Sabtu, 13 Februari 2016

Seratus Dua Puluh Hari


Stasiun ramai pagi ini. Pelantaran sesak karena antrian calon penumpang. Berdesak-desakkan mencari tempat teduh. Anak-anak pedagang asongan hilir mudik menjajakan minuman, tak peduli hujan menitik dengan derasnya di luar. Tak lama, suara kereta datang, bersahut-sahutan peluitnya. Penumpang dengan kaki-kaki lincahnya berduyun-duyun memenuhi kereta api kelas ekonomi itu −begitu antusias− selepas pemberhentian yang dilakukan masinis.

Stasiun Jatinegara
Ding dong.. Kereta Jurusan Jakarta-Bogor akan segera berangkat. Di mohon agar para penumpang bersiap-siap.
“Percepat langkahmu, Mid! Sebentar lagi kereta berangkat. Tetap pegang tanganku!” Terlihat laki-laki dewasa berkulit sawo matang berlari bersama adik laki-lakinya menerobos keramaian penumpang yang hendak masuk ke dalam kereta. Keduanya kepayahan berlari mencari celah. Keringat mengalir pelan.

Berkat usaha sang kakak, mereka berdua mendapatkan jatah kursi. Laki-laki pemilik wajah bersahaja itu memilih kursi urutan ketiga persis di dekat jendela. Badannya sungguh tegap −nampak berisi. Rambutnya hitam ikal tertutup Beanie Hat –kupluk; sejenis topi rajutan yang tepat digunakan saat hawa dingin atau musim hujan. Sama seperti hari ini, musim hujan di bulan Desember sudah menyapa. Hujan dengan ramahnya turun. Beruntung, stasiun tidak banjir. Hanya membuat sekitar basah saja. Hawa dingin mulai berdomisili di kereta ekonomi itu. Sesekali kaca jendela berembun. Tiba-tiba, tangan laki-laki itu terangkat, semakin mendekati kaca di jendela. Diukirnyalah tulisan sederhana dengan telunjuknya. Sebentar-bentar dihapusnya. Mengukir lagi, dihapus lagi. Ada rasa sesak yang segera memenuhi dadanya. Ia mengukir lagi: Elina.


***

“Turuti apa yang Ayah katakan! Berhenti memilih cita-cita semacam itu. Sampai kapanpun, ayah takkan mengizinkanmu!” ruang makan malam itu panas. Laki-laki yang layak dipanggil Ayah itu meledakkan amarah pada putrinya.

“Tapi....ayaaah,” si anak masih mempertahankan cita-citanya. Air matanya meluncur deras.

“Tidaak! Atau jika kau bersikeras, jangan anggap kau punya orang tua lagi!” Ayah bergegas meninggalkan meja makan yang penuh kekecewaan itu. Saat cita-cita yang sudah dibangun bertahun-tahun harus dipadamkan api semangatnya.

Malam itu langit cerah berteman bintang-gemitang, kilauannya mengayunkan harapan makin tinggi. Kilauannya menghibur hati yang sakit. Namun, sayang cerita itu jauh di sana. Sedang keadaan seseorang di kamar biru ini, sedang gemuruh-kacau. Seorang perempuan pemimpi sedang mengutuk nasibnya; mengubur impiannya.

“Ya Tuhan, takkah Kau izinkan aku melanjutnya cita-cita ini? Aku sudah mempersiapkan semuanya. Waktuku sudah habis menanti. Tapi, sesulit inikah jalan citaku? Mengapa ayah melarangku? Apa salahku, Tuhaaan? Apa Kau tak menginginkan kesuksesanku, Tuhaaaan? Tolong bantu aku memperjuangkan semuanyaaaaa. Beri aku jalan terbaik, Tuhaaaan.....” Basah sudah kerudung yang dipakainya. Air matanya berlomba-lomba berjatuhan. Sesegukkan ia menghabiskan malam itu dengan barisan air matanya. Baginya cita-cita menjadi ‘pembela kebenaran’ adalah kemuliaan.

***

“Om Peweng, lihat berapa yang kudapat?” Ale memerkan hasil mengamennya. Beberapa bulan terakhir, ia mendapatkan hadiah pada hari ulang tahunnya. Sebuah gitar tua yang warnanya tak lagi cerah, suaranya nyaris sumbang.

“Alhamdulillah, Le. Kau hebat!” Laki-laki menyenangkan itu mengelus kepala Ale. Ia bangga, Ale tumbuh menjadi laki-laki hebat dan pekerja keras. Perjuangan yang dilakukan bertahun-tahun untuk mendidiknya berujung memuaskan.

“Om Peweng, ambillah uang ini. Tabunganmu akan bertambah dan sebentar lagi Om Peweng akan pergi ke Mekkah. Pergi berhaji.” Ale berseri. Ia menyerahkan uang hasil mengamennya, demi mewujudkan mimpi Om Peweng −laki-laki yang menjadi orang tuanya sejak kecil. Bagi Ale, Om Peweng adalah hartanya yang paling berharga. Dialah manusia dengan segala peran menakjubkan. Om Peweng menjelma jadi siapa saja, sesuai kebutuhan Ale. Ale benar-benar menyayanginya bahkan nyawanya rela ia pertaruhkan demi om Peweng.

“Tabung saja uang itu, Le. Kau tentu punya mimpi sepertiku. Kau hanya perlu berjanji padaku. Sesulit apapun hidupmu jangan lakukan kejahatan apapun! Jaga ibadahmu!” Laki-laki menyenangkan itu lagi-lagi mengelus kepala Ale. Ale adalah satu-satunya harta yang diperjuangkan sepeninggalan istri dan anaknya paska kebakaran hebat di pinggiran stasiun.

Waktu mengalun begitu cepat, meninggalkan babak-babak kehidupan. Siang itu, matahari terik, langit cerah berwarna kebiruan dengan hiasan gumpalan awan hujan. Riuh suara orang-orang beraktivitas, ada yang menjajakan dagangannya dan jasa motornya −ojek. Begitulah suasana “Stasiun Jatinegara”. Bangunan stasiun seluas 36.400 meter persegi. Atapnya berhiaskan cupola (puncak atap) dengan penangkal petir yang unik dan lengkungan di tiap sisi pintunya yang berdinding tebal. Menambah kesan arsitektur Eropa.

“Ahhhh, kalau begini terus bagaimana aku akan kaya? Bagaimana dengan mimpi Om Peweng?” Ale yang beranjak dewasa. Ia mulai bosan dengan aktivitasnya di dunia pengamen. Suaranya terbuang percuma. Hanya dihargai satu sampai dua ribu saja, paling kuat hanya sepuluh ribu. Sedang porsi makannya tak lagi sedikit. Kebutuhan hidup pun makin mencekik.

Siang itu dengan terik mentari, inisiatifnya berhenti dengan niatan jahat. Mulai hari itu dan seterusnya, ia menyelipkan pekerjaan komorsialnya dengan niatan tercela. Ale mengutil dompet-dompet tebal orang berdasi. Dan membagikannya dengan anak-anak penjual asongan dan pengamen senasib. Persis hari ini, ia melancarkan serangan lagi di dalam kereta api yang penuh-sesak penumpang. Naasnya, kelakuannya tercium.

“Heh, apa yang kau lakukan?” laki-laki paruh baya itu menegur Ale yang sedang beroperasi.
Mendengar itu, tanpa pikir panjang Ale lari sekencang-kencangnya tak mempedulikan jalanan di dalam kereta. Perempuan yang berdiri di tengah pintu masuk menjadi korban hari itu. Kakinya terhempas hebat akibat tertabrak Ale yang kesetanan, terhantam keras pinggiran kereta.. Dompet yang dipegangnya terjatuh. Melihat itu, Ale memanfaatkannya. Dompet sudah berpindah tangan. Perempuan malang itu terjatuh. Ia meringis kesakitan.

***

Ale membagi-bagikan uang hasil berburunya hari ini, tak lupa pada Mido. Selepas itu, Ale pulang ke rumah hendak beristirahat. Namun, pikirannya kacau. Dompet yang berhasil ia rebut tadi menakut-nakutinya. Dadanya berdebar hebat.

“Inikan tabungan haji? Dompet siapa ini? Apa yang sudah aku lakukan?” Ale ketakutan. Ia tahu, siapapun pemilik dompet ini, dia adalah orang baik-baik. Ale kebingungan hendak bagaimana. Identitasnya tak ditemukan di dalam dompet ini. Hanya tertinggal sebuah foto dan uang tiga ratus ribu.

“Dompet siapa itu?” Om Peweng menangkap gerak-gerik Ale sejak tadi.

Ale terdiam. Tanpa seizinnya, Om Peweng merebut dompet itu. Betapa kagetnya Om Peweng, saat ia temukan buku tabungan haji di dalam dompet itu.

“Apa yang sudah kau lakukan, Le? Inikah kerjamu yang mulia itu? Kau pencuri? Kau lihat ini?” muka Om Peweng memerah padam. Hendak dihabisi Ale siang itu juga, “Aku sedang memperjuangkannya, kenapa kau malah tega menghabisi mimpi pemilik dompet ini? Apa kau gila? Aku tak pernah mendidikmu seperti ini!”

“Aku tak sengaja mengambilnya, Om. Ini..ini.. untuk masalah ini bisa kujelaskan. Aku memang mencuri tapi, niatku baik. Uangku aku bagikan kepada anak jalanan, pengamen, penjual asongan, mereka....” Ale mengiba.

Ale meringis kesakitan. Om Peweng menghadiahkan sebuah tamparan di wajah Ale, “Takkan pernah ada pahala dalam keburukan! Kau buatku kecewa, Le! Kau racuni aku dengan uang harammu! Pergi dan jangan kembali sebelum kau temukan pemilik dompet ini! Pergi kau dari rumahku! Pergi!” Om Peweng berteriak sekeras mungkin. Urat-urat di lehernya muncul bebas. Wajahnya merah nyala. Bajunya masih lusuh-kotor sisa pekerjaannya menjadi kuli bangunan tadi.

Ale tak bisa berucap apapun. Ia bingung hendak menjelaskan apalagi. Belum lagi, ia bingung kemana rimbanya pemilik dompet ini. Ale lemas menyusuri stasiun. Di peron 2 –pelantaran stasiun kereta api, Ale menghabiskan hari-hari pencariannya. Memelas uang dengan gitar sumbangnya. Berharap, hari ini atau hari esok, ia akan berjumpa pemilik dompet ini. Setiap hari dipandangi wajah perempuan yang tersisa di dompet itu, mencocokkan penumpang yang setiap harinya berdesakkan. Untunglah, Mido setia menemaninya. Mereka bagai kakak-adik yang saling kasih-mengasihi. Mido merasa berhutang budi pada Ale. Ale yang mengajarinya banyak hal, termasuk cara beribadah yang dipelajari Ale dari om Peweng. Semenjak saat itu Mido mengabdikan dirinya untuk Ale, walaupun ia tak tahu Ale pernah menjadi pencuri di kereta api.

Di peron 2, Ale masih menunggu sambil harap-harap cemas. Sudah satu bulan, Ale tak berhasil menemukannya. “Bagaimana kalau aku libatkan Mido? Mencarinya sendirian hanya membuang waktu saja. Ahhh, tapi....Mido akan bertanya banyak hal. Aku tak mau ia mengetahui masa lalu dan masalahku. Lupakan.”

***

 “Namamu siapa? Kok kamu udah kerja, yaa? Usia seumurmu seharusnya sekolah, Lho.” Sambil menyeruput air mineral, perempuan itu menjejal Mido dengan berbagai pertanyaan.

“Mido, Kak. Hehehe.. Aku tidak bersekolah. Tapi, aku bisa membaca.” Mido membagi senyum pada perempuan itu, menunjukkan kepadanya bahwa Mido bahagia berdagang asongan di pelataran stasiun ini.

“Oh yaaa? Baguslah kalau begitu. Kalau kau mau belajar di sekolah, ingin bertemu banyak teman, kau bisa temui kakak, besok. Di tempat ini. Kebetulan lima kilometer dari stasiun ini, kakak ada kelas sosial. Jadi, kelas untuk anak-anak kurang beruntung, begitu, Dik.” Perempuan itu memberikan kartu pengenalnya pada Mido. Mungkin saja, Mido berminat.

“Baiklah, terima kasih, Kak. Akan kuberi tahu kak Ale.” Mengambil kartu pengenal itu, Mido berlari kegirangan. Ia senang kalau akhirnya dia bisa bersekolah sungguhan.

Setelah zuhur, Mido dan Ale menyantap nasi bungkus mereka. Rambut mereka basah karena air wudhu, angin sepoi-sepoi menghantam mereka di pelantaran stasiuan, peron 2. Mido memberi kabar bahagia itu, ia hendak sekolah. Ale malas membalas. Baginya memikirkan siapa pemilik dompet itu, jauh lebih baik.

Hari ini seperti perjanjian itu, Mido menunggu kedatangan kakak perempuan itu. Ia juga mengajak Ale ikut dalam barisannya. Karena bagi Mido, Ale adalah orang tuanya. Jadi, mau tidak mau, Ale harus memantau aktivitasnya.

“Sudah dua jam kita menunggu, Mid. Kau mau kita tak makan hari ini? Daganganmu belum kau jual, lalu gitarku masih bisu. Kita tunggu lain waktu saja.” Ale beranjak pergi.

“Tunggu sebentar lagi, Kak.” Mido memohon.

“Cukup, Mid. Ada hal penting yang harus aku selesaikan.” Ale malas ribut.

“Aku bisa membantumu. Tunggulah sebentar.” Mido tetap memohon.

“Kau bisa belajar denganku. Tak perlu sekolah! Kau ambil foto ini, cari. Kalau kau temukan dia. Segera temui aku.” Ale meninggalkan Mido begitu saja. Ia lelah mencari pemilik dompet itu. Apalagi kerinduannya pada Om Peweng, sudah tak terbendung lagi.

Mido tersentak, kali pertamanya Ale berteriak padanya. Ia menunduk lemas sambil menerka-nerka foto itu. Memperbaiki sisi yang terlipat. Foto yang sangat lusuh. “Siapa dia? Kenapa wajahnya tak asing bagiku?” Masih asyik menerka, pembeli sudah menyerbu dagangannya. Ia menyimpan foto itu disakunya.

***

Tepatnya hari ini, seratus dua puluh hari pencarian pemilik dompet misteri itu. Ale menggosok-gosok matanya. Jantung Ale berdebar kencang, Mido tengah berbincang dengan permpuan yang ada difoto itu.

“Kak Ale, siniiiiii!” Mido berteriak, melihat Ale berdiri mematung di dekat kereta. Ale terkejut, ia mengangguk saja.

“Kak Lina, ini kakakku. Kak Ale, namanya. Dia suka sekali menyanyi. Walaupun suara gitarnya sumbang.” Mido memberi jembatan perkenalan.

“Ohhhhh, ini kakakmu yang super itu, ya, Mid. Kakak sering melihatnya. Sewaktu kakak masih kuliah di daerah Jakarta juga. Kalau pulang ke Bogor, ya naik keretanya di stasiun ini. Ongkosnya hanya empat belas ribu, hematkan?” Mido dan Lina tertawa kecil. Mereka kelihatan akrab. Sementara, Ale tetap bingung. Pikirannya bercabang. Ale takut, perempuan itu mengenalnya lebih dari itu –pelaku perampokkan itu.

“Wahhh, baguslah kalau begitu, Kak Lina.” Mido merasa senang, kak Lina mengenal kakaknya. Walaupun, Ale tak banyak bicara siang itu.

Hari berganti minggu, semenjak pertemuan itu. Ale, Mido, dan Lina, mereka makin sering bertatap muka. Apalagi setelah Mido mengikuti kelas sosial yang dibuat oleh Lina. Jantung Ale masih setia berdebar kencang, entah ada rasa apa dihatinya. Antara rasa bersalah atau rasa kurang ajar lainnya. Ale merasa ada sesuatu yang menyetuh hatinya. Perempuan berkerudung itu, mampu menghadirkan rasa yang berbeda pada dirinya. Namun, hari ini, Ale harus mengakui kesalahannya. Semakin lama dipendam, akan semakin berbahaya. Selepas kelas sosial siang itu, Ale meminta waktu untuk bicara pada Lina. Lina menerimanya.

“Lin..Aku minta maaf ya, kumohon maafkan aku... “Kakimu seperti itu gara-gara aku” Ale mulai pucat. Hendak mengeluarkan dompet yang pernah direbutnya

“Minta maaf kenapa? Kenapa kakiku?” Lina kebingungan.

 “Ini..” Tangan Ale bergetar. Menyerahkan dompet itu pada pemiliknya. “Maafkan aku, Lin. Aku tak pernah bermaksud seperti ini. Aku tak sengaja.”

Lina terkejut melihat dompet itu, “Lebih baik menjauh dari hidupku. Pergi dan bawalah Mido pergi dari tempat ini, kumohon.” Mata Lina berkaca, ada sesak yang memenuhi ruang dihatinya. Ia tak ingin merusak hari ini. Meminta mereka pergi adalah jalan terbaik.

“Tapi, Elinaaa. Aku tak mengambil uang satu rupiah pun dari dompet itu. Aku berusaha mencarimu kemana-mana. Tapi, aku tak menemukanmu. Ini saatnya. Jangan hukum Mido. Dia anak baik, dia ingin bersekolah, Lin. Tolong... Ku mohooooon.” Ale memohon.

“Jelas kau takkan temukan aku, Le. Aku dirawat berbulan-bulan. Aku hampir kehilangan kakiku karena peristiwa itu. Kakiku terancam lumpuh akibat benturan keras itu. Kau yang menabrakku, kan Le? Kau juga yang mengambil kesempatan itu untuk mengambil dompetku. Kau tau, ayahku hampir gila karena gagal pergi haji. Kau tahu keluargaku berantakkan? Apa kau pernah memikirkan itu?” Elina, ya nama perempuan tak beruntung itu Elina. Impiannya menjadi seorang polwan harus dipatahkannya, kakinya tak lagi normal. Larangan ayahnya makin disetujui takdir.  Karena bagi ayahnya, melepas kerudung yang telah disematkan, sama saja halnya dengan mempermainkan agama yang dianutnya. Pilihan melepas kerudung dan menjadi polwan bukan takdir Tuhan untuknya.

“Aku lakukan ini demi kebaikan, Lin. Aku ingin menolong banyak orang yang tak beruntung hidupnya.” Ale masih menjelaskan.

“Berhenti! Kau tak bisa menyamakan kebaikan dan keburukan. Selamanya keburukan tetaplah keburukan. Tak bisa kau ubah jadi kebaikkan. Pergilah, bawa Mido. Menjauhhh!”

“Tolong jangan tambah bebanku lagi. Aku tak mencuri uangmu, Lin. Mido, masa depan Mido. Sudah cukup aku kehilangan orang tuaku karena ini. Ini bukan kemauanku. Mengertilah! Jika kau ingin menghukumku, jangan libatkan Mido. Ia ingin sekolah, Lin.” Ale bingung, entah cara apalagi yang harus dilakukan.

Lina berlalu dengan kaki pincangnya. Mido terpaku menyaksikan pertengkaran itu, sekolahnya harus berakhir di hari ini. Mimpi-mimpi besar yang dirangkainya harus dibuang. Semenjak kesalahan itu, Ale meletakkan Mido di panti asuhan. Sesekali, ia akan menjumpai adiknya. Sisanya, ia habiskan jadi marbot mushola di dekat stasiun. Beberapa jam ia habiskan mengamen, selebihnya ia membersihkan mushola yang sepi pengujungnya itu.

Hari ini, Ale menemui kontrakan om Peweng. Sungguh berat hatinya menerima kenyataan,  om Peweng sudah pindah tiga bulan yang lalu. Hendak kemana ia mencari om Peweng. Ale terduduk di teras kontrakan itu. Dikepalanya, ingatan itu berlarian datang. Ada rindu yang tertahan. Ada sesalan yang tak bisa lagi dimaafkan. Ale merelakan pipinya basah. Hari itu, dia kehilangan harapannya. Orang tuanya sudah pergi. Bahkan ia tak lagi jadi bagian dari mimpi-mimpi Om Peweng. Ale menghancurkan mimpi-mimpi Mido, bahkan mimpi Elina pun harus ia patahkan.

***

Ale dan Mido duduk manis di kursi yang berhasil direbut dari penumpang-penumpang yang berdesakkan tadi. Perjalanan ini mengisahkan sebuah luka. Kehadiran Elina ke stasiun, berujung pada kertas berwarna biru muda bertuliskan “Undangan”. Selain niat baiknya memberikan wewenang kepengurusan kelas sosial di dekat stasiun padanya. Hari ini, seratus dua puluh hari lagi setelah kepergian Elina, Ale masih menebar senyum, bersahaja dengan kupluk dikepalanya. Walau hatinya tak lagi baik. Lukanya sudah mengangah. Betapa sakit dilupakan dan perihnya kerinduan. Om Peweng tak lagi menyayanginya dan pergi jauh. Begitupun Elina, meninggalkan seberkas rasa padanya. Midolah satu-satunya alasan untuk bertahan.

“Kalaupun hari ini aku harus kehilangan Elina, tak mengapa. Aku berhak atas penolakan ini. Tapi, kehilangan Om Peweng adalah luka terpahit dalam hidupku. Apakah kau tak mengingatku lagi Om Peweng? Akulah harapanmu dulu, aku... hanya aku..Apakah Tuhan ingin menghukumku terus-menerus? Hanya karena kesalahan di hari ke seratus dua puluh hari itu?Bukankah aku sudah berbenah? Oh Tuhan jangan hukum aku..” Ale membenak dalam hati, saat menikmati perjalanan di kereta ini. Om Peweng pernah berjanji, akan mengajaknya pergi bertamasya naik kereta. Sayang, jangankan menepati janji itu, keberadaannya pun tak lagi Ale tahu.

Sedang jauh di sana, Elina menitikkan air mata. Ijab sudah dilafalkan sempurna. Entah tangisan haru atau bagaimana. Lirik hatinya berkata: “Seandainya, dompet itu tak kau ambil, Le. Waktu akan berbaik hati menyatukan kita”. Elina buru-buru tersadar. Ia hampir saja mengkhianati sucinya ijab kabul pagi itu. Di Bogor, hujan turun derasnya. Laki-laki menyenangkan itu menitikkan air matanya. Rindunya berujung luka. Egonya mengukung cintanya pada Ale, seseorang yang pernah disebut sebagai harapannya.


Ale mengelus kepala Mido. Hari ini, ia hendak pergi mendaftar sekolah menengah di Bogor. Beasiswa menghadiahkan perjuangan Mido. Mido sangat bahagia. Ale tak peduli undangan yang diterimanya. Baginya masa depan Mido dan kelas sosial yang diamanahkan padanya lebih berharga. Maafkan aku, Elina, Om Peweng. Tuhan, jagalah mereka untukku!


***

Alhamdulillah, naskah ini terpilih menjadi peringat dua dalam acara Bulan Bahasa 2015 di Universitas Islam Riau. Mohon sarannya, terima kasih ^^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar