Kisah
ini bergulir saat kesibukanku dan ibu berhenti di penggorengan. Kebetulan
produksi keripik pisang buatan ibu harus dilanjutkan. Hari ini, kami berdua
berusaha menyelesaikannya. Pisang satu tandan. Lumayan untuk menghitamkan
jari-jemari yang akan mengupas kulitnya yang bergetah itu. Jenis pisang yang
digunakan adalah pisang raja. Tapi, tunggu dulu. Ini bukan menceritakan tata
cara pembuatannya, bukan.
Ini
tentang keasyikan yang berhasil ibu hadirkan saat itu. Kami berbagi tugas.
Awalnya, ibu melarangku keras untuk memisahkan kulit pisang tersebut. Katanya
nanti tanganku akan menghitam karena getahnya. Itu masalah yang sangat sepele
bagiku. Hanya dengan sedikit gosokan, lalu dibilas air, semua getah akan
hilang. Aku sedikit memaksa.
“Jangan
mengupas kulitnya!”
“Sudahalh,
bu. Tak perlu dikhawatirkan. Persoalan getah itu, kecil sekali,” kataku sambil
menjelentikkan kelingking yang ringkih ini.
Akhirnya,
aku ikut sedia. Aku telah bersiap dengan pisau dan mulai berlenggak-lenggok
mengupas kulit pisang tersebut. Keputusan yang kami ambil hari ini adalah waktu
pagi. Supaya saat penggorengan tak terlalu panas, mengingat kami sedang
berpuasa.
Setelah
semuanya sudah siap diparut, aku mengubah peranku. Aku pindah bangku. Sekarang
aku berada dibagian penggorengan. Ibu mendapatkan bagian untuk memarut pisang;
membuatnya jadi keripik yang renyah.
Saat
udara makin memanas, saat parutan pisang mulai bergerak agak pelan. Ibu
memulai caranya. Selain menghindari keadaan yang membosankan juga untuk
menghindari ibu ketiduran. Ibu sengaja bercerita siang itu sambil memarut
pisang dan aku menggorengnya.
“Bu,
jangan tidur!”
Ibu
kaget, ia terkantuk.
“Ndak...ndak,”
jawab ibu merasa tak bersalah.
“Cerita
saja, bu. Biar tak ngantuk.”
“Baiklah,”
ibu menyetujuinya.
Ibu
memulai ceritanya.
“Dulu
saat ibu masih SD, ibu menganggap bahwa saat sedang sholat kita takkan
mendengar apa-apa.”
“Loh?
Kok begitu,bu? Ya, mana mungkin seperti itu,” bantahku.
“Dulu
ibu pernah mendengar ceramah yang mengatakan kalau kita sholat yang khusyuk,
kita takkan mendengar apa-apa. Jadi, sepehaman ibu, ketika kita sholat, kita
takkan mendengarkan apapun. Jikalau tidak, sholat kita tidak khusyuk.
Berkali-kali ibu mencoba untuk sholat, berkali-kali juga ibu masih bisa
mendengar. Lama-kelamaan ibu bingung sendiri. “Kenapa kalau sholat kok bisa
mendengar suara?” pertanyaan itulah yang akan hadir dibenak ibu waktu itu.”
Aku
tertawa kecil. Belum pernah aku mendengar cerita semacam ini. Peraturan bahwa
sholat yang khusyuk adalah sholat yang tak mendengar apa-apa. Bagaimana bisa?
Kecuali kalau menderita kekurangan dalam pendengaran. Allah menciptakan telinga
untuk mendengar.
“Ibu
ada-ada saja,” jawabku cengingisan sambil membayangkan ekspresi ibu kala
kejadian itu terjadi.
“Kan
masih anak-anak, waktu itu belum mengerti benar. Padahal yang dimaksud, kita
diminta konsentrasi pada sholat kita. Bukannya tak bisa mendengar suara apapun
ketika sholat. Hanya saja perhatian kita harus terpusat pada sholat bukan hal
yang lain. Seperti itu,” peenjelasan ibu.
Masih
asyik dengan penggorengan juga parutan. Ibu melanjutkan cerita.
“Dulu
sewaktu masih kecil, ibu sering menonton TV di tempat orang lain. Karena pada
jaman itu, bisa dihitung jari yang memiliki TV. Itupun masih TV hitam-putih.”
Sengaja
disisakan waktu malam yang masih dibilang sore itu untuk menikmati tayangan
televisi. Kebetulan hari sabtu ini, tayangan ditelevisi banyak didominasi oleh
tayangan niaga. Tanyangan iklan macam-macam produk. Saat itu, iklan yang tayang
adalah iklan pasta gigi. Jadi, menurut penuturan ibu, kebanyakan iklan pasta
gigi lainnya, pasti disajikan sedemikian rupa agar menarik peminatnya. Pasta
gigi yang dihadirkan pada tayangan itu rupanya mampu menghadirkan aroma bunga
yang mewangi dan membuat nafas segar.
“Lalu
apa yang terjadi, bu? Salah beli pasta gigi? Atau tiba-tiba listrik padam?”
cobaku menerka.
“Ya,
ibu paksa orang tua ibu, minta dibelikan pasta gigi seperti yang diiklan.”
“Harus
demikiankah, bu,” tanyaku.
“Namanya
masih anak kecil.” Ibu menjawab ringan kala itu.
“Lalu
kejadian istimewa apa yang terjadi?”
“Sayang
sekali, bukan kejadian istimewa yang terjadi. Ini kejadian konyol yang pernah
terjadi. Hari itu, setelah membeli pasta gigi, ibu dengan semangatnya mengambil
sikat gigi dan menuangkannya pada permukaan pasta gigi. Persis diiklan. Lalu,
ibu gosok-gosok gigi ibu. Namun, perasaan kesal hadir ketika waktu terbuang
percuma hanya karena mencoba pasta gigi itu. Ibu kesal, kenapa tidak mau keluar
bunga-bunga seperti diiklan. Ibu coba menggosok lagi hingga beberapa kali
menambahkan pasta gigi. Bunga tak kunjung juga bermunculan dari mulut ibu. Ibu
kesal pada kala itu, ketidakberhasilan mengeluarkan bunga dan diejek kolot oleh
kakak ibu.”
“Astagfirullah! Dimana ibu mendapat
pelajaran seperti itu?” aku yang bingung dibawa tawa dan juga aneh.
“Ya,
itu terjadi alami saja. Bukan dibuat-buat. Anak usia 3-4 tahun seperti ibu akan
sulit mencerna mana yang nyata mana yang tipu daya. Ibu hanya ingin mencoba
yang ada diiklan saja, hanya itu. Ibu malu kalau harus mengingatnya. Namun,
biarlah. Cerita itu bisa membawa tawa atau hiburan bagi pendengarnya.”
Aku
menghela nafas. Ada-ada saja tingkah ibu. Tertipudaya begitu saja. Akhirnya,
mata yang mengantuk tadi dapat teratasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar