Ifa
Butuh Psikiater
Oleh Lisma
Nopiyanti
Ide cerita: Ifa, pelaku (nama disamarkan)
Siang
ini, sebenarnya aku malas untuk mengingatnya lagi. Mengingat perasaan yang tak
seharusnya hinggap di merah jambuku. Ini bukan cinta anak monyet. Ini lebih
dari itu. Husss, pergi kamu! Aku ingin mengusir rasa itu jauh dan sangat jauh. Aku
seorang mahasiswa Psikologi dan aku tak butuh psikater untuk mengatasi penyakit
hatiku ini.
Langit
begitu teduh kala pesan itu hadir.
“Kak
Ifa...” si Eva memanggilku dengan semangat.
“Ada
apa?” aku menaruh rasa ingin tahu terhadapnya. Karena bagiku, dia adalah salah satu
pengantar informasi tentang rasa merah jambu itu.
“Tadi
sepulang dari kampus, aku lihat beliau.”
“Lalu?
Lalu kenapa?” aku sangat antusias menghendaki jawabannya.
“Di
persimpangan jalan. Aku benar-benar bertemu dengannya.”
“Kamu
bohong, va. Mana mungkin kamu bisa bertemu beliau.”
“Serius.
Dia pake kemeja batik warna biru
dongker?”
“Iya.”
Itu benar sekali, sempat tadi pagi aku melihatnya.
“Dia
hendak mengantar seorang perempuan cantik.” Kata-kata itu sedikit menghardikku.
“Biarlah,
apa masalahnya?” aku mencoba biasa dan memang harus biasa.
Semenjak
kejadian itu, aku semakin curiga. Entah itu pasangannya atau teman kerjanya.
Tidak mungkin, dia pasti menantiku hingga aku mendapat gelar sarjana. Ayo,
tetap tersenyum.
***
Pagi
ini, aku masih asyik tersenyum. Pertemuan pertama kali itu membuatku sangat
terkesan. Itu tepatnya pada hari ulang tahunku. Ia memakai baju berkancing
(baca: kemeja) berwarna biru. Itu sungguh mengesankan. Semenjak pertemuan itu,
aku semakin semangat pergi ke kampus.
Mahasiswa
psikologi sepertiku tak perlu psikiater untuk mengobati masalahnya. Bahkan ia
terlalu kuat untuk menghilangkan penyakit jiwa yang sering dideranya.
Semestinya begitu.
Senyuman
itu terus menghilang. Aku sekarang setengah sadar mengingat cerita si Eva.
Itukah wanitanya? Aku menggeleng, tidak mungkin. Ia pasti menungguku. Tapi..
“Kak
Ifa... Kak Ifaaaa...” suara si Eva lagi. Sekarang aku benar-benar malas bertemu
dan melihat wajahnya setelah pengaduan kemarin.
“Ada
apalagi?” jawabku malas-malasan sambil merapikan pakaian yang telah disetrika.
“Aku
ada gosip baru loh. Pasti kak Ifa mau
mendengarnnya. Ini ada hubungannya dengan beliau.” Aku malas mengiyakan, dan
belum sempat aku membalas pertanyaannya, si Eva melanjutkan ceritanya.
“Tadi
temanku si Johan disuruh mencatat?” jelas si Eva. Benar saja, cerita basi
biasa.
“Tunggu
dulu, mencatat daftar tamu undangan.” Sekarang aku yang malah jadi basi.
Kata-kata itu dimuntahkan begitu saja.
Bagaimana
mungkin, perjanjian itu? Perjanjian yang katanya ia akan menunggu aku. Eh,
salah. Perjanjian yang seharusnya aku menunggu kamu. Aduh, kamu menunggu aku.
Aku hanyut dalam perjanjian yang tidak ada itu. Aku makin hilang dan kerdil.
Aku hanya berharap dan tak dibalas.
Segeralah
ingatanku berlari menuju pembicaraanku bersama ibu beberapa hari yang alu via
telepon. Mungkin ibu benar, aku hanya mahasiswa yang sakit. Sakit jiwanya. Atau
lebih baik aku berhenti kuliah. Jurusanku tidak juga membuatku makin dewasa.
Jiwaku beberapa bulan ke depan, tepatnya setelah pertemuan di hari ulang
tahunku mengubah semuanya. Aku didera sakit merah jambu. Susah menjelaskannya
kepada ibu. Ibu berkali-kali menolak ceritaku. Ibu terlalu khawatir aku akan
kecewa. Bukan karena kekurangannya, namun kelebihan yang dimiliki beliau.
Sungguh tidak mungkin, kata ibu padaku.
“Berhenti
menantinya, atau seterusnya kamu butuh psikiater untuk mengobati penyakitmu itu”
ibu menasehatiku. Ia tahu persis, anak perempuannya yang mulai dewasa ini
tengah memikirkan pasangan hidupnya ke depan. Aku tahu itu lelucon yang lucu.
Aku psikolog yang butuh psikiater, sangat mustahil.
Aku
teringat lagi senyumnya yang menawan. Itu sangat menghiburku. Sesekali lewat di
lorong kelas. Tersenyum, menyapa. Kepribadiannya. Ah, aku sungguh menaruh
simpatik padanya. Ia memiliki kharisma yang tak dimiliki mahasiswa
seangkatanku.
Ini
puisiku untukmu. Aku sendiri yang menulisnya.
Merah
tanpa ronanya
Hanya
hiasan tak berasa
Ketika
sepasang bola melirik ke sana
Teduh
pandang tak menyapa
Baju
berkancing biru
Mengenalkanku
pada ke merah jambuan itu
Merah
jambu yang tak jelas
Terkesan
abu-abu
Melirik
dalam keabu-abuan
Hanya
memekatkan merah jambu yang menyala
Menepuk
kesadaranku bahwa merah jambu hanya abu-abu
Meliriknya
dalam merah jambu
Sebatas
senja menemani sang surya
Hanya
sebatas angkasa yang kelak merindukan bianglala
Kepada
pemilik baju berkancing biru
Rasa
merah jambuku kini telah abu-abu
Entah
berapa nilainya kalau di beri kolom nilai. Jangan hiraukan. Ini bukan tugas
yang harus dikumpulkan pada mata kuliah bahasa Indonesiaku. Ini perasaan cinta
calon Psikiater seperti aku. Aku yang tengah diburu oleh perasaan merah jambu.
Segera
telepon genggamku berdering. Ia memanggilku. Hai, ibuku yang bermaksud menghubungiku.
Aku tersadar dari kekecewaan tadi. Ibu nampaknya sedang menelepatiku. Dengan
mudahnya ia menebak perasaanku setelah pembicaraan tentang surat pernikahan
itu.
“Apa
yang tidak mungkin di dunia ini, bu? Aku hanya mengharapkan manusia yang sama
sepertiku. Dia bukan malaikat juga bukan nabi. Kenapa ibu selalu menutup
kemungkinan itu untuk anak perempuan ibu ini?” aku mulai beradu mulut dengan
ibu, walau aku sangat malas untuk melafalkannya.
“Kemungkinan
itu ada, sayang. Tapi setidaknya, matamu bisa mengukurnya. Logika yang ada bisa
membuka matamu. Ibu hanya tak ingin anak perempuan ibu selalu disiksa rasa
cinya itu” ibu malah berbalik menghardikku.
“Sudahlah,
bu. Yang jelas dia yang selama ini aku cari, bu. Dia melengkapi semua
kategoriku. Aku, aku.. Atau maaf bu, mungkin aku hanya butuh istirahat, bu. Assalamu’alaikum, salam untuk ayah dan
adik” menutup telepon ibu dan tidur siang. Mungkin nanti setelah bangun tidur
aku akan melupakan segalanya, masalah merah jambu ini.
***
Kali
ini, aku tidak sedang tidur. Lebih tepatnya aku berkhayal. Berkhayal jika suatu
waktu, Beliau datang menemui ayahku dan melamarku. Dan nanti ketika Beliau
datang, disekelilingku penuh keramaian dan terdengar lagu itu: A Thousand Year. Aku pasti akan bahagia.
“Aduh,
sakit!” kepalaku terkena pukulan.
“Kamu
kenapa, Ifa? Senyum-senyum sendiri?” Rani melemparku dengan sebuah pena. Dia
benar-benar menghancurkan khayalan indahku.
“Berhenti
menggodaku, aku tidak ingin diganggu” aku cemberut dan menatapnya kesal.
“Sudahlah,
jangan selalu diajak berkhayal otakmu itu. Nanti lama-lama sakit. Buang
harapanmu jauh-jauh, Fa. Kamu masih ngotot
memujanya. Hahaha percuma!” sekarang dia yang menghardikku.
Aku
hanya diam. Dan membalikan badan memeluk bantal gulingku. Aku mentupkan
bantalku hingga kepalaku sempurna tenggelam didalamnya. Mereka pikir, aku
bercanda dengan perasaan ini. Mereka payah. Padahal, ini tentang mimpi besarku;
berdamping dengan sang pangeran berkemeja itu.
Beliau
menyebar undangan, kak.
Kata-kata
itu selalu mengusik hari-hariku. Aku masih tidak percaya. Mana mungkin dia
mengkhianati perjanjiaan itu. Jangan-jangan benar, hanya aku yang terlalu
ambisius. Perjanjiaan itu hanya aku yang menyetujuinya tanpa sepengetahuan
beliau. Aku benar-benar hanyut. Beberapa hari ini, akupun sedikit kehilangan
selera makanku. Bukan karena patah hati seperti remaja kebanyakan. Aku hanya
mengingat kata-kata ibu. Setelah informasi yang diberikan si Eva, aku sering
bertemu dengan kata-kata yang terlontar dari bibir ibuku.
Kamu hanya mahasiswa, sedang dia dosen. Mana mungkin seorang dosen mencintai anak didiknya. Kamu masih sangat terlalu kecil, sayang. Mahasiswa semester empat. Lupakan dosenmu itu, dia hanya pembimbingmu dan tak lebih dari itu.
Benar
apa yang dikatakan ibu. Lebih baik aku berlari sejauh-jauhnya dari perasaan
yang kurang ajar ini. Lebih baik aku memikirkan pendidikanku yang lebih
penting. Bukan mengurusi perasaan itu. Aku hanya mahasiswa. Sedang beliau
dosenku. Dia pernah berjanji? Itu hanya akalku saja. Aku yang sering berbisik
halus: Pak, tunggu saya lulus ya. Padahal, beliau tak pernah tau ada mahasiwa
yang begitu mengaguminya. Semestinya, dari awal pertemuan perkuliahan itu
perasaan ini harus cepat ku kunci. Aku terlambat. Biarlah pelan tapi pasti, aku
akan berjalan meruntuhkan perasaan yang salah ini. Aku seorang psikolog yang
jiwanya selalu bermasalah.
Ifa butuh psikiater, bu. Ifa butuh untuk mengobati perasaan ini; membuatnya kembali seperti semula. Maafkan, anak perempuanmu ini, bu. Ifa terlalu cepat untuk berbagi rasa ini. Seharusnya, Ifa memikirkan kebahagiaan ibu dengan gelar sarjanaku, bu. Bukan dengan mencari mantu yang baik dari sekarang, seperti yang ibu ucapkan dulu. Sekarang Ifa pasrahkan saja pada Allah, bu. Jodoh yang baik untuk seseorang yang berkualitas. Perbaiki diri dan berceminlah. Allah punya rencana baiknya. Biarlah, sakit hati ini Ifa sembuhkan sendiri, walau Ifa butuh psikiater (mungkin). Aku terkekeh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar