Sabtu, 31 Desember 2016

The Power of Qada (Diary 4)

Diary 4

Hari selanjutnya...

Aku memang setia memilih kursi di gugusan depan (red: bukan yang paling-paling depan). Bagiku barisan itu paling tepat. Tidak terlalu mencolok untuk menyelidik. Dan posisi itu aman dari intaian dosen yang kadang menunjuk secara serampangan untuk menjelaskan materi saat itu.

Ah, sebenarnya ini cerita yang membosankan, bukan? Sekali lagi aku ulangi, mungkin cerita ini sudah banyak terombang-ambing di dunia kita. Klasik sekali. Kekuatan pandangan. Tapi, aku sengaja menuliskannya. Karena kebetulan yang aku anggap selama ini tak bertujuan apa-apa adalah kesalahan besar. Baiklah kita lanjutkan ceritanya.

Di pertemuan sastra selanjutnya, Azka... Eh berhenti, Ken! Kau selalu mengintainya. Tidak, tidak. Biar aku jelaskan. Pertemuan kali ini. Sejak jam sudah bergantian, aku sudah nyaman duduk di kursiku. Dan tiba-tiba... Azka datang, menjulurkan tangannya. Baiklah, kita ulangi menjulurkan tangannya. Dia ingin mengajakku berkenalan? Atau mau minta maaf atas ke-cuek-an dia selama ini? Ah, ini bukan ftv.

"Ini bagianku. Sudah selesai." Azka menyerahkan tiga lembar kertas hvs hasil ringkasan materi miliknya.

Aku.. Ah, belum sempat menjawab atau sekedar menunjukkan ekspresi wajah. Punggung Azka sudah tidak terlihat di muka pintu. Secepat itukah? Aku hanya ingin menjelaskan, aku tak butuh soft copy yang diberikannya. Huh.

Kelas sudah tenang, itu artinya Pak Dosen memulai materinya. Azka masuk beberapa menit setelahnya. Ohya, Eno. Eno sudah duduk dari tadi. Mengamatiku sejak Azka menjulurkan tangannya. Sial. Dia pasti ingin menertawakan aku.

Keadaan tempat duduk yang selalu bersebrangan membuatku sulit untuk menjelaskannya. Aku siang itu, sesibuk-sibuknya mencari jalan agar terlihat biasa. Baiklah, akukan, Ken, orang yang bisa diandalkan (itu yang dibilang Eno ketika aku dengan rajinnya memberi permen untuk mengisi mulutnya dengan perhitungan waktu yang tepat)

"Azka, yang aku minta bukan soft copynya. Aku mau minta soft filenya." Iya benar sekali, aku berhasil menyelesaikannya ketika mata kuliah benar-benar usai.

"Ohhh.. " Azka dengan ligat memeriksa kantongnya. Dan taraaa... Dia menjulurkan tangan untuk kedua kalinya. Kali ini dia memberiku flashdisk. Duh... Bahasanya berlebihan. Dia meminjamkanku flashdisknya. Aku jadi berlebihan yaa. Maaf.

"Datanya ada di flashdisk itu." Lagi-lagi aku belum sempat memberi balasan. Sebenarnya aku atau dia yang berlaku tak sopan? Aku tak sempat berterima kasih untuk kerja samanya. Kurasa dia tak membutuhkannya. Berarti dia yang berlaku tak sopan. Seharusnya, dia minta maaf padaku. Hmm.

(BERSAMBUNG)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar