Menjelang
hari raya, hari-hari ramadhanku ini harus diisi dengan kesibukan lain. Apalagi
kalau bukan membuat kue; salah satu makan khas yang ada pada waktu lebaran
selain ketupat. Kebetulan hari ini, kesibukkanku harus setia berkutat dengan
adonan kue nastar keju yang menjadi bagian menu lebaran dikeluarga sederhanaku
ini.
Aku, Lisda, juga adikku, sepagi itu mulai
repot. Tangan kami berputar, memilin-milin, dan menyendokan selai nanas yang
akan dijadikan isi kue nastar tadi. Kemana koki besar kami (baca: ibu)? Beliau
tengah disibukkan dengan air PAM yang hari ini baru menyala dengan hebatnya.
Penampungan yang mulai kosong membuat ibu kesibukan mengisi dan mengatur
lajurnya air yang lumayan deras itu. Bapak juga mas Jufri tak mau ketinggalan
saling membahu.
"Nah,
baru terdengar suara kehidupan," ucap Lisda ketika mendengar kucuran air,
sambil memilin adonan nastar ditangannya.
Adikku
juga aku tertawa. Pertanda bahagia. Karena sudah hampir sebulan ini, kami
memakai air sumur yang lumayan keruh. Untuk obatnya, bapak mengidekan untuk
memberinya larutan kaporit agar airnya jernih.
"Rambut
kita nggak keras lagi!" teriakku bahagia. Alasannya,
semenjak mandi air sumur yang diobati kaporit yang berlebihan, rambut terasa
kaku, dan sabun pun kandas begitu saja ketika terkena kulit.
Hari
itu, memang semua anggota disibukan dengan nastar dan air PAM.
Wangi
adonan nastar juga selai merasuki hidungku juga pembuat kue lainnya. Sekarang
hidungku telah ramai dengan bebauan yang dahsyat itu. Belum lagi bau keju yang
segera diparut untuk menghiasi kue nastar kami itu. Kalau sudah begitu,
ingatanku akan meluncur pada satu file dalam kenangan lebaran dilain waktu.
Tepatnya ketika aku masih berstatus siswa putih-merah.
Hari
itu, ibu hendak membuat kue lapis. Walaupun, saat itu usiaku belum memadai. Aku
dan Lisda sudah ikut andil dalam pembuatannya. Tepatnya sepulang sekolah.
Setelah membereskan segala perlengkapan, aku dan Lisda melangkah ke dapur. Di
sanalah file lebaran kali itu, berhasil aku ingat dengan baik.
Mungkin
yang ada dibenakku, seharusnya, adalah momen yang indah. Momen keberhasilan
dalam melahirkan kue-kue lebaran home made, mestinya. Namun, itu
memang terjadi, dan peristiwa mengenaskan itu bisa terjadi. Alasan kenapa Lisda
memilih mengenakan poni ketika itu.
"Tolong,
bantu ibu mengaduk adonan ini, ya," pinta ibu kala itu.
Aku
dan Lisda sangat antusias, dengan senang hati kami mengiyakan. Aku yang kali
ini memegang peranan mengaduk kue dengan bantuan mixer.
"Eh,
wanginya adonan lapis ini, ya," sahut Lisda padaku.
"Hmmmm....iya,
memang harum sekali," balasku.
Tanpa
sepengetahuan ibu, Lisda yang kurang puas mencium aroma adonan lapis legit
secara jauh itu, makin mendekatkan kepalanya ke mangkuk tempat dimana aku
mengaduk adonan itu.
Sungguh
tak bisa dipercaya, mesin yang digunakan untuk mencampur-adukkan adonan tersebut
mati. Tetapi, bukan karena listriknya yang padam. Ini karena rambut Lisda yang
tergulung mesin pengaduk itu. Aku benar-benar kaget.
"Ibuuuuuuuuuuuuu.........!!!!
Lisda, buuuuuuu!!!" aku teriak, panik melihat Lisda meringis kesakitan.
Ibu
lari ke dapur, ibu sedang mengurusi perapian untuk memasak kue lapis nantinya.
"Ya
Allaah, Lisda. Kok bisa seperti ini?" ibu pun panik juga kebingungan.
Rambutnya sangat kuat terikat pada mesin pengaduk itu. Ditarik tak bisa.
Benar-benar melekat sempurna rambut Lisda pada mesin itu.
Setelah
dicabut dari aliran listrik, ibu mencoba melepas alat pengaduk itu dari
mesinnya. Aku hampir saja ketawa, melihat kepala Lisda dihiasi alat pengaduk.
Seperti diroll rambutnya itu. Menempel alat pengaduk itu beserta sedikit
adonan lapis yang wangi itu. Namun, begitu tega, jika melihat Lisda tetap
meringis saja. Tarikan alat pengaduk itu menyakiti kepalanya. Tak tega melihat
anaknya meringis, ibu segera mencari gunting.
"Lisda,
ibu minta maaf. Rambut ini harus dipotong. Kalau tidak, kamu akan tetap
meringis seperti ini," saran ibu kepada Lisda yang rambutnya sudah mulai
kusut itu.
Lisda
tak berdaya, dia hanya mengangguk.
Beraksilah
si gunting, dipotong helai demi helainya. Dan taraaa.... Lisda sudah tampil
dengan rambut terbarunya; berponi. Tetap memegangi kepala yang kesakitan itu.
Itulah awalnya cerita poni itu berasal, yang dulunya aku dan Lisda tak menyukai
rambut berponi itu.
Dan
semenjak kejadian itu mesin pengaduk ibu tak lagi bertenaga kuat, tidak
sekencang dulu, dan salah satu dari alat pengaduknya agak bengkok akibat
peristiwa mengenaskan itu dan tentunya berhasil membuat Lisda pobia memegang
mesin pengaduk itu. Ia tak mau lagi mencium adonan dan satu lagi, ia takkan
pernah lupa mengikat rambutnya ketika ia ingin membuat kue, apapun itu. Ia
takut rambut panjangnya itu tertarik mesin pengaduk lagi.
Jad sekarang lisda masih pke poni? Wkwkwk
BalasHapus*gagalfokus*
Jad sekarang lisda masih pke poni? Wkwkwk
BalasHapus*gagalfokus*
Jad sekarang lisda masih pke poni? Wkwkwk
BalasHapus*gagalfokus*
Itu masa lalu kaCi #Eaaa
BalasHapus