Senin, 25 Januari 2016

Ruang Gelap

Apa yang bisa dilakukan ketika mati lampu, selain pasrah? Berkicau pun takkan terdengar. Lebih baik tenang.
Apa yang bisa dilihat ketika mati lampu, selain gelap? Menyala lilin pun tetap remang. Nasi di dalam piring tak berlauk pun tak jua tampak.
Apa yang bisa didengar ketika mati lampu, selain suara nyamuk? Berdenging. Dari telinga kiri ke sebelah kanan. Lalu berperang. Perang sendiri. Musuh tak jua nampak.
Apa yang bisa dilakukan ketika mati lampy, selain bersyukur? Yaa, mungkin ada rencana baik Allaah yang tak kita tahu dari terang yang menjadi redup ini.
Selamat menikmati peperangan ini..
Teruntuk nyamuk,
Ini raket listrikku! Haaaaayaaaaaa!
Peletusan di sana- di sini..

Pekanbaru, 22012016
Di ruang gelap bersama pasukan nyamuk~

[Story Blog Tour] Sepenggal Harap

Ini adalah Challenge menulis OWOP (One Week One Paper), temanya STORY BLOG TOUR. Di mana member lain yang sudah diberi urutan absen melanjutkan sesuai imajinasinya di blog pribadinya. Aku, Lisma, mendapatkan giliran untuk membuat episode ketiga dalam serial story blog tour ini.

Bismillah. Inilah episode keduanya. Yuk, dinikmatin aja ceritanya. Walaupun banyak kekurangannya.. Mariii~

Mengakhirinya dengan salam ke kiri. Lelaki tua itu beranjak dari duduk tahiyatnya. Konsentrasinya gugur. Tepukan yang mendarat dibahunya, membuatnya mengingat sesuatu. Segera mata tuanya berputar bebas; mengelilingi sudut ruangan. Hampa. Ia tak menemukan siapa-siapa.

"Siapa yang menepuk bahuku?" Bisiknya lirih.

Lelaki itu menyeret kakinya keluar. Mengintai lagi di sekeliling Surau.

"Siapa di sana? Ada perlu apa?" Suara lelaki itu memecah keheningan subuh. Berteriak semampunya.

"Kemarilah! Apa yang kau inginkan?"

Harap tak berbalas apa-apa. Tersisa kehampaan. Pagi yang basah itu, sesak semakin menggerutu. Rindu semakin menghayut.

***

"Lebih baik aku pergi, Kang. Tolong jangan cari aku lagi. Kau tak bisa lagi menepati janjimu. Pernikahan ini akan sia-sia. Kau gagal menjadi imam untuk keluarga kita. Tolong jangan pernah, jangaan pernah cari aku lagi." Isak-tangis menguasai hati perempuan itu. Menutup kesempatan untuk setiap pertemuan adalah jalan terbaik. Kehadirannya sebagai istri hanya menyisakan beban berkepanjangan.

Lelaki bermata sayu itu berlari, "Marni, jangan lakukan ini! Kau tak boleh mundur. Selamanya aku akan berusaha. Tolong beri waktu untuk memperbaiki hidup kita. Tolonggg, Marniiiiii."  Kakinya gemetar. Sebentar lagi kakinya akan roboh.

"Maafkan aku, Kang. Ini demi kebaikan kita. Ku mohon." Marni membalikkan wajahnya. Basah tertumpah air mata. Pagi yang basah itu, Marni merobohkan harapan Kardi.

Semenjak hari itu, Kardi menambatkan hatinya pada Surau tua itu. Adzan yang dikumandangkan setiap harinya menenangkan jiwa. Selanjutnya, kebahagiaan itu akan datang bersamaan dengan dua atau tiga langkah jamaah yang datang mendekati Surau. Bahagia. Ada barisan yang siap di belakangnya sebagai makmum, walau dalam jumlah yang sedikit.

Allahuakbar.... Allahuakbar....

Sahutan adzan terdengar kembali di telinganya. Kardi tersadar dari lamunan lirihnya. Buru-buru mengambil agenda yang sama. Lelaki itu menarik nafas, mengambil alat pengeras suara, pada rak kecil di sudut Surau. Melirik sekililingnya lagi,  tetap setia dengan keyakinan bahwa suatu hari panggilan shalatnya di tanggapi oleh penduduk dusun. Adzan terdengar lagi. Adzan yang terdengar serak, seperti hari-hari kemarin, kemarin lusa, dan kemarin-kemarin lagi. Subuh bertukar senja, senja melarutkan malam, namun barisan tetap sepi. Akan tetap sepi.

Namun, bagi Kardi khusyuk yang didatangkan pada malam syahdu, setiap hari di pertigaan malam adalah obat penipis rasa sepi. Mengobati segela keresahan yang menyakiti; mencari ketenangan pada Dzat yang Maha Sempurna. Berharap segala luka-duka terhapus perlahan. Dengan mata berbinar, cahaya penuh harapan, Kardi mengadahkan tangan. Menumpahkan asanya yang luluh berkeping.

"Duhai Dzat yang Sempurna, tak ada lagi sungguh tempat bergantung. PadaMu, untuk kesekian kalinya, kuharap Engkau sudi mengijabahnya. Aku tahu, aku tak berhak mengharap hadiah padaMu. Aku hanya ingin diberi kesempatan menikmati shalatku tidak sendirian.... Aku ingin, SurauMu ramai pengunjung...." Nafas Kardi tersengal.

"Aku ingin hadiah itu... Sebelum tiba waktuku. Dan... Berilah aku kesempatan menemui istriku.... Walau aku tahu, dia tak menginginkan kehadiranku. Beri aku jalan..." Kardi membasuh wajahnya yang mulai basah. Rindu yang tak terperikan tengah menyiksa batinnya.

"Assalamu'alaikum, Pak." Suara salam itu menyentuh telinganya. Membuat duduknya tak lagi manis.

"Kali ini di sepertiga malam. Siapa yang sebenarnya ingin bertemu denganku?" Bisik hatinya.

Nantikan kelanjutannya...


Jumat, 15 Januari 2016

Berburu Santan (Part. 1)

Pagi ini, menjelang jam-jam perkuliahan dimulai. Aku dan Lisda diributkan dengan aktivitas yang menyesakan dapur, apalagi kalau bukan perkara memasak. Yap, kebetulan jadwal kuliah hari ini tak dikejar deadline pagi buta. Lumayan, jadwal semacam ini bisa digunakan untuk sarana berhemat. Mempersiapkan bekal dan mengurangi pengeluaran uang bulanan. Sederhana.

“Ma, hari ini kita masak labu siam disantan putih saja.” Lisda sebagai juru masak mulai mengatur siasat.

“Nah itu juga boleh. Aku sih, oke.” Aku menyetujui siasat itu.

“Eh, tapi santannya?” aku buru-buru melemparkan pertanyaan itu, ketika menyadari persediaan santan sudah tak ada lagi.