Malam ini, hatiku tergerak untuk
menulis tulisan ini. Setelah mataku menyusuri tulisan dikEn. Kurasa ini tak
berlebihan. Hati siapa yang takkan terenyuh ketika mendengar kosa kata ini
"ibu". Siapapun, laki-laki-perempuan, tua-muda, kaya-miskin, semua akan
berubah menjadi melankolis dengan taraf yang berbeda-beda.
Jikalau ada yang
bertanya aku dibagian mana? Aku berada pada taraf "melankolis akut"
setelah saudara kembar saya, Lisda (Maaf, frens).
Begitu Allah Swt. mengindahkan
sesosok ibu, begitu juga dengan baginda Rasulullah Saw.
Tetapi, aku? Sudahkah aku
melakukannya?
Pertanyaan dan persoalan itu
belum dapat aku jawab dengan sempurna. Ingin sekali, aku mengiyakan pertanyaan
itu. Namun, tak malukah aku? Jikalau lebih sering menghadiahkan luka
dibandingkan bahagia.
Bahagiakah punya anak sepertiku, bu? -Sempat pertanyaan yang tak
beralas itu menyembul begitu saja. Tersenyum. Ibu akan membalasnya dengan
senyum. Mana ada ibu di dunia ini yang tak bahagia memiliki anak yang lahir
dari rahimnya? Normalnya, jawaban bahagia itu akan selalu ada.
Aku memang belum menjadi ibu,
tapi aku tau betapa sulitnya mengandung dan sakitnya melahirkan. Bagaimana
khawatir dan cemas menunggu jabang bayinya lahir. Seperti kelahiranku yang
sangat mengejutkan.
Saat air ketuban ibu mulai
berderai. Ibu tau, jabang bayinya akan segera lahir. Saat itu, aku belum bisa
memandang wajah ibu. Jikalau aku bisa memandangnya, mungkin aku ketakutan atau
menjerit: "Hentikan bu, jangan siksa dirimu!". Karena aku tau,
nyawamu sedang terancam saat berusaha memperjuangkan hidupku. Bahkan rasa sakit
akan begitu menyiksa detik-detikmu, kala itu.
Pedulikah aku saat itu? Tidak.
Aku benar-benar malu, ibu tetap memperjuangkan hidupku, menaruhkan nyawa
sebagai penopang hidupku. Sayang, waktu itu aku belum bisa melakukan tindak
balas apa-apa. Jangankan untuk mengucapkan "terima kasih", untuk
membuka mata saja aku belum mampu, bu.
Lalu, bukan mengobati
kesakitannya, ibu berusaha menegakkan kepala mandangi wajah jabang bayinya.
Karena bagi ibu, wajah yang mungil itu jadi obat penawarnya. Dan pada saat itu,
ibu terkejut. Melihat wajahku yang sangat pucat. Aku terminum air ketuban dan
terlilit pusat. Kala itu, aku tak tau, bagaimana kondisi hati ibu. Ibu sangat
mengkhawatirkan puteri keduanya ini. Seandainya, aku bisa bicara:
"Istirahatlah, bu. Aku baik-baik saja." Sayang, mulutku masih
terbungkam, gigiku belum tumbuh, pasti ucapanku tak jelas ditelinga, ibu.
Belum lagi mengobati kondisiku. Ibu
harus menerima kejutan kembali dari dukun yang melahirkan aku.. Bukan tenaga
medis, hanya dukun beranak. Saat sang dukun berkata: "Bu, masih ada satu
lagi di dalam."
Jangankan ibu, mungkin saat itu
aku juga terkejut. Putri kedua ibu, kembar.
Aku tau Allaah sedang memberi ibu
anugerah yang istimewa, diberi amanah putri kembar. Kata ibu, dia sangat,
sangat, dan sangat bahagia. Sekalipun aku tau, usahanya harus diulang kembali
untuk kedua kalinya. Melahirkan satu putri lagi. Tak terbayangkah aku, tenagamu
sungguh luar biasa. Lagi-lagi demi memperjuangkan hidup putrimu. Bercucuran air
mata ini. "Kamu harus jadi perempuan perkasa!"
Persiapan keluarga kita kala
itu, serba kekurangan. Siapa sangka ibu mendapatkan karunia putri kembar.
Ayahanda dengan setianya pergi mencari perlengkapan bayi keduanya. Untunglah,
itu hari Minggu, ada pasar dadakan. Ayahanda menceritakan kelahiran putri
kembarnya, lalu apa yang terjadi? Penjual itu memberikan cuma-cuma perlengkapan
bayi itu. Aku hanya merepotkan. Belum lagi namaku juga saudara kembarku.
Ayahanda harus menambahkan daftar nama yang baru. Selanjutnya, ibu selalu
direpotkan dengan "dua".Aku juga Lisda.
Aku dan saudara kembarku semakin
tumbuh. Semakin nakal dan cerewet. Semakin merepotkan. Lalu, ibu dengan kasih
sayangnya merawatku. Bahkan ayahanda harus menggantikan pekerjaan ibu saat kami
berdua rewel. Mau minum, mau makan, mau ini, mau itu. Belum lagi kemauan
mamasku (kakak laki-laki dalam bahasa Jawa). Aku tau, sangatlah kelelahan
menghadapi anak-anaknya. Tapi, takkan pernah kudapatkan wajah itu. Ibu akan
bangun ketika celanaku tiba-tiba basah, atau ibu ketakutan kalau anak-anak
kepanasan. Aku tau, dulu kita tak punya kipas angin, bu. Lalu, tanganmu yang
akan menggantikannya.
Aku malu, bu. Teramat malu. Jika
porsi tidurku sekarang lebih banyak dibanding ibu. Jika porsi makanku sekarang
lebih banyak dari ibu. Bahkan sate padang menu buka puasa hari ini pun, harus
dibagi dengan anak-anaknya. Ibu hanya mendapat sedikit bagiannya. Selalu begitu.
Padahal sejak diperut dulu, aku dan Lisda selalu merenggut makanan ibu.
Berebut. Atau dengan jahilnya membuat ibu mual-mual. Atau menyuruh ibu nyidam yang aneh-aneh. Maafkan, bu. Ibu
harus membawaku dan Lisda kemanapun ibu melangkah, juga membuat ibu susah duduk
ketika usia kami 9 bulan dirahimmu.
Ketaatanmu, ketulusanmu,
kesabaranmu, kesetiaanmu, kebaikanmu, kasih sayangmu. Sungguh takkan cukup
kata-kata ini mengindahkan dirimu, bu. Karena ibu bukan hanya sekedar indah,
tapi sangat istimewa.
Aku malu, bu. Jika doa-doaku dan
usahaku belum maksimal untuk ibu juga bapak. Aku malu, bu. Benarkah kehadiranku
juga saudara kembarku menjadi anugerah dalam hidup ibu? Sedang perilaku
terkadang menyakitimu. Uhh.. Dalam kenyataan yang pasti, jasamu takkan mampu
terbalas oleh apapun dan sampai kapanpun. Biarkanlah anak-anakmu ini berbakti
dengan doa-doamu, bu. Tak ada alasan untuk menolak rasa bakti. Karena berkat
semua perjuangan dan doa-doamu, bu, aku bisa menulis catatan ini. Biarlah
Allaah membalas-Nya dengan sebaik-baiknya balasan padamu, bu, juga pada bapak.
Barakallah.
Dari seseorang yang mengagumimu
dan sedang berusaha berbakti padamu..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar