Jumat, 23 Desember 2016

The Power of Qada (Diary 3)

Bulan-bulan tertinggal di belakang. Menyisikan setiap langkahan kaki yang pernah mengiringi. Bayang-bayang. Hanya ayunan biasa. Atau terlupakan begitu saja. Atau malah menjadi kenangan yang tak seberapa. Baiklah, bagi kalian, mungkin cerita ini hanyalah ketidakpentingan belaka atau cerita klasik yang sudah lumrah seperti kebanyakan. Namun, apakah kita lupa? Bukankah rasa kecewa itu tetap sama dalam cerita klasik? Tetap menyakitkan.

***

Beberapa bulan ke depan, cerita kelas sastraku hanya terdengar flat. Tidak ada hal spesial yang harus diceritakan. Nothing. Jadi, untuk bulan ini kebetulan itu tidak kutemukan•••

Baiklah, cerita ini dialihkan di semester selanjutnya. Saat aku, Eno, dan salah satu temanku lainnya, Ririn, memutuskan untuk berganti haluan. Kami memutuskan memilih kelompok B. Dan dengan mudah ditebak, kebetulan itu mengikutiku. Sayang, aku tak pernah menyadari kalaulah kebetulan itu memang akulah yang mengaturnya sendiri.

Semenjak saat itu, jadwalku terasa lebih menarik. Tentu saja karena aku menganggap kebetulan itu hal yang tak mudah didapat oleh setiap orang. Walau pada akhirnya, aku harus benar-benar mengedit apa yang sudah aku tuliskan tadi. Huh.

Tepat hari ini, entah hari apa kala itu. Ada pembagian kelompok. Dan... Kabar dukanya, ehh gembiranya, kelompok ditentukan dosennya. Aku sebenarnya ketakutan. Takut Eno tak sekelompok denganku. Sedangkan, aku tak cukup baik mengenal yang lainnya.

"Pasti kita nggak satu kelompok, Ken." Eno memonyongkan bibirnya.

Aku diam, sebenarnya mengiyakan bicaranya Eno. Hampir setiap pembagian kelompok, aku tak pernah berjodoh dengannya. Padahal apa salahku? Bukankah aku dan Eno sahabat? Jadi, haruskah lebih seru kalau dipisahkan? Tapi, entah apa namanya, kebetulan. Atau apalah itu. Memang aku tak pernah bisa satu kelompok dengannya.

"Kita dengar baik-baik, yaa." Eno masih bisa senyum. Aku? Aku sudah malas bicara, sejak tau kelompokku dan Eno pasti berbeda.

Satu per satu nama telah menemukan kelompoknya. Dan yang aku takutkan, benar-benar menjadi kenyataan. Bak digulingkan ke jurang, aku merasa jatuh dan gagal lagi. Ah, itu bahasa yang berlebihan ya? Tapi, memang kecewa sekali. Aku dan Eno selalu berakhir naas. Aku dengan keyakinan penuh merasa takkan mampu menyelesaikan tugas ini dengan baik, kalau anggota kelompokku tak kukenal dengan baik. Nggak akan asyik.

Tiba-tiba... Kelompok 8 menghendaki namaku. Namaku disebut keras. KEN, MYTHA RISTYA, AZKA DEWANTARA. Demi mendengar nama itu, jantungku berdegup kencang. Kaget. Aku mendekapkan jari ke jantung. Anggota tubuhku segera kontraksi. Stimulusku berjalan tanpa kendali pemiliknya. Mendengar nama itu benar-benar disebut untuk kelompokku. Eno tiba-tiba melirikku. Entah notif apa yang berhasil ditangkapnya. Aku mendelik kasar padanya.

"Kau kenapa, Ken?" Eno menahan senyumnya. Aku jadi malu sendiri.

Sementara aku yang duduk tak jauh dari 'mereka' mendengar sayup-sayup.

"Gampang kalau satu kelompok dengan Ken, apalagi ada Eno. Iyakan, No?" David menyerukan nada persekongkolan mereka. Sialan mereka satu kelompok, dan satu kelas. Sementara aku? Aku terpecah belah dengan teman satu kelasku yang mengikuti kelas sastra ini.

David dengan gayanya, ikut-ikutan mempengaruhi Azka. Kata David, siapapun yang satu kelompok denganku, tugas kelompoknya pasti beres.

Aku menjawab dalam hati, "Ah, seenaknya saja kau bicara seperti itu, Vid!"

"Ken!" ada yang memanggilku, jelas itu bukan Eno. Eno sedang mengurusi kelompoknya juga dengan Ririn. Ah, betul ini memang tak adil.

"Iyaa." Aku segera berbalik badan dari posisi dudukku. "Oh, Mytha."

"Kita dapat materi teori Feminisme, Ken." Mytha menyerahkan catatannya. Melihatkannya padaku.

"Iyaa, Myt. Aku ada bukunya, kok. Kita bagi tiga saja materinya, yaa." Aku dengan gaya sok kepimpinan. Hehe

"Eh, jangan!" Mytha segera protes. "Kita berdua aja, Ken. Gak perlu Azka. Dia mana mau." Mytha teman satu kelasnya, sepertinya sudah hafal dengan perangai temannya itu. Ya, yang belakangan ini aku tau. Kalau mereka satu geng, eh biar kerennya satu komplotan, ehh satu tim.

"Ya, kalau dia gak mau kerjakan bagian dia. Biar aja, dia gak bakal masuk kelompok kita. Tenang. Pasti dia bertanggung jawab." Aku entah memberikan penjelasan apa. Jelas-jelas Mytha yang lebih tau tentang Azka. Aku terkekeh, sendiri.

Mytha mengangguk, ya. Menyatakan persetujuannya denganku. Deal. Walaupun tanpa persetujuan Azka. Untunglah, Mytha bisa diandalkan.

***
Dipertemuan selanjutnya, setiap kelompok digilir dengan urutannya. Mana peduli Azka. Lho, kok aku langsung ke Azka ya? Ya. Kenapa? Karena dia memang tidak peduli dengan tugas kelompoknya. Dan... Pada akhirnya, akulah yang harus mengetuai. Padahal dia laki-laki.

"Myt, ini bagianmu. Pahami materi ini. Nanti ketik materinya. Aku minta soft filenya. Biar aku gabungin jadi satu." Aku segera memberikan kertas bagiannya.

"Ini buat Azka?" Mytha bertanya.

"Yups. Tolong sampein ke dia, yaa. Itu materi yang harus dipertanggungjawabkannya." Aku dengan kepedean tingkat tinggi menyerahkan beban itu untuk Azka. Hehe. Merasa semua bisa teratasi dengan baik.

Sampai pada akhirnya...

(BERSAMBUNG)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar