Selasa, 30 Juni 2015

Kumohon Kembali!

Ilustrasi gambar
"Dalam hidup ada dua sisi yang berbeda. Adakalanya harus bahagia dengan kebersamaan atau perihnya suatu perpisahan. Begitulah adanya."
“Cobalah bersikap baik padanya, Kia,” mama selalu meminta anaknya untuk berdamai dengan saudara –atau bagian dari keluarga kecilku ini.
“Berhentilah memaksa, ma. Kia tak mau mendekatinya.”
Mama menggelengkan kepala. Mengapa Kia sangat keras kepala. Selalu berakhir seperti itu, jika yang mama bicarakan adalah persoalan ramah-temeh itu. Papa pun sesekali memaksa agar Kia mau peka sedikit saja pada Tora –bagian dari keluarga.
“Benar apa kata mama, Kia. Berlakulah sewajarnya pada Tora. Tora tak pernah menyakitimu, lalu kenapa harus dijauhi. Cobalah mengasihinya. Dia juga bagian dari keluarga kecil kita,” papa yang angkat bicara dan pada kondisi seperti itu, papa akan measang pertahanan paling kuat saat aku mulai berulah.
“Sebenarnya yang anak papa mama dia atau Kia? Kenapa papa mama selalu memaksa Kia berlaku ramah-tamah padanya. Papa tak ingat? Ia pernah melukai aku, pa, ma. Aku tak akan bisa lupa itu,” Kia meninggalkan sarapannya, segera berangkat ke sekolahnya.

Papa dan mamanya hanya memandangi sikap Kia yang semakin keras. Hatinya begitu enggan meletakkan kasih sayang pada Tora. Jika sudah begitu, ia akan pergi meninggalkan sarapannya dan ke sekolah tanpa berpamitan. Seusianya, dia begitu keras perangainya, begitu mandiri.

Sambil mengomel, Kia langkahkan kaki mungilnya menuju sekolah. Lumayan dekat dari rumah. Sehingga, ia tak membutuhkan siapa-siapa. Bahkan mamanya, yang selalu sibuk dengan bisnisnya tidak pernah ia hiraukan. Di saat semua anak seusianya masih memegangi tangan orang tuanya saat menyebrang, saat ia membutuhkan bekal untuk dimakan saat jam istirahat. Kia selalu mengatasinya sendirian. Menyiapkan roti tawar yang diolesi susu coklat kesukaannya dengan sendiri.

Welcome class 5 elementary shcool.

Setibanya di kelas, teman-temannya sudah siap menyambut kedatangannya. Bukan karena sikapnya yang ramah, namun karena ia selalu membawa roti gulung –dagangannya. Ia membantu bi Rani –pembantu di rumahnya untuk menjual kue-kue hasil buatannya yang sangat digemari oleh teman satu kelasnya.

“Kia, besok bawa kue pie yaaa!” pesan salah satu temannya.

Kia membalasnya dengan senyum. Itu artinya persetujuan darinya. Kia masih teramat kaku dalam bahasanya. Ia jarang mendapat teman mengobrol. Sekolah begitu saja terlewati, itu artinya harus kembali ke rumah. Bertemu Tora yang sangat menyebalkan dalam hidup Kia.

Selesai mempersiapkan tugas Bahasa Indonesianya. Kia memilih bersantai di perkarangan belakang. Kia bermain di ayunan bersama Tora. Walaupun kenyataannya mereka tak saling menyapa dan asyik sendiri. Tora asyik bermain dengan rumput-rumputan atau dengan kupu-kupu yang tiba-tiba mendekatinya, ia akan mengais-ngaisnya. Kia sudah pasang muka jeleknya, kehadiran Tora siang itu melenyapkan kebahagiaannya. Padahal, seharusnya Kia harus bisa bersyukur. Kehadiran Tora akan membuatnya tidak sendiri. Tora selalu mengikuti langkah Kia. Namun, Tora harus selalu tersakiti karena sikap dingin Kia.

“Pergi, pergi, pergi!!!! Sudah kubilang jangan mendekat!” Kia membentak Tora yang makin mendekat.

Kia berlari mengambil sapu, dia sudah bersiap-siap memukul Tora yang sudah semakin dekat.

“Kalau kau tidak pergi, aku pukul kau dengan sapu ini. Pergiiiiii!”

“Meongg....meongggg.meeoooonngggg..,” hanya mungil yang keluar dari mulut Tora. Dari tatapan matanya mungkin ia ingin sekali bermain bersama Kia.

“Pergiiiiiiiiiiii!! Hus, husssss..,” sambil mengibas-ngibaskan sapu ke arah Tora.

Seakan mengerti, Tora memberikan jarak. Ia kembali bermain lagi, mencoba menangkap kupu-kupu yang terbang di sekelilingnya. Siapapun yang melihatnya pasti akan mencintainya, kucing kampung yang badannya sangat gempal bulunya sangat lebat berwarna abu-abu. Bola matanya yang bulat membuatnya makin terllihat mungil.

Sekarang, Kia tersenyum sendiri. Melihat gelagat Tora yang menggemaskan. Namun, seketika ia tersadar. Ia segera memasang wajah bencinya dan membuang pandangannya ke arah lain.

Saat Kia mencuri pandang ke arah Tora. Tora telah mendekat lagi. Sekarang Tora bukan lagi asyik main bersama-sama kupu-kupu. Tora sedang bergulat dengan hewan yang sangat Kia takuti setelah kucing –ular. Tora dengan lincah mencakar-cakar tubuh ular yang lumayan besar itu. Kia segera berteriak sekencang-kencangnya.

“Papaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!! Tolongggggggggggg!!!” Kia menjerit.

Untunglah, siang itu kedua orangtua Kia tidak diliputi kesibukan. Papa berlari sekonyong-konyong ke arah taman.

“Ada apa, Kia?”

“Tora, pa. Tora.....” menunjuk ke arah Tora.

Astagfirullah, tunggu,” papa berlari mengambil bambu dan segera memukul kepala si ular hingga remuk.

Mama ikut menyusul, ia segera memeluk putrinya.

“Lepaskan, ma!” Kia melepaskan pelukan mamanya.

“Kenapa?” mama segera heran melihat perangai anaknya itu.

“Tora lebih membutuhkan mama.”

Tiada lagi upaya yang mampu dilakukan mama. Tora sudah tergeletak tak berdaya. Pucat sudah. Mungkin racun ular telah menjalar ke seluruh tubuhnya. Hari ini, siang itu, lagi-lagi peristiwa bersama Tora tak bisa terlupakan oleh Kia. Ia pernah membenci karena kesalahan kucing kampung itu; mengigit kakinya. Lalu, sekarang ia harus menyayangi karena keberhasilan Tora menyelamatkan dirinya.

Papa dan Mama hanya terdiam. Bingung hendak berkata bagaimana. Ia sangat senang anaknya lolos dari ancaman ular. Namun, di sisi ular yang mati itu, tergeletak tubuh gempal Tora yang sudah tak berdaya. Papa sangat menyayangi Tora, begitu juga mama. Karena sebelum kehadiran Kia, Toralah yang menjadi kebahagiaannya.

Tora, maafkan aku. Kumohon kembali! Jangan mati, jangan pergi! Aku memang jahat. Seharusnya, aku tau. Kaulah yang sebenarnya dengan setia menemaniku saat aku sendiri. Maafkan aku, selalu melemparmu dengan boneka-bonekaku saat kau ingin bermain di kamarku. Maafkan aku, tak mau memberimu makan. Maafkan aku, tak pernah mengajakmu bermain. Maafkan aku, siang ini, aku hampir memukulmu dengan sapu itu. Maafkan aku. Aku tak pernah menyadari kebersamaan ini. Kumohon kembali! Kembali!

Epilog 
Kia, anak semata wayang dari pasangan Pak Winarto dan Bu Minarni. Sepasang suami-istri ini sangat menyayangi kucing yang dirawat sejak usia 2 bulan. Kucing yang menemani mereka sebelum kehadiran putrinya selama 9 tahun. Kia, putri kelas 5 SD ini sangat takut dengan kucing dan ular. Gigitan kucing yang pernah mendarat dikakinya, membuat kebencian itu mulai hadir. Putri yang sangat keras kepala dan ingin hidup mandiri –katanya. Ia selalu menganggap mamanya sibuk dengan bisnis-bisnisnya. Bisnis pembuatan kue bersama bi Rani di rumahnya sendiri. Padahal, sang mama selalu setia menjaga putri kesayangannya itu. Mama selalu berusaha ada waktu untuk Kia. Bahkan, tak mau beraktivitas terlalu banyak di luar rumah. Namun, Kia selalu menolak. Selalu ingin mandiri, sehingga ia tak perlu ada teman. Termasuk kehadiran Tora, kucing kampung kesayangan orang tuanya itu, tidak dikehendaki. 


Tora diperlakukan sangat dingin. Kia tak pernah menyayangi Tora. Kia selalu membenci Tora. Tak pernah mau memberinya makan ketika mama sedang sibuk dengan kue-kuenya. Hingga seharian Tora harus terkulai lemas. Selalu melemparinya dengan boneka-boneka. Sering membuat Tora ketakutan. Walaupun pada akhirnya, Kia tak pernah menyadari waktu kebersamaannya bersama Tora yang tak pernah ia nikmati. Semuanya terlambat, ketika ia menyadari perpisahan yang sangat menyakitkan dan sangat perih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar