Senin, 09 Januari 2017

The Power of Qada (Diary 5)

Kelompok per kelompok sudah menunaikan tanggung jawabnya selama satu bulananan ini. Bergilir menyajikan materi. Sekarang, giliran kelompok kami. Aku yang menyatukan materi. Membuat bungkus dan memperbanyak makalah kelompok kami. Semua berhasil aku selesaikan. Aku melirik jam di smartphone-ku. Beberapa menit mata kuliah ini akan dimulai.  Azka, ya Azka belum nampak hidungnya. Aku tidak mengkhawatirkannya tanpa alasan. Di sudut lain, Mytha juga belum merapat ke ruangan ini. Kemungkinan terburuk hari ini adalah... Aku harus mempersentasikan semuanya sendiri. Aku hendak berdamai dengan hatiku. Tenang, mereka pasti datang.
Bapak dosen dengan sempurna membuka mata kuliah hari itu. Mytha tersengal di muka pintu. Dia nampak terburu-buru. Yah, sejak tadi aku sudah menghubunginya agar datang hari ini. Dan sisa anggotanya, biar Allaah saja yang mengaturnya.

"Myt, kita persentasi ya hari ini." Aku berusaha mengingatkan kembali.

"Iya, Ken." Mytha masih mengatur nafasnya.

Mendengar sang dosen yang memberikan pengantarnya. Jantungku berdegup-degup lagi. Aduh, benci setiap kali mengakuinya. Aku demam panggung atau bisa jadi lebih dari itu. Sejak tadi tanganku juga berubah dingin. Aku dengan pedenya berlaku sewajar-wajarnya. Menganggap ini hanya lelucon biasa. Tidak terlalu serius. Eno? Aku melupakan Eno lagi. Dia tetap mengamati gerakku. Beberapa minggu ini, dia nggak secerewet biasaya. Dia berubah menjadi pendiam, pengamat. Itu menurut hematku.

Beberapa menit sebelum sang dosen benar-benar mempersilakan kelompok penyaji untuk tampil. Taraa.... Kejutan! Azka datang dengan santainya. Ini kebalikan dari Mytha yang setengah nafas menuju kelas ini, terburu-buru takut tak punya banyak waktu, sementara dia, seenaknya saja.

Kursi sudah berjejer tiga. Mytha, menyikutku "Aku saja yang menjadi moderatornya." Tanpa banyak berpikir, aku mengangguk setuju. Aku dan Azka menampilkan materinya. Azka? Aku tak begitu yakin.

Setelah Mytha menyelesaikan bicaranya. Aku sudah siap. Aku sudah menandai bagian mana yang harus aku jelaskan. Tepatnya, bagian mana yang harus Aku dan Azka jelaskan. Perlu beberapa menit aku menyelesaikannya. Azka ini giliranmu. Sejak tadi, aku sudah menjelaskan bagiannya. Walaupun dia acuh tak acuh mendengar, seakan tahu persis dan menganggap dia bisa diandalkan. Beberapa menit, Azka menyelesaikannya meski tak begitu baik. Hmm.

Mytha melanjutkan, ia kembali bertugas menangkap pertanyaan dari penyimak lain. Oh ya, aku hampir saja melupakannya. Aku sempat kesal dengan Azka. Bukan karena keterlambatannya saja. Bahkan, ia tak membawa ransel hari itu. Jangankan buku, pena saja ia tak membawanya. Sebenarnya, niatan dia ke kampus itu untuk apa. Aku hampir berceletuk. Mau memakinya seperti aku memaki Eno kalau dia cuek dengan situasi. Tapi....Ah, aku menghela nafas panjang. Dia bukan sahabatku, dia hanya teman satu kelompokku tak lebih. Aku tak punya banyak tanggung jawab padanya.

"Pinjam pena." Azka meminjam pena, bukan denganku tapi dengan teman satu timnya, Mytha.

Aku nyeletuk saja, "Kok bisa gak bawa pena?"

Azka hanya menaikkan bahu. Entah itu jawaban model apa. Mungkin pertanyaanku tak penting mendapat jawabannya. Oke. Selesai. Aku mengulurkan tangan, meminjamkan pena. Setelah yakin, Mytha tak bisa menolongnya.

"Makasih." Balas Azka menutup semua pembicaraan sebelum sesi pertanyaan dimulai.

Pertanyaan datang, kami membagi tugas untuk menjawab. Azka langsung menunjuk kertas berisi pertanyaan itu, "Aku jawab yang ini." Aku dan Mytha mengiyakan. Eno dari sebrang menatapku penuh selidik dan kadang tersenyum menggodaku. Diamlah, Eno. Tingkahmu itu bisa saja membongkar rahasiaku.

Aku berhasil menjawab pertanyaan walaupun terbatah-batah. Tapi, syukurlah. Penanya mengerti maksudku dan penjelasanku. Dan Azka saatnya menjawab. Blablablablaaa. Dia menyelesaikannya.

"Bagaimana saudari Liana, apakah sudah mengerti dengan jawaban dari kelompok penyaji?" Mytha bertanya, menanggapi jawaban yang telah diberikan Azka.

"Saya kurang paham, bisa diulangi lagi?" Liana dengan wajah bingung hendak meminta pertanggungjawaban penyaji.

Aku memberi arahan sedikit. Bukan ke Liana tapi ke Azka. Loh kenapa ke Azka? Ya, dia harus bertanggung jawab. Aku menjelaskan, blablablablabla.

"Jelasinnya jangan terlalu cepat. Nanti dia sulit paham." Aku berniat membantu.

"Ah, minta sajalah dia mengerti. Paham kok si Liana tuh." Azka seenaknya saja membalas saranku seperti itu. Kalaulah dia, sekali lagi, kalaulah dia itu Eno. Sudah basah wajahnya dengan sumpah serapahku. Kita penyajinya, jadi kita yang bertanggung jawab. Huh. Keringat padiku mengalir.

"Cepatlah, Azka!" aku meminta dia menjelaskan ulang.

Dia menggeleng, "Kau saja yang menjelaskan."

Aku ogah-ogahan, "Kok aku?"

Mytha menyikutku lagi, jawab saja. Azka takkan berubah pikiran. Aku terpaksa menjawabnya, menimpali tanggung jawabnya. Aku menjelaskan, blablablablaaaaa. Ditambah dengan pendapat sang dosen. Selesai. Kelompok ini atau kelompokku mendapat tepuk tangan penghargaan. Bukan karena penampilannya yang baik, menurut hematku itu hanya tepukan kasihan untukku. Karena bebanku terlalu banyak saat persentasi tadi. Luar biasa kau, Azka.

***

Oh ya, beberapa jam setelah Azka memberi pinjaman flashdisknya, aku lupa menceritakan. Kalau aku sempat memeriksa isinya, tanpa seizin pemiliknya. Itu tidak sopan? Biarkan saja. Dia yang lebih tak sopan. Kalaupun aku tak sopan, anggap saja aku sedang mencari data yang aku cari dengan membaca satu persatu data yang ada di flashdisk itu. Walaupun kebenarannya, data yang aku butuhkan sudah aku dapatkan ketika file-file di flashdisk ini muncul dengan sempurna di layar 14inch-ku. Hehehe.

"Eh, ada puisinya." Aku menemukan file tugas puisi yang diminta semester lalu. Aku membukanya, membacanya. Aku terkekeh, lantas tersenyum licik.

Aku gerakkan mouse, aku klik kanan pada data itu. Aku pilih copy. Dan sempurna, ketika aku memilih paste pada document-ku. Aku pencuri? Tidak, anggap saja aku penggemar atau fans yang mengingikan karya artisnya. Toh, aku tak bermaksud jahat memplagiatnya.

***

Eno tetap menatapku. "Kau ini kenapa?" aku segera bertanya setelah sekian detik Eno melamun melihatku.

"Loh, nggak kebalik yaa?" Eno tersadar dari lamunannya.

"Kebalik apanya? Kau yang dua minggu ini berubah jadi pendiam? Kenapa? Ada berapa banyak sariawanmu? 100?" kok aku jadi kesal.

"Naudzubillah. Serem amat 100. Itu sariawan atau nilai persentasi kita?" Eno menggeleng mendengar perkataanku.

"Loh kok bahas persentasi sih? Nggak nyambung." Aku menimpali.

"Kau suka Azka? Aduhh, Ken. Nampak jelas." Aku tertegun mendengar kata itu muncul.

"Kau jangan buat gosip deh." Aku pura-pura tak tau apa-apa.

"Pendeklarasian sikapmu itu yang nggak pernah bohong. Aku kenal kau, Ken." Eno terkekeh, sok menang dengan argumennya.

"Waaahh, bahasanyaaaa.. Dekala.. Apa itu? Dekrarasi? Hahahah" Aku tertawa meski tak lucu, sama sekali.

Eno mengangguk. Aku paham sekali maksudnya. Dia sebenarnya tak perlu jawaban iya dariku. Cukup mengumpulkan bukti-bukti. Kalau baginya bukti itu cukup, maka dia berhasil membuat kesimpulan.

"Eh.....jangan membuat kesimpulan sendiri!!!!!" Aku memekiki Eno. Dia sengaja berlari menjauhiku. Aku memukul angin. Sia-sia. Dia enyah dari hadapanku. Secepat yang dia bisa. Kalau tidak, wajahnya dalam keadaan bahaya.

***
Lepas hari itu, semua berjalan tenang di koridornya. Tak mengejutkan, tak terlalu kaku, semuanya berjalan biasa. Aku tetap menjalani rutinitas biasa. Pura-pura lupa dengan cerita yang lalu. Meski Eno tak mau melupakannya. Setiap hari, setelah pendekrarasian, eh pendeklarasiahan, ADUH! Pendeklarasiaan itu, dia sering melapor informasi padaku tentang temuannya. Siapa lagi? Kalau bukan Azka.

"Eh, tadi kami lihat Azka di masjid. Wihh... Calon imam yang baik." Eno menyeletuk. Itulah kerjanya.

Aku mendengar acuh tak acuh. Duduk di teras menunggu jam bergantian. Merasakan semilir angin. Beberapa jam di ruangan berkutik dengan mata kuliah membuat penat. Tapi, berkat angin yang menyapa ramah ini aku berdamai. Sedikit menyejukkan. Terima kasih, Allaah.

Eno menyikutku. "No..noh..noh" Eno memonyongkan bibirnya.

"Kata guru Bahasa Indonesiaku, menunjuk itu pakai jari. Bukan mulut.  Nggak sopan." Aku bergedik.

Hampir saja Eno benar-benar menunjuk. Aku buru-buru merebut jarinya. "Heeh, apa-apaan ini?" Mukaku memerah, takut situasi ini pecah.

"Siapa yang kasih intruksi? Aku menurut saja." Eno tertawa, merasa dia menang.

Untung ketika Azka berjalan di hadapan kami, aku dan Eno sudah aman. Kami tak terlihat begitu ganjil. Aduh, Eno. Hampir saja.

"Kode alam mungkin." Eno berbisik pelan.

Aku mendengus kesal. Apa katanya kode alam? Aduh, Eno. Itu rahasia Allaah.

Sebenarnya, aku juga bingung menjelaskannya. Dibilang suka, aku tak paham betul dengan rasanya. Apalagi 'jatuh cinta' itu kemungkinan yang terparah. Aku ingin menjelaskan sesuatu ke Eno. Tapi, apa? Tentang apa? Maksudnya apa? Aku sekedar senang, ehh bukan... Aku tertarik saja melihatnya. Bagiku dia orang yang baik. Ya, walaupun terlihat cuek. Dia pembawaannya supel. Rapi. Tapi, kadang nekat menggunakan jeans. Sisiran rambutnya juga rapi. Belakangan ini, malah terlihat lebih klimis. Nampaknya peran pomade masuk dalam hitungan modisnya. Seusiaku, rasanya bukan hal yang tabuh membicarakan ketertarikan, lawan jenis, teman hidup. Aduh, aku mencampur adukkannya. Tidak, tidak. Aku hanya bingung saja menjelaskan. Aku tak ingin terjerumus saja.

Eno menyelidik lagi. Hasil selidikannya dia dapat plat nomor motornya. Aku masih ingat sekali sampai sekarang. Tapi, itu cukup aku simpan. Tak mungkin tulisan ini jadi sarang bertukar plat nomor. Hahaha. Lupakan. Bahkan aku hafal nomor mahasiswanya. Hal bodoh apa itu? Aku hanya memulainya dengan alasan kepo 'ingin tau'. Kenapa Azka terlihat sombong? Aku ingin tau perkembangan akademiknya. Itu juga dibutuhkan.

"Lihat ini? Wah.. Nilainya turun drastis." Aku bergumam pelan. Eno segera merebut smartphone-ku.

"Wah, wahhh... Kepo is care. Care is love." Eno menggodaku. Aku segera merebut smartphone-ku. Nggak sopan!

***

Lupakan dulu. Jangan terlalu banyak salah paham. Tidak semua urusan kuliahku berhenti di persoalan itu saja. Beberapa kali Eno sering bergurau mengenai hal itu. Namun, tak selamanya kami membicarakan hal yang kadang membuat bosan itu. Siapa si Azka? Harus dia diusut terus? Kan tidak. Tapi, kalaulah aku mau menghilangkan cerita dia. Tiba-tiba, dia muncul... Oh, Allaah. Hanya aku saja yang kepedean.

Hari itu selepas mata kuliah sastra, aku berebutan dengan teman-teman lain untuk keluar dari ruangan itu. Terlebih kelompok lain akan bergantian masuk. Kan sudah aku jelaskan kelas sastraku ada 2 kelompok. Aku terpisah dengan Eno kala itu. Entah, mungkin Eno berhasil ke luar dari keramaian itu. Aku berdiri di muka pintu sedikit lebih maju, mengintai, mencari-cari Eno. Belum sempat menemukan Eno. Ada sesuatu, yap, ada yang melemparku. Tepatnya mengenai tanganku. Aku kaget. Terdengar tertawa cekikikkan.

Aku menoleh, melihat. Aduh... Azka lagi. Dia main lempar-lemparan sepatu atau apalah itu dengan teman satu timnya (bukan Mytha), Ninis. Aku sebenarnya kesal. Mereka seakan tak merasa bersalah, melemparkan sepatu baunya, tidak sih tidak bau, itu hanya nada kekesalan saja. Maaf. Tapi, itu perilaku tercela. Nggak sopan. Apalagi tanpa minta maaf. Aku menarik nafas lebih dalam dan menghembuskan perlahan. Apa aku ini absurb? Mereka menganggap aku tembok? Lemparan itu memang tak membuat tanganku berdarah apalagi patah. Tapi, sepatu itu lumayan berat dan bayangkan, sepatu itu di lempar dan mengenaiku. Buah mangga yang kecil saja, terasa sakit menghujam kepala. Apalagi sepatu. Ah, sudahlah. Mungkin mereka tak menyadarinya. Dan dari sebanyak manusia di lorong-lorong itu. Kenapa sepatu itu menghujamku? Kenapa aku harus berdiri di muka pintu itu? Dan siapa yang tau kalau mereka berdua sedang bermain lempar sepatu? Siapa pula yang mau dilempar? Kalau ini cerita ftv mungkin bisa jadi momen manis. Hahah.a. Tapi ini, sama sekali bukan ftv. Aku menarik nafas lagi, lebih dalam.

***