Sabtu, 12 Maret 2016

Asal Mula Malming-Baper

"Kemana malming?" tanya Rebo kebingungan.

"Aku juga bingung, Bo. Coba kamu tanya Sebtu." Kemis sedang bersantai dengan tayangan kesayangannya.

"Gimana, Tu?" Rebo mencolek Sebtu yang sejak tadi murung.

"Untuk apa dicari, untuk apa ditunggu? Tidak penting!" Sebtu menggerutu kesal. Rencana indahnya bersama Pera gagal total.

"Loh? Kenapa?" Kemis ikut antusias.

"Aku tau, Pera lebih menyukai malming dibanding Sebtu, ya aku ini. Dia selalu menelantarkan aku. Tepatnya, hati dan perasaanku!" Sebtu memelas; hatinya sakit.

Suasana malam itu berubah menjadi hening. Rebo dan Kemis bingung. Seserius itukah arah pembicaraan Sebtu.

"Kenapa hening?" Sebtu mendelik.

Rebo dan Kemis menggeleng; acuh tak acuh.Memang tidak tau.

"Nah sekarang, kalian berdua masih juga bertanya 'kemana malming?' Lebih baik aku tidur, karena kalian tak mengenali aku, hati, dan perasaanku. Aku sakit. Katakan pada malming 'aku sakit'." Sebtu meninggalkan ruangan itu. Baginya bertanya tentang malming, hanya menambah rintikkan dukanya makin deras. Sama seperti malam ini, hujan menjatuhkan ribuan pasukan air. Jatuh mengalir di atap rumah petak Rebo, Kemis, dan Sebtu.

***

Sebtu mengurung dirinya. Mengurung kebahagiaanya makin dalam. Amarahnya sudah mengepul bebas. Ibarat asap, hasrat amarahnya sudah membumbung parah dan pekat di angkasa.

Malam ini, ia ingin melemparkan serapahnya pada gemuruh. Agar semesta tau, dia tengah berduka. Agar semesta mau membalaskan sakit hatinya. Kepada kekasihnya yang lalu. Kepada sahabatnya yang kini sebentar lagi akan menggantikan posisinya di pelaminan.

"Oh gemuruh... Bisakah kau membantuku? Bisakah kau hadiahkan kutukan ini pada mereka? Jika memang cinta diantara keduanya adalah cinta sejati, maka biarlah aku menikmati hari-hari bebasku, hari libur untuk semua dukaku! Bantu aku melupakannya!" Sebtu menatap langit yang sesekali terang karena bertemu kilat. Dia berharap, keikhlasan hatinya akan menghadirkan kebahagiaan yang lain. Tetap berharap kebaikan untuk orang lain, untuk Pera juga sahabatnya.

Sementara itu, Rebo dan Kemis sudah asyik mencuri rintihan hati Sebtu di balik pintu kamarnya. Mereka tau, luka Sebtu bukan sebuah candaan yang bisa dijadikan bahan hiburan.

***
Tiba-tiba, terdengar suara salam seseorang.

Rebo dan Kemis berburu. Berebut ingin membuka pintu.

"Biar aku, Bo." Kemis menghentikan langkah Rebo.

"Minggir! Biar aku yang membukanya!" Rebo pun berusaha menghentikan langkah Kemis.

Sementara itu, suara dibalik pintu masih berbunyi. Sekarang makin cepat.

"Rebo, Kemis, buka pintu! Aku basah kuyup!" suara dari balik pintu.

"Ah, sialan. Dia yang datang. Kukira delivery yang kita pesan." Rebo dan Kemis kecewa. Mereka kembali ke ruang tv. Menunggu tamu yang sebenarnya.

"Rebo, Kemisssssss! Buka pintunya!" sementara suara itu terus menerus berbunyi tanpa henti.

Sayang, Rebo dan Kemis sudah menyumbat telinga mereka dengan musik.

***

Tak lama kemudian, terdengar suara dentuman. Langkah yang gusar itu menuju suara yang berada di balik pintu. Pintu berdecit. Demi melihat seseorang di balik pintu itu, Sebtu berubah jadi gemetar.

"Tunggu...." suara itu benar-benar menghentikan langkah Sebtu.

"Berhentilah jika kau mencintai aku. Tolong, berhenti! Aku bisa menghentikan semua ini!" Itu suara Pera, iya itu suara Pera.

Langit kembali terang, pertanda genuruh akan datang. Sebtu sudah bersiap dengan serapahnya. Ini saatnya.

1...2...3... Glrrrrkkkkkk!

"Aku bersumpah aku akan bahagia dengan hari-hari bebasku! Kau bukan milikku. Kau hanya jodohnya!" Sebtu berlari, mengunci dirinya.

Di dalam kamar. Sebtu merenungi pilihannya. Setidaknya, dia yakin gemuruh akan mengabulkan permintaannya. Itu cukup membuatnya tenang.

"Aku takkan memaksakan kehendak Tuhan. Jika semesta tak mengharapkan aku bersamanya. Maka tugasku hanya bahagia bersama ketetapan-Nya. Aku, Sebtu, akan selalu bahagia. Aku bisa menikmati hari bahagiaku, berlibur dari luka. Aku bahagia! Walau kutau, hari ini, esok,  ataupun selamanya malming akan terus bersama baper. Aku rela!" Sebtu menutup malam itu dengan cinta tak terbalasnya.

***

Sementara, Rebo dan Kemis lagi-lagi terlambat. Mereka melepas penyumbat telinga mereka. Menemui tamu yang tak diharapkan tadi.

"Malming? Baper? Eh, Mbak Pera maksudnya?" Rebo dan Kemis pura-pura tak tau.

"Kenapa kalian tidak membukakan pintu untukku? Kau lihat aku sudah basah kuyup. Aku datang kemari, ingin mengundang kalian ke acara pernikahanku dan dia." Rebo dan Kemis baru menyadari kesakitan Sebtu yang sebenarnya.

"Lalu, bagaimana dengan Sebtu? Kau, kita ini sahabat. Mengapa kau memberinya hari-hari duka?" Kemis menatapnya tajam.

"Dia mencintai aku. Aku mencintainya. Dengan izin atau tanpa izin kalian pun, akan tetap menikahinya." Percakapan berakhir begitu saja. Menyisakan sunyi.

Rebo dan Kemis mengusap dadanya. Mereka tak percaya atas kenyataan yang hadir dihadapannya. Inilah luka yang tak berdarah itu. Menyakitkan sungguh.Mereka berusaha memanggil Sebtu; berkali-kali. Sayang tak berbalas apa-apa. Kamar Sebtu sudah hening.

Malam itu, ada banyak pertanyaan yang tak bisa dipikirkan keabsahannya. Pernikahan yang penuh kesakralan tetap terjadi. Tak peduli perasaan Sebtu. Tak peduli sakit hatinya Sebtu. Gemuruh sudah menjawab serapahnya. Bahwa benar mereka keduanya adalah cinta sejati. Dan cinta milik Sebtu adalah cinta sendiri. Sebtu kini berhak bahagia, berhak merasakan hari libur untuk semua dukanya. Karena bagi Sebtu mencintai Pera adalah kesakitan yang menyebabkan luka. Melepasnya pergi, itu pilihan terbaik.

Di hari itu... Resmilah pernikahan malming (Selamat Minggu) dan baper (Mbak Pera).

Itulah asal mula mengapa malam Minggu sering memunculkan baper. Mungkin inilah yang dinamakan cinta sejati (?)
Dan inilah juga asal mula mengapa hari Sabtu diidentikkan dengan weekend (Hari Libur). Ini karena serapah Sebtu yang dikabulkan semesta. Ia ingin libur dari dukanya, bebas. Dengan cara melepaskan sesuatu yang bukan takdirnya.

Just intermezzo~

1 komentar:

  1. Aku agak susah mencerna gara2 nama hari diplesetin hahaha otak ku mendet wkwk

    BalasHapus