Senin, 20 April 2015

Veteran di Negeri Peradaban Sampah

"Lari-lariiiii. Sebentar lagi kita yang akan dimakan" suara bersahut-sahutan memecah pagi menanti sang siang.

"Apalagi? Ada apalagi? Semalam beberapa kedai ludes diperapian. Sekarang? Rakyat kecil tunggang-langgang" seorang mantan veteran yang tengah asyik mengais sampah; memperuntukkan nasib lewat botol-botol  air mineral bekas.


"Entahlah pak, saya juga tidak mengerti" mengais sampah
yang sama.

"Beginilah nasib 'wong cilik', nak. Termaki hinaan para bangsawan. Disiksa, dipecut, dicekik dengan berbagai macam keputusan kuasa mereka. Sebenarnya, bapak bisa mengutuk mereka!!" Nada mantan veteran meninggi, dadanya penuh sesak. Kekesalannya terhadap kaum bangsawan (baca: pemerintah) telah memenuhi ruang-ruang di dadanya.

"Mengutuk???"

"Iya, mengutuk gelagat kurang ajar mereka!!! Mereka menelantarkan rakyat-rakyat yang menaruh harap padanya. Rakyat kecil seperti kita ini. Sudah terlalu besar harapan kita akan perubahan yang damai" dia membanting karung berisi sampahnya disebelahku. Menurutku, ia mungkin tengah menyesal, dulunya telah membela negara ini; yang pada akhirnya menyia-nyiakan orang hebat seperti dia.

"Panas? Kau tau nak?" sambil melempar peluh.

"Kenapa pak?" aku mengipas-ngipaskan topiku, berharap ada angin yang mengobati.

"Ini akibat ulah mereka. Mereka tegakkan bangunan-bangunan canggih ini. Akibatnya, udara tercemar. Dan rakyat makin sakit. Aku tak mengerti mengapa negara ini begitu asing dimataku, nak. Dulu aku berjuang demi kemerdekaan. Penderitaan kami rasa bersama, namun setelahnya kami berjalan sendiri. Bahkan aku terbuang di peradaban sampah semacam ini" kerutan diwajahnya semakin jelas; matanya memerah. Seakan ada air yang ingin mengalir dipelupuk matanya.

"Bapak menyesal memerdekakan negeri ini?"

Mantan veteran itu menepuk lenganku; sedikit keras. Hingga alat pengais sampahku terjatuh.

"Kamu gila? Siapa yang akan memberi jaminanmu, bisa aman mengais sampah-sampah di tempat ini kalau negeri ini masih terjajah? Jangan menyalahkan kejadian sejarahmu itu!!! Yang ingin kusampaikan padamu hanya...

"Lari-lari, ada razia. Razia. Raziaa!!!" rakyat kecil mendengus kesal, meneriaki kawanannya disepanjang jalan yang tengah asyik berjubel, menjual dagangannya.

Aku tekocar-kacir, terpisah. Hanya terdengar sayuh-sayuh.

"Aku hanya ingin para bangsawan bersikap sederhana dan mau mendengar rakyatnyaaa.." suara itu makin menghilang. Aku berlari sekencang-kencangnya, mencari tempat persembunyian. Walaupun kenyataannya aku takkan ditangkap. Aku bukan penjual-penjual bandel seperti mereka. Bersikukuh berdagang dipinggir jalan.

"Tangkap kami, tangkaaaaap manusia laknat!!! Lebih baik kami berdagang memenuhi jalanan daripada kalian, kaliaaaaann.. berdagang dengan harta haram. Menjajahkan kekayaan negeri dengan bejat!!!" suara penjual bandel lagi. Dari tempat ini terdengar jelas suara mereka. Aku tetap bersembunyi dari serangan sekutu-sekutu bangsawan.

Negeri Peradapan Sampah, 14 April 2015

-Lisma Nopiyanti

Tidak ada komentar:

Posting Komentar