Senin, 27 April 2015

Pertemuan Lewat Sebuah Benda

malam narasi OWOP
Cerita ini dimulai ketika langit ungu bertabur mengelilingi senja. Kerinduan sang anak terhadap kedua orangtuanya, yang sekarang entah terdampar di pulau yang mana. Badai memisahkan takdir mereka.


Ada pertemuan lewat sebuah benda; antara nahkoda, langit senja, dan rembulan sabitnya.


"Apakah ayahku seorang nahkoda? Atau ia pencinta purnama?" Si Laa sedang asyik berbicara.

"Mungkin ayah kita penikmat langit senja yang ungu itu?" Si Lee sedang asyik mengelilingi langit sore kala itu.

Ada suara cekikikan. Lalu, muncullah suara itu kepermukaan.

"Cucuku. Kalian membuatku terbangun. Kalian berbicara terlalu kencang. Itu mengganggu tidur siangku" sang kakek yang tiba-tiba muncul dengan cekikikan lalu menyeringai.

"Eh, maafkan kami kek. Kami hanyaa.."

"Lepaskan benda itu. Segera mandi dan berkemaslah sebentar lagi kita berangkat ke surau" sang kakek meninggalkan mereka dan masuk ke biliknya yang sederhana.

Berangkatlah kakak-beradik itu. Ditentengnya benda itu. Mereka selalu berdebat jika mengingat benda itu.

Selepas magrib, sang kakek menuntun mereka ke bilik. Kembali lagi. Kala itu, langit malam berhias rembulan sabit. Mereka bercengkrama di teras bilik.

"Kakek, itu bulan yang selalu kami lihat" si Laa berkomentar -sambil memandang langit.

"Ia, ayahmu selalu menyukainya" jawab kakek, pendek.

"Bagaimana mungkin kakek tau?" Sekarang si Lee yang menjawab. Ia tak setuju tentang kesukaan ayahnya terhadap rembulan, ia lebih setuju jikalau ayahnya pencinta langit senja.

"Kakek yang memberi tahunya. Memberi tahu indahnya rembulan sabit itu. Tentang semangat agama Islam" kakek memulainya.

"Benarkah kek?" Si Laa makin tertarik dengan cerita sang kakek. Sedang si Lee, cemberut.

"Iya, cu. Semangat pembaharuan dalam Islam. Sebab, bulan selalu baru, selalu berubah setiap hari. 

Dari kecil, tipis, membesar, kemudian bulat pada saat purnama, lalu mengecil lagi, dan akhirnya tidak terlihat.

Si Laa makin terpesona, kini matanya bersinar-sinar.

"Bagaimana? Kau masih meragukan kesukaan ayah pada rembulan?" Si Laa menyikut si Lee yang mukanya kini bertambah masam; sangat kecut dan Laa bersiap menerima penjelasan selanjutnya.
Kakek melanjutkan, "Begitu juga dengan ajaran Islam yang diyakini sebagai ajaran yang memperbarui ajaran agama-agama yang sudah diturunkan sebelumnya".

Si Laa bertepuk sorai. Ia bangga ayahnya memiliki kesukaan dan kecintaan terhadap agamanya; agama Islam. Sekarang, Lee sedikit manis.
Si Laa dan Lee dituntun masuk ke bilik. Lilin mulai dinyalakan, dan si kakek melanjutkan cerita tentang  benda itu.

"Lee, kamu tau ayahmu pencinta senja?"

"Ya, kakek. Itu benar" si Lee yang sekarang kegirangan.

"Kamu benar, ayahmu seorang nahkoda yang mencintai senja."

"Yeay!! Ayah memang hebat!! Yeay!!!" Si Lee bersorak.

"Tunggu, kau tau kenapa cu? Karena langit senja yang berwarna ungu pernah membawanya terenyuh akan kekuasaan Sang Pencipta. Di langit senja, ia pernah berjanji akan menghadirkan senyuman bagi semua orang. Ayahmu yang dulu terduduk di tepi laut memiliki niat suci. Ia berjanji pada Sang Pencipta kala senja itu, ia akan mengantarkan banyak orang, menyalurkan silahturahmi mereka, mengangkut mereka ke pulau satu dengan pulau yang lainnya.

"Lalu, bagaimana dengan pertemuannya dengan ibu?" Si Laa mulai antusias dengan pernyataan Lee.

"Di kapal phinisi itu, di kapal yang penuh bahtera itu mereka saling bertatap mata. Mata ibumu bersinar, ayahmu yang gagah berani meluluhkan hatinya" sang kakek makin semangat bercerita tentang benda itu.

Sekarang mereka berdua bertepuk tangan.; kegirangan. Dua anak laki-laki yang rindu kehangatan.

"Kau tertarik dengan kapal phinisi itu, cucuku?"

"Iyaaaa, kek" jawab mereka serentak.

"Kapal phinisi membutuhkan kemahiran untuk membuatnya" tegas kakek.

"Tapi, ayahkan juru kemudi, kek?" Si Lee bingung.

"Walaupun ayahmu juru kemudi, ia pernah berjuang membuatnya. Membangun tujuan mulianya, menghantar silahturahmi. Tidak seperti pembuatan perahu modern, pembuatan Phinisi dilakukan tanpa mengacu pada gambar, cu. Melainkan berdasarkan kemahiran; pengalaman dan kecermatan sang pembuatnya" sang kakek berkaca-kaca.

"Jadi, ayah seorang nahkoda langit senja yang merindukan bulan sabitnya" si Laa dengan cepat menyimpulkan.

"Lalu, apa tujuan ayah memberikan lukisan kapal layar Phinisi yang belayar ketika senja mendampingi rembulan, kek?" Si Lee tak mau kalah.

"Karena, ayahmu mencintai kalian, anak-anaknya. Dan ia ingin, kalian mencintai setiap ciptaan Sang Pemilik Jagat Raya ini, Allah Ta'alla"

Si Laa dan Lee memeluk benda itu, lukisan peninggalan sang ayah sebelum pergi berlayar membawa sang ibu. Menghantam badai.

Sang kakek kembali cekikikan. Ia menyatakan persetujuan; berdebatan cucunya di sore itu. Perkumpulan selesai saat kumandang adzan Isya bersahut-sahutan.

Langit senja, di hari ke 27 bulan April 2015
#malamnarasiOWOP
-Lisma Nopiyanti

Tidak ada komentar:

Posting Komentar