Senin, 13 April 2015

Anak Kembar, Ed.2: "Oh, Turunan!"

Aku masih tertarik untuk membagi cerita ini, cerita kelanjutan dari lumut-lumut itu. Cerita kehidupanku, anak kembar dengan persoalan kendaraannya. Ini cerita kedua, setelah kejadian Oh, Lumut!.
Mari, ambil tempat yang nyaman. Saya akan memulai ceritanya kembali. Walau sedikit membosankan, mari paksakan. Hehehe.
Memulai sesuatu yang membosankan, mungkin awal menaklukan rasa malas #pemaksaanberlanjut.
Aku sama seperti remaja kebanyakan. Pernah mengalami duduk di kursi dan bertopang di atas meja ketika suatu kala ada pelajaran yang membosankan di kelas; masa putih abu. Saat ini, memori di otakku sedang berusaha mengumpulkan catatan-catatanku terkait dengan cerita ini. Dan, aku akan memulainya. Tepatnya, ketika masa orientasi siswa.
Tiga hari berturut-turut, aku mendapatkan pelajaran. Tapi, bukan pelajaran sekolah. Terlebih pelajaran menjadi pengemudi yang baik –bagi Lisda. Karena dialah yang menjadi objek sentral dalam cerita masa orientasi selama tiga hari.
Hari pertama. Kronologisnya, aku –yang lagi-lagi harus jadi penumpang− duduk dengan manisnya dibelakang Lisda. Aku telah merasa nyaman dengan posisi dudukku. Posisi duduk miring. Tepatnya diturunan menuju gerbang sekolah. Sepeda motor yang kami tumpangi, roboh. Mungkin bebannya berat sebelah karena posisi dudukku. Aduh, saat itu aku dan Lisda terjatuh. Kalau pun sakitnya tak terasa, tapi aku harus disiksa malu kala itu. Kejatuhan kami di gerbang sekolah menjadi tontonan siswa-siswi yang hendak keluar dari gerbang. Sepeda motor yang berdiri dengan kokohnya, tiba-tiba jatuh. Aku cengengesan; menempuk-nepuk rokku yang tak berdebu.
Sedang, Lisda meringis kesakitan. Aduh, lagi-lagi kakinya mengalami luka kecil. Di tengah kemeringisannya, segera tiba laki-laki berkulit hitam manis.
“Kalian tidak apa-apa?” seraya membantu Lisda menegakkan sepeda motor.
Itu kakak senior –yang dulunya sempat ditaksir ketika putih-biru. Semakin hitam mukanya si Lisda. Kenapa? Dia merasa lebih malu dari biasanya. Aku yakin warna memerah untuk rasa malunya sangat tidak pas. Dia sangat malu. Sedang, aku? Hanya tersenyum kecil bercampur kesal. Bisa-bisanya ia tak siap dengan kehadiranku di sepeda motor, padahal saat itu dialah yang memintaku segera bersiap. Oh, turunan di gerbang sekolah.
Tak banyak percakapan saat perjalanan pulang. Aku diam, dia juga. Hingga berada di depan rumah. Sepeda motor kembali terguncang. Aduh, kami berdua terjatuh lagi. Turunan kedua setelah di pintu gerbang.
Aku bingung, sebenarnya adakah settingan yang salah. Kenapa harus berulang-ulang jatuh. Di turunan kedua. Akankah aku terjatuh lagi? Lupakan. Saat ini, bapak sudah berada di hadapan kami. Membantu sepeda motor berdiri lagi.
“Hati-hati, Lisda” bapak berkata untuk kesekian kalinya, saat mulai mengizinkan si Lisda berkendara. Mungkin, bapak juga pernah merasakan ketakutan yang sama denganku. Bapak pernah terjatuh bersamanya. Terhempas tubuh bapak, kala itu. Kecerobohannya mengantar bapak ke rasa sakit yang tak terlalu. Oh, turunan.
“Da, hati-hati ya. Nanti ketika berada di turunan itu –sambil menujuk, turunkan levelnya ke satu. Ingat, jangan miring ya. Seimbangkan dengan baik” petuah bapak yang sedang mengajakan anaknya berkendara.
Belum lagi kering air ludah di rongga mulut, baru saja bapak membahasakannya. Bapak dan Lisda terjatuh menuju sebuah parit dibawah turunan. Usut punya usut, Lisda terlalu miring. Apa boleh buat ia terjatuh.
Seharusnya, Lisda belum bisa diluluskan dari tes berkendara ini. Namun, akan lebih sulit lagi, jika bapak harus bolak-balik mengantar dan menjemput anak kembarnya ini. Hihihi


2 komentar: