Minggu, 26 April 2015

Cerpen: "Ifa Butuh Psikiater"

Ifa Butuh Psikiater

Oleh Lisma Nopiyanti
Ide cerita: Ifa, pelaku (nama disamarkan)


Siang ini, sebenarnya aku malas untuk mengingatnya lagi. Mengingat perasaan yang tak seharusnya hinggap di merah jambuku. Ini bukan cinta anak monyet. Ini lebih dari itu. Husss, pergi kamu! Aku ingin mengusir rasa itu jauh dan sangat jauh. Aku seorang mahasiswa Psikologi dan aku tak butuh psikater untuk mengatasi penyakit hatiku ini.

Langit begitu teduh kala pesan itu hadir.


“Kak Ifa...” si Eva memanggilku dengan semangat.

“Ada apa?” aku menaruh rasa ingin tahu terhadapnya. Karena bagiku, dia adalah salah satu pengantar informasi tentang rasa merah jambu itu.

“Tadi sepulang dari kampus, aku lihat beliau.”

“Lalu? Lalu kenapa?” aku sangat antusias menghendaki jawabannya.

“Di persimpangan jalan. Aku benar-benar bertemu dengannya.”

“Kamu bohong, va. Mana mungkin kamu bisa bertemu beliau.”

“Serius. Dia pake kemeja batik warna biru dongker?”

“Iya.” Itu benar sekali, sempat tadi pagi aku melihatnya.

“Dia hendak mengantar seorang perempuan cantik.” Kata-kata itu sedikit menghardikku.

“Biarlah, apa masalahnya?” aku mencoba biasa dan memang harus biasa.

Semenjak kejadian itu, aku semakin curiga. Entah itu pasangannya atau teman kerjanya. Tidak mungkin, dia pasti menantiku hingga aku mendapat gelar sarjana. Ayo, tetap tersenyum.

***
Pagi ini, aku masih asyik tersenyum. Pertemuan pertama kali itu membuatku sangat terkesan. Itu tepatnya pada hari ulang tahunku. Ia memakai baju berkancing (baca: kemeja) berwarna biru. Itu sungguh mengesankan. Semenjak pertemuan itu, aku semakin semangat pergi ke kampus.

Mahasiswa psikologi sepertiku tak perlu psikiater untuk mengobati masalahnya. Bahkan ia terlalu kuat untuk menghilangkan penyakit jiwa yang sering dideranya. Semestinya begitu.

Senyuman itu terus menghilang. Aku sekarang setengah sadar mengingat cerita si Eva. Itukah wanitanya? Aku menggeleng, tidak mungkin. Ia pasti menungguku. Tapi..

“Kak Ifa... Kak Ifaaaa...” suara si Eva lagi. Sekarang aku benar-benar malas bertemu dan melihat wajahnya setelah pengaduan kemarin.

“Ada apalagi?” jawabku malas-malasan sambil merapikan pakaian yang telah disetrika.

“Aku ada gosip baru loh. Pasti kak Ifa mau mendengarnnya. Ini ada hubungannya dengan beliau.” Aku malas mengiyakan, dan belum sempat aku membalas pertanyaannya, si Eva melanjutkan ceritanya.

“Tadi temanku si Johan disuruh mencatat?” jelas si Eva. Benar saja, cerita basi biasa.

“Tunggu dulu, mencatat daftar tamu undangan.” Sekarang aku yang malah jadi basi. Kata-kata itu dimuntahkan begitu saja.

Bagaimana mungkin, perjanjian itu? Perjanjian yang katanya ia akan menunggu aku. Eh, salah. Perjanjian yang seharusnya aku menunggu kamu. Aduh, kamu menunggu aku. Aku hanyut dalam perjanjian yang tidak ada itu. Aku makin hilang dan kerdil. Aku hanya berharap dan tak dibalas.

Segeralah ingatanku berlari menuju pembicaraanku bersama ibu beberapa hari yang alu via telepon. Mungkin ibu benar, aku hanya mahasiswa yang sakit. Sakit jiwanya. Atau lebih baik aku berhenti kuliah. Jurusanku tidak juga membuatku makin dewasa. Jiwaku beberapa bulan ke depan, tepatnya setelah pertemuan di hari ulang tahunku mengubah semuanya. Aku didera sakit merah jambu. Susah menjelaskannya kepada ibu. Ibu berkali-kali menolak ceritaku. Ibu terlalu khawatir aku akan kecewa. Bukan karena kekurangannya, namun kelebihan yang dimiliki beliau. Sungguh tidak mungkin, kata ibu padaku.

“Berhenti menantinya, atau seterusnya kamu butuh psikiater untuk mengobati penyakitmu itu” ibu menasehatiku. Ia tahu persis, anak perempuannya yang mulai dewasa ini tengah memikirkan pasangan hidupnya ke depan. Aku tahu itu lelucon yang lucu. Aku psikolog yang butuh psikiater, sangat mustahil.

Aku teringat lagi senyumnya yang menawan. Itu sangat menghiburku. Sesekali lewat di lorong kelas. Tersenyum, menyapa. Kepribadiannya. Ah, aku sungguh menaruh simpatik padanya. Ia memiliki kharisma yang tak dimiliki mahasiswa seangkatanku.

Ini puisiku untukmu. Aku sendiri yang menulisnya.

Merah tanpa ronanya
Hanya hiasan tak berasa
Ketika sepasang bola melirik ke sana
Teduh pandang tak menyapa

Baju berkancing biru
Mengenalkanku pada ke merah jambuan itu
Merah jambu yang tak jelas
Terkesan abu-abu

Melirik dalam keabu-abuan
Hanya memekatkan merah jambu yang menyala
Menepuk kesadaranku bahwa merah jambu hanya abu-abu

Meliriknya dalam merah jambu
Sebatas senja menemani sang surya
Hanya sebatas angkasa yang kelak merindukan bianglala

Kepada pemilik baju berkancing biru
Rasa merah jambuku kini telah abu-abu


Entah berapa nilainya kalau di beri kolom nilai. Jangan hiraukan. Ini bukan tugas yang harus dikumpulkan pada mata kuliah bahasa Indonesiaku. Ini perasaan cinta calon Psikiater seperti aku. Aku yang tengah diburu oleh perasaan merah jambu.

Segera telepon genggamku berdering. Ia memanggilku. Hai, ibuku yang bermaksud menghubungiku. Aku tersadar dari kekecewaan tadi. Ibu nampaknya sedang menelepatiku. Dengan mudahnya ia menebak perasaanku setelah pembicaraan tentang surat pernikahan itu.

“Apa yang tidak mungkin di dunia ini, bu? Aku hanya mengharapkan manusia yang sama sepertiku. Dia bukan malaikat juga bukan nabi. Kenapa ibu selalu menutup kemungkinan itu untuk anak perempuan ibu ini?” aku mulai beradu mulut dengan ibu, walau aku sangat malas untuk melafalkannya.

“Kemungkinan itu ada, sayang. Tapi setidaknya, matamu bisa mengukurnya. Logika yang ada bisa membuka matamu. Ibu hanya tak ingin anak perempuan ibu selalu disiksa rasa cinya itu” ibu malah berbalik menghardikku.

“Sudahlah, bu. Yang jelas dia yang selama ini aku cari, bu. Dia melengkapi semua kategoriku. Aku, aku.. Atau maaf bu, mungkin aku hanya butuh istirahat, bu. Assalamu’alaikum, salam untuk ayah dan adik” menutup telepon ibu dan tidur siang. Mungkin nanti setelah bangun tidur aku akan melupakan segalanya, masalah merah jambu ini.

***
Kali ini, aku tidak sedang tidur. Lebih tepatnya aku berkhayal. Berkhayal jika suatu waktu, Beliau datang menemui ayahku dan melamarku. Dan nanti ketika Beliau datang, disekelilingku penuh keramaian dan terdengar lagu itu: A Thousand Year. Aku pasti akan bahagia.

“Aduh, sakit!” kepalaku terkena pukulan.

“Kamu kenapa, Ifa? Senyum-senyum sendiri?” Rani melemparku dengan sebuah pena. Dia benar-benar menghancurkan khayalan indahku.

“Berhenti menggodaku, aku tidak ingin diganggu” aku cemberut dan menatapnya kesal.
“Sudahlah, jangan selalu diajak berkhayal otakmu itu. Nanti lama-lama sakit. Buang harapanmu jauh-jauh, Fa. Kamu masih ngotot memujanya. Hahaha percuma!” sekarang dia yang menghardikku.

Aku hanya diam. Dan membalikan badan memeluk bantal gulingku. Aku mentupkan bantalku hingga kepalaku sempurna tenggelam didalamnya. Mereka pikir, aku bercanda dengan perasaan ini. Mereka payah. Padahal, ini tentang mimpi besarku; berdamping dengan sang pangeran berkemeja itu.

Beliau menyebar undangan, kak.

Kata-kata itu selalu mengusik hari-hariku. Aku masih tidak percaya. Mana mungkin dia mengkhianati perjanjiaan itu. Jangan-jangan benar, hanya aku yang terlalu ambisius. Perjanjiaan itu hanya aku yang menyetujuinya tanpa sepengetahuan beliau. Aku benar-benar hanyut. Beberapa hari ini, akupun sedikit kehilangan selera makanku. Bukan karena patah hati seperti remaja kebanyakan. Aku hanya mengingat kata-kata ibu. Setelah informasi yang diberikan si Eva, aku sering bertemu dengan kata-kata yang terlontar dari bibir ibuku.

Kamu hanya mahasiswa, sedang dia dosen. Mana mungkin seorang dosen mencintai anak didiknya. Kamu masih sangat terlalu kecil, sayang. Mahasiswa semester empat. Lupakan dosenmu itu, dia hanya pembimbingmu dan tak lebih dari itu.
Benar apa yang dikatakan ibu. Lebih baik aku berlari sejauh-jauhnya dari perasaan yang kurang ajar ini. Lebih baik aku memikirkan pendidikanku yang lebih penting. Bukan mengurusi perasaan itu. Aku hanya mahasiswa. Sedang beliau dosenku. Dia pernah berjanji? Itu hanya akalku saja. Aku yang sering berbisik halus: Pak, tunggu saya lulus ya. Padahal, beliau tak pernah tau ada mahasiwa yang begitu mengaguminya. Semestinya, dari awal pertemuan perkuliahan itu perasaan ini harus cepat ku kunci. Aku terlambat. Biarlah pelan tapi pasti, aku akan berjalan meruntuhkan perasaan yang salah ini. Aku seorang psikolog yang jiwanya selalu bermasalah.

Ifa butuh psikiater, bu. Ifa butuh untuk mengobati perasaan ini; membuatnya kembali seperti semula. Maafkan, anak perempuanmu ini, bu. Ifa terlalu cepat untuk berbagi rasa ini. Seharusnya, Ifa memikirkan kebahagiaan ibu dengan gelar sarjanaku, bu. Bukan dengan mencari mantu yang baik dari sekarang, seperti yang ibu ucapkan dulu. Sekarang Ifa pasrahkan saja pada Allah, bu. Jodoh yang baik untuk seseorang yang  berkualitas. Perbaiki diri dan berceminlah. Allah punya rencana baiknya. Biarlah, sakit hati ini Ifa sembuhkan sendiri, walau Ifa butuh psikiater (mungkin). Aku terkekeh.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar