Jumat, 15 Januari 2016

Berburu Santan (Part. 1)

Pagi ini, menjelang jam-jam perkuliahan dimulai. Aku dan Lisda diributkan dengan aktivitas yang menyesakan dapur, apalagi kalau bukan perkara memasak. Yap, kebetulan jadwal kuliah hari ini tak dikejar deadline pagi buta. Lumayan, jadwal semacam ini bisa digunakan untuk sarana berhemat. Mempersiapkan bekal dan mengurangi pengeluaran uang bulanan. Sederhana.

“Ma, hari ini kita masak labu siam disantan putih saja.” Lisda sebagai juru masak mulai mengatur siasat.

“Nah itu juga boleh. Aku sih, oke.” Aku menyetujui siasat itu.

“Eh, tapi santannya?” aku buru-buru melemparkan pertanyaan itu, ketika menyadari persediaan santan sudah tak ada lagi.


“Tunggu. Biar aku beli ke warung dulu. Dan kau segera bereskan bumbu-bumbu ini.” Lisda menunjuk bawang merah dan kawan-kawannya. Lalu bergegas, mengambil kunci motor dan melancong.

Sambil menunggu santan datang, aku hanya dibebankan untuk mengeksekusi bumbu-bumbu ini. Memotongnya tipis-tipis. Kemudian, mengeksekusi labu siam yang sudah dikupas kulitnya. Tak berapa lama, aku berhasil menyelesaikannya dan Lisda segera menyusul.

Sesekali aku mengintip jam, takut-takut jam sudah benar-benar mendesak.

“Assalamu’alaikum.” Lisda berhasil menemukan santan.

“Cepatlaaah! Nanti kita terlambat!” aku mulai khawatir, takut semuanya tak bisa diselesaikan tepat waktu. Untungnya saja, ikan goreng sudah diselesaikan lebih awal.

“Iyaaaa, sabaaaaaaaaar. Inikan diusahakan cepat.” Lisda ikut khawatir.

Aku berganti misi. Misiku yang selanjutnya adalah membersihkan peralatan-pealatan yang digunakan untuk memasak. Tergesa-gesa aku menyelesaikannya. Sedang, Lisda sudah siap dengan santannya. Pagi itu, dapur ramai dengan benturan-benturan peralatan memasak. Paduan suara itu terjadi karena keburu-buruanku.

“Lisma, geseeeeer!” Lisda hendak meminta wilayahnya.

“Sudah tak bisa lagi, sempitt.” Aku tak menghendaki kedatangan Lisda di wilayahku. Aku tak mungkin mencuci dengan ruang yang sempit. Aku takkan bisa bergerak, membilas cucian-cucian ini.

“Sedikit, geseeerrr.” Lisda menyikutku.

Aku datang dengan kesabaran yang kritis, tak mau menggubris lagi cerita Lisda dengan santannya itu. Cukup pedulikan cucian-cucian,hanya itu. Tak berapa lama setelah itu, suara riuh mulai mengerumuni pagi yang bersantan itu. Santan yang hendak dialirkan ke panci meluber kemana-mana. Di sela-sela kompor, di sebelah cobek, bahkan di dekat cucian-cucianku.

Setengah sadar, “Astagfirullaah!! Hati-hati loh, ini santannya. Lah sudah...” Aku menyudahinya dengan tawa kecil. Kemarahanku berakhir di titik santan yang memenuhi wajah Lisda.

“Lisda, Lisdaa, coba lihat wajahmu itu!” Wajahku merah menahan tawa. Bukan membalas dengan amarah, Lisda mengikutiku; tertawa.

“Mau cepat malah lambat” Lisda mengeluarkan suaranya.

Aku menarik nafas. Bingung hendak merespon hal yang patut. Kalau boleh letakkan kesal, ingin rasanya mencerca Lisda. Tapi, dia tak salah. Ini insiden yang kerap terjadi kala tergesa-gesa. Ini manusiawi sekali. Huuuu. Sementara, santan tetap menerima nasibnya, dengan kecil hati aku dan Lisda memutuskan untuk membuangnya. Karena memang tak lagi layak dipakai; sudah berceceran dimana-mana. Dengan santan seadanya, labu siam tetap dieksekusi. Pagi itu, santan sudah bercampur tawa dan rasa kesal.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar