Seperti
sabtu-sabtu sebelumnya, teman satu kelasku harus duduk rapi menanti mata kuliah
pengelolaan pendidikan di akhir pekan. Situasi kampus saat itu sepi,
karena kebanyakan kelas-kelas lainnya
tak ada yang mendapat mata kuliah di hari Sabtu. Tidak menutup kemungkinan,
rasa malas kadang menghampiri. Namun, karena kewajiban. Maka harus
dilaksanakan. Hari ini meneruskan tugas kelompok selanjutnya, diskusi kelompok.
“Bagaimana
cara mengatasi berbagai macam persoalan yang ada di sekitar kita ketika ke
depannya kita menjadi seorang pendidik?” pertanyaan yang terlontar dari salah
satu siswa di kelasku saat itu setelah kelompok ahli menyampaikan materinya.
Sore
ini, ini aku dan teman satu kelasku menikmati akhir pekannya di kampus. Setiap
sabtu sore, kami mendapatkan mata kuliah pengelolaan pendidikan, bekal di hari
mendatang. Sebagai calon pendidik, mata kuliah tersebut sangat berguna.
Beberapa
pertanyaan dari peserta diskusi sudah dieksekusi dengan baik oleh kelompok
ahli. Saatnya, pak dosen memberi mendalaman yang lebih baik.
“Sebenarnya,
ketika kita berdiri di kehidupan bermasyarakat, khususnya menjadi seorang publik figur, maka akan banyak sekali
konsekuensi yang harus dihadapi, nak. Permasalahan satu per satu akan datang
secara silih berganti. Tak terkecuali, menjadi seorang guru. Akan banyak sekali
permasalahan, baik itu dari peserta didiknya, guru-guru yang lain, atau dengan
wali murid. Permasalahan-permasalahan seperti itu akan kita temui” pak dosen
memulai pembicaraannya.
Di
dalam hati, aku mengiyakan semua yang dikatakan pak dosen. Namun, (kemungkinan)
yang hendak kami dengarkan di sore yang cerah ini adalah sebuah saran dari pak
dosen agar kami bisa mengatasi permasalahan itu. Hingga pembicaraan terakhir
yang disampaikan, belum juga ditemui sebuah penyelesaian; kami masih menunggu.
“Begini
ya, bapak punya cerita. Ada seorang ayah yang menyuruh anaknya mengambil satu
gelas air dan garam. Kemudian, ia meminta kepada anaknya untuk mencampurkan air
tersebut dengan garam. Setelah diaduk, tentu rasa air di dalam gelas tersebut
asin. Namun, ketika si ayah meminta anaknya menuangkan garam bergoni-goni ke
dalam sebuah kolam. Tentulah, air tersebut belum dapat dipastikan rasanya asin”
gaya penjelasan yang selalu pak dosen gunakan; memberikan peserta didiknya sebuah
pemahaman.
“Jadi,
bagaimana cara mengatasi berbagai macam persoalan dalam hidup adalah seperti
cerita yang bapak sampaikan tadi. Garam diiibaratkan dengan masalah, sedangkan
ruang atau tempat yang digunakan adalah hati kalian. Jikalau hati kalian
kerdil, seperti gelas, maka setiap masalah yang datang menghampiri kalian akan
terasa berat; akan terasa asin. Ketika hati kalian luas, seluas kolam itu maka
berapa banyakpun masalah yang datang menghampiri kalian, kalian takkan merasa
terbebani. Gampang kan?” bapak melemparkan
pertanyaan kepada kami, dengan ekspresinya yang khas, menaik-naikan alisnya dan
memainkan matanya dengan sorotan yang tajam diikuti dengan perkataan “gampang, kan?”; berulang-ulang. Membuat seisi kelas tertawa kecil.
“Contohnya,
gini ya. Ketika kalian tak berhasil
mendapatkan nilai terbaik, sementara teman kalian yang selalu membutuhkan
penjelasan dari kamu –cenderung kurang pandai dan terkesan agak malas−
mendapatkan nilai terbaik. Jangan kalian sedih, jangan kalian benci. Biarkan
saja, luaskan hati kalian. Jangan selalu melihat sesuatu itu dari angka,
terkadang kamu harus melihat dari sisi lain. Apalah arti sebuah nilai, kalau
kita tak mampu bertanggung jawab atasnya” perasaan yang sering menghantui para
mahasiswa, nilai yang tidak memuaskan –cenderung buruk−.
“Jangan
juga yang mendapat nilai bagus berbangga diri. Kasihan teman kalian yang tak
berhasil mendapatkan nilai yang baik. Jangan kalian pamerkan nilai kalian padanya. Menangis
nanti dia, ba’a ko caro?” dengan logat Melayu pak dosen.Kami meringis geli.
“Bapak
serius, nih. Jangan, ya? Nanti kalian
bawa kemana-mana nilai A yang menurut kalian baik itu. Sakitlah hati yang dapat
nilai C. Beginilah, kalian sembunyikan saja nilai A itu, dan ketika ia bertanya
intipkan saja kertasnya sedikit. Lalu ucapkan begini: “Aku kebetulan saja dapat
nilai A, seharusnya kamu yang berhak mendapat nilai A, bukan aku”. Dengan
begitu, ia tak begitu sedih. Lain halnya, ketika kamu mengatakan begini:
“Itulah kamu malas belajar, wajarlah nilai kamu C. Aku kan rajin, jadi wajar
kalau dapat nilai A”. Jangan sekali-kali mengatakan hal semacam itu; itu akan
melukai. Bisa jadi, sepulang dari perkuliahan dia bakar nilainya dan mogok
makan. Kan ndak lucu, luaskan hati
kalian; jangan sedih melihat orang bahagia, dan jangan pula sebaiknya” riuh
tepuk tangan diakhir penjelasan −selalu begitu− pak dosen berhasil
membangkitkan semangat peserta didiknya.
“Luaskan
hati kalian dengan banyaknya garam-garam kehidupan yang datang, serahkan pada
yang Kuasa. Masalah apapaun, dengan siapapun, dapat diselesaikan dengan jalan
keluar yang baik” penambahan sedikit di akhir, menutup mata kuliah sore itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar