Kamis, 30 Juli 2015

Langit yang Sempurna

Sebelum membaca, tulisan ini diperuntukkan untuk mengikuti tantangan yang dikasih mba Depi. Mari....
==================================================================

"Ayah, lihat awan itu! Cantik sekali seperti bunga, yah! Cantikkkk!"
"Iya, Rah. Itu sebelah sana. Coba lihat. Ada  awan yang berbentuk kuda. Di sana," ayah mengarahkan telunjuknya ke salah satu awan yang bergerak perlahan.
"Coba lihat. Ibu melihat di sebelah kanan, di sudut langit sana. Ada awan yang berbentuk love. Sebelah sana, Rah! Cepat lihat!" ibu memaksaku menoleh ke arahnya. Ia curang, ia hanya ingin memelukku dan dimintanya aku mendekat.
Langit, seandainya aku bisa berbicara dan bercerita denganmu, tentu ada banyak hal yang ingin aku ceritakan. Tentang hari itu, aku, ibu, dan ayah. Menatap penghiburanmu, awan-awanmu menjadi hiburan kami. Aku berhutang kasih padamu.
Saat itu usiaku baru 10 tahun. Aku belum tau banyak tentang langit. Aku belum bisa menjadikannya sahabat. Aku belum sempat menegurnya. Tapi, entahlah. Malam itu, langit melemparkan penghiburannya lagi. Air mulai memerciki tempatku duduk menanti ayah. Walau ibu sudah meneriaki aku dari sudut kamar.
"Ayo, masuk, Rah! Hujan akan turun!"
"Aku masih menunggu ayah, bu. Ayah sudah berjanji ingin menghitung bintang bersamaku malam ini."
"Rah, lihatlah langit. Bersediakah ia menghadirkan bintang malam ini? Ia sedang menjatuhkan rintiknya bukan bintang. Masuklah atau ibu akan menguncimu di luar sana!"
Malam itu, aku mengalah pada ibu. Langit sedang tak bersahabat denganku. Bintang yang biasanya aku pandangi, ia sudah digantikan menjadi rintik-rintik hujan.
Sekali lagi, langit menemaniku. Menemaniku menanti ayah yang tak kunjung pulang. Bukan untuk malam ini saja, tapi malam berikutnya. Hingga larut malam, mataku harus terpejam dengan sendirinya. Sampai leherku letih memandangi langit bersama penghiburnya.
"Kemana ayah, bu? Kenapa sudah tiga hari ini, ia tak menemui kita?"
"Ayahmu, dia, sudahlah, sayang. Kamu harus istirahat. Ayah besok akan pulang."
Janji ibu pada malam yang larut itu, bagai lagu penghantar tidurku. Aku pulas tidur malam itu. Langit menurunkan rintiknya lagi. Aku berbisik mengadah ke langit kamarku, jendelaku sudah ditarik ibu, langitku sekarang tertutup kain berbunga: Aku rindu, Ayah.....
Benar kata ibu, ayah datang pagi ini. Dia dingin sekali padaku. Ia hanya menyetuh kepalaku. Lalu, pergi begitu saja. Hingga saat ini, usiaku sudah 15 tahun. Semua terasa cepat. Walaupun aku merasa jamku selalu berjalan lebih lama. Perpisahan meributkan langit-langit kisahku.
"Sudah sholat Isya, Rah?" ibu membuka pintu kamarku.
"Sudah, bu. Sebentar lagi Rah menemani ibu makan."
Di meja makan itulah. Saat langit di luar sana mengeluarkan penghiburnya. Ia menghiasi dirinya dengan bintang-gemintang.
"Maafkan ibu, Rah. Perpisahan ini tak pernah ibu kehendaki. Apapun alasannya, seharusnya ibu menjaga keutuhan ini. Kasih sayangmu yang seharusnya sempurna, harus ibu bagi. Maafkan ibu. Sejak kecil kau sudah ibu repotkan untuk berdagang membantu ibu." Ibu berkaca-kaca ditengah langit yang menyajikan bintang-bintangnya.
"Ibu... Tidak ada yang salah dengan kehidupan kita. Sekalipun ayah tak lagi duduk di meja makan bersama kita. Ini takdir yang sudah Allaah tuliskan. Tugas kita hanya menghiasnya, bagaimana tulisan yang sudah ada ini bisa lebih indah." Aku menahan luka. Mencoba menguatkan, dihari yang seharusnya mengindahkan hari dan langitku. Hari pernikahan kedua orang yang menjadi kisah sempurnaku.
Antara bahagia atau duka, ibu memelukku. Tak ada air mata dalam pelukan ibu. Ibu menahan luka; sepertiku. Apalah arti bermesraan dengan duka. Jika yang di sana sedang tertawan rasa bahagia. Aku tau sesak akan segera tiba. Sakit akan segera melandah. Langit yang menjadi saksi, aku seorang anak yang merindukan ayahnya.
==================================================================
Langit yang sempurna, kitalah yang tidak sempurna.
Langit yang sempurna. Terima kasih atas penghiburannya. Kau tau mengapa aku mencintaimu? Karena awanmu telah mengizinkan aku berbagi tawa kala itu.
Hujanmu sudah membuat ayah tertahan memelukku. Dan sekarang bintangmu menemani aku dipelukan ibu.
Biarlah cinta dalam hidupku tak sempurna. Tanpa ayah yang siap menjagaku. Lukaku pernah aku bagi denganmu, bukan? Saat hujan di siang itu, aku menangis denganmu.
Langit yang sempurna, mengapa engkau ada? Karena Tuhanku, Allaah, penciptamu juga aku, sangatlah sempurna.
Langit yang sempurna, terima kasih untuk pengajaranmu. Bahwa yang sempurna tak selamanya harus berjalan beriringan. Namun, bergantian dan terus berputar. Sama seperti hidup ini. Kadang susah kadang bahagia. Kadang gemuruh kadang pelangi. Padahal sesungguhnya, hidup ini sempurna, aku bisa menatapmu bersama penghiburmu berkat karunia Allaah Yang Maha Sempurna.
==================================================================
Langit begitu sempurnanya, sebentar berawan, sebentar cerah menyilaukan. Sebentar gelap, sebentar terang. Sebentar hujan, sebentar pelangi. Sama seperti hidup. Ada siklusnya. Bukan lagi sempurna, jika yang ditemui hanya bahagia saja tanpa duka, begitu sebaliknya. Adanya bahagia mengingatkan adanya waktu duka. Adanya duka menandakan adanya kesudahan yang mengantarkan pada kebahagiaan.
Rah, cinta ayah, juga ibu......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar