Stasiun
ramai pagi ini. Pelantaran sesak karena antrian calon penumpang.
Berdesak-desakkan mencari tempat teduh. Anak-anak pedagang asongan hilir mudik
menjajakan minuman, tak peduli hujan menitik dengan derasnya di luar. Tak lama,
suara kereta datang, bersahut-sahutan peluitnya. Penumpang dengan kaki-kaki
lincahnya berduyun-duyun memenuhi kereta api kelas ekonomi itu −begitu
antusias− selepas pemberhentian yang dilakukan masinis.
Stasiun Jatinegara |
Ding
dong.. Kereta Jurusan Jakarta-Bogor akan segera berangkat. Di mohon agar para
penumpang bersiap-siap.
“Percepat
langkahmu, Mid! Sebentar lagi kereta berangkat. Tetap pegang tanganku!”
Terlihat laki-laki dewasa berkulit sawo matang berlari bersama adik
laki-lakinya menerobos keramaian penumpang yang hendak masuk ke dalam kereta.
Keduanya kepayahan berlari mencari celah. Keringat mengalir pelan.
Berkat
usaha sang kakak, mereka berdua mendapatkan jatah kursi. Laki-laki pemilik
wajah bersahaja itu memilih kursi urutan ketiga persis di dekat jendela.
Badannya sungguh tegap −nampak berisi. Rambutnya hitam ikal tertutup Beanie Hat –kupluk; sejenis topi rajutan
yang tepat digunakan saat hawa dingin atau musim hujan. Sama seperti hari ini,
musim hujan di bulan Desember sudah menyapa. Hujan dengan ramahnya turun.
Beruntung, stasiun tidak banjir. Hanya membuat sekitar basah saja. Hawa dingin
mulai berdomisili di kereta ekonomi itu. Sesekali kaca jendela berembun.
Tiba-tiba, tangan laki-laki itu terangkat, semakin mendekati kaca di jendela.
Diukirnyalah tulisan sederhana dengan telunjuknya. Sebentar-bentar dihapusnya.
Mengukir lagi, dihapus lagi. Ada rasa sesak yang segera memenuhi dadanya. Ia
mengukir lagi: Elina.
***
“Turuti
apa yang Ayah katakan! Berhenti memilih cita-cita semacam itu. Sampai kapanpun,
ayah takkan mengizinkanmu!” ruang makan malam itu panas. Laki-laki yang layak
dipanggil Ayah itu meledakkan amarah pada putrinya.
“Tapi....ayaaah,”
si anak masih mempertahankan cita-citanya. Air matanya meluncur deras.
“Tidaak!
Atau jika kau bersikeras, jangan anggap kau punya orang tua lagi!” Ayah
bergegas meninggalkan meja makan yang penuh kekecewaan itu. Saat cita-cita yang
sudah dibangun bertahun-tahun harus dipadamkan api semangatnya.
Malam
itu langit cerah berteman bintang-gemitang, kilauannya mengayunkan harapan
makin tinggi. Kilauannya menghibur hati yang sakit. Namun, sayang cerita itu
jauh di sana. Sedang keadaan seseorang di kamar biru ini, sedang gemuruh-kacau.
Seorang perempuan pemimpi sedang mengutuk nasibnya; mengubur impiannya.
“Ya
Tuhan, takkah Kau izinkan aku melanjutnya cita-cita ini? Aku sudah
mempersiapkan semuanya. Waktuku sudah habis menanti. Tapi, sesulit inikah jalan
citaku? Mengapa ayah melarangku? Apa salahku, Tuhaaan? Apa Kau tak menginginkan
kesuksesanku, Tuhaaaan? Tolong bantu aku memperjuangkan semuanyaaaaa. Beri aku
jalan terbaik, Tuhaaaan.....” Basah sudah kerudung yang dipakainya. Air matanya
berlomba-lomba berjatuhan. Sesegukkan ia menghabiskan malam itu dengan barisan
air matanya. Baginya cita-cita menjadi ‘pembela kebenaran’ adalah kemuliaan.
***
“Om
Peweng, lihat berapa yang kudapat?” Ale memerkan hasil mengamennya. Beberapa
bulan terakhir, ia mendapatkan hadiah pada hari ulang tahunnya. Sebuah gitar
tua yang warnanya tak lagi cerah, suaranya nyaris sumbang.
“Alhamdulillah,
Le. Kau hebat!” Laki-laki menyenangkan itu mengelus kepala Ale. Ia bangga, Ale
tumbuh menjadi laki-laki hebat dan pekerja keras. Perjuangan yang dilakukan
bertahun-tahun untuk mendidiknya berujung memuaskan.
“Om
Peweng, ambillah uang ini. Tabunganmu akan bertambah dan sebentar lagi Om
Peweng akan pergi ke Mekkah. Pergi berhaji.” Ale berseri. Ia menyerahkan uang
hasil mengamennya, demi mewujudkan mimpi Om Peweng −laki-laki yang menjadi
orang tuanya sejak kecil. Bagi Ale, Om Peweng adalah hartanya yang paling
berharga. Dialah manusia dengan segala peran menakjubkan. Om Peweng menjelma
jadi siapa saja, sesuai kebutuhan Ale. Ale benar-benar menyayanginya bahkan
nyawanya rela ia pertaruhkan demi om Peweng.
“Tabung
saja uang itu, Le. Kau tentu punya mimpi sepertiku. Kau hanya perlu berjanji
padaku. Sesulit apapun hidupmu jangan lakukan kejahatan apapun! Jaga ibadahmu!”
Laki-laki menyenangkan itu lagi-lagi mengelus kepala Ale. Ale adalah
satu-satunya harta yang diperjuangkan sepeninggalan istri dan anaknya paska
kebakaran hebat di pinggiran stasiun.
Waktu
mengalun begitu cepat, meninggalkan babak-babak kehidupan. Siang itu, matahari
terik, langit cerah berwarna kebiruan dengan hiasan gumpalan awan hujan. Riuh
suara orang-orang beraktivitas, ada yang menjajakan dagangannya dan jasa
motornya −ojek. Begitulah suasana “Stasiun Jatinegara”. Bangunan stasiun seluas
36.400 meter persegi. Atapnya berhiaskan cupola (puncak atap) dengan penangkal
petir yang unik dan lengkungan di tiap sisi pintunya yang berdinding tebal.
Menambah kesan arsitektur Eropa.
“Ahhhh,
kalau begini terus bagaimana aku akan kaya? Bagaimana dengan mimpi Om Peweng?”
Ale yang beranjak dewasa. Ia mulai bosan dengan aktivitasnya di dunia pengamen.
Suaranya terbuang percuma. Hanya dihargai satu sampai dua ribu saja, paling
kuat hanya sepuluh ribu. Sedang porsi makannya tak lagi sedikit. Kebutuhan
hidup pun makin mencekik.
Siang
itu dengan terik mentari, inisiatifnya berhenti dengan niatan jahat. Mulai hari
itu dan seterusnya, ia menyelipkan pekerjaan komorsialnya dengan niatan
tercela. Ale mengutil dompet-dompet tebal orang berdasi. Dan membagikannya
dengan anak-anak penjual asongan dan pengamen senasib. Persis hari ini, ia
melancarkan serangan lagi di dalam kereta api yang penuh-sesak penumpang.
Naasnya, kelakuannya tercium.
“Heh,
apa yang kau lakukan?” laki-laki paruh baya itu menegur Ale yang sedang
beroperasi.
Mendengar
itu, tanpa pikir panjang Ale lari sekencang-kencangnya tak mempedulikan jalanan
di dalam kereta. Perempuan yang berdiri di tengah pintu masuk menjadi korban
hari itu. Kakinya terhempas hebat akibat tertabrak Ale yang kesetanan, terhantam
keras pinggiran kereta.. Dompet yang dipegangnya terjatuh. Melihat itu, Ale
memanfaatkannya. Dompet sudah berpindah tangan. Perempuan malang itu terjatuh. Ia
meringis kesakitan.
***
Ale
membagi-bagikan uang hasil berburunya hari ini, tak lupa pada Mido. Selepas
itu, Ale pulang ke rumah hendak beristirahat. Namun, pikirannya kacau. Dompet
yang berhasil ia rebut tadi menakut-nakutinya. Dadanya berdebar hebat.
“Inikan
tabungan haji? Dompet siapa ini? Apa yang sudah aku lakukan?” Ale ketakutan. Ia
tahu, siapapun pemilik dompet ini, dia adalah orang baik-baik. Ale kebingungan
hendak bagaimana. Identitasnya tak ditemukan di dalam dompet ini. Hanya
tertinggal sebuah foto dan uang tiga ratus ribu.
“Dompet
siapa itu?” Om Peweng menangkap gerak-gerik Ale sejak tadi.
Ale
terdiam. Tanpa seizinnya, Om Peweng merebut dompet itu. Betapa kagetnya Om
Peweng, saat ia temukan buku tabungan haji di dalam dompet itu.
“Apa
yang sudah kau lakukan, Le? Inikah kerjamu yang mulia itu? Kau pencuri? Kau
lihat ini?” muka Om Peweng memerah padam. Hendak dihabisi Ale siang itu juga,
“Aku sedang memperjuangkannya, kenapa kau malah tega menghabisi mimpi pemilik
dompet ini? Apa kau gila? Aku tak pernah mendidikmu seperti ini!”
“Aku
tak sengaja mengambilnya, Om. Ini..ini.. untuk masalah ini bisa kujelaskan. Aku
memang mencuri tapi, niatku baik. Uangku aku bagikan kepada anak jalanan,
pengamen, penjual asongan, mereka....” Ale mengiba.
Ale
meringis kesakitan. Om Peweng menghadiahkan sebuah tamparan di wajah Ale,
“Takkan pernah ada pahala dalam keburukan! Kau buatku kecewa, Le! Kau racuni
aku dengan uang harammu! Pergi dan jangan kembali sebelum kau temukan pemilik
dompet ini! Pergi kau dari rumahku! Pergi!” Om Peweng berteriak sekeras
mungkin. Urat-urat di lehernya muncul bebas. Wajahnya merah nyala. Bajunya
masih lusuh-kotor sisa pekerjaannya menjadi kuli bangunan tadi.
Ale
tak bisa berucap apapun. Ia bingung hendak menjelaskan apalagi. Belum lagi, ia
bingung kemana rimbanya pemilik dompet ini. Ale lemas menyusuri stasiun. Di
peron 2 –pelantaran stasiun kereta api, Ale menghabiskan hari-hari
pencariannya. Memelas uang dengan gitar sumbangnya. Berharap, hari ini atau
hari esok, ia akan berjumpa pemilik dompet ini. Setiap hari dipandangi wajah
perempuan yang tersisa di dompet itu, mencocokkan penumpang yang setiap harinya
berdesakkan. Untunglah, Mido setia menemaninya. Mereka bagai kakak-adik yang
saling kasih-mengasihi. Mido merasa berhutang budi pada Ale. Ale yang
mengajarinya banyak hal, termasuk cara beribadah yang dipelajari Ale dari om
Peweng. Semenjak saat itu Mido mengabdikan dirinya untuk Ale, walaupun ia tak
tahu Ale pernah menjadi pencuri di kereta api.
Di
peron 2, Ale masih menunggu sambil harap-harap cemas. Sudah satu bulan, Ale tak
berhasil menemukannya. “Bagaimana kalau aku libatkan Mido? Mencarinya sendirian
hanya membuang waktu saja. Ahhh, tapi....Mido akan bertanya banyak hal. Aku tak
mau ia mengetahui masa lalu dan masalahku. Lupakan.”
***
“Namamu siapa? Kok kamu udah kerja, yaa? Usia
seumurmu seharusnya sekolah, Lho.” Sambil menyeruput air mineral, perempuan itu
menjejal Mido dengan berbagai pertanyaan.
“Mido,
Kak. Hehehe.. Aku tidak bersekolah. Tapi, aku bisa membaca.” Mido membagi
senyum pada perempuan itu, menunjukkan kepadanya bahwa Mido bahagia berdagang
asongan di pelataran stasiun ini.
“Oh
yaaa? Baguslah kalau begitu. Kalau kau mau belajar di sekolah, ingin bertemu banyak
teman, kau bisa temui kakak, besok. Di tempat ini. Kebetulan lima kilometer
dari stasiun ini, kakak ada kelas sosial. Jadi, kelas untuk anak-anak kurang
beruntung, begitu, Dik.” Perempuan itu memberikan kartu pengenalnya pada Mido.
Mungkin saja, Mido berminat.
“Baiklah,
terima kasih, Kak. Akan kuberi tahu kak Ale.” Mengambil kartu pengenal itu,
Mido berlari kegirangan. Ia senang kalau akhirnya dia bisa bersekolah
sungguhan.
Setelah
zuhur, Mido dan Ale menyantap nasi bungkus mereka. Rambut mereka basah karena
air wudhu, angin sepoi-sepoi menghantam mereka di pelantaran stasiuan, peron 2.
Mido memberi kabar bahagia itu, ia hendak sekolah. Ale malas membalas. Baginya
memikirkan siapa pemilik dompet itu, jauh lebih baik.
Hari
ini seperti perjanjian itu, Mido menunggu kedatangan kakak perempuan itu. Ia
juga mengajak Ale ikut dalam barisannya. Karena bagi Mido, Ale adalah orang
tuanya. Jadi, mau tidak mau, Ale harus memantau aktivitasnya.
“Sudah
dua jam kita menunggu, Mid. Kau mau kita tak makan hari ini? Daganganmu belum
kau jual, lalu gitarku masih bisu. Kita tunggu lain waktu saja.” Ale beranjak
pergi.
“Tunggu
sebentar lagi, Kak.” Mido memohon.
“Cukup,
Mid. Ada hal penting yang harus aku selesaikan.” Ale malas ribut.
“Aku
bisa membantumu. Tunggulah sebentar.” Mido tetap memohon.
“Kau
bisa belajar denganku. Tak perlu sekolah! Kau ambil foto ini, cari. Kalau kau
temukan dia. Segera temui aku.” Ale meninggalkan Mido begitu saja. Ia lelah
mencari pemilik dompet itu. Apalagi kerinduannya pada Om Peweng, sudah tak
terbendung lagi.
Mido
tersentak, kali pertamanya Ale berteriak padanya. Ia menunduk lemas sambil menerka-nerka
foto itu. Memperbaiki sisi yang terlipat. Foto yang sangat lusuh. “Siapa dia?
Kenapa wajahnya tak asing bagiku?” Masih asyik menerka, pembeli sudah menyerbu
dagangannya. Ia menyimpan foto itu disakunya.
***
Tepatnya
hari ini, seratus dua puluh hari pencarian pemilik dompet misteri itu. Ale
menggosok-gosok matanya. Jantung Ale berdebar kencang, Mido tengah berbincang
dengan permpuan yang ada difoto itu.
“Kak
Ale, siniiiiii!” Mido berteriak, melihat Ale berdiri mematung di dekat kereta. Ale
terkejut, ia mengangguk saja.
“Kak
Lina, ini kakakku. Kak Ale, namanya. Dia suka sekali menyanyi. Walaupun suara
gitarnya sumbang.” Mido memberi jembatan perkenalan.
“Ohhhhh,
ini kakakmu yang super itu, ya, Mid. Kakak sering melihatnya. Sewaktu kakak
masih kuliah di daerah Jakarta juga. Kalau pulang ke Bogor, ya naik keretanya
di stasiun ini. Ongkosnya hanya empat belas ribu, hematkan?” Mido dan Lina
tertawa kecil. Mereka kelihatan akrab. Sementara, Ale tetap bingung. Pikirannya
bercabang. Ale takut, perempuan itu mengenalnya lebih dari itu –pelaku
perampokkan itu.
“Wahhh,
baguslah kalau begitu, Kak Lina.” Mido merasa senang, kak Lina mengenal
kakaknya. Walaupun, Ale tak banyak bicara siang itu.
Hari
berganti minggu, semenjak pertemuan itu. Ale, Mido, dan Lina, mereka makin
sering bertatap muka. Apalagi setelah Mido mengikuti kelas sosial yang dibuat
oleh Lina. Jantung Ale masih setia berdebar kencang, entah ada rasa apa
dihatinya. Antara rasa bersalah atau rasa kurang ajar lainnya. Ale merasa ada
sesuatu yang menyetuh hatinya. Perempuan berkerudung itu, mampu menghadirkan
rasa yang berbeda pada dirinya. Namun, hari ini, Ale harus mengakui
kesalahannya. Semakin lama dipendam, akan semakin berbahaya. Selepas kelas
sosial siang itu, Ale meminta waktu untuk bicara pada Lina. Lina menerimanya.
“Lin..Aku
minta maaf ya, kumohon maafkan aku... “Kakimu seperti itu gara-gara aku” Ale
mulai pucat. Hendak mengeluarkan dompet yang pernah direbutnya
“Minta
maaf kenapa? Kenapa kakiku?” Lina kebingungan.
“Ini..” Tangan Ale bergetar. Menyerahkan
dompet itu pada pemiliknya. “Maafkan aku, Lin. Aku tak pernah bermaksud seperti
ini. Aku tak sengaja.”
Lina
terkejut melihat dompet itu, “Lebih baik menjauh dari hidupku. Pergi dan bawalah
Mido pergi dari tempat ini, kumohon.” Mata Lina berkaca, ada sesak yang
memenuhi ruang dihatinya. Ia tak ingin merusak hari ini. Meminta mereka pergi
adalah jalan terbaik.
“Tapi,
Elinaaa. Aku tak mengambil uang satu rupiah pun dari dompet itu. Aku berusaha
mencarimu kemana-mana. Tapi, aku tak menemukanmu. Ini saatnya. Jangan hukum
Mido. Dia anak baik, dia ingin bersekolah, Lin. Tolong... Ku mohooooon.” Ale
memohon.
“Jelas
kau takkan temukan aku, Le. Aku dirawat berbulan-bulan. Aku hampir kehilangan
kakiku karena peristiwa itu. Kakiku terancam lumpuh akibat benturan keras itu.
Kau yang menabrakku, kan Le? Kau juga yang mengambil kesempatan itu untuk
mengambil dompetku. Kau tau, ayahku hampir gila karena gagal pergi haji. Kau
tahu keluargaku berantakkan? Apa kau pernah memikirkan itu?” Elina, ya nama
perempuan tak beruntung itu Elina. Impiannya menjadi seorang polwan harus
dipatahkannya, kakinya tak lagi normal. Larangan ayahnya makin disetujui
takdir. Karena bagi ayahnya, melepas
kerudung yang telah disematkan, sama saja halnya dengan mempermainkan agama
yang dianutnya. Pilihan melepas kerudung dan menjadi polwan bukan takdir Tuhan
untuknya.
“Aku
lakukan ini demi kebaikan, Lin. Aku ingin menolong banyak orang yang tak
beruntung hidupnya.” Ale masih menjelaskan.
“Berhenti!
Kau tak bisa menyamakan kebaikan dan keburukan. Selamanya keburukan tetaplah
keburukan. Tak bisa kau ubah jadi kebaikkan. Pergilah, bawa Mido. Menjauhhh!”
“Tolong
jangan tambah bebanku lagi. Aku tak mencuri uangmu, Lin. Mido, masa depan Mido.
Sudah cukup aku kehilangan orang tuaku karena ini. Ini bukan kemauanku.
Mengertilah! Jika kau ingin menghukumku, jangan libatkan Mido. Ia ingin
sekolah, Lin.” Ale bingung, entah cara apalagi yang harus dilakukan.
Lina
berlalu dengan kaki pincangnya. Mido terpaku menyaksikan pertengkaran itu, sekolahnya
harus berakhir di hari ini. Mimpi-mimpi besar yang dirangkainya harus dibuang.
Semenjak kesalahan itu, Ale meletakkan Mido di panti asuhan. Sesekali, ia akan
menjumpai adiknya. Sisanya, ia habiskan jadi marbot mushola di dekat stasiun.
Beberapa jam ia habiskan mengamen, selebihnya ia membersihkan mushola yang sepi
pengujungnya itu.
Hari
ini, Ale menemui kontrakan om Peweng. Sungguh berat hatinya menerima
kenyataan, om Peweng sudah pindah tiga
bulan yang lalu. Hendak kemana ia mencari om Peweng. Ale terduduk di teras
kontrakan itu. Dikepalanya, ingatan itu berlarian datang. Ada rindu yang
tertahan. Ada sesalan yang tak bisa lagi dimaafkan. Ale merelakan pipinya
basah. Hari itu, dia kehilangan harapannya. Orang tuanya sudah pergi. Bahkan ia
tak lagi jadi bagian dari mimpi-mimpi Om Peweng. Ale menghancurkan mimpi-mimpi
Mido, bahkan mimpi Elina pun harus ia patahkan.
***
Ale
dan Mido duduk manis di kursi yang berhasil direbut dari penumpang-penumpang yang
berdesakkan tadi. Perjalanan ini mengisahkan sebuah luka. Kehadiran Elina ke
stasiun, berujung pada kertas berwarna biru muda bertuliskan “Undangan”. Selain
niat baiknya memberikan wewenang kepengurusan kelas sosial di dekat stasiun
padanya. Hari ini, seratus dua puluh hari lagi setelah kepergian Elina, Ale
masih menebar senyum, bersahaja dengan kupluk dikepalanya. Walau hatinya tak
lagi baik. Lukanya sudah mengangah. Betapa sakit dilupakan dan perihnya
kerinduan. Om Peweng tak lagi menyayanginya dan pergi jauh. Begitupun Elina,
meninggalkan seberkas rasa padanya. Midolah satu-satunya alasan untuk bertahan.
“Kalaupun hari ini aku harus
kehilangan Elina, tak mengapa. Aku berhak atas penolakan ini. Tapi, kehilangan
Om Peweng adalah luka terpahit dalam hidupku. Apakah kau tak mengingatku lagi
Om Peweng? Akulah harapanmu dulu, aku... hanya aku..Apakah Tuhan ingin
menghukumku terus-menerus? Hanya karena kesalahan di hari ke seratus dua puluh
hari itu?Bukankah aku sudah berbenah? Oh Tuhan jangan hukum aku..” Ale
membenak dalam hati, saat menikmati perjalanan di kereta ini. Om Peweng pernah
berjanji, akan mengajaknya pergi bertamasya naik kereta. Sayang, jangankan
menepati janji itu, keberadaannya pun tak lagi Ale tahu.
Sedang
jauh di sana, Elina menitikkan air mata. Ijab sudah dilafalkan sempurna. Entah
tangisan haru atau bagaimana. Lirik hatinya berkata: “Seandainya, dompet itu tak kau ambil, Le. Waktu akan berbaik hati
menyatukan kita”. Elina buru-buru tersadar. Ia hampir saja mengkhianati
sucinya ijab kabul pagi itu. Di Bogor, hujan turun derasnya. Laki-laki
menyenangkan itu menitikkan air matanya. Rindunya berujung luka. Egonya
mengukung cintanya pada Ale, seseorang yang pernah disebut sebagai harapannya.
Ale
mengelus kepala Mido. Hari ini, ia hendak pergi mendaftar sekolah menengah di
Bogor. Beasiswa menghadiahkan perjuangan Mido. Mido sangat bahagia. Ale tak
peduli undangan yang diterimanya. Baginya masa depan Mido dan kelas sosial yang
diamanahkan padanya lebih berharga. Maafkan
aku, Elina, Om Peweng. Tuhan, jagalah mereka untukku!
***
Alhamdulillah, naskah ini terpilih menjadi peringat dua dalam acara Bulan Bahasa 2015 di Universitas Islam Riau. Mohon sarannya, terima kasih ^^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar