Jumat, 26 Februari 2016

Kunjungan Nurani


Oleh Lisma Nopiyanti
(Ditemani senandung Haddad Alwi feat Farhan - Ibu)

Assalamu’alaikum hutang menulisku. Malam ini, aku berusaha untuk menyelesaikannya satu per satu. Malam ini, ceritaku berkisah tentang kunjungan yang agendanya sungguh dadakan.
***
Siang selepas salat Jumat berjamaah berakhir, aku, Lisda, Rizka, juga si Dika memutuskan kunjungan ini. Memang udara tak terlalu terik, namun kegiatan menunggu membuat kami jadi kering. Berjam-jam menanti kedatangan tetua regu kami kala itu, Firadika (atau sebut saja ‘Dika’). Aku, Lisda, juga Rizka terus mengeja satu per satu motor yang lalu lalang di hadapan kami. Perjanjian yang sudah terulur entah berapa jam.


Saat inilah, ketulusan kunjungan ini diuji. Masih tetap bersabar atau pulang (?) Oke pertanyaan itu segera dibubarkan. Beberapa dering mulai terdengar dari smartphone-nya Lisda. Mengisyaratkan tetua sudah bersiap.

Aku otw.

Sayang, pesan singkat itu berlanjut tak pasti. Dika malah menyuruh kami berbalik arah lagi, menunggunya.

Kalian ke sini aja, ke Harapan Raya.
Tunggu aku, di sana. Dari pada di sana buang waktu aja.

Itikad baik Dika termuntahkan begitu saja. Menuruti petuahnya malah bermakna sebaliknya. Kami akan membuang waktu karena berbalik arah menuju lokasinya. Lagi-lagi butuh diskusi kecil untuk meluruskannya. Tak berhenti di situ, makanan yang hendak dibawa dalam kunjungan kali ini pun masih dalam keragu-raguan. Dika malah kebingungan, akhirnya, diskusi kecil lagi, eksekusi, dan beraksi.

***
Kendaraan mulai melakukan tugasnya. Kami beriringan menuju lokasi. Sesekali tubuh kami terhempas lubang-lubang di jalanan. Ya, wajar keadaan jalan yang memprihatinkan membuat luka-luka di badan jalan menganga. Tapi, itu bukan masalah. Perjalanan masih tetap mengasyikan.
Tak perlu waktu yang lama. Kami sudah tiba di lokasi.

“PANTI ASUHAN FAJAR HARAPAN”

Kunjungan kali ini memang ditujukan ke lokasi ini. Di pintu masuk kedatangan kami sudah disambut adik-adik yang entah bernama siapa itu. Dia memanggil-manggil. Walaupun tak tau panggilan itu ditujukan pada siapa. Akukah? Lisda? Dika? Atau Rizka? Yang jelas mereka sangat antusias menerima kedatangan kami. Dika, sebagai tetua, sudah mengambil posisinya. Segera bertemu pengurus dan menyerahkan santunan kami yang tiada seberapa itu.

Lisda-Dika-Lisma-Rizka
Awalnya, dadaku berdecak. Ini kali pertamanya aku menemui bayi dan balita di tempat yang seperti ini. Aku ketakutan menerima respon mereka yang luar biasa. Satu di antara mereka menarik-narik tanganku. Sebenarnya, aku mulai tak nyaman dengan sambutan itu. Aku takut mereka tak menyukai kedatanganku. Aku dan Rizka masih tertegun di pintu luar. Kami berdua masih ragu dengan niatan baik ini. Sementara tetua dan Lisda sudah memasuki wilayah mereka. Benar saja, bukan hanya aku yang mendapat sambutan itu. Lisda juga tetua mendapat perlakuan yang sama.

Ini kesalahan yang masih ada dibenakku. Aku masih mementingkan egoku. Satu di antara adik lucu yang mendekatiku tadi takkan pernah meminta kondisi seperti itu. Di kepalanya ada bekas koreng yang mulai mengering. Saat mengetahuinya, bulu kudukku merinding tak jelas. Aku mulai menjaga jaraknya denganku. Karena egoku, aku merasa jijik melihatnya. Sungguh saat itu yang ada dipikiranku hanya rasa tak berguna itu. Aku tak pernah memikirkan hal lain yang jelas lebih penting dibanding rasa jijik itu.

Sementara tetua dan juga Lisda tidak sedikit pun merasa risih dengan kejadian itu. Aku dan Rizka yang tadinya ragu untuk melanjutkan langkah. Sekarang mulai mendekat. Posisi kami berdua sudah sama persis dengan Lisda juga tetua kami, Dika. Kami masih melempar pandang, mencari-cari ruang bermain mereka. Berharap menemukan bayi-bayi yang ada di keranjangnya.

Dika mengintip di suatu ruangan, tempat biasa adik-adik bayi itu diletakkan. Namun, kosong. Dika mencoba bertanya dengan adik-adik yang sedang asyik bermain di sekitar kami. Tapi, Rizka-lah yang lebih cekatan. Ruang yang sejak tadi diintainya adalah ruangan adik-adik bayi itu.

Masih dengan perasaan ragu, aku dan Rizka mengikuti langkah mereka masuk. Tepat di muka pintu, adik-adik usia lima tahun menutupi jalan masuk kami dan betapa terkejutnya kami setelah mengetahui mereka sedang berusaha menggendong adik bayi yang lebih kecil darinya.

“Kak, tolong ambil adiknya ya....” Ibu-ibu pengasuh mereka meminta Lisda menyelamatkan adik bayi yang menjadi korban keisengan mereka itu. Lisda dengan cekatan mengambil adik bayi itu, menggendongnya.

Kami tetap berjalan masuk. Dika yang lebih sering mengunjungi tempat itu terlihat lebih akrab. Setidaknya dia mulai menghafal nama-nama adik-adik di panti itu.

 Perkenalkan, kak!
Ali
Nama adik yang blasteran ini: Ali. Dia baru bisa merangkak. Giginya masih berusaha tumbuh. Jadi, jangan takut kalau dia suka gigit. Ali tetap adik yang manis, kan? Rambutnya subur. Matanya besar, hitam dan tajam. Foto ini diambil sesaat setalah Ali menikmati susu berian dari Julia. Ali orangnya ramah kok. Mau digendong siapa aja. Ali juga anak yang gampang ketawa. Terus semangatnya juga oke. Dia paling sering diajak selfie.

Reza
Nah, kalau yang satu ini namanya Reza. Dia paling sering ketawa. Panggil aja namanya, pasti kakak dapet senyuman manisnya. Giginya juga masih berjuang tumbuh. Karena sifatnya yang ‘hello’ sama orang lain, dia sering digendong kakak-kakaknya yang iseng. Kakak-kakak yang umurnya masih lima tahun. Dia doyan makan ciki-cikian. Rambutnya tak sesubur rambutnya si Ali.

Padli
Kalau yang ini kakak lupa namanya. Padli, atau siapa gitu. Dia paling suka digendong. Dia orang pertama yang digendong Kak Lisda. Dia sempat jadi mainan kakak-kakak yang lebih tua berapa tahun dari dia. Padli juga masih belajar merangkak, ya. Ini dia lagi minum susu. Tapi, Padli ini cenderung pendiam. Dia dikenal Amel (Kakak yang agak tua) sebagai anak berkulit putih sepanti. (Aduh!)
Julia

Ini namanya Julia. Kakak bilang sih mirip gempita. Dia tenang aja di ranjangnya. Asyik mainin jepit atau topinya. Dia juga gampang senyum. Gak cengeng. Mau digendong juga. Pipinya persisi bakpau, kan?
Adik bayi gendut

Ini lagi adik bayi yang gendutnya luar biasa. Dia lagi asyik tidur siang. Soalnya kakak-kakaknya teriak, dia setia sama tidur siangnya. Maaf kakak lupa tanya siapa namanya.

Sebenarmya masih banyak adik-adik kakak yang bisa dikenal. Namun, berhubung keterbatasan waktu dan kesempatan atau tingkat antusias yang beraneka-macam. Kakak hanya bisa melampirkan foto kalian yang satu-dua ini. Kak Amel  yang cerewet, terima kasih sudaah absenkan nama adik-adiknya. 

Di kamar adik-adik bayi itu, aku tersentak. Ada enam keranjang bayi di kamar itu. Hatiku terenyuh. Ada sesak yang segera memenuhi dadaku. Mereka lebih hebat dibanding aku. Mereka lebih kuat dibanding aku. Mereka bisa hidup mandiri dibanding aku.

Aku tau mereka tak seberuntungku. Tapi, mereka lebih bahagia dibandingkan aku. Mereka bisa tertawa bersama. Bermain bersama. Tanpa pernah merasa kesepian. Aku tau mereka tak seberuntung aku. Karena aku yakin, tak ada satu orang pun di dunia ini yang mau dipisahkan dari kedua orang tuanya. Karena di dunia ini, tak ada satupun anak yang ingin dibesarkan orang lain, orang asing yang bahkan tak mereka kenal. Aku tau itu. Tapi, apa mereka bisa memilih?

Tak ada satupun anak di dunia ini yang tak ingin mengenal siapa ibu dan bapaknya. Karena Syurga yang Allah janjikan ada untuk doa-doa anak yang sholeh dan sholehah.Tak ada satupun anak di dunia ini yang tak ingin dipeluk ibu dan bapaknya, dibuai, dibesarkan, dan dimanja. Tapi, apa mereka bisa menolak saat takdir itu meminta perpisahan itu?

Aku tau mereka tak seberuntungku. Karena kasih para pengasuhnya harus terbagi kepada saudara lainnya. Tapi, aku tau. Saat itulah mereka belajar makna kasih sayang sebenarnya. Makna berbagi yang sebenarnya.

Teruntuk, adik-adikku. Terima kasih telah mengajarkan kakak banyak hal. Terima kasih telah menyambut kedatangan kakak yang tinggi dengan ego ini. Terima kasih untuk senyuman-senyuman yang manis itu. Terima kasih.
Kakak tau, kalian tak bisa memilih dilahirkan dan dibesarkan oleh siapa. Sama halnya dengan kakak. Tapi, bersyukurlah. Allah tetap mengenalmu, Allah tetap mengenal siapa orang tuamu. Allah tetap tau, doa terbaik itu kalian kirimkan untuk siapa. Sekalipun kalian tak pernah tau teduhnya wajah mereka, hangatnya pelukan mereka. Allah tau itu.
Teruslah bahagia. Teruslah tumbuh menjadi anak yang sholeh dan sholehah.
***

Edisi dibuang sayang, ya...

Rezaaaa!

Ali lagii!

Ehh, Ali lagi yaaaaa :D


Ayo, tengok kamera, Ali!

Julia temenan sama kak Dika

Hallo, kak Rizka!

Ali suka diajak selfie, kak!

Ali mulutnya belepotan, ya :D

Lihat Kak Dhafa di atas ranjangnya Padli

Eh, Ali lagi!


Terima kasih, kakak!


3 komentar:

  1. Yaa Alloh... itu ada yang masih bayi, Lis? :'(
    hiks...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbakik, malah masih ada yang umurnya satu bulan :'(

      Hapus
  2. Hai, Lisma~ aku liat postingan link-mu di OWOP.

    WAAAAA >.< gakuat liat lucunya mereka. Gemeeesssh!

    Kunjungan-kunjungan kayak gitu bikin kita sadar yaa kalo ternyata kita jauh lebih beruntung dari mereka :(((

    BalasHapus