Senin, 06 April 2015

“Garam, Gelas, dan Kolam”


Seperti sabtu-sabtu sebelumnya, teman satu kelasku harus duduk rapi menanti mata kuliah pengelolaan pendidikan di akhir pekan. Situasi kampus saat itu sepi, karena  kebanyakan kelas-kelas lainnya tak ada yang mendapat mata kuliah di hari Sabtu. Tidak menutup kemungkinan, rasa malas kadang menghampiri. Namun, karena kewajiban. Maka harus dilaksanakan. Hari ini meneruskan tugas kelompok selanjutnya, diskusi kelompok.


“Bagaimana cara mengatasi berbagai macam persoalan yang ada di sekitar kita ketika ke depannya kita menjadi seorang pendidik?” pertanyaan yang terlontar dari salah satu siswa di kelasku saat itu setelah kelompok ahli menyampaikan materinya.

Sore ini, ini aku dan teman satu kelasku menikmati akhir pekannya di kampus. Setiap sabtu sore, kami mendapatkan mata kuliah pengelolaan pendidikan, bekal di hari mendatang. Sebagai calon pendidik, mata kuliah tersebut sangat berguna.

Beberapa pertanyaan dari peserta diskusi sudah dieksekusi dengan baik oleh kelompok ahli. Saatnya, pak dosen memberi mendalaman yang lebih baik.

“Sebenarnya, ketika kita berdiri di kehidupan bermasyarakat, khususnya menjadi seorang publik figur, maka akan banyak sekali konsekuensi yang harus dihadapi, nak. Permasalahan satu per satu akan datang secara silih berganti. Tak terkecuali, menjadi seorang guru. Akan banyak sekali permasalahan, baik itu dari peserta didiknya, guru-guru yang lain, atau dengan wali murid. Permasalahan-permasalahan seperti itu akan kita temui” pak dosen memulai pembicaraannya.

Di dalam hati, aku mengiyakan semua yang dikatakan pak dosen. Namun, (kemungkinan) yang hendak kami dengarkan di sore yang cerah ini adalah sebuah saran dari pak dosen agar kami bisa mengatasi permasalahan itu. Hingga pembicaraan terakhir yang disampaikan, belum juga ditemui sebuah penyelesaian; kami masih menunggu.

“Begini ya, bapak punya cerita. Ada seorang ayah yang menyuruh anaknya mengambil satu gelas air dan garam. Kemudian, ia meminta kepada anaknya untuk mencampurkan air tersebut dengan garam. Setelah diaduk, tentu rasa air di dalam gelas tersebut asin. Namun, ketika si ayah meminta anaknya menuangkan garam bergoni-goni ke dalam sebuah kolam. Tentulah, air tersebut belum dapat dipastikan rasanya asin” gaya penjelasan yang selalu pak dosen gunakan; memberikan peserta didiknya sebuah pemahaman.

“Jadi, bagaimana cara mengatasi berbagai macam persoalan dalam hidup adalah seperti cerita yang bapak sampaikan tadi. Garam diiibaratkan dengan masalah, sedangkan ruang atau tempat yang digunakan adalah hati kalian. Jikalau hati kalian kerdil, seperti gelas, maka setiap masalah yang datang menghampiri kalian akan terasa berat; akan terasa asin. Ketika hati kalian luas, seluas kolam itu maka berapa banyakpun masalah yang datang menghampiri kalian, kalian takkan merasa terbebani. Gampang kan?” bapak melemparkan pertanyaan kepada kami, dengan ekspresinya yang khas, menaik-naikan alisnya dan memainkan matanya dengan sorotan yang tajam diikuti dengan perkataan “gampang, kan?”; berulang-ulang. Membuat seisi kelas tertawa kecil.

“Contohnya, gini ya. Ketika kalian tak berhasil mendapatkan nilai terbaik, sementara teman kalian yang selalu membutuhkan penjelasan dari kamu –cenderung kurang pandai dan terkesan agak malas− mendapatkan nilai terbaik. Jangan kalian sedih, jangan kalian benci. Biarkan saja, luaskan hati kalian. Jangan selalu melihat sesuatu itu dari angka, terkadang kamu harus melihat dari sisi lain. Apalah arti sebuah nilai, kalau kita tak mampu bertanggung jawab atasnya” perasaan yang sering menghantui para mahasiswa, nilai yang tidak memuaskan –cenderung buruk−.

“Jangan juga yang mendapat nilai bagus berbangga diri. Kasihan teman kalian yang tak berhasil mendapatkan nilai yang baik. Jangan kalian pamerkan nilai kalian padanya. Menangis nanti dia, ba’a ko caro?” dengan logat Melayu pak dosen.Kami meringis geli.

“Bapak serius, nih. Jangan, ya? Nanti kalian bawa kemana-mana nilai A yang menurut kalian baik itu. Sakitlah hati yang dapat nilai C. Beginilah, kalian sembunyikan saja nilai A itu, dan ketika ia bertanya intipkan saja kertasnya sedikit. Lalu ucapkan begini: “Aku kebetulan saja dapat nilai A, seharusnya kamu yang berhak mendapat nilai A, bukan aku”. Dengan begitu, ia tak begitu sedih. Lain halnya, ketika kamu mengatakan begini: “Itulah kamu malas belajar, wajarlah nilai kamu C. Aku kan rajin, jadi wajar kalau dapat nilai A”. Jangan sekali-kali mengatakan hal semacam itu; itu akan melukai. Bisa jadi, sepulang dari perkuliahan dia bakar nilainya dan mogok makan. Kan ndak lucu, luaskan hati kalian; jangan sedih melihat orang bahagia, dan jangan pula sebaiknya” riuh tepuk tangan diakhir penjelasan −selalu begitu− pak dosen berhasil membangkitkan semangat peserta didiknya.


“Luaskan hati kalian dengan banyaknya garam-garam kehidupan yang datang, serahkan pada yang Kuasa. Masalah apapaun, dengan siapapun, dapat diselesaikan dengan jalan keluar yang baik” penambahan sedikit di akhir, menutup mata kuliah sore itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar