Pagi
ini, menjelang jam-jam perkuliahan dimulai. Aku dan Lisda diributkan dengan
aktivitas yang menyesakan dapur, apalagi kalau bukan perkara memasak. Yap,
kebetulan jadwal kuliah hari ini tak dikejar deadline pagi buta. Lumayan, jadwal semacam ini bisa digunakan
untuk sarana berhemat. Mempersiapkan bekal dan mengurangi pengeluaran uang
bulanan. Sederhana.
“Ma,
hari ini kita masak labu siam disantan putih saja.” Lisda sebagai juru masak
mulai mengatur siasat.
“Nah
itu juga boleh. Aku sih, oke.” Aku
menyetujui siasat itu.
“Eh,
tapi santannya?” aku buru-buru melemparkan pertanyaan itu, ketika menyadari
persediaan santan sudah tak ada lagi.
“Tunggu.
Biar aku beli ke warung dulu. Dan kau segera bereskan bumbu-bumbu ini.” Lisda
menunjuk bawang merah dan kawan-kawannya. Lalu bergegas, mengambil kunci motor
dan melancong.
Sambil
menunggu santan datang, aku hanya dibebankan untuk mengeksekusi bumbu-bumbu
ini. Memotongnya tipis-tipis. Kemudian, mengeksekusi labu siam yang sudah
dikupas kulitnya. Tak berapa lama, aku berhasil menyelesaikannya dan Lisda
segera menyusul.
Sesekali
aku mengintip jam, takut-takut jam sudah benar-benar mendesak.
“Assalamu’alaikum.”
Lisda berhasil menemukan santan.
“Cepatlaaah!
Nanti kita terlambat!” aku mulai khawatir, takut semuanya tak bisa diselesaikan
tepat waktu. Untungnya saja, ikan goreng sudah diselesaikan lebih awal.
“Iyaaaa,
sabaaaaaaaaar. Inikan diusahakan cepat.” Lisda ikut khawatir.
Aku
berganti misi. Misiku yang selanjutnya adalah membersihkan peralatan-pealatan
yang digunakan untuk memasak. Tergesa-gesa aku menyelesaikannya. Sedang, Lisda
sudah siap dengan santannya. Pagi itu, dapur ramai dengan benturan-benturan
peralatan memasak. Paduan suara itu terjadi karena keburu-buruanku.
“Lisma,
geseeeeer!” Lisda hendak meminta wilayahnya.
“Sudah
tak bisa lagi, sempitt.” Aku tak menghendaki kedatangan Lisda di wilayahku. Aku
tak mungkin mencuci dengan ruang yang sempit. Aku takkan bisa bergerak,
membilas cucian-cucian ini.
“Sedikit,
geseeerrr.” Lisda menyikutku.
Aku
datang dengan kesabaran yang kritis, tak mau menggubris lagi cerita Lisda
dengan santannya itu. Cukup pedulikan cucian-cucian,hanya itu. Tak berapa lama
setelah itu, suara riuh mulai mengerumuni pagi yang bersantan itu. Santan yang
hendak dialirkan ke panci meluber kemana-mana. Di sela-sela kompor, di sebelah
cobek, bahkan di dekat cucian-cucianku.
Setengah
sadar, “Astagfirullaah!! Hati-hati loh, ini santannya. Lah sudah...” Aku
menyudahinya dengan tawa kecil. Kemarahanku berakhir di titik santan yang
memenuhi wajah Lisda.
“Lisda,
Lisdaa, coba lihat wajahmu itu!” Wajahku merah menahan tawa. Bukan membalas
dengan amarah, Lisda mengikutiku; tertawa.
“Mau
cepat malah lambat” Lisda mengeluarkan suaranya.
Aku
menarik nafas. Bingung hendak merespon hal yang patut. Kalau boleh letakkan
kesal, ingin rasanya mencerca Lisda. Tapi, dia tak salah. Ini insiden yang
kerap terjadi kala tergesa-gesa. Ini manusiawi sekali. Huuuu. Sementara, santan
tetap menerima nasibnya, dengan kecil hati aku dan Lisda memutuskan untuk
membuangnya. Karena memang tak lagi layak dipakai; sudah berceceran
dimana-mana. Dengan santan seadanya, labu siam tetap dieksekusi. Pagi itu,
santan sudah bercampur tawa dan rasa kesal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar