Aku masih tertarik untuk membagi cerita ini, cerita kelanjutan dari lumut-lumut itu. Cerita kehidupanku, anak kembar dengan persoalan kendaraannya. Ini cerita kedua, setelah kejadian Oh, Lumut!.
Mari, ambil tempat yang nyaman. Saya akan memulai ceritanya kembali. Walau sedikit membosankan, mari paksakan. Hehehe.
Aku
sama seperti remaja kebanyakan. Pernah mengalami duduk di kursi dan bertopang
di atas meja ketika suatu kala ada pelajaran yang membosankan di kelas; masa
putih abu. Saat ini, memori di otakku sedang berusaha mengumpulkan
catatan-catatanku terkait dengan cerita ini. Dan, aku akan memulainya.
Tepatnya, ketika masa orientasi siswa.
Tiga
hari berturut-turut, aku mendapatkan pelajaran. Tapi, bukan pelajaran sekolah.
Terlebih pelajaran menjadi pengemudi yang baik –bagi Lisda. Karena dialah yang
menjadi objek sentral dalam cerita masa orientasi selama tiga hari.
Hari
pertama. Kronologisnya, aku –yang lagi-lagi harus jadi penumpang− duduk dengan
manisnya dibelakang Lisda. Aku telah merasa nyaman dengan posisi dudukku.
Posisi duduk miring. Tepatnya diturunan menuju gerbang sekolah. Sepeda motor
yang kami tumpangi, roboh. Mungkin bebannya berat sebelah karena posisi
dudukku. Aduh, saat itu aku dan Lisda terjatuh. Kalau pun sakitnya tak terasa,
tapi aku harus disiksa malu kala itu. Kejatuhan kami di gerbang sekolah menjadi
tontonan siswa-siswi yang hendak keluar dari gerbang. Sepeda motor yang berdiri
dengan kokohnya, tiba-tiba jatuh. Aku cengengesan; menempuk-nepuk rokku yang
tak berdebu.
Sedang,
Lisda meringis kesakitan. Aduh, lagi-lagi kakinya mengalami luka kecil. Di
tengah kemeringisannya, segera tiba laki-laki berkulit hitam manis.
“Kalian
tidak apa-apa?” seraya membantu Lisda menegakkan sepeda motor.
Itu
kakak senior –yang dulunya sempat ditaksir ketika putih-biru. Semakin hitam
mukanya si Lisda. Kenapa? Dia merasa lebih malu dari biasanya. Aku yakin warna
memerah untuk rasa malunya sangat tidak pas.
Dia sangat malu. Sedang, aku? Hanya tersenyum kecil bercampur kesal.
Bisa-bisanya ia tak siap dengan kehadiranku di sepeda motor, padahal saat itu
dialah yang memintaku segera bersiap. Oh, turunan di gerbang sekolah.
Tak
banyak percakapan saat perjalanan pulang. Aku diam, dia juga. Hingga berada di
depan rumah. Sepeda motor kembali terguncang. Aduh, kami berdua terjatuh lagi.
Turunan kedua setelah di pintu gerbang.
Aku
bingung, sebenarnya adakah settingan yang
salah. Kenapa harus berulang-ulang jatuh. Di turunan kedua. Akankah aku
terjatuh lagi? Lupakan. Saat ini, bapak sudah berada di hadapan kami. Membantu
sepeda motor berdiri lagi.
“Hati-hati,
Lisda” bapak berkata untuk kesekian kalinya, saat mulai mengizinkan si Lisda
berkendara. Mungkin, bapak juga pernah merasakan ketakutan yang sama denganku.
Bapak pernah terjatuh bersamanya. Terhempas tubuh bapak, kala itu. Kecerobohannya
mengantar bapak ke rasa sakit yang tak terlalu. Oh, turunan.
“Da,
hati-hati ya. Nanti ketika berada di turunan itu –sambil menujuk, turunkan
levelnya ke satu. Ingat, jangan miring ya. Seimbangkan dengan baik” petuah bapak
yang sedang mengajakan anaknya berkendara.
Belum
lagi kering air ludah di rongga mulut, baru saja bapak membahasakannya. Bapak
dan Lisda terjatuh menuju sebuah parit dibawah turunan. Usut punya usut, Lisda
terlalu miring. Apa boleh buat ia terjatuh.
Seharusnya,
Lisda belum bisa diluluskan dari tes berkendara ini. Namun, akan lebih sulit
lagi, jika bapak harus bolak-balik mengantar dan menjemput anak kembarnya ini.
Hihihi
Tes ya...
BalasHapusSeru...
BalasHapus