Rabu, 21 Desember 2016

The Power of Qada (Diary 2)

"Mana minum? Aku haus." Aku harus menyasati. Eno tengah mencurigai aku.

"Ini lagi. Selalu rahasia. Rahasia. Malas." Eno berlalu. Dia cepat sekali berubah. Entah manusia seperti apa dia.

"Eh, tunggu!" Aku masih berusaha menahannya. Tapi, sayang. Itu hanya sia-sia. Jangankan untuk kembali, menoleh ke arah dudukku saja dia enggan.

Sisa-sisa keringat masih bertetesan. Angin-angin berhembus di sekitaran membuat keringat menguap. Bajuku yang tadinya basah. Sekarang sudah terasa ringan, kering.

"Oh, itu nama panjangnya. Akhirnya...." Aku tertatap lagi. Dan sekarang, dia benar-benar berlalu.

***
Hari itu, kelas ramai. Hari pertama pembagian jurusan. Semua nampak antusias. Apalagi ini kali pertamanya ada kelas tambahan. Semacam perkenalan di awal pertemuan dan perjanjian yang lebih serius nantinya. Aku dan Eno sudah duduk rapi, mengambil posisi paling depan. Memang masih sedikit asing, tapi di sini ada Eno. Bagiku itu sudah cukup.

"Itu yang duduk di belakang itu siapa?" tanya ketua pelaksana kelas tambahan itu. Semua mata segera mengikuti ujung jari ibu Yuni, selaku ketua pelaksana.

"Berdiri!" bu Yuni melanjutkan.

Aku masih setia mengintai.

"Besok jangan pakai celana jeans ya. Ini tetap kelas saya, dan mata kuliah saya. Jadi, ke depannya kamu harus mengikuti aturan yang saya terapkan." Kelas mendadak lengang, suara-suara yang tadinya bergemuruh sekarang sudah menyepi.

Aku menelan ludah. Menatap tak percaya, ada kebetulan lagi di sini. Di ruangan ini. Ada aku, ada kebetulan itu. Atau hanya aku saja yang kepedean yang menganggap ini lebih dari sekedar kebetulan? Ah, itu bukan masalahku. Come on, ken!

"Kok ngelamun sih?" Eno menepuk bahuku.

"Ehh." Aku balas singkat, aku setengah kaget. "Nggaak, nggaakk. Aku lagi mikirin masa depan." Aku mengelak cepat. Jangan sampai ada kecurigaan.

Eno terkekeh, lantas membalas kecut, "Masa depan? Masa lalu, kelesss."  Tidak terlalu cerewet, tidak antusias, tidak peduli.

"Mulai deh." Aku membalas acuh.

Eno tak membalas apa-apa. Mungkin baginya informasi yang didengarnya lebih penting dibanding melayani bicaraku yang tak seberapa itu. Eno menyimak intruksi dengan baik. Walaupun, sebenarnya aku ikut menyimak. Tapi, otakku melakukan hal lain.

"Kelas sastra ini akan dibagi jadi dua kelompok. Kelompok A dan B. Silahkan dipilih berdasarkan jadwal masing-masing. Jangan sampai bentrok." Bu Yuni mengakhiri bicaranya. Suara gemuruh dimulai lagi.

Aku dan Eno memilih kelompok A dengan segala pertimbangannya. Berhubung jadwal kelompok B terlalu mendesak dengan jadwal kuliah setelahnya. Hari itu, yap kebetulan kali itu, diakhiri begitu saja. Aku tak pernah menyangka, kebetulan hari itu, akan menjadi sesuatu yang terus aku perhitungkan.

(BERSAMBUNG)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar