Rabu, 08 Juli 2015

Kolak Ramadhan (Koempoelan Kisah) Ramadhan: "Istimewa, Istimewa, dan Istimewa"



Selesai membereskan rumah. Pagi yang dingin menjelang siang itu. Tiba-tiba, ada yang mengetuk pintu rumahku.

"Assalamu'alaikum."

“Wa’alaikumusalam,” jawabku, sambil membuka kunci yang merekatkan pintu itu.


“Eh, ada adik bayi.” Saat itu aku sumringah. Dugaan awalku, mungkin ada yang mengantar ubi pesanan ibuku.

“Ada ibu?” tanya saudaraku, sekaligus orang tua si adik bayi itu.

“Ibunya ke pasar, mba? Memangnya kenapa?”

“Ini mau titip adik. Kalau dibawa ke pasar kasian, nanti takutnya rewel.”

Dengan sigap, aku menjawab.

“Biar kami yang jaga, mba.” Aku dan saudara kembarku juga adikku antusias sekali. Tanpa berpikir panjang lebar, aku mengangguk, mengiyakan persetujuan itu.Apalagi melihat kondisi adik bayinya, ia tak rewel. Malah asyik tertawa, diajak bergurau.

Aku segera menggendongnya. Tugasku hari ini menjadi pengasuh bayi. Ini terlihat mudah, adik bayi yang takk rewel membuat semuanya terlihat enjoy. Beberapa menit berlalu, si Al, panggilan adik bayi mungil itu, menghabiskan waktunya tertawa kecil bersama adikku, Indah. Aku dan Lisda tenang. Ia bisa menyesuaikan keadaan. Sangat bersahabat.

Sampai akhirnya, aku sedikit kelelahan. Aku meletakkan Al di tempat tidur. Lagi-lagi dia amat bersahabat. Aku bisa merenggangkan tanganku yang sudah mulai pegal. Kemana Lisda? Ia ada di dekatku, hanya saja ia harus menyelesaikan jobnya. Sehingga, sementara waktu ini aku harus memprioritaskan menjadi pengasuh.

Kami tertawa kecil. Melihat si Al belajar duduk. Ia masih ragu untuk memposisikan tubuhnya. Ia baru menyempurnakan kekuatan tangannya dengan merangkak. Lucu sekali. Aku berpikir, mungkin tingkahku dulu seperti ini juga. Merangkak ke sini- merangkak ke sana. Hampir satu jam, si Al hampir kehilangan rasa nyamannya. Ia mulai rewel, merengek sedikit. Aku dan Lisda mulai gelisah dan bingung. Takut-takut kalau si Al menangis meraung-raung. Belum lagi kegelisahan itu hilang, si Al menangis. Aku kebingungan. Aku dan Lisda segera berpikir cepat, alasan apa yang logis kenapa si Al tiba-tiba rewel.

“Mungkin adik haus, ma.”

“Iya, mbak.” Kini, adikku yang menjawabnya.

Segera aku berlari, mengambil cangkir berisi air juga sendok makan untuk membantu proses minumnya. Mulutnya masih teramat kecil jikalau harus berhadapan langsung dengan cangkir. Keadaan tenang lagi. Si Al mulai bersahabat. Rupanya si adik kehausan. Ayolah, aku belum pandai membaca insting bayi.

Aku kembali meletakkan si Al di tempat tidur. Belum ada hitungan menit, ia menangis lagi. Tangisan dalam volume besar. Kali ini, kami benar-benar kewalahan. Bingung juga kasihan melihatnya menangis. Aku mencoba menggendongnya lagi.

Tin...tin...tin..

Insting seorang ibu kepada anaknya. Tepat sekali, orang tua si adik bayi pulang. Proses belanjanya sudah usai. Aku menarik napas lega. Akhirnya, tugas hari ini terselesaikan.

Lagi-lagi, aku harus memuji keistimewaan ibu untuk kesekian kalinya. Malam ini, tanganku terasa pegal karena menggendong si Al dalam hitungan waktu 120 menit. Hitungan yang tidak seberapa dengan hitungan pengorbanan ibu. Aku menggeleng terpesona. Dalam hatiku berkata, “Satu bayi saja sudah kikuk, apalagi dua bayi sepertiku waktu bayi dulu?” Aku menghela nafas, sungguh perjuangan semua kaum ibu sangatlah istimewa, istimewa, dan istimewa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar