Rabu, 09 Maret 2016

Gerhana Matahari (?)

"Bangun, gi! Banguuun!" suara itu meramaikan isi telinga Ogi. Sudahlah, hari libur pun sama dengan hari biasanya. Tiada hening yang didapatinya. Tetap saja riyuh gemuruh.

Tak lama, beberapa langkah makin mendekat. Mimpi Ogi makin indah.

"Astagfirullah, Gik! Banguuun!" tangan itu menepuk lengan Ogi keras. Menggoyahkan mimpi-mimpi indahnya.

"Mak, kenapa bangunkan Ogi sepagi ini? Mamak lupa ini hari apa?" Ogi mengucek matanya. Mata yang masih nyaman dengan mimpi-mimpinya.

"Kau kira mamakmu ini tak pernah sekolah? Mamak tahu ini tanggal merah!" Muka mamak mengerut. Nadanya agak meninggi.

"Nah itu tahu," Ogi membulatkan mulutnya. Dia benar-benar ingin melanjutkan tidurnya.

"Ogi, kau lupa dengan tugasmu? Ayo, bangun!" mamak masih berjuang. Berharap anak bujangnya bangun.

Demi mendengar suara itu, Ogi terperanjat. Matanya terbelalak hebat. "Tugas?"

"Iya, tugas gerhanamu." Sekarang mamak yang terlihat senang. Dia sadar, Ogi dalam masalah besar.

Ogi melirik jam yang menggantung di dinding kamarnya. Menatap lamat-lamat angka yang ditunjukkan jarumnya.

"Mak! Ini jam.. Aduh, mak. Ogi harus apa, mak?" Ogi menggaruk kepalanya yang gatal. Menggaruk-garuk lagi. Ogi merengek, ketakutan. Khawatir tugasnya mendapat nol besar.

"Mamak sudah bangunkan kau berkali-kali. Kau hanya berkata 'Nyepi, mak. Nyepi, mak.' Mamak kira kau sudah bangun." Mamak cengingisan melihat anaknya meringis ketakutan. Ogi, anak berseragam putih-merah yang menggemaskan.

"Mak, tugas gerhana Ogi gimana, mak? Ibu guru pasti marah, mak. Ogi takut, mak." Ogi sudah bangun dari mimpinya. Benar-benar sadar.

Mamak tersenyum.

"Mak, nanti Ogi dimarah ibu guru, mak." Ogi makin gusar melihat mamaknya tersenyum diam.

"Mudah saja, Gi. Kita tunggu 30 tahun lagi. Bagaimana? Kau harus banyak bersabar, Gi." Mamak melanjutkan senyumnya.

"Mak, mamak mau Ogi tak lulus SD. Mak, Ogi tak mau jadi anak SD terus. Mak, tolong Ogi, mak!" Ogi menendangi bantalnya.

"Ogi, kenapa kau takut? Apa sewajib itu mengabadikan foto gerhana itu? Apa ibu gurumu tak berpesan lain?" mamak mendekati Ogi.

Ogi tertunduk lemas. Ia khawatir, tugasnya menjelaskan foto gerhana gagal diselesaikan. Ia takut tak bisa melanjutkan sekolah menengahnya.

"Dengar mamak ya, Gi. Sampaikan maaf mamak pada ibu gurumu. Katakan seperti ini: 'Yang wajib itu menunaikan salat gerhana bukan foto gerhana, bu.' Jadi, walaupun kau tak membawa fotonya, tetap saja, kau bisa menyelesaikan tugasnya. Mamak akan menjelaskan semuanya padamu." Mamak mengelus kepala Ogi. Menyalurkan energi positif.

Bagi mamak kekhawatiran anak seusianya memang adakalanya luar biasa. Baginya tugas dari guru adalah kewajiban yang harus dilakukan. Bahkan terkadang mengacuhkan apa yang dijelaskan orang tuanya. Karena bagi anak seusia Ogi, tugas adalah hutang yang harus dibayar sesuai dengan jumlahnya. Apa yang diucapkan gurunya harus dipenuhi secara sempurna. Sama persis, sesuai pesanan. Seperti resep obat yang harus ditebus secara tepat.

Ogi menekuk senyumnya. Hari Nyepi yang meliburkannya dari sekolah, membuatnya lalai akan tugasnya.

"Mak, kenapa kita harus salat, mak?" Ogi mulai antusias. Sejenak melupakan tugas gerhananya.

"Itu sesuai yang diajarkan Rasulullah, Gi. Kita diperintahkan salat, ketika datang gerhana. Bukan sibuk foto, ya!" Mamak tersenyum licik; menghardik Ogi.

Ogi membalasnya dengan senyum kecut.

"Sudah, jangan berkecil hati. Lihat ke dapur." Mamak menunjuk arah dapur.

"Mau lihat apa? Gerhana?" Ogi berdiri. Bersiap menghampiri dapur.

"Iya, kau akan menemukannya." Sekarang, mamak tersenyum manis.

Saat Ogi meletakkan kakinya di dapur.

Benar saja, ia melihat gerhananya. Begitu jelas. Di depan matanya.

Note:
Tulisan ini sengaja dibuat karena pengalaman adik bungsuku yang bingung harus berbuat apa dengan tugas foto gerhananya. (Just intermezzo)

2 komentar: