Kamis, 05 Maret 2015

Semut dan Cahayanya

Coba belajar menulis, luangkan waktu untuk menulis. Sedikit saja, mulailah menulis, sekedar kumpulan-kumpulan sms yang tak terkirim, atau puisi-puisi yang tak tentu maknanya. Banyaklah berlatih dan berteman baiklah pada waktu luangmu. Coba kirim tulisan tersebut ke media. Dari majalah bobo, misalnya. Buatlah dongeng-dongeng sederhana yang didalamnya terdapat pesan yang bermanfaat.



Kelas mendadak geli, Mereka menangkap artian "majalah bobo" yang identik dengan anak-anak. Sedang diri mereka, mahasiswa. Lautan tawa menutupi suara pak dosen sore itu.


Ehhhh.. apa pula kalian nih tertawa. Benarlah itu. Jangan malu, belajarlah dari hal-hal sederhana. Jadikan hal-hal sederhana tersebut menjadi kebiasaan, yang lama-kelamaan akan membawa kita pada kesuksesan.  Jangan berharap jadi penulis hebat terlebih dahulu, yang terpenting adalah mulai menulis. Jika tidak ada yang membaca tulisanmu saat ini, itu karena kalian belum terkenal. Itu beda kalian dengan penulis-penulis hebat itu. Kalau kalian sukses, batuk kalian pun diartikan orang.


Lagi-lagi kelas kala itu, dipenuhi sorak-sorak dari mulut mereka. Beginilah suasana kelas ketika mata kuliah harus dihadapkan pada pukul 16.00 WIB. Para dosen harus bisa mengantarkan suasana yang menarik. Kalau tidak, mereka dalam masalah serius. Akan banyak sekali alasannya, mulai yang mengantuk atau membolos. Resiko itu yang acapkali terjadi.


Salah satu dosen senior kami, Bapak Supriyadi mengambil strategi yang bisa menarik perhatian mahasiswanya. Lebih banyak santai dan diselingi materi. Lagi pula, materi yang akan disampaikan bukan lagi dari pak dosen, tapi teman sesama mahasiswa. Pak dosen hanya bertugas menghidupkan suasana, selebihnya mahasiswa.

Berbicara majalah bobo lagi. Pak Supriyadi mengingat sebuah cerpen yang disukainya di majalah Bobo.

Cerita ini berkisah tentang seekor semut yang ingin sekali memiliki sayap. Setiap hari ia berdoa kepada Tuhan, Agar suatu saat ia bisa memiliki sayap dan terbang menemukan cahaya. Tak pernah bosan si semut berdoa. Cemohan pun berdatangan dari semut-semut lain. Mereka menertawakan si semut yang terlalu ambisius itu. Manalah mungkin seekor semut memiliki sayap, itu tak akan mungkin.

Semakin sering si semut berdoa maka hujatan itu makin kencang. Mereka bahkan menghina si semut bodoh dan gila, namun si semut tidak mempedulikannya. Ia tetap saja berdoa. Hingga akhirnya, doa tersebut dikabulkan Tuhan. Ia memiliki sayap dan berubah menjadi seekor laron. Ia sangat bahagia dan sangat bersyukur pada Tuhannya. Apa yang ia harapkan di setiap doanya didengar.

Ketika itu, musim hujan turun. Si laron bersama kawanannya pergi menuju cahaya. Mereka berbondong-bondong. Hingga pada akhirnya, setelah bertemu cahaya, sayap-sayap kawanan laron itu berguguran dan laron pun berjatuhan, mati. Si laron tersebut dengan ikhlas dan tersenyum menuju kematiannya, karena ia telah bertemu cahayanya. Kejadian itu terdengar oleh kawanan semut, temannya, mereka menertawai si semut yang mati akibat keinginannya itu.

Ada satu hal yang harus kalian bisa dijadikan pelajaran dari kisah tersebut. Dimana seekor semut yang telah berubah menjadi seeokor laron itu telah berhasil mencapai tujuan di hidupnya, yakni bertemu cahaya.  Cahaya yang diibaratkan disini ialah cahaya Illahi. Itu artinya tujuan hidup ini adalah menggapai ridha-Nya. Berdoalah dengan keyakinan yang penuh dan berusahalah semampunya dalam menggapai ridha-Nya, supaya hidup bahagia di dunia dan di akhirat. Tiada penyesalan diakhir hayat.


Riuh suara tepuk tangan. Ada sebuah pelajaran dari perjalanan seekor semut. Subhanallah :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar