ketiga dalam serial story blog tour ini.

Bismillah. Inilah episode keduanya. Yuk, dinikmatin aja ceritanya. Walaupun banyak kekurangannya.. Mariii~

Mengakhirinya dengan salam ke kiri. Lelaki tua itu beranjak dari duduk tahiyatnya. Konsentrasinya gugur. Tepukan yang mendarat dibahunya, membuatnya mengingat sesuatu. Segera mata tuanya berputar bebas; mengelilingi sudut ruangan. Hampa. Ia tak menemukan siapa-siapa.

"Siapa yang menepuk bahuku?" Bisiknya lirih.

Lelaki itu menyeret kakinya keluar. Mengintai lagi di sekeliling Surau.

"Siapa di sana? Ada perlu apa?" Suara lelaki itu memecah keheningan subuh. Berteriak semampunya.

"Kemarilah! Apa yang kau inginkan?"

Harap tak berbalas apa-apa. Tersisa kehampaan. Pagi yang basah itu, sesak semakin menggerutu. Rindu semakin menghayut.

***

"Lebih baik aku pergi, Kang. Tolong jangan cari aku lagi. Kau tak bisa lagi menepati janjimu. Pernikahan ini akan sia-sia. Kau gagal menjadi imam untuk keluarga kita. Tolong jangan pernah, jangaan pernah cari aku lagi." Isak-tangis menguasai hati perempuan itu. Menutup kesempatan untuk setiap pertemuan adalah jalan terbaik. Kehadirannya sebagai istri hanya menyisakan beban berkepanjangan.

Lelaki bermata sayu itu berlari, "Marni, jangan lakukan ini! Kau tak boleh mundur. Selamanya aku akan berusaha. Tolong beri waktu untuk memperbaiki hidup kita. Tolonggg, Marniiiiii."  Kakinya gemetar. Sebentar lagi kakinya akan roboh.

"Maafkan aku, Kang. Ini demi kebaikan kita. Ku mohon." Marni membalikkan wajahnya. Basah tertumpah air mata. Pagi yang basah itu, Marni merobohkan harapan Kardi.

Semenjak hari itu, Kardi menambatkan hatinya pada Surau tua itu. Adzan yang dikumandangkan setiap harinya menenangkan jiwa. Selanjutnya, kebahagiaan itu akan datang bersamaan dengan dua atau tiga langkah jamaah yang datang mendekati Surau. Bahagia. Ada barisan yang siap di belakangnya sebagai makmum, walau dalam jumlah yang sedikit.

Allahuakbar.... Allahuakbar....

Sahutan adzan terdengar kembali di telinganya. Kardi tersadar dari lamunan lirihnya. Buru-buru mengambil agenda yang sama. Lelaki itu menarik nafas, mengambil alat pengeras suara, pada rak kecil di sudut Surau. Melirik sekililingnya lagi,  tetap setia dengan keyakinan bahwa suatu hari panggilan shalatnya di tanggapi oleh penduduk dusun. Adzan terdengar lagi. Adzan yang terdengar serak, seperti hari-hari kemarin, kemarin lusa, dan kemarin-kemarin lagi. Subuh bertukar senja, senja melarutkan malam, namun barisan tetap sepi. Akan tetap sepi.

Namun, bagi Kardi khusyuk yang didatangkan pada malam syahdu, setiap hari di pertigaan malam adalah obat penipis rasa sepi. Mengobati segela keresahan yang menyakiti; mencari ketenangan pada Dzat yang Maha Sempurna. Berharap segala luka-duka terhapus perlahan. Dengan mata berbinar, cahaya penuh harapan, Kardi mengadahkan tangan. Menumpahkan asanya yang luluh berkeping.

"Duhai Dzat yang Sempurna, tak ada lagi sungguh tempat bergantung. PadaMu, untuk kesekian kalinya, kuharap Engkau sudi mengijabahnya. Aku tahu, aku tak berhak mengharap hadiah padaMu. Aku hanya ingin diberi kesempatan menikmati shalatku tidak sendirian.... Aku ingin, SurauMu ramai pengunjung...." Nafas Kardi tersengal.

"Aku ingin hadiah itu... Sebelum tiba waktuku. Dan... Berilah aku kesempatan menemui istriku.... Walau aku tahu, dia tak menginginkan kehadiranku. Beri aku jalan..." Kardi membasuh wajahnya yang mulai basah. Rindu yang tak terperikan tengah menyiksa batinnya.

"Assalamu'alaikum, Pak." Suara salam itu menyentuh telinganya. Membuat duduknya tak lagi manis.

"Kali ini di sepertiga malam. Siapa yang sebenarnya ingin bertemu denganku?" Bisik hatinya.

Nantikan kelanjutannya...


Jumat, 15 Januari 2016

Berburu Santan (Part. 1)

Pagi ini, menjelang jam-jam perkuliahan dimulai. Aku dan Lisda diributkan dengan aktivitas yang menyesakan dapur, apalagi kalau bukan perkara memasak. Yap, kebetulan jadwal kuliah hari ini tak dikejar deadline pagi buta. Lumayan, jadwal semacam ini bisa digunakan untuk sarana berhemat. Mempersiapkan bekal dan mengurangi pengeluaran uang bulanan. Sederhana.

“Ma, hari ini kita masak labu siam disantan putih saja.” Lisda sebagai juru masak mulai mengatur siasat.

“Nah itu juga boleh. Aku sih, oke.” Aku menyetujui siasat itu.

“Eh, tapi santannya?” aku buru-buru melemparkan pertanyaan itu, ketika menyadari persediaan santan sudah tak ada lagi.