Oleh Lisma Nopiyanti
(Ditemani senandung Haddad Alwi feat Farhan - Ibu)
Assalamu’alaikum
hutang menulisku. Malam ini, aku berusaha untuk menyelesaikannya satu per satu.
Malam ini, ceritaku berkisah tentang kunjungan yang agendanya sungguh dadakan.
***
Siang
selepas salat Jumat berjamaah berakhir, aku, Lisda, Rizka, juga si Dika memutuskan
kunjungan ini. Memang udara tak terlalu terik, namun kegiatan menunggu membuat
kami jadi kering. Berjam-jam menanti kedatangan tetua regu kami kala itu,
Firadika (atau sebut saja ‘Dika’). Aku, Lisda, juga Rizka terus mengeja satu
per satu motor yang lalu lalang di hadapan kami. Perjanjian yang sudah terulur
entah berapa jam.
Saat
inilah, ketulusan kunjungan ini diuji. Masih tetap bersabar atau pulang (?) Oke
pertanyaan itu segera dibubarkan. Beberapa dering mulai terdengar dari smartphone-nya Lisda. Mengisyaratkan
tetua sudah bersiap.
Aku otw.
Sayang,
pesan singkat itu berlanjut tak pasti. Dika malah menyuruh kami berbalik arah
lagi, menunggunya.
Kalian ke sini aja, ke Harapan Raya.
Tunggu aku, di sana. Dari pada di sana buang waktu aja.
Tunggu aku, di sana. Dari pada di sana buang waktu aja.
Itikad
baik Dika termuntahkan begitu saja. Menuruti petuahnya malah bermakna
sebaliknya. Kami akan membuang waktu karena berbalik arah menuju lokasinya.
Lagi-lagi butuh diskusi kecil untuk meluruskannya. Tak berhenti di situ,
makanan yang hendak dibawa dalam kunjungan kali ini pun masih dalam
keragu-raguan. Dika malah kebingungan, akhirnya, diskusi kecil lagi, eksekusi,
dan beraksi.
***
Kendaraan
mulai melakukan tugasnya. Kami beriringan menuju lokasi. Sesekali tubuh kami
terhempas lubang-lubang di jalanan. Ya, wajar keadaan jalan yang memprihatinkan
membuat luka-luka di badan jalan menganga. Tapi, itu bukan masalah. Perjalanan
masih tetap mengasyikan.
Tak
perlu waktu yang lama. Kami sudah tiba di lokasi.
“PANTI ASUHAN FAJAR HARAPAN”
Kunjungan
kali ini memang ditujukan ke lokasi ini. Di pintu masuk kedatangan kami sudah
disambut adik-adik yang entah bernama siapa itu. Dia memanggil-manggil.
Walaupun tak tau panggilan itu ditujukan pada siapa. Akukah? Lisda? Dika? Atau
Rizka? Yang jelas mereka sangat antusias menerima kedatangan kami. Dika,
sebagai tetua, sudah mengambil posisinya. Segera bertemu pengurus dan
menyerahkan santunan kami yang tiada seberapa itu.
Lisda-Dika-Lisma-Rizka |
Awalnya,
dadaku berdecak. Ini kali pertamanya aku menemui bayi dan balita di tempat yang
seperti ini. Aku ketakutan menerima respon mereka yang luar biasa. Satu di
antara mereka menarik-narik tanganku. Sebenarnya, aku mulai tak nyaman dengan
sambutan itu. Aku takut mereka tak menyukai kedatanganku. Aku dan Rizka masih
tertegun di pintu luar. Kami berdua masih ragu dengan niatan baik ini. Sementara
tetua dan Lisda sudah memasuki wilayah mereka. Benar saja, bukan hanya aku yang
mendapat sambutan itu. Lisda juga tetua mendapat perlakuan yang sama.
Ini
kesalahan yang masih ada dibenakku. Aku masih mementingkan egoku. Satu di
antara adik lucu yang mendekatiku tadi takkan pernah meminta kondisi seperti
itu. Di kepalanya ada bekas koreng yang mulai mengering. Saat mengetahuinya,
bulu kudukku merinding tak jelas. Aku mulai menjaga jaraknya denganku. Karena
egoku, aku merasa jijik melihatnya. Sungguh saat itu yang ada dipikiranku hanya
rasa tak berguna itu. Aku tak pernah memikirkan hal lain yang jelas lebih
penting dibanding rasa jijik itu.
Sementara
tetua dan juga Lisda tidak sedikit pun merasa risih dengan kejadian itu. Aku
dan Rizka yang tadinya ragu untuk melanjutkan langkah. Sekarang mulai mendekat.
Posisi kami berdua sudah sama persis dengan Lisda juga tetua kami, Dika. Kami
masih melempar pandang, mencari-cari ruang bermain mereka. Berharap menemukan
bayi-bayi yang ada di keranjangnya.
Dika
mengintip di suatu ruangan, tempat biasa adik-adik bayi itu diletakkan. Namun,
kosong. Dika mencoba bertanya dengan adik-adik yang sedang asyik bermain di
sekitar kami. Tapi, Rizka-lah yang lebih cekatan. Ruang yang sejak tadi
diintainya adalah ruangan adik-adik bayi itu.
Masih
dengan perasaan ragu, aku dan Rizka mengikuti langkah mereka masuk. Tepat di
muka pintu, adik-adik usia lima tahun menutupi jalan masuk kami dan betapa
terkejutnya kami setelah mengetahui mereka sedang berusaha menggendong adik
bayi yang lebih kecil darinya.
“Kak,
tolong ambil adiknya ya....” Ibu-ibu pengasuh mereka meminta Lisda
menyelamatkan adik bayi yang menjadi korban keisengan mereka itu. Lisda dengan
cekatan mengambil adik bayi itu, menggendongnya.
Kami
tetap berjalan masuk. Dika yang lebih sering mengunjungi tempat itu terlihat
lebih akrab. Setidaknya dia mulai menghafal nama-nama adik-adik di panti itu.
Perkenalkan, kak!
Ali |
Nama
adik yang blasteran ini: Ali. Dia baru bisa merangkak. Giginya masih berusaha
tumbuh. Jadi, jangan takut kalau dia suka gigit. Ali tetap adik yang manis,
kan? Rambutnya subur. Matanya besar, hitam dan tajam. Foto ini diambil sesaat
setalah Ali menikmati susu berian dari Julia. Ali orangnya ramah kok. Mau
digendong siapa aja. Ali juga anak yang gampang ketawa. Terus semangatnya juga
oke. Dia paling sering diajak selfie.
Reza |
Nah,
kalau yang satu ini namanya Reza. Dia paling sering ketawa. Panggil aja
namanya, pasti kakak dapet senyuman manisnya. Giginya juga masih berjuang
tumbuh. Karena sifatnya yang ‘hello’ sama
orang lain, dia sering digendong kakak-kakaknya yang iseng. Kakak-kakak yang
umurnya masih lima tahun. Dia doyan makan ciki-cikian. Rambutnya tak sesubur
rambutnya si Ali.
Padli |
Kalau
yang ini kakak lupa namanya. Padli, atau siapa gitu. Dia paling suka digendong.
Dia orang pertama yang digendong Kak Lisda. Dia sempat jadi mainan kakak-kakak
yang lebih tua berapa tahun dari dia. Padli juga masih belajar merangkak, ya.
Ini dia lagi minum susu. Tapi, Padli ini cenderung pendiam. Dia dikenal Amel
(Kakak yang agak tua) sebagai anak berkulit putih sepanti. (Aduh!)
Ini namanya Julia. Kakak bilang sih mirip gempita. Dia tenang aja di ranjangnya. Asyik mainin jepit atau topinya. Dia juga gampang senyum. Gak cengeng. Mau digendong juga. Pipinya persisi bakpau, kan?
Julia |
Ini namanya Julia. Kakak bilang sih mirip gempita. Dia tenang aja di ranjangnya. Asyik mainin jepit atau topinya. Dia juga gampang senyum. Gak cengeng. Mau digendong juga. Pipinya persisi bakpau, kan?
Adik bayi gendut |
Ini lagi adik bayi yang gendutnya luar biasa. Dia lagi asyik tidur siang. Soalnya kakak-kakaknya teriak, dia setia sama tidur siangnya. Maaf kakak lupa tanya siapa namanya.
Sebenarmya masih banyak adik-adik kakak yang bisa dikenal. Namun, berhubung keterbatasan waktu dan kesempatan atau tingkat antusias yang beraneka-macam. Kakak hanya bisa melampirkan foto kalian yang satu-dua ini. Kak Amel yang cerewet, terima kasih sudaah absenkan nama adik-adiknya.
Di
kamar adik-adik bayi itu, aku tersentak. Ada enam keranjang bayi di kamar itu.
Hatiku terenyuh. Ada sesak yang segera memenuhi dadaku. Mereka lebih hebat
dibanding aku. Mereka lebih kuat dibanding aku. Mereka bisa hidup mandiri
dibanding aku.
Aku
tau mereka tak seberuntungku. Tapi, mereka lebih bahagia dibandingkan aku.
Mereka bisa tertawa bersama. Bermain bersama. Tanpa pernah merasa kesepian. Aku
tau mereka tak seberuntung aku. Karena aku yakin, tak ada satu orang pun di dunia
ini yang mau dipisahkan dari kedua orang tuanya. Karena di dunia ini, tak ada
satupun anak yang ingin dibesarkan orang lain, orang asing yang bahkan tak
mereka kenal. Aku tau itu. Tapi, apa mereka bisa memilih?
Tak
ada satupun anak di dunia ini yang tak ingin mengenal siapa ibu dan bapaknya.
Karena Syurga yang Allah janjikan ada untuk doa-doa anak yang sholeh dan sholehah.Tak
ada satupun anak di dunia ini yang tak ingin dipeluk ibu dan bapaknya, dibuai,
dibesarkan, dan dimanja. Tapi, apa mereka bisa menolak saat takdir itu meminta
perpisahan itu?
Aku
tau mereka tak seberuntungku. Karena kasih para pengasuhnya harus terbagi
kepada saudara lainnya. Tapi, aku tau. Saat itulah mereka belajar makna kasih
sayang sebenarnya. Makna berbagi yang sebenarnya.
Teruntuk,
adik-adikku. Terima kasih telah mengajarkan kakak banyak hal. Terima kasih
telah menyambut kedatangan kakak yang tinggi dengan ego ini. Terima kasih untuk
senyuman-senyuman yang manis itu. Terima kasih.
Kakak tau, kalian tak
bisa memilih dilahirkan dan dibesarkan oleh siapa. Sama halnya dengan kakak.
Tapi, bersyukurlah. Allah tetap mengenalmu, Allah tetap mengenal siapa orang
tuamu. Allah tetap tau, doa terbaik itu kalian kirimkan untuk siapa. Sekalipun
kalian tak pernah tau teduhnya wajah mereka, hangatnya pelukan mereka. Allah
tau itu.
Teruslah bahagia.
Teruslah tumbuh menjadi anak yang sholeh dan sholehah.
***
Edisi dibuang sayang, ya...
Rezaaaa! |
Ali lagii! |
Ehh, Ali lagi yaaaaa :D |
Ayo, tengok kamera, Ali! |
Ali suka diajak selfie, kak! |
Ali mulutnya belepotan, ya :D |
Lihat Kak Dhafa di atas ranjangnya Padli |
Eh, Ali lagi! |
Terima kasih, kakak! |
Yaa Alloh... itu ada yang masih bayi, Lis? :'(
BalasHapushiks...
Iya mbakik, malah masih ada yang umurnya satu bulan :'(
HapusHai, Lisma~ aku liat postingan link-mu di OWOP.
BalasHapusWAAAAA >.< gakuat liat lucunya mereka. Gemeeesssh!
Kunjungan-kunjungan kayak gitu bikin kita sadar yaa kalo ternyata kita jauh lebih beruntung dari mereka :(((