Jumat, 18 Maret 2016

The Power of Qada (Diary 1)

Diary 1

Ken. Aku memulainya dengan nama itu. Itu nama yang Tuhan sematkan pada diriku. Simple memang, tapi sungguh kisahku tak se-simple itu. Sungguh.

Perkenalan. Sungguh itu kesan pertama yang seharusnya diabadikan dengan manis. Apalagi memaknainya dengan mata yang lain. Mata yang hanya bisa dilihat dengan batin. Perkenalan semacam ini akan lebih menyulitkan. Karena banyak maksud yang harus aku jabarkan setelahnya. Kuharap hati tetap baik-baik saja.

***

"Kau percaya kebetulan, Ken?" Eno menyikutku.

"Percaya." Aku tetap setia meratapi sisa uang belanjaku. Persediaannya makin menipis. Padahal minggu ini belum berakhir.

"Alasannya?" Eno menatap tajam.

Aku menatapnya balik, "Alasan? Aku tak butuh alasan. Karena kebetulan itu sama saja dengan ketidaksengajaan. Jadi, kenapa aku harus punya alasan untuk hal yang tak pasti?"

"Aduh.... Ceritanya, aku lagi yang harus ngalah." Eno mengeluarkan sesuatu disakunya.

"Coba kau lihat ini." Eno menjulurkan tangannya.

"Ini?" aku merampasnya pelan.

"Kau pasti tak mengenalnya? Manusia cuek sepertimu pasti alergi sesuatu yang baru, bukan?" Eno mengernyit.

Aku menutupnya. "Aku tak tertarik, menceritakan benda semacam ini."

"Lho, aku belum selesai bicara. Kau mau kemana?" Eno buru-buru bersiaga. Ia berusaha melarangku untuk bergegas meninggalkannya.

"Ada yang lebih penting dari kondisi keuanganku yang makin menipis? Kalau tidak ada, lebih baik berhembus dari tempat ini." Aku tak suka dengan cara Eno, mengapa 'dia'?

Terik mentari siang itu, memisahkan aku dan Eno. Bagiku, pembicaraan tentang kebetulan adalah hal paling 'absurb sedunia'. Isi kepalaku masih penuh. Semuanya berdesakkan. Tak maukah dia lebih mengasihi otakku?

"Aduh....Bingung juga kalau gini ceritanya. Coba ada Eno. Aku bisa tukar pendapat." Aku tengah menepi di sebelah ruangan ber-AC. Pengumuman yang terpajang di layar membuatku harus menambah isi kepalaku (lagi).

Mataku masih berpedar, memata-matai Eno. Mana mungkin dia bisa meninggalkan aku dalam waktu yang lama. Seharusnya, dia sudah berada di sampingku. "Kemana si Eno?" kepalaku masih setia berkeliling menatap sekitaran.

Sekarang mataku berhenti. Tepat lurus di hadapanku. Ada puluhan langkah ke depan. Ada yang berusaha menuju ke arahku. Aku menatapnya jelas. Sayang, panggilan Eno menghentikan tatap itu. Aku kehilangan jejaknya. Kebetulan yang semacam inilah yang sering menuntut pengorbanan dan kerja kerasku. Baiklah, aku maafkan.

"Ken! Ken!" Eno melambaikan tangannya. Nafasnya tersengal.

Belum sempat berkata apa-apa, wajahnya sudah penuh dengan kertas pemberitahuan milikku. "Ini rasakan!" aku sengaja menutup wajahnya. Itu balasan untuk keterlambatannya.

"Apa yang kau lakukan, Ken! Kau merusak kerudungku. Lihat!" Eno menunjuk-nunjuk kerudungnya, yang keadaannya memang tak pernah rapi. Ia ingin meminta pertanggungjawabanku.

"Berhenti menuntutku. Aku tak melakukan apa-apa dengan kerudungmu itu. Kau tak tahu, kau telah merusak rencanaku." Lagi-lagi aku harus berkelahi dengannya.

"Cukup! Ini kertas apa?" Eno menghentikan pertikaian siang itu.

"Ini jadwal tambahan kita. Ini tentunya akan menjadi minggu-minggu paling melelahkan." Aku menarik nafas dalam.

"Kelas baru lagi? Aduh harus penyesuaian lagi." Eno ikut-ikutan. Bahkan, ia terlihat lebih kecewa dibanding aku.

Aku dan Eno masih kesal menatap kertas pemberitahuan itu. Sementara, orang-orang yang berkebutuhan dengan dinding pemberitahuan itu segera menyesak. Mereka berduyun-duyun memenuhinya.

"Ken, lebih baik kita tinggalkan tempat ini. Kalau tidak kaki kita dalam masalah." Eno buru-buru bertindak.

Aku tahu, kakiku memang sebentar lagi atau beberapa detik lagi akan menjadi korban keganasan orang-orang yang antusias dengan informasi terbaru ini. Mereka akan menghantam kaki-kaki yang tak bermata lincah. Tapi, ada sesuatu yang membuatku masih bertahan.

"Tunggu dulu. Aku masih harus memastikan kita kelas berapa. Terus jadwalnya jam berapa. Sabar, Eno!" aku berusaha meyakinkan Eno. Setidaknya, Eno harus bertahan selama maksudku belum tertunaikan.

"Kita udah punya jadwalnya. Apalagi?" Eno menarik lenganku.

"Lepas! Jangan tarik! Menepilah, nanti aku menyusul." Suaraku termakan keramaian.

Tepat jarinya menunjuk nama itu. Aku sudah dibawa ke tempat yang berbeda. Eno menarikku lebih keras.

"Aku sudah mengakhiri perkenalan ini, Eno! Setidaknya, arti sebuah nama harus segera aku pelajari, setelah ini." Bisikku dalam batin.

Eno menatapku tajam, "Apa yang membuatmu bertahan di keramaian itu?"

(Bersambung)

Sabtu, 12 Maret 2016

Asal Mula Malming-Baper

"Kemana malming?" tanya Rebo kebingungan.

"Aku juga bingung, Bo. Coba kamu tanya Sebtu." Kemis sedang bersantai dengan tayangan kesayangannya.

"Gimana, Tu?" Rebo mencolek Sebtu yang sejak tadi murung.

"Untuk apa dicari, untuk apa ditunggu? Tidak penting!" Sebtu menggerutu kesal. Rencana indahnya bersama Pera gagal total.

"Loh? Kenapa?" Kemis ikut antusias.

"Aku tau, Pera lebih menyukai malming dibanding Sebtu, ya aku ini. Dia selalu menelantarkan aku. Tepatnya, hati dan perasaanku!" Sebtu memelas; hatinya sakit.

Suasana malam itu berubah menjadi hening. Rebo dan Kemis bingung. Seserius itukah arah pembicaraan Sebtu.

"Kenapa hening?" Sebtu mendelik.

Rebo dan Kemis menggeleng; acuh tak acuh.Memang tidak tau.

"Nah sekarang, kalian berdua masih juga bertanya 'kemana malming?' Lebih baik aku tidur, karena kalian tak mengenali aku, hati, dan perasaanku. Aku sakit. Katakan pada malming 'aku sakit'." Sebtu meninggalkan ruangan itu. Baginya bertanya tentang malming, hanya menambah rintikkan dukanya makin deras. Sama seperti malam ini, hujan menjatuhkan ribuan pasukan air. Jatuh mengalir di atap rumah petak Rebo, Kemis, dan Sebtu.

***

Sebtu mengurung dirinya. Mengurung kebahagiaanya makin dalam. Amarahnya sudah mengepul bebas. Ibarat asap, hasrat amarahnya sudah membumbung parah dan pekat di angkasa.

Malam ini, ia ingin melemparkan serapahnya pada gemuruh. Agar semesta tau, dia tengah berduka. Agar semesta mau membalaskan sakit hatinya. Kepada kekasihnya yang lalu. Kepada sahabatnya yang kini sebentar lagi akan menggantikan posisinya di pelaminan.

"Oh gemuruh... Bisakah kau membantuku? Bisakah kau hadiahkan kutukan ini pada mereka? Jika memang cinta diantara keduanya adalah cinta sejati, maka biarlah aku menikmati hari-hari bebasku, hari libur untuk semua dukaku! Bantu aku melupakannya!" Sebtu menatap langit yang sesekali terang karena bertemu kilat. Dia berharap, keikhlasan hatinya akan menghadirkan kebahagiaan yang lain. Tetap berharap kebaikan untuk orang lain, untuk Pera juga sahabatnya.

Sementara itu, Rebo dan Kemis sudah asyik mencuri rintihan hati Sebtu di balik pintu kamarnya. Mereka tau, luka Sebtu bukan sebuah candaan yang bisa dijadikan bahan hiburan.

***
Tiba-tiba, terdengar suara salam seseorang.

Rebo dan Kemis berburu. Berebut ingin membuka pintu.

"Biar aku, Bo." Kemis menghentikan langkah Rebo.

"Minggir! Biar aku yang membukanya!" Rebo pun berusaha menghentikan langkah Kemis.

Sementara itu, suara dibalik pintu masih berbunyi. Sekarang makin cepat.

"Rebo, Kemis, buka pintu! Aku basah kuyup!" suara dari balik pintu.

"Ah, sialan. Dia yang datang. Kukira delivery yang kita pesan." Rebo dan Kemis kecewa. Mereka kembali ke ruang tv. Menunggu tamu yang sebenarnya.

"Rebo, Kemisssssss! Buka pintunya!" sementara suara itu terus menerus berbunyi tanpa henti.

Sayang, Rebo dan Kemis sudah menyumbat telinga mereka dengan musik.

***

Tak lama kemudian, terdengar suara dentuman. Langkah yang gusar itu menuju suara yang berada di balik pintu. Pintu berdecit. Demi melihat seseorang di balik pintu itu, Sebtu berubah jadi gemetar.

"Tunggu...." suara itu benar-benar menghentikan langkah Sebtu.

"Berhentilah jika kau mencintai aku. Tolong, berhenti! Aku bisa menghentikan semua ini!" Itu suara Pera, iya itu suara Pera.

Langit kembali terang, pertanda genuruh akan datang. Sebtu sudah bersiap dengan serapahnya. Ini saatnya.

1...2...3... Glrrrrkkkkkk!

"Aku bersumpah aku akan bahagia dengan hari-hari bebasku! Kau bukan milikku. Kau hanya jodohnya!" Sebtu berlari, mengunci dirinya.

Di dalam kamar. Sebtu merenungi pilihannya. Setidaknya, dia yakin gemuruh akan mengabulkan permintaannya. Itu cukup membuatnya tenang.

"Aku takkan memaksakan kehendak Tuhan. Jika semesta tak mengharapkan aku bersamanya. Maka tugasku hanya bahagia bersama ketetapan-Nya. Aku, Sebtu, akan selalu bahagia. Aku bisa menikmati hari bahagiaku, berlibur dari luka. Aku bahagia! Walau kutau, hari ini, esok,  ataupun selamanya malming akan terus bersama baper. Aku rela!" Sebtu menutup malam itu dengan cinta tak terbalasnya.

***

Sementara, Rebo dan Kemis lagi-lagi terlambat. Mereka melepas penyumbat telinga mereka. Menemui tamu yang tak diharapkan tadi.

"Malming? Baper? Eh, Mbak Pera maksudnya?" Rebo dan Kemis pura-pura tak tau.

"Kenapa kalian tidak membukakan pintu untukku? Kau lihat aku sudah basah kuyup. Aku datang kemari, ingin mengundang kalian ke acara pernikahanku dan dia." Rebo dan Kemis baru menyadari kesakitan Sebtu yang sebenarnya.

"Lalu, bagaimana dengan Sebtu? Kau, kita ini sahabat. Mengapa kau memberinya hari-hari duka?" Kemis menatapnya tajam.

"Dia mencintai aku. Aku mencintainya. Dengan izin atau tanpa izin kalian pun, akan tetap menikahinya." Percakapan berakhir begitu saja. Menyisakan sunyi.

Rebo dan Kemis mengusap dadanya. Mereka tak percaya atas kenyataan yang hadir dihadapannya. Inilah luka yang tak berdarah itu. Menyakitkan sungguh.Mereka berusaha memanggil Sebtu; berkali-kali. Sayang tak berbalas apa-apa. Kamar Sebtu sudah hening.

Malam itu, ada banyak pertanyaan yang tak bisa dipikirkan keabsahannya. Pernikahan yang penuh kesakralan tetap terjadi. Tak peduli perasaan Sebtu. Tak peduli sakit hatinya Sebtu. Gemuruh sudah menjawab serapahnya. Bahwa benar mereka keduanya adalah cinta sejati. Dan cinta milik Sebtu adalah cinta sendiri. Sebtu kini berhak bahagia, berhak merasakan hari libur untuk semua dukanya. Karena bagi Sebtu mencintai Pera adalah kesakitan yang menyebabkan luka. Melepasnya pergi, itu pilihan terbaik.

Di hari itu... Resmilah pernikahan malming (Selamat Minggu) dan baper (Mbak Pera).

Itulah asal mula mengapa malam Minggu sering memunculkan baper. Mungkin inilah yang dinamakan cinta sejati (?)
Dan inilah juga asal mula mengapa hari Sabtu diidentikkan dengan weekend (Hari Libur). Ini karena serapah Sebtu yang dikabulkan semesta. Ia ingin libur dari dukanya, bebas. Dengan cara melepaskan sesuatu yang bukan takdirnya.

Just intermezzo~

Rabu, 09 Maret 2016

Gerhana Matahari (?)

"Bangun, gi! Banguuun!" suara itu meramaikan isi telinga Ogi. Sudahlah, hari libur pun sama dengan hari biasanya. Tiada hening yang didapatinya. Tetap saja riyuh gemuruh.

Tak lama, beberapa langkah makin mendekat. Mimpi Ogi makin indah.

"Astagfirullah, Gik! Banguuun!" tangan itu menepuk lengan Ogi keras. Menggoyahkan mimpi-mimpi indahnya.

"Mak, kenapa bangunkan Ogi sepagi ini? Mamak lupa ini hari apa?" Ogi mengucek matanya. Mata yang masih nyaman dengan mimpi-mimpinya.

"Kau kira mamakmu ini tak pernah sekolah? Mamak tahu ini tanggal merah!" Muka mamak mengerut. Nadanya agak meninggi.

"Nah itu tahu," Ogi membulatkan mulutnya. Dia benar-benar ingin melanjutkan tidurnya.

"Ogi, kau lupa dengan tugasmu? Ayo, bangun!" mamak masih berjuang. Berharap anak bujangnya bangun.

Demi mendengar suara itu, Ogi terperanjat. Matanya terbelalak hebat. "Tugas?"

"Iya, tugas gerhanamu." Sekarang mamak yang terlihat senang. Dia sadar, Ogi dalam masalah besar.

Ogi melirik jam yang menggantung di dinding kamarnya. Menatap lamat-lamat angka yang ditunjukkan jarumnya.

"Mak! Ini jam.. Aduh, mak. Ogi harus apa, mak?" Ogi menggaruk kepalanya yang gatal. Menggaruk-garuk lagi. Ogi merengek, ketakutan. Khawatir tugasnya mendapat nol besar.

"Mamak sudah bangunkan kau berkali-kali. Kau hanya berkata 'Nyepi, mak. Nyepi, mak.' Mamak kira kau sudah bangun." Mamak cengingisan melihat anaknya meringis ketakutan. Ogi, anak berseragam putih-merah yang menggemaskan.

"Mak, tugas gerhana Ogi gimana, mak? Ibu guru pasti marah, mak. Ogi takut, mak." Ogi sudah bangun dari mimpinya. Benar-benar sadar.

Mamak tersenyum.

"Mak, nanti Ogi dimarah ibu guru, mak." Ogi makin gusar melihat mamaknya tersenyum diam.

"Mudah saja, Gi. Kita tunggu 30 tahun lagi. Bagaimana? Kau harus banyak bersabar, Gi." Mamak melanjutkan senyumnya.

"Mak, mamak mau Ogi tak lulus SD. Mak, Ogi tak mau jadi anak SD terus. Mak, tolong Ogi, mak!" Ogi menendangi bantalnya.

"Ogi, kenapa kau takut? Apa sewajib itu mengabadikan foto gerhana itu? Apa ibu gurumu tak berpesan lain?" mamak mendekati Ogi.

Ogi tertunduk lemas. Ia khawatir, tugasnya menjelaskan foto gerhana gagal diselesaikan. Ia takut tak bisa melanjutkan sekolah menengahnya.

"Dengar mamak ya, Gi. Sampaikan maaf mamak pada ibu gurumu. Katakan seperti ini: 'Yang wajib itu menunaikan salat gerhana bukan foto gerhana, bu.' Jadi, walaupun kau tak membawa fotonya, tetap saja, kau bisa menyelesaikan tugasnya. Mamak akan menjelaskan semuanya padamu." Mamak mengelus kepala Ogi. Menyalurkan energi positif.

Bagi mamak kekhawatiran anak seusianya memang adakalanya luar biasa. Baginya tugas dari guru adalah kewajiban yang harus dilakukan. Bahkan terkadang mengacuhkan apa yang dijelaskan orang tuanya. Karena bagi anak seusia Ogi, tugas adalah hutang yang harus dibayar sesuai dengan jumlahnya. Apa yang diucapkan gurunya harus dipenuhi secara sempurna. Sama persis, sesuai pesanan. Seperti resep obat yang harus ditebus secara tepat.

Ogi menekuk senyumnya. Hari Nyepi yang meliburkannya dari sekolah, membuatnya lalai akan tugasnya.

"Mak, kenapa kita harus salat, mak?" Ogi mulai antusias. Sejenak melupakan tugas gerhananya.

"Itu sesuai yang diajarkan Rasulullah, Gi. Kita diperintahkan salat, ketika datang gerhana. Bukan sibuk foto, ya!" Mamak tersenyum licik; menghardik Ogi.

Ogi membalasnya dengan senyum kecut.

"Sudah, jangan berkecil hati. Lihat ke dapur." Mamak menunjuk arah dapur.

"Mau lihat apa? Gerhana?" Ogi berdiri. Bersiap menghampiri dapur.

"Iya, kau akan menemukannya." Sekarang, mamak tersenyum manis.

Saat Ogi meletakkan kakinya di dapur.

Benar saja, ia melihat gerhananya. Begitu jelas. Di depan matanya.

Note:
Tulisan ini sengaja dibuat karena pengalaman adik bungsuku yang bingung harus berbuat apa dengan tugas foto gerhananya. (Just intermezzo)