Jumat, 26 Februari 2016

Kunjungan Nurani


Oleh Lisma Nopiyanti
(Ditemani senandung Haddad Alwi feat Farhan - Ibu)

Assalamu’alaikum hutang menulisku. Malam ini, aku berusaha untuk menyelesaikannya satu per satu. Malam ini, ceritaku berkisah tentang kunjungan yang agendanya sungguh dadakan.
***
Siang selepas salat Jumat berjamaah berakhir, aku, Lisda, Rizka, juga si Dika memutuskan kunjungan ini. Memang udara tak terlalu terik, namun kegiatan menunggu membuat kami jadi kering. Berjam-jam menanti kedatangan tetua regu kami kala itu, Firadika (atau sebut saja ‘Dika’). Aku, Lisda, juga Rizka terus mengeja satu per satu motor yang lalu lalang di hadapan kami. Perjanjian yang sudah terulur entah berapa jam.

Sabtu, 13 Februari 2016

Seratus Dua Puluh Hari


Stasiun ramai pagi ini. Pelantaran sesak karena antrian calon penumpang. Berdesak-desakkan mencari tempat teduh. Anak-anak pedagang asongan hilir mudik menjajakan minuman, tak peduli hujan menitik dengan derasnya di luar. Tak lama, suara kereta datang, bersahut-sahutan peluitnya. Penumpang dengan kaki-kaki lincahnya berduyun-duyun memenuhi kereta api kelas ekonomi itu −begitu antusias− selepas pemberhentian yang dilakukan masinis.

Stasiun Jatinegara
Ding dong.. Kereta Jurusan Jakarta-Bogor akan segera berangkat. Di mohon agar para penumpang bersiap-siap.
“Percepat langkahmu, Mid! Sebentar lagi kereta berangkat. Tetap pegang tanganku!” Terlihat laki-laki dewasa berkulit sawo matang berlari bersama adik laki-lakinya menerobos keramaian penumpang yang hendak masuk ke dalam kereta. Keduanya kepayahan berlari mencari celah. Keringat mengalir pelan.

Berkat usaha sang kakak, mereka berdua mendapatkan jatah kursi. Laki-laki pemilik wajah bersahaja itu memilih kursi urutan ketiga persis di dekat jendela. Badannya sungguh tegap −nampak berisi. Rambutnya hitam ikal tertutup Beanie Hat –kupluk; sejenis topi rajutan yang tepat digunakan saat hawa dingin atau musim hujan. Sama seperti hari ini, musim hujan di bulan Desember sudah menyapa. Hujan dengan ramahnya turun. Beruntung, stasiun tidak banjir. Hanya membuat sekitar basah saja. Hawa dingin mulai berdomisili di kereta ekonomi itu. Sesekali kaca jendela berembun. Tiba-tiba, tangan laki-laki itu terangkat, semakin mendekati kaca di jendela. Diukirnyalah tulisan sederhana dengan telunjuknya. Sebentar-bentar dihapusnya. Mengukir lagi, dihapus lagi. Ada rasa sesak yang segera memenuhi dadanya. Ia mengukir lagi: Elina.