Sebelum
membaca, tulisan ini diperuntukkan untuk mengikuti tantangan yang dikasih mba
Depi. Mari....
==================================================================
"Ayah,
lihat awan itu! Cantik sekali seperti bunga, yah! Cantikkkk!"
"Iya,
Rah. Itu sebelah sana. Coba lihat. Ada awan yang berbentuk kuda. Di
sana," ayah mengarahkan telunjuknya ke salah satu awan yang bergerak
perlahan.
"Coba
lihat. Ibu melihat di sebelah kanan, di sudut langit sana. Ada awan yang
berbentuk love. Sebelah sana, Rah! Cepat lihat!" ibu memaksaku
menoleh ke arahnya. Ia curang, ia hanya ingin memelukku dan dimintanya aku
mendekat.
Langit,
seandainya aku bisa berbicara dan bercerita denganmu, tentu ada banyak hal yang
ingin aku ceritakan. Tentang hari itu, aku, ibu, dan ayah. Menatap penghiburanmu,
awan-awanmu menjadi hiburan kami. Aku berhutang kasih padamu.
Saat
itu usiaku baru 10 tahun. Aku belum tau banyak tentang langit. Aku belum bisa
menjadikannya sahabat. Aku belum sempat menegurnya. Tapi, entahlah. Malam itu,
langit melemparkan penghiburannya lagi. Air mulai memerciki tempatku duduk
menanti ayah. Walau ibu sudah meneriaki aku dari sudut kamar.
"Ayo,
masuk, Rah! Hujan akan turun!"
"Aku
masih menunggu ayah, bu. Ayah sudah berjanji ingin menghitung bintang bersamaku
malam ini."
"Rah,
lihatlah langit. Bersediakah ia menghadirkan bintang malam ini? Ia sedang
menjatuhkan rintiknya bukan bintang. Masuklah atau ibu akan menguncimu di luar
sana!"
Malam
itu, aku mengalah pada ibu. Langit sedang tak bersahabat denganku. Bintang yang
biasanya aku pandangi, ia sudah digantikan menjadi rintik-rintik hujan.
Sekali
lagi, langit menemaniku. Menemaniku menanti ayah yang tak kunjung pulang. Bukan
untuk malam ini saja, tapi malam berikutnya. Hingga larut malam, mataku harus
terpejam dengan sendirinya. Sampai leherku letih memandangi langit bersama
penghiburnya.
"Kemana
ayah, bu? Kenapa sudah tiga hari ini, ia tak menemui kita?"
"Ayahmu,
dia, sudahlah, sayang. Kamu harus istirahat. Ayah besok akan pulang."
Janji
ibu pada malam yang larut itu, bagai lagu penghantar tidurku. Aku pulas tidur
malam itu. Langit menurunkan rintiknya lagi. Aku berbisik mengadah ke langit
kamarku, jendelaku sudah ditarik ibu, langitku sekarang tertutup kain berbunga:
Aku rindu, Ayah.....
Benar
kata ibu, ayah datang pagi ini. Dia dingin sekali padaku. Ia hanya menyetuh
kepalaku. Lalu, pergi begitu saja. Hingga saat ini, usiaku sudah 15 tahun.
Semua terasa cepat. Walaupun aku merasa jamku selalu berjalan lebih lama.
Perpisahan meributkan langit-langit kisahku.
"Sudah
sholat Isya, Rah?" ibu membuka pintu kamarku.
"Sudah,
bu. Sebentar lagi Rah menemani ibu makan."
Di
meja makan itulah. Saat langit di luar sana mengeluarkan penghiburnya. Ia
menghiasi dirinya dengan bintang-gemintang.
"Maafkan
ibu, Rah. Perpisahan ini tak pernah ibu kehendaki. Apapun alasannya, seharusnya
ibu menjaga keutuhan ini. Kasih sayangmu yang seharusnya sempurna, harus ibu
bagi. Maafkan ibu. Sejak kecil kau sudah ibu repotkan untuk berdagang membantu
ibu." Ibu berkaca-kaca ditengah langit yang menyajikan bintang-bintangnya.
"Ibu...
Tidak ada yang salah dengan kehidupan kita. Sekalipun ayah tak lagi duduk di
meja makan bersama kita. Ini takdir yang sudah Allaah tuliskan. Tugas kita
hanya menghiasnya, bagaimana tulisan yang sudah ada ini bisa lebih indah."
Aku menahan luka. Mencoba menguatkan, dihari yang seharusnya mengindahkan hari
dan langitku. Hari pernikahan kedua orang yang menjadi kisah sempurnaku.
Antara
bahagia atau duka, ibu memelukku. Tak ada air mata dalam pelukan ibu. Ibu
menahan luka; sepertiku. Apalah arti bermesraan dengan duka. Jika yang di sana
sedang tertawan rasa bahagia. Aku tau sesak akan segera tiba. Sakit akan segera
melandah. Langit yang menjadi saksi, aku seorang anak yang merindukan ayahnya.
==================================================================
Langit
yang sempurna, kitalah yang tidak sempurna.
Langit
yang sempurna. Terima kasih atas penghiburannya. Kau tau mengapa aku
mencintaimu? Karena awanmu telah mengizinkan aku berbagi tawa kala itu.
Hujanmu sudah membuat ayah tertahan memelukku. Dan sekarang bintangmu menemani aku dipelukan ibu.
Hujanmu sudah membuat ayah tertahan memelukku. Dan sekarang bintangmu menemani aku dipelukan ibu.
Biarlah
cinta dalam hidupku tak sempurna. Tanpa ayah yang siap menjagaku. Lukaku pernah
aku bagi denganmu, bukan? Saat hujan di siang itu, aku menangis denganmu.
Langit
yang sempurna, mengapa engkau ada? Karena Tuhanku, Allaah, penciptamu juga aku,
sangatlah sempurna.
Langit
yang sempurna, terima kasih untuk pengajaranmu. Bahwa yang sempurna tak
selamanya harus berjalan beriringan. Namun, bergantian dan terus berputar. Sama
seperti hidup ini. Kadang susah kadang bahagia. Kadang gemuruh kadang pelangi.
Padahal sesungguhnya, hidup ini sempurna, aku bisa menatapmu bersama
penghiburmu berkat karunia Allaah Yang Maha Sempurna.
==================================================================
Langit
begitu sempurnanya, sebentar berawan, sebentar cerah menyilaukan. Sebentar
gelap, sebentar terang. Sebentar hujan, sebentar pelangi. Sama seperti hidup.
Ada siklusnya. Bukan lagi sempurna, jika yang ditemui hanya bahagia saja tanpa
duka, begitu sebaliknya. Adanya bahagia mengingatkan adanya waktu duka. Adanya
duka menandakan adanya kesudahan yang mengantarkan pada kebahagiaan.
Rah,
cinta ayah, juga ibu......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar