Senin, 27 April 2015

Tiara dan Ibu Kartini

"Bu, aku ingin bicara" Tiara mendekati ibunya, rautnya masam.


"Ada apa, nak? Seragammu nampak kotor? Apa yang terjadi?" Si ibu memperhatikan anaknya yang dirundung rasa kesal itu.

"Tam dan temannya mengajakku berkelahi, bu. Dia menggodaku. Selalu, ketika aku mulai bercerita tentang kharisma Dan emansipasi Ibu Kartini. Seperti hari ini.

"Hei, anaknya Kartini! Katanya kamu ini pembela emansipasi wanita ya? Kalau berani, sepulang sekolah kami tunggu di lapangan sekolah. Ada adu lari. Kau pasti kalah"

Pertemuan Lewat Sebuah Benda

malam narasi OWOP
Cerita ini dimulai ketika langit ungu bertabur mengelilingi senja. Kerinduan sang anak terhadap kedua orangtuanya, yang sekarang entah terdampar di pulau yang mana. Badai memisahkan takdir mereka.


Ada pertemuan lewat sebuah benda; antara nahkoda, langit senja, dan rembulan sabitnya.

Perlombaan itu, dik

Hati ini yang menggerakkannya dik. Sepasang mata ini terkejut melihat untaian pesanmu memenuhi chat bbm mbak kembarmu ini. Wah, mbak kembarmu ini baru terduduk setelah mengikuti mata kuliah yang mendebarkan. Sudahlah, mbak tak membahas itu.

Mbak kira permasalahan ini hanya sepele. Tak pernuh otot untuk menyelesaikannya. Tetapi, salah. Kamu jauh tersinggung dengan sikap mbakmu ini. Tentang perkara lomba itu. Mbak bukannya ingin melepaskan begitu saja. Ada pelajaran yang ingin mbak sampaikan.

Mungkin dimulai dengan kalimat ini:
"Kesuksesan itu tidak berasal dari orang lain tapi dari diri kita sendiri. Kitalah yang menentukan keberhasilan dan kesuksesan itu. Bukan tergantung pada orang lain"

Minggu, 26 April 2015

Senja di Bibir Pantai


Ketika imajinasiku berhenti di suatu lini masa tertentu. Memilih menghabiskan waktu menatap panorama luasnya ciptaan-Mu.

Ada angin-angin menerpa wajahku begitu lembut dan menyenangkan. Atau terkadang hempasan ombak membasahi wajahku. Aku berteriak kegirangan.

Oh, Allah. Sungguh kekurangan ini hanya Engkau yang tau. Sungguh kesalahan ini hanya Engkau yang tahu. Biarlah aku terus memperbaiki diri. Menebus segala keangkuhan dan ketidakberdayaan diri ini. Sungguh diri begitu hina berlumur dosa :')

Dan sekarang..
Biarkan aku sebentar saja menikmati senja di mulut pantai ini bermain dengan air dan menghentikan kayuhan sepedaku; sedikit beristirahat. Aku merasa lelah mengayuh seharian.
Aku harus semangatt!!
Aku harus berjalan dan mengayuh lebih keras. Saat semua datang menghalangi langkahku untuk maju.

Senja di bibir pantai, hari ke 27 di bulan april 2015
Lisma Nopiyanti
---
Sesekali ku berhenti menikmati sisa-sisa senja di pinggir pantai :"

Cerpen: "Ifa Butuh Psikiater"

Ifa Butuh Psikiater

Oleh Lisma Nopiyanti
Ide cerita: Ifa, pelaku (nama disamarkan)


Siang ini, sebenarnya aku malas untuk mengingatnya lagi. Mengingat perasaan yang tak seharusnya hinggap di merah jambuku. Ini bukan cinta anak monyet. Ini lebih dari itu. Husss, pergi kamu! Aku ingin mengusir rasa itu jauh dan sangat jauh. Aku seorang mahasiswa Psikologi dan aku tak butuh psikater untuk mengatasi penyakit hatiku ini.

Langit begitu teduh kala pesan itu hadir.

Kamis, 23 April 2015

Tugasku dan Chat itu

Malam ini aku terlambat untuk memulai. Tugasku untuk presentasi esok belum bisa diselesaikan.

Rabu, 22 April 2015

Pesan Abu-abuku

Sebenarnya malu untuk menuliskan ini. Tapi, biarlah. Jemari ini yang mau menuliskannya. Bukan karena alasan yang terlalu fana atau terlalu istimewa hanya sebuah pesan yang tak berani ku kirimkan.

Begini. Aku ingin memulainya dengan kabar.
"Bagaimana kabarmu?". Eh, sebentar. Itu terlalu cheesy. Nanti aku menjadi tersangka dan kau akan banyak menerka.

Senin, 20 April 2015

Veteran di Negeri Peradaban Sampah

"Lari-lariiiii. Sebentar lagi kita yang akan dimakan" suara bersahut-sahutan memecah pagi menanti sang siang.

"Apalagi? Ada apalagi? Semalam beberapa kedai ludes diperapian. Sekarang? Rakyat kecil tunggang-langgang" seorang mantan veteran yang tengah asyik mengais sampah; memperuntukkan nasib lewat botol-botol  air mineral bekas.

Stadion Berkabut

Malam Narasi OWOP
"Jika kutau dijaninku ada bola. Maka takkan kubiarkan kau hidup, nak"

Berhenti. Jangan teruskan langkahmu!" Polisi meramaikan seisi stadion.
Ibu-ibu meringis mencari anaknya. Bapak-bapak ketakutan bercerai berai. Seisi stadion terlibat baku-hantam. Teriakan silih berganti. Sebentar tembakan sebentar jeritan.

Minggu, 19 April 2015

Aroma Ke-pesimis-an


Akibat didera rasa dilema atas ketidakberhasilanku bersyukur. Ampuni aku, Oh..Allah. Aku tersadar. Membuatku membuka mata yang tertutup aroma ke-pesimis-an. Dan lihatlah, mimpimu akan tetap tercapai, walau orang tuamu bukan ahli materi. Tidak ada jaminan yang pasti atas materi.  Walau orang tuamu tak dikenal. Karena keridhoan kedua orang tua. Karena ridho Allah bersama ridho kedua orang tua.

Sabtu, 18 April 2015

Ketampar Bang DTL: "Penulis yang Baik"

Entah kenapa judul tulisan kali ini ‘ketampar’. Sesuatu yang menyakitkan, mungkin sementara waktu presepsi itu kita simpan. Mari lanjutkan cerita ini.

“Saya”. Definisinya seorang yang katanya ingin jadi “sastrawati” –seorang yang jago menulis. “Saya” dibesarkan oleh rasa ambisinya, sehingga “saya” melupakan makna menulis pada hakikatnya. Menulis adalah sarana berbagi informasi. Apa yang dituliskan, sekian persennya akan mampu mengubah pemikiran seseorang, terlepas dampak positif ataukah dampak negatif. Menulis itu sebuah kegiatan yang tulus, ia tak mengharapkan balasan. Makna itulah yang benar-benar “saya” lupakan.

Senin, 13 April 2015

Anak Kembar, Ed.2: "Oh, Turunan!"

Aku masih tertarik untuk membagi cerita ini, cerita kelanjutan dari lumut-lumut itu. Cerita kehidupanku, anak kembar dengan persoalan kendaraannya. Ini cerita kedua, setelah kejadian Oh, Lumut!.
Mari, ambil tempat yang nyaman. Saya akan memulai ceritanya kembali. Walau sedikit membosankan, mari paksakan. Hehehe.
Memulai sesuatu yang membosankan, mungkin awal menaklukan rasa malas #pemaksaanberlanjut.

Ambil Payungmu...!!!

Image by Google
Bahwa yang pasti, aku akan mengeluarkan payung ketika butirannya makin deras. Membuka pintu dan mengawali semuanya dengan penuh ketakutan.

Takut terkena hempasan angin, ketika aku melangkah bersama payung yang ada digenggamanku.

Selasa, 07 April 2015

Terima kasih, Latif!

Mentari masih bermalas-malasan pagi ini, mengantarku ke kursi kemalasan. Tubuhku yang masih meringkuk malas, setelah menunaikan subuh yang penuh berkah, tadi. Masih bercengkrama dengan kasur dan bantal serta guling. Ah, memang mengasyikan. Cukup memastikan jadwalku aman. Sejauh ini, jam-jam pertarungan UTS bersahabat. Pukul 10, rata-ratanya. Mudah saja, sedikit bermalasan pun tak mengapa.

Senin, 06 April 2015

Puisi: "Waktu"


Waktu
Lisma Nopiyanti


Jika waktu dapat kuubah
Biarlah ia sendiri yang memilih waktunya
Biarlah aku terduduk rapi menantinya
Namun, ketika mentari bergejolak
Aku tersadar, waktu takkan mampu ku taklukan

Dia meninggalkanku jauh dalam masa lalu
Meninggalkan ribuan peristiwa
Tapi, ahh
Sekarang, tetap aku bukan apa-apa

Aku ingin meminjam waktu
Agar aku berhasil melaluinya
Tapi, ahhh
Sekarang, aku gagal
Hidupku terlalu suram
atau tak adakah kesyukuran..



“Garam, Gelas, dan Kolam”


Seperti sabtu-sabtu sebelumnya, teman satu kelasku harus duduk rapi menanti mata kuliah pengelolaan pendidikan di akhir pekan. Situasi kampus saat itu sepi, karena  kebanyakan kelas-kelas lainnya tak ada yang mendapat mata kuliah di hari Sabtu. Tidak menutup kemungkinan, rasa malas kadang menghampiri. Namun, karena kewajiban. Maka harus dilaksanakan. Hari ini meneruskan tugas kelompok selanjutnya, diskusi kelompok.

Jumat, 03 April 2015

Anak Kembar, Ed. 1: "Oh, Lumut!"

"Aaaaaaa, Lisda.... Berhentilah mengolokku" dia menunjuk-nunjuk luka di lututku.

"Apa yang harus aku hentikan? Coba lihat tanganku sedang sibuk mengurut kaki. Dia mencoba mematahkan tuduhanku −dengan berpura-pura sibuk−  lebih tepatnya menyibukkan diri, setelah aku berhasil meneriakinya.