Kamis, 07 April 2016

Ikhlaskan, Dik?

Pagi itu, cahaya temaram masih menerangi badan jalan. Cahayanya jelas masih terasa. Selasa pagi yang mendung. Hujan yang turun semalaman membuat hawa sekitar terasa menyejukkan. Tak seperti biasanya.

Seperti jadwal biasanya, hari ini jadwal perkuliahan dimulai pukul 7 pagi. Ada kalanya serangan fajar harus dilakukan. Serangan fajar dalam artian 'kesiangan'. Terkadang alarm tak terdengar, kalau sudah begitu, perkara yang paling nyata adalah serangan fajar (baca: buru-buru). Prioritasnya ya pasti kewajiban subuh. Itu tak kenal alasan 'lalai'. Bahkan, untuk meneguk mineral pun tak lagi sempat.

Sayangnya, firasat buruk tak tampak di pagi yang mendung itu.

Ah, sudahlah. Ceritaku sebenarnya bukan di pagi hari itu. Cerita yang akan didendangkan ini, kisah di sore harinya. Tapi, mungkinkah ada hubungannya dengan pagi yang mendung? Mungkin saja.

***

Setelah menyelesaikan perkuliahannya, Lisda buru-buru menjemputku. Sore itu, cuaca tak lagi memdung. Cerah benderang. Cuaca kadang tak setia dengan keadaannya. Terkadang mendung tiba-tiba cerah, atau terkadang cerah tiba-tiba mendung lalu turun hujan. Ah, berenti. Itu hak Allaah. Jangan ikut urus campur, tugas kita ya menjalani. Ya. Harus begitu.

Bunyi klakson memanggilku.

"Iya, sebentar." Aku buru-buru menuruni anak tangga.

Bersiap, lalu bergegas. Aku sudah jadi penumpang. Motor berjalan semestinya begitupun dengan sopirnya. Angin berdesakkan menghantam wajahku. Angin sedang ramah-ramahnya bertiup.

Belum separuh perjalanan, si sopir merasakan firasat itu. Namun, sayang si sopir lupa kalau di belakang ada penumpang. Dia diam tak memberikan keterangan apa-apa. Semua pertanyaan itu tak lama lagi akan terjawab.

Motor mulai diketepikan. Aku bingung sendiri adakaj masalah yang serius.

Lisda menarik roknya, "Ma, jangan injak rokku."

Aku menarik kakiku, "Mana ada aku injak roknya." Aku kebingungan.

"Coba turun, lihat rok aku." Lisda menginstruksikan.

Ketika hendak turun, aku masih dalam keadaan bingung sekaligus takut. Jalanan tengah ramai. "Eh, ramai kali jalannya." Aku bergumam.

"Itukan ada batasnya. Mana mungkin pengendara itu menabrakmu. Cepat lihat!" Lisda tetap duduk di motornya itu.

Aku melirik,"Astagfirullah. Rokmu masuk ke motor. Mana bisa ditarik." Aku berusaha menarik rok yang tersangkut itu. Mencobanya berkali. Nihil. Usahaku menarik rok itu tak membuahkan hasil.

Mendapati kenyataan itu, Lisda yang ikut-ikutan panik hendak mencari pelarian lain.

"Turun, Ma. Pinjam pisau atau gunting di kedai itu." Dia menunjuk kedai makan yang posisinya tepat di dekat tkp.

Aku masih berpikir. Ragu untuk melangkah. Aku mencoba lagi; menarik rok itu lagi. Sama saja tetap gagal.

"Cepatlah pinjam. Mana mungkin aku yang harus pinjam. Mau kubawa motor ini jalan ke sana?" Lisda mendesak.

Beratpun tetap terlangkah juga. Kakiku berjalan sesuai perintah tuannya. Aku sudah berada di kedai makan itu. Aku clingak-clinguk dengan settingan wajah bingung.

"Ada apa dik? Lagi cari teman ya?" salah satu laki-laki paruh baya menemuiku. Ia pemilik kedai makan itu.

"Nggak, pak. Mau pinjam pisau atau gunting. Ada pak?" aku segera menyebutkan kebutuhanku.

Bapak itu segera mendekat. Dia meminta pekerjanya mengambil apa yang aku minta. Pekerja kedai itu memberi pisau kecil.

"Eh, ada gunting bang?" aku menanyakan alternatif lain.

"Gunting, ada dik. Tapi tumpul." Pekerja itu menunjukkan gunting yang lumayan berkarat.

Laki-laki paruh baya yang tadinya menghampiriku menatap bingung, sembari melemparkan pertanyaan, "Untuk apa pinjam pisau dik?"

"Itu... Rok teman saya masuk ke dalam motor, Pak."

"Apa? Loh kok bisa?" Bapak pemilik kedai bersama pekerjanya berjalan menghampiri Lisda. Aku juga menyusul di belakang.

"Itu...." Aku menunjuk rok lisda.

"Wah, ini parah dik. Rumah kalian dimana?" pekerja kedai itu memeriksa rok Lisda yang tergiling di motor itu.

"Di Sudirman, bang." Jawab singkat Lisda.

"Mau dipanggilkan ambulan nih dik. Parah kali." Pekerja kedai mengolok kami.

Aku dan Lisda meringis, ketawa kecut yang tak manis. Jelas sekali sore itu mentari tengah semangatnya bersinar.

"Eh, potong aja roknya bang." Aku memberi intruksi.

"Yakin? Sayang loh rok barunya nanti rusak." Entah itu jalan keluar atau olokan lagi.

"Potong aja, nggakpapa." Lisda ikut bicara.

"Ikhlaskan, dik?" Tanyanya lagi.

Kami menjawab, "Ikhlas-ikhlas."

Awalnya, pekerja kedai dengan seragam batik ungu itu mencoba menarik rok yang bernasib buruk itu. "Ini bisa jalan dik motornya?"

"Tadi bisa, bang." Lisda menjawab lagi.

Dia meminta bantuan temannya mengambilkan tang. Dengan kesepakatan bersama, rok hitam yang bernasib buruk tersebut dipotong. Aku dan Lisda hanya saling pandang. Kesal rasanya, itu rok yang menjadi favorit aku juga Lisda. Tapi, lebih lebih bersyukur lagi, kami berdua tidak dihadapkan masalah lain yang 'mungkin' bisa lebih menakutkan.

Setelah berhasil dipotong, pekerja kedai yang menolong kami tadi berusaha mengeluarkan sisa rok yang menyangkut di badan motor. Lumayan menelan waktu beberapa menit. Hingga pada akhirnya, sisa rok tersebut bisa dieksekusi keluar.

Lega rasanya.

Aku dan Lisda segera berterima kasih atas bantuannya. Mereka sekadar berbagi saran pada aku juga Lisda. Mulai ke depannya harus lebih berhati-hati.