"Dalam hidup ada dua sisi yang berbeda. Adakalanya harus bahagia dengan kebersamaan atau perihnya suatu perpisahan. Begitulah adanya."
Ilustrasi gambar
“Cobalah
bersikap baik padanya, Kia,” mama selalu meminta anaknya untuk berdamai dengan
saudara –atau bagian dari keluarga kecilku ini.
“Berhentilah
memaksa, ma. Kia tak mau mendekatinya.”
Mama
menggelengkan kepala. Mengapa Kia sangat keras kepala. Selalu berakhir seperti
itu, jika yang mama bicarakan adalah persoalan ramah-temeh itu. Papa pun
sesekali memaksa agar Kia mau peka sedikit saja pada Tora –bagian dari keluarga.
“Benar
apa kata mama, Kia. Berlakulah sewajarnya pada Tora. Tora tak pernah menyakitimu,
lalu kenapa harus dijauhi. Cobalah mengasihinya. Dia juga bagian dari keluarga
kecil kita,” papa yang angkat bicara dan pada kondisi seperti itu, papa akan
measang pertahanan paling kuat saat aku mulai berulah.
“Sebenarnya
yang anak papa mama dia atau Kia? Kenapa papa mama selalu memaksa Kia berlaku
ramah-tamah padanya. Papa tak ingat? Ia pernah melukai aku, pa, ma. Aku tak
akan bisa lupa itu,” Kia meninggalkan sarapannya, segera berangkat ke
sekolahnya.
Papa
dan mamanya hanya memandangi sikap Kia yang semakin keras. Hatinya begitu
enggan meletakkan kasih sayang pada Tora. Jika sudah begitu, ia akan pergi
meninggalkan sarapannya dan ke sekolah tanpa berpamitan. Seusianya, dia begitu
keras perangainya, begitu mandiri.
Sambil
mengomel, Kia langkahkan kaki mungilnya menuju sekolah. Lumayan dekat dari
rumah. Sehingga, ia tak membutuhkan siapa-siapa. Bahkan mamanya, yang selalu
sibuk dengan bisnisnya tidak pernah ia hiraukan. Di saat semua anak seusianya
masih memegangi tangan orang tuanya saat menyebrang, saat ia membutuhkan bekal
untuk dimakan saat jam istirahat. Kia selalu mengatasinya sendirian. Menyiapkan
roti tawar yang diolesi susu coklat kesukaannya dengan sendiri.
Welcome class 5 elementary shcool.
Setibanya
di kelas, teman-temannya sudah siap menyambut kedatangannya. Bukan karena
sikapnya yang ramah, namun karena ia selalu membawa roti gulung –dagangannya.
Ia membantu bi Rani –pembantu di rumahnya untuk menjual kue-kue hasil buatannya
yang sangat digemari oleh teman satu kelasnya.
“Kia,
besok bawa kue pie yaaa!” pesan salah satu temannya.
Kia
membalasnya dengan senyum. Itu artinya persetujuan darinya. Kia masih teramat
kaku dalam bahasanya. Ia jarang mendapat teman mengobrol. Sekolah begitu saja
terlewati, itu artinya harus kembali ke rumah. Bertemu Tora yang sangat
menyebalkan dalam hidup Kia.
Selesai
mempersiapkan tugas Bahasa Indonesianya. Kia memilih bersantai di perkarangan
belakang. Kia bermain di ayunan bersama Tora. Walaupun kenyataannya mereka tak
saling menyapa dan asyik sendiri. Tora asyik bermain dengan rumput-rumputan
atau dengan kupu-kupu yang tiba-tiba mendekatinya, ia akan mengais-ngaisnya.
Kia sudah pasang muka jeleknya, kehadiran Tora siang itu melenyapkan
kebahagiaannya. Padahal, seharusnya Kia harus bisa bersyukur. Kehadiran Tora
akan membuatnya tidak sendiri. Tora selalu mengikuti langkah Kia. Namun, Tora
harus selalu tersakiti karena sikap dingin Kia.
“Pergi,
pergi, pergi!!!! Sudah kubilang jangan mendekat!” Kia membentak Tora yang makin
mendekat.
Kia
berlari mengambil sapu, dia sudah bersiap-siap memukul Tora yang sudah semakin
dekat.
“Kalau
kau tidak pergi, aku pukul kau dengan sapu ini. Pergiiiiii!”
“Meongg....meongggg.meeoooonngggg..,”
hanya mungil yang keluar dari mulut Tora. Dari tatapan matanya mungkin ia ingin
sekali bermain bersama Kia.
“Pergiiiiiiiiiiii!!
Hus, husssss..,” sambil mengibas-ngibaskan sapu ke arah Tora.
Seakan
mengerti, Tora memberikan jarak. Ia kembali bermain lagi, mencoba menangkap
kupu-kupu yang terbang di sekelilingnya. Siapapun yang melihatnya pasti akan
mencintainya, kucing kampung yang badannya sangat gempal bulunya sangat lebat
berwarna abu-abu. Bola matanya yang bulat membuatnya makin terllihat mungil.
Sekarang,
Kia tersenyum sendiri. Melihat gelagat Tora yang menggemaskan. Namun, seketika
ia tersadar. Ia segera memasang wajah bencinya dan membuang pandangannya ke
arah lain.
Saat
Kia mencuri pandang ke arah Tora. Tora telah mendekat lagi. Sekarang Tora bukan
lagi asyik main bersama-sama kupu-kupu. Tora sedang bergulat dengan hewan yang
sangat Kia takuti setelah kucing –ular. Tora dengan lincah mencakar-cakar tubuh
ular yang lumayan besar itu. Kia segera berteriak sekencang-kencangnya.
“Papaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!
Tolongggggggggggg!!!” Kia menjerit.
Untunglah,
siang itu kedua orangtua Kia tidak diliputi kesibukan. Papa berlari
sekonyong-konyong ke arah taman.
“Ada
apa, Kia?”
“Tora,
pa. Tora.....” menunjuk ke arah Tora.
“Astagfirullah, tunggu,” papa berlari
mengambil bambu dan segera memukul kepala si ular hingga remuk.
Mama
ikut menyusul, ia segera memeluk putrinya.
“Lepaskan,
ma!” Kia melepaskan pelukan mamanya.
“Kenapa?”
mama segera heran melihat perangai anaknya itu.
“Tora
lebih membutuhkan mama.”
Tiada
lagi upaya yang mampu dilakukan mama. Tora sudah tergeletak tak berdaya. Pucat
sudah. Mungkin racun ular telah menjalar ke seluruh tubuhnya. Hari ini, siang
itu, lagi-lagi peristiwa bersama Tora tak bisa terlupakan oleh Kia. Ia pernah
membenci karena kesalahan kucing kampung itu; mengigit kakinya. Lalu, sekarang
ia harus menyayangi karena keberhasilan Tora menyelamatkan dirinya.
Papa
dan Mama hanya terdiam. Bingung hendak berkata bagaimana. Ia sangat senang
anaknya lolos dari ancaman ular. Namun, di sisi ular yang mati itu, tergeletak
tubuh gempal Tora yang sudah tak berdaya. Papa sangat menyayangi Tora, begitu
juga mama. Karena sebelum kehadiran Kia, Toralah yang menjadi kebahagiaannya.
Tora, maafkan aku. Kumohon kembali!
Jangan mati, jangan pergi! Aku memang jahat. Seharusnya, aku tau. Kaulah yang
sebenarnya dengan setia menemaniku saat aku sendiri. Maafkan aku, selalu
melemparmu dengan boneka-bonekaku saat kau ingin bermain di kamarku. Maafkan aku,
tak mau memberimu makan. Maafkan aku, tak pernah mengajakmu bermain. Maafkan
aku, siang ini, aku hampir memukulmu dengan sapu itu. Maafkan aku. Aku tak
pernah menyadari kebersamaan ini. Kumohon kembali! Kembali!
Epilog
Kia, anak semata wayang dari pasangan Pak
Winarto dan Bu Minarni. Sepasang suami-istri ini sangat menyayangi kucing yang dirawat sejak usia 2 bulan. Kucing yang menemani mereka sebelum kehadiran putrinya selama 9 tahun. Kia, putri kelas 5 SD ini sangat takut dengan kucing dan
ular. Gigitan kucing yang pernah mendarat dikakinya, membuat kebencian itu
mulai hadir. Putri yang sangat keras kepala dan ingin hidup mandiri –katanya.
Ia selalu menganggap mamanya sibuk dengan bisnis-bisnisnya. Bisnis pembuatan
kue bersama bi Rani di rumahnya sendiri. Padahal, sang mama selalu setia
menjaga putri kesayangannya itu. Mama selalu berusaha ada waktu untuk Kia.
Bahkan, tak mau beraktivitas terlalu banyak di luar rumah. Namun, Kia selalu
menolak. Selalu ingin mandiri, sehingga ia tak perlu ada teman. Termasuk
kehadiran Tora, kucing kampung kesayangan orang tuanya itu, tidak dikehendaki.
Tora
diperlakukan sangat dingin. Kia tak pernah menyayangi Tora. Kia selalu membenci
Tora. Tak pernah mau memberinya makan ketika mama sedang sibuk dengan
kue-kuenya. Hingga seharian Tora harus terkulai lemas. Selalu melemparinya
dengan boneka-boneka. Sering membuat Tora ketakutan. Walaupun pada akhirnya,
Kia tak pernah menyadari waktu kebersamaannya bersama Tora yang tak pernah ia
nikmati. Semuanya terlambat, ketika ia menyadari perpisahan yang sangat menyakitkan
dan sangat perih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar