Selesai
membereskan rumah. Pagi yang dingin menjelang siang itu. Tiba-tiba, ada yang
mengetuk pintu rumahku.
"Assalamu'alaikum."
“Wa’alaikumusalam,”
jawabku, sambil membuka kunci yang merekatkan pintu itu.
“Eh,
ada adik bayi.” Saat itu aku sumringah. Dugaan awalku, mungkin ada yang
mengantar ubi pesanan ibuku.
“Ada
ibu?” tanya saudaraku, sekaligus orang tua si adik bayi itu.
“Ibunya
ke pasar, mba? Memangnya kenapa?”
“Ini
mau titip adik. Kalau dibawa ke pasar kasian, nanti takutnya rewel.”
Dengan
sigap, aku menjawab.
“Biar
kami yang jaga, mba.” Aku dan saudara kembarku juga adikku antusias sekali.
Tanpa berpikir panjang lebar, aku mengangguk, mengiyakan persetujuan
itu.Apalagi melihat kondisi adik bayinya, ia tak rewel. Malah asyik tertawa,
diajak bergurau.
Aku
segera menggendongnya. Tugasku hari ini menjadi pengasuh bayi. Ini terlihat
mudah, adik bayi yang takk rewel membuat semuanya terlihat enjoy. Beberapa menit
berlalu, si Al, panggilan adik bayi mungil itu, menghabiskan waktunya tertawa
kecil bersama adikku, Indah. Aku dan Lisda tenang. Ia bisa menyesuaikan
keadaan. Sangat bersahabat.
Sampai
akhirnya, aku sedikit kelelahan. Aku meletakkan Al di tempat tidur. Lagi-lagi
dia amat bersahabat. Aku bisa merenggangkan tanganku yang sudah mulai pegal.
Kemana Lisda? Ia ada di dekatku, hanya saja ia harus menyelesaikan jobnya.
Sehingga, sementara waktu ini aku harus memprioritaskan menjadi pengasuh.
Kami
tertawa kecil. Melihat si Al belajar duduk. Ia masih ragu untuk memposisikan
tubuhnya. Ia baru menyempurnakan kekuatan tangannya dengan merangkak. Lucu
sekali. Aku berpikir, mungkin tingkahku dulu seperti ini juga. Merangkak ke
sini- merangkak ke sana. Hampir satu jam, si Al hampir kehilangan rasa
nyamannya. Ia mulai rewel, merengek sedikit. Aku dan Lisda mulai gelisah dan
bingung. Takut-takut kalau si Al menangis meraung-raung. Belum lagi kegelisahan
itu hilang, si Al menangis. Aku kebingungan. Aku dan Lisda segera berpikir
cepat, alasan apa yang logis kenapa si Al tiba-tiba rewel.
“Mungkin
adik haus, ma.”
“Iya,
mbak.” Kini, adikku yang menjawabnya.
Segera
aku berlari, mengambil cangkir berisi air juga sendok makan untuk membantu
proses minumnya. Mulutnya masih teramat kecil jikalau harus berhadapan langsung
dengan cangkir. Keadaan tenang lagi. Si Al mulai bersahabat. Rupanya si adik
kehausan. Ayolah, aku belum pandai membaca insting bayi.
Aku
kembali meletakkan si Al di tempat tidur. Belum ada hitungan menit, ia menangis
lagi. Tangisan dalam volume besar. Kali ini, kami benar-benar kewalahan.
Bingung juga kasihan melihatnya menangis. Aku mencoba menggendongnya lagi.
Tin...tin...tin..
Insting
seorang ibu kepada anaknya. Tepat sekali, orang tua si adik bayi pulang. Proses
belanjanya sudah usai. Aku menarik napas lega. Akhirnya, tugas hari ini
terselesaikan.
Lagi-lagi,
aku harus memuji keistimewaan ibu untuk kesekian kalinya. Malam ini, tanganku
terasa pegal karena menggendong si Al dalam hitungan waktu 120 menit. Hitungan
yang tidak seberapa dengan hitungan pengorbanan ibu. Aku menggeleng terpesona.
Dalam hatiku berkata, “Satu bayi saja sudah kikuk, apalagi dua bayi sepertiku
waktu bayi dulu?” Aku menghela nafas, sungguh perjuangan semua kaum ibu
sangatlah istimewa, istimewa, dan istimewa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar