Rabu, 08 Juli 2015

Lebih dari Indah



Malam ini, hatiku tergerak untuk menulis tulisan ini. Setelah mataku menyusuri tulisan dikEn. Kurasa ini tak berlebihan. Hati siapa yang takkan terenyuh ketika mendengar kosa kata ini "ibu". Siapapun, laki-laki-perempuan, tua-muda, kaya-miskin, semua akan berubah menjadi melankolis dengan taraf yang berbeda-beda.
Jikalau ada yang bertanya aku dibagian mana? Aku berada pada taraf "melankolis akut" setelah saudara kembar saya, Lisda (Maaf, frens).

Begitu Allah Swt. mengindahkan sesosok ibu, begitu juga dengan baginda Rasulullah Saw. 

Tetapi, aku? Sudahkah aku melakukannya?

Pertanyaan dan persoalan itu belum dapat aku jawab dengan sempurna. Ingin sekali, aku mengiyakan pertanyaan itu. Namun, tak malukah aku? Jikalau lebih sering menghadiahkan luka dibandingkan bahagia.

Bahagiakah punya anak sepertiku, bu? -Sempat pertanyaan yang tak beralas itu menyembul begitu saja. Tersenyum. Ibu akan membalasnya dengan senyum. Mana ada ibu di dunia ini yang tak bahagia memiliki anak yang lahir dari rahimnya? Normalnya, jawaban bahagia itu akan selalu ada.

Aku memang belum menjadi ibu, tapi aku tau betapa sulitnya mengandung dan sakitnya melahirkan. Bagaimana khawatir dan cemas menunggu jabang bayinya lahir. Seperti kelahiranku yang sangat mengejutkan.

Saat air ketuban ibu mulai berderai. Ibu tau, jabang bayinya akan segera lahir. Saat itu, aku belum bisa memandang wajah ibu. Jikalau aku bisa memandangnya, mungkin aku ketakutan atau menjerit: "Hentikan bu, jangan siksa dirimu!". Karena aku tau, nyawamu sedang terancam saat berusaha memperjuangkan hidupku. Bahkan rasa sakit akan begitu menyiksa detik-detikmu, kala itu.

Pedulikah aku saat itu? Tidak. Aku benar-benar malu, ibu tetap memperjuangkan hidupku, menaruhkan nyawa sebagai penopang hidupku. Sayang, waktu itu aku belum bisa melakukan tindak balas apa-apa. Jangankan untuk mengucapkan "terima kasih", untuk membuka mata saja aku belum mampu, bu.

Lalu, bukan mengobati kesakitannya, ibu berusaha menegakkan kepala mandangi wajah jabang bayinya. Karena bagi ibu, wajah yang mungil itu jadi obat penawarnya. Dan pada saat itu, ibu terkejut. Melihat wajahku yang sangat pucat. Aku terminum air ketuban dan terlilit pusat. Kala itu, aku tak tau, bagaimana kondisi hati ibu. Ibu sangat mengkhawatirkan puteri keduanya ini. Seandainya, aku bisa bicara: "Istirahatlah, bu. Aku baik-baik saja." Sayang, mulutku masih terbungkam, gigiku belum tumbuh, pasti ucapanku tak jelas ditelinga, ibu.

Belum lagi mengobati kondisiku. Ibu harus menerima kejutan kembali dari dukun yang melahirkan aku.. Bukan tenaga medis, hanya dukun beranak. Saat sang dukun berkata: "Bu, masih ada satu lagi di dalam."
Jangankan ibu, mungkin saat itu aku juga terkejut. Putri kedua ibu, kembar.

Aku tau Allaah sedang memberi ibu anugerah yang istimewa, diberi amanah putri kembar. Kata ibu, dia sangat, sangat, dan sangat bahagia. Sekalipun aku tau, usahanya harus diulang kembali untuk kedua kalinya. Melahirkan satu putri lagi. Tak terbayangkah aku, tenagamu sungguh luar biasa. Lagi-lagi demi memperjuangkan hidup putrimu. Bercucuran air mata ini. "Kamu harus jadi perempuan perkasa!"

Persiapan keluarga kita kala itu, serba kekurangan. Siapa sangka ibu mendapatkan karunia putri kembar. Ayahanda dengan setianya pergi mencari perlengkapan bayi keduanya. Untunglah, itu hari Minggu, ada pasar dadakan. Ayahanda menceritakan kelahiran putri kembarnya, lalu apa yang terjadi? Penjual itu memberikan cuma-cuma perlengkapan bayi itu. Aku hanya merepotkan. Belum lagi namaku juga saudara kembarku. Ayahanda harus menambahkan daftar nama yang baru. Selanjutnya, ibu selalu direpotkan dengan "dua".Aku juga Lisda.

Aku dan saudara kembarku semakin tumbuh. Semakin nakal dan cerewet. Semakin merepotkan. Lalu, ibu dengan kasih sayangnya merawatku. Bahkan ayahanda harus menggantikan pekerjaan ibu saat kami berdua rewel. Mau minum, mau makan, mau ini, mau itu. Belum lagi kemauan mamasku (kakak laki-laki dalam bahasa Jawa). Aku tau, sangatlah kelelahan menghadapi anak-anaknya. Tapi, takkan pernah kudapatkan wajah itu. Ibu akan bangun ketika celanaku tiba-tiba basah, atau ibu ketakutan kalau anak-anak kepanasan. Aku tau, dulu kita tak punya kipas angin, bu. Lalu, tanganmu yang akan menggantikannya.

Aku malu, bu. Teramat malu. Jika porsi tidurku sekarang lebih banyak dibanding ibu. Jika porsi makanku sekarang lebih banyak dari ibu. Bahkan sate padang menu buka puasa hari ini pun, harus dibagi dengan anak-anaknya. Ibu hanya mendapat sedikit bagiannya. Selalu begitu. Padahal sejak diperut dulu, aku dan Lisda selalu merenggut makanan ibu. Berebut. Atau dengan jahilnya membuat ibu mual-mual. Atau menyuruh ibu nyidam yang aneh-aneh. Maafkan, bu. Ibu harus membawaku dan Lisda kemanapun ibu melangkah, juga membuat ibu susah duduk ketika usia kami 9 bulan dirahimmu.

Ketaatanmu, ketulusanmu, kesabaranmu, kesetiaanmu, kebaikanmu, kasih sayangmu. Sungguh takkan cukup kata-kata ini mengindahkan dirimu, bu. Karena ibu bukan hanya sekedar indah, tapi sangat istimewa.

Aku malu, bu. Jika doa-doaku dan usahaku belum maksimal untuk ibu juga bapak. Aku malu, bu. Benarkah kehadiranku juga saudara kembarku menjadi anugerah dalam hidup ibu? Sedang perilaku terkadang menyakitimu. Uhh.. Dalam kenyataan yang pasti, jasamu takkan mampu terbalas oleh apapun dan sampai kapanpun. Biarkanlah anak-anakmu ini berbakti dengan doa-doamu, bu. Tak ada alasan untuk menolak rasa bakti. Karena berkat semua perjuangan dan doa-doamu, bu, aku bisa menulis catatan ini. Biarlah Allaah membalas-Nya dengan sebaik-baiknya balasan padamu, bu, juga pada bapak. Barakallah.

Dari seseorang yang mengagumimu dan sedang berusaha berbakti padamu..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar