Minggu, 19 Juli 2015

Kolak (Koempoelan Kisah) Ramadhan: "Nastar, air PAM, dan Poni Lisda"

Menjelang hari raya, hari-hari ramadhanku ini harus diisi dengan kesibukan lain. Apalagi kalau bukan membuat kue; salah satu makan khas yang ada pada waktu lebaran selain ketupat. Kebetulan hari ini, kesibukkanku harus setia berkutat dengan adonan kue nastar keju yang menjadi bagian menu lebaran dikeluarga sederhanaku ini.


 Aku, Lisda, juga adikku, sepagi itu mulai repot. Tangan kami berputar, memilin-milin, dan menyendokan selai nanas yang akan dijadikan isi kue nastar tadi. Kemana koki besar kami (baca: ibu)? Beliau tengah disibukkan dengan air PAM yang hari ini baru menyala dengan hebatnya. Penampungan yang mulai kosong membuat ibu kesibukan mengisi dan mengatur lajurnya air yang lumayan deras itu. Bapak juga mas Jufri tak mau ketinggalan saling membahu.

"Nah, baru terdengar suara kehidupan," ucap Lisda ketika mendengar kucuran air, sambil memilin adonan nastar ditangannya.

Adikku juga aku tertawa. Pertanda bahagia. Karena sudah hampir sebulan ini, kami memakai air sumur yang lumayan keruh. Untuk obatnya, bapak mengidekan untuk memberinya larutan kaporit agar airnya jernih.

"Rambut kita nggak keras lagi!" teriakku bahagia. Alasannya, semenjak mandi air sumur yang diobati kaporit yang berlebihan, rambut terasa kaku, dan sabun pun kandas begitu saja ketika terkena kulit.

Hari itu, memang semua anggota disibukan dengan nastar dan air PAM.

Wangi adonan nastar juga selai merasuki hidungku juga pembuat kue lainnya. Sekarang hidungku telah ramai dengan bebauan yang dahsyat itu. Belum lagi bau keju yang segera diparut untuk menghiasi kue nastar kami itu. Kalau sudah begitu, ingatanku akan meluncur pada satu file dalam kenangan lebaran dilain waktu. Tepatnya ketika aku masih berstatus siswa putih-merah.

Hari itu, ibu hendak membuat kue lapis. Walaupun, saat itu usiaku belum memadai. Aku dan Lisda sudah ikut andil dalam pembuatannya. Tepatnya sepulang sekolah. Setelah membereskan segala perlengkapan, aku dan Lisda melangkah ke dapur. Di sanalah file lebaran kali itu, berhasil aku ingat dengan baik.

Mungkin yang ada dibenakku, seharusnya, adalah momen yang indah. Momen keberhasilan dalam melahirkan kue-kue lebaran home made, mestinya. Namun, itu memang terjadi, dan peristiwa mengenaskan itu bisa terjadi. Alasan kenapa Lisda memilih mengenakan poni ketika itu.

"Tolong, bantu ibu mengaduk adonan ini, ya," pinta ibu kala itu.

Aku dan Lisda sangat antusias, dengan senang hati kami mengiyakan. Aku yang kali ini memegang peranan mengaduk kue dengan bantuan mixer.

"Eh, wanginya adonan lapis ini, ya," sahut Lisda padaku.

"Hmmmm....iya, memang harum sekali," balasku.

Tanpa sepengetahuan ibu, Lisda yang kurang puas mencium aroma adonan lapis legit secara jauh itu, makin mendekatkan kepalanya ke mangkuk tempat dimana aku mengaduk adonan itu.

Sungguh tak bisa dipercaya, mesin yang digunakan untuk mencampur-adukkan adonan tersebut mati. Tetapi, bukan karena listriknya yang padam. Ini karena rambut Lisda yang tergulung mesin pengaduk itu. Aku benar-benar kaget.

"Ibuuuuuuuuuuuuu.........!!!! Lisda, buuuuuuu!!!" aku teriak, panik melihat Lisda meringis kesakitan.

Ibu lari ke dapur, ibu sedang mengurusi perapian untuk memasak kue lapis nantinya.

"Ya Allaah, Lisda. Kok bisa seperti ini?" ibu pun panik juga kebingungan. Rambutnya sangat kuat terikat pada mesin pengaduk itu. Ditarik tak bisa. Benar-benar melekat sempurna rambut Lisda pada mesin itu.

Setelah dicabut dari aliran listrik, ibu mencoba melepas alat pengaduk itu dari mesinnya. Aku hampir saja ketawa, melihat kepala Lisda dihiasi alat pengaduk. Seperti diroll rambutnya itu. Menempel alat pengaduk itu beserta sedikit adonan lapis yang wangi itu. Namun, begitu tega, jika melihat Lisda tetap meringis saja. Tarikan alat pengaduk itu menyakiti kepalanya. Tak tega melihat anaknya meringis, ibu segera mencari gunting.

"Lisda, ibu minta maaf. Rambut ini harus dipotong. Kalau tidak, kamu akan tetap meringis seperti ini," saran ibu kepada Lisda yang rambutnya sudah mulai kusut itu.

Lisda tak berdaya, dia hanya mengangguk.

Beraksilah si gunting, dipotong helai demi helainya. Dan taraaa.... Lisda sudah tampil dengan rambut terbarunya; berponi. Tetap memegangi kepala yang kesakitan itu. Itulah awalnya cerita poni itu berasal, yang dulunya aku dan Lisda tak menyukai rambut berponi itu.

Dan semenjak kejadian itu mesin pengaduk ibu tak lagi bertenaga kuat, tidak sekencang dulu, dan salah satu dari alat pengaduknya agak bengkok akibat peristiwa mengenaskan itu dan tentunya berhasil membuat Lisda pobia memegang mesin pengaduk itu. Ia tak mau lagi mencium adonan dan satu lagi, ia takkan pernah lupa mengikat rambutnya ketika ia ingin membuat kue, apapun itu. Ia takut rambut panjangnya itu tertarik mesin pengaduk lagi. 

4 komentar: