Ini bukan persoalan
hitung-hitungan atau sekedar pelajaran matematika yang sangat menyulitkan. Ini
sekedar tulisan sederhana yang ingin di bagi dan di sebarluaskan, semoga virus
kebaikannya segera menyebar :))
Suara adzan
berkumandang, sore keabuan itu. Udara menjadi basah, merengkuh hangat yang
sejak siang tadi hadir. Terlebih badan dilumuri air wudhu, dingin sekali.
Segera menempatkan posisi untuk menunaikan hutangku pada Rabb. Setelah
melunasinya, aku dengan cekatan memadankan kemejaku dengan sebuah rok berbahan
levis dan melengkapinya dengan kerudungku. Lalu, berangkat ke kampus bersama
temanku; pemilik kos. Maklum kala itu, aku sedang menumpangkan sisa waktu
luangku, menuju pergantian mata kuliah sore ini di kostnya.
Seperti biasa, kami
menanti sang dosen tiba. Menanti jam-jam sore terhabiskan bersama ilmu.
Sekitaran beberapa menit menunggu. Tak lama kemudian, terdengar suara klakson
sang dosen dan disusul dengan penampakan mobil cantik berwarna putih itu.
Bergegas masuk ruangan.
Suasana yang sedikit
abu, ditambah riuh angin yang semilir itu mengajak mata-mata nakal ini menutup
secara serantangan. Kalau sang dosen tak mampu menyiasati, mungkin seisi kelas
habis terbawa mimpi.
Kelas mulai
berseru-seru, kala pemandu memulai sesi bertanya. Kebetulan, ada persentasi kelompok
hari ini. Bergilirlah pertanyaan-pertanyaan di terima; lalu sesaat kemudian
dijawab dengan cekatan oleh regu ahli. Hingga akhirnya, sang dosen turun ke
lapangan. Mengikutkan diri seraya menyampaikan jurus-jurusnya dalam setiap
pembelajaran. Kali ini temanya adalah berhitung.
“Begini, ada hal yang
ingin bapak sampaikan kepada kalian. Coba dengarkan ini, yaa” pinta pak dosen,
untuk segera memulai ceritanya.
Cerita ini mengisahkan
si putih dan si hitam. Mereka berdua saling bersahabat; dengan baik. Si putih
diberikan anugerah kecerdasan yang luar biasa, sedang si hitam tak memilikinya,
ia terlihat agak bodoh (tidak pintar) dibanding si putih. Si putih tinggal di
padepokan; tempat untuk menuntut ilmu. Ia juga terkenal dengan siswa kesayangan
sang guru karena kecerdasannya.
Suatu hari, si hitam
menghampiri si putih. Si hitam mengajak si putih bertaruh. Ia membuat semacam
sayembara; jika nanti si hitam kalah, ia akan memenggalkan kepalanya. Dan jika
si putih yang kalah, ia harus meninggalkan padepokan.
“Si putih, percayakah
kamu 6x6=37?” tanya si hitam.
“Tidak, itu jawab yang
salah. Jawaban yang benar adalah 36” jawab si putih dengan kecerdasannya.
“Mana mungkin, jawaban
yang benar adalah 37” si hitam mulai mengeras.
“Aku sudah belajar
sejak lama, dan aku tidak pernah salah. Jawabanku selalu tepat. 6x6 adalah 36”
si putih memperjelas.
“Aku tidak percaya,
jawabanmu salah. Jawabannya tetap 37!!! Kalau pun aku salah, biarlah aku
penggal kepalaku sendiri. Dan kamu, jika kamu kalah, angkat kakimu dari
padepokan ini!!” ancam si hitam.
“Janganlah, kawan. Tak
perlu korbankan nyawamu demi hal yang sepele ini” si putih mencoba menenangkan.
“Biarkan saja. Lebih
baik kita temui guru di padepokanmu” lanjut si hitam.
Sesampainya, di sana.
“Guru, guru, guru”
panggil si putih.
“Iya silahkan masuk,
dan duduklah. Ada apa si putih?” tanya guru itu.
“Begini guru, teman
saya mengajak saya bertaruh. Ia mengatakan bahwa 6x6 adalah 37. Dan ia
mengancam akan memenggal kepalanya jika jawabannya salah. Padahal saya sudah
melarangnya, namun ia tetap bersikukuh. Sedangkan, jawaban yang tepat adalah
36. Bagaimana ini guru?” penjelasan si putih.
“Sudahlah, yang kita
ingin tanyakan adalah berapa hasil dari 6x6?” si hitam memotong pembicaraan.
“6x6 adalah 37,
muridku” jawaban dari sang guru yang memancing kemarahan si putih.
“Apa? Bagaimana mungkin
6x6 adalah 37? Padahal aku mempelajarinya dengan baik, bahwa 6x6 adalah 36,
seperti yang pernah guru sampaikan. Guru membohongi aku, aku sangat kecewa.
Baiklah kalau begitu aku akan pergi dari padepokan ini, dan tidak akan kembali
lagi. Guru mengkhianati aku” kekesalan si putih atas jawaban yang diterimanya.
“Baiklah, muridku jika
itu permintaanmu. Pergilah. Tapi tolong dengarkan satu pesanku padamu. Jika di
perjalanan nanti ada badai, janganlah kamu berteduh di bawa pohon beringin.
Nanti kau akan ikut terbelah seperti pohon itu. Juga jangan berteduh di bawah
pohon kelapa, nanti kau akan ikut tercabut seperti pohon itu” pesan sang guru.
Dengan perasaan yang
kesal si putih pergi, sementara itu si hitam sangat bahagia, bahwa ternyata ia
tak bodoh. Setelah mendengar jawaban dari guru, ia dengan perasaan gembiranya
meninggalkan padepokan.
Sementara, si putih
terus berjalan menjauh dari padepokan itu, makin jauh. Hingga terhenti pada
saat badai menghampirinya. Sesaat kemudian, ia segera mengingat pesan dari
gurunya. Benar saja, ia melihat pohon kelapa itu terbelah dan juga melihat
pohon beringin terangkat oleh angin yang dahsyat itu. Setelah kejadian itu,
barulah ia sadar. Bahwa guru tidak akan pernah berbohong, guru tak akan mungkin
berkhianat.
”Mungkin benar, 6x6
adalah 37. Lebih baik aku pulang ke padepokan” keputusan yang diambil si putih.
Sesampainya di
padepokan, si putih mencari sang guru. Dan tak berapa lama, ia menemukannya.
“Maafkan, saya guru.
Mungkin saya salah ketika mejawab pertanyaan si hitam tadi. Bahwa 6x6 adalah 37,
bukan 36” si putih meminta maaf karena keegoisaannya.
“Tenanglah, nak. 6x6
memang 36” jawaban sang guru yang berhasil membuat si putih terperanjat.
“Jadi?” dengan perasaan
bingung si putih hendak meminta alasan yang pasti kepada gurunya.
“Begini, nak. Tak
selamanya nilai keadilan berada di atas hitam-putih. Ada saatnya, keadilan berpihak di pihak yang
salah, namun karena alasan tertentu. Lihatlah, si hitam pergi dengan wajah yang
sangat gembira, setelah mengetahui jawabannya tepat. Lalu, bagaimana keadaannya ketika, aku menjawab 36?” penjelasan
yang memberi sedikit pencerahan atas kebingungan si putih.
Si putih hanya terdiam.
“Seandainya, aku
mengatakan 36. Ada seorang sahabat yang akan terbunuh, apakah itu yang disebut
dengan keadilan? Bukalah matamu, nak. Tidak ada nilai keadilan yang bisa
membunuh persahabatan yang tulus diantara kalian. Terlebih, masalah ini hanya
sepele. Seharusnya, kau lebih mampu mengendalikan egomu. Bukan aku tak
memperlakukanmu secara adil. Karena jawabanmu yang menurutmu tepat itu dan
memang sebenarnya tepat. Namun, tidakkah kau memedulikan sahabat yang tadi berada
di sampingmu, yang nyawanya sedang terancam? Aku hanya ingin kau mengerti, apa
sebenarnya makna keadilan. Bahwa, 6x6
adalah 37, dan satu diantara angka itu adalah satu nyawa sahabatmu yang terselamatkan.
Tepuk tangan meramaikan
di akhir cerita, sempat ada sedikit keributan di awal karena persoalan
6x6 itu. Namun, setelah berada di akhir cerita ternyata 37 adalah penambahan satu angka dari nyawa sahabatnya yang berhasil selamat dari hal yang sepele itu. Ada pelajaran yang dapat diambil, menurutku: dalam
menyelesaikan atau pun menyimpulkan suatu hal janganlah menilai hanya dari satu
sudut pandang saja, cobalah tengok ke arah lain. Siapa tau, kita yang teramat
sombong dengan keputusan yang kita
angggap benar itu. Tak selamanya kita salah, dan sebaliknya. Karena kebenaran yang hakiki hanya datang dari Allah.
Yuk tetap bersyukur atas nikmat Allah, selamat beraktivitas ^^
Yuk tetap bersyukur atas nikmat Allah, selamat beraktivitas ^^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar