Sang surya menyerang
hebat kala siang itu.
“Besok kita pergi ke
rumah Dika, ya” ajak saudara kembarku, Lisda, kemarin saat perjalanan menuju
pulang. Hal ini berjalan lurus dengan
jeda waktu yang lumayan jauh dari jadwal perkuliahan di akhir pekan ini. Aku
menganggukan kepala, sebagai persetujuan akan rencana itu.
“Ada soto yang sangaaattt enak di dekat rumah si Dika”
rekomendasi si Dika yang disampaikan Lisda padaku. Nampaknya saat ini memang si
Lisda ingin melampiaskan dendamnya pada semangkuk soto. Sudah beberapa kali
eksekusinya gagal. Mau apa dikata, ia tetap berusaha mencapainya.
Sabtu pagi, di kampus.
Aku mengikuti perkuliahan. Sedang Lisda menantiku sambil mempercantik si Temol,
mio hitam kami. Materi demi materi selesai, sarapan dua sks selesai. Lanjut
dengan semangkuk soto yang terbayang di benakku. Sebenarnya, aku juga sangat
menginginkan hal yang sama layaknya Lisda. Berhasil mengesekusi semangkuk soto dan es jeruk. Nikmatnyaaa...
Aku ambil telepon
genggamku dan segera mengirimkan pesan singkat: Jemput yaa di kampus.
Beberapa menit, dengan
gesitnya si Lisda mengendarai si Temol (yang sudah cantik).
“Baiklah kita
berangkat, ya. Tapi Deli dan Rizka tak bisa ikut. Mereka ada kesibukan, jadi
hanya kita berdua yang jadi berangkat” hal pertama yang tak sesuai rencana, Deli dan Rizka tanpa
diperhitungkan gagal. Perencanaan yang telah di usung kemarin gagal; meleset.
“Tapi tau jalannya,
kan?” tanyaku sedikit ragu.
“Tenang, aku masih
ingat. Nanti kalau tak jauh lagi dari rumah Dika, dia akan menjemput kita”
menyakinkan jawabnya. Sedang si Dika pun aktif dengan telepon genggamnya. Mudah
saja.
Berangkat. Berjalan
bersama Temol. Berlari kencang dan sigat. Melesat bersama deruaan angin yang
berhembus lumayan menghangatkan. Sabtu yang benar-benar cerah. Di tengah
perjalanan, Lisda memintaku untuk memberi kabar kepada pemilik rumah yang akan
disinggahi ini: Kami otw ya, dik.
Sudah lumayan jauh
perjalanan dan menghabiskan beberapa menit yang lumayan banyak. Matahari sangat
cerah. Untung saja perlengkapan sudah dipakai dengan pas. Makin ke ujung dan sedikit asing dengan tempat-tempat yang
dilalui.
“Aku ingat. Jalan ke
rumah si Dika memang begini, jalanannya agak jelek. Nanti kita akan melewati
sebuah jembatan yang baru dibangun. Memang sedikit asing, karena kita jarang
melaluinya” perkataan Lisda, seakan mengerti kegelisahan yang mulai hadir
dibenakku.
Hingga pada akhirnya,
di sebuah jembatan..
“Ya, ini benar
jalannya. Tetapi kita nanti lurus” lanjut si Lisda. Ok, perjalanan dilanjutkan.
Ketika di persimpangan,
benar saja kami berada di awal kebimbangan. Lisda yang tadinya percaya diri
akhirnya turun bercampur kebimbangan. Ada perbincangan sedikit keras.
“Jadi mau kemana ini?”
kata itu terlontar ketika si Lisda lebih memilih berbelok arah. Padahal,
awalnya ia berkata mengambil jalan lurus.
“Lurus? Mana bisa? Itu
jalan buntu” jawabnya.
“Bisa, tadi ada kok yang lurus” aku mulai agak panas
bersamaan terik mentari yang makin menjadi.
“Berhenti dulu lah,
coba hubungi Dika. Jangan dilanjutkan, ini tempat yang benar-benar asing” kami
berhenti dan mencoba menghubungi Dika. Sayangnya, saat itu kontak kami terputus
dengannya. Ia tak ada meninggalkan pesan jua tak ada menjawab panggilan kami
yang entah beberapa kali. Sementara, sang mentari makin dahsyat. Peluh
bergelimangan.
“Di depan tadi ada
orang yang lurus?” tanya Lisda.
“Ada. Dari awal
pembelokan ini aku mengatakan hal itu” aku mulai kesal betapapun tidak, ia tak
mengetahui jalan yang benar, hanya karena melihat orang lain yang tak lurus, ia
malah ikut berbelok; jekas-jelas belok adalah jalan yang salah.
Akhirnya, rasa sudah
sama-sama panas. Kami menuju persimpangan lagi, kali ini kami mengambil jalan
lurus. Benar saja, kata si sopir, Lisda, ini jalan yang tepat. Menurut
ingatannya, kita akan menemui jalan agak tinggi. Sempit bukan main jalannya,
sangat terjal dan licin. Hanya perlu beberapa menit, kami berhasil
menaklukannya. Tibalah di jalan besar, banyak lalu-lalang kendaraan. Namun,
bukannya jadi titik terang malah makin buram. Berdebat lagi, dan menemui
kesimpulan putar-balik. Dengan berat hati,
perjalanan bertemu soto ‘yang katanya enak itu’ gagal. Menyerah. Daripada
bensin habis sia-sia, yang dicari tak kunjung bersua lebih baik balik ke arah
semula; meleset.
Aku makin dongkol
(sebenarnya). Maunya aku berhenti berbicara dan diam. Namun, ada kesempatan
yang bisa aku nikmati. Akhirnya, aku mengajak Lisda pergi ke gramedia.
Kebetulan ada novel terbaru yang sudah aku incar. Aku sedikit bahagia. Berjalan lagi, mentari hampir berada
tepat di atas kepala.
Ketika di pertengah
perjalanan, Lisda berhenti persekian detik karena bingung si Temol kena lampu
merah atau tidak. Padahal sebenarnya sudah ku beri wejangan agar jalan terus,
tak ada lampu merah.
“Priiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiitttt................”
peluit menyakitkan itu memberhentikan aku, si Lisda, juga si Temol.
Jantungku
berdegup kencang, wajah pucat pasi. Ya, polisi itu memberhentikan langkah si
Temol. Kebetulan sebelum Gramedia, ada pos polisi yang mengintai mangsa di
sana. Habislah.
Lisda diintogerasi, aku
sangat jelas menatapnya. Wajah paniknya sangat juara. Aku tau, ini kali
pertamanya sejak memutuskan untuk mengendarai si Temol. Kami menyalahi aturan
lalu lintas, begitu hukumannya. Memang kesalahan kami. Walau hanya sepersekian detik. Dengan
terpaksa, uang yang sudah dipersiapkan untuk membeli soto yang rupanya gagal,
uang yang sudah diputarkan untuk membeli novelku, harus kandas; meleset.
Dengan perasaan lesu,
aku memasuki pintu masuk gramedia. Aku termangu bersama keduanya. Ada dua orang
bapak-bapak paruh baya, yang berhenti di tengah plang yang turun. Mereka berdua
kebingungan, salah satu diantara mereka sudah berada di dalam pintu masuk
sedang temannya yang mengendarai motor bingung, bagaimana cara mengangkat plang
tersebut, bagaimana membawa masuk motornya. Mereka sedikit berdebat, yang di
dalam seperti meberi arahan, entah apa. Dan ketika aku menombol tiket tanda
masuk, terbukalah plang. Aku terdengar suara mereka, samar-samar: (sedikit tertawa) Gitu loh caranya, di
tekan. Oalaaah.
Aku geli melihat muka
bingung kedua bapak itu, bapak-bapak yang berhasil kabur dari cengkraman
polisi. Kurasa cukup lama mereka berdepatdengan plang masuk itu, lucu.
Setidaknya kejadian itu sedikit menghiburku.
Setibanya di dalam, ku
lirik novel yang menjadi incaranku. Ku tilik harganya, sedih. Keadaan dompetku
tak memadai, dengan berat hati aku meninggalkannya. Agar kekecewaan ini tak
segera berlanjut, aku dan Lisda pergi menuju peralatan menggambar. Rupanya secara kebetulan ada yang mau di beli. Di
cari, rupanya tak dapat juga. Pewarna yang di cari tak berhasil ditemukan.
Untuk mengatasi kekecewaan yang begitu mendalam, di alternatifkan ke pewarna
lain; meleset.
Duduk menghirup nafas.
Hendak menenangkan diri. Datanglah sebuah pesan dari sang pemilik rumah, dia
sangat merasa bersalah. Ia lalai, ia terlupa, ketika diminta membantu sang
kakak memasak. Ya, harus bagaimana lagi. Memutar pun, sudah terlalu lelah. Dan
yang membuat sakit hati, arah yang kami tuju (tadi) adalah suatu kesalahan
besar. Tarikan nafas yang begitu dalam, keadaan kerongkongan juga yang makin
kering. Parahnya, sebenarnya alamat si Dika yang benar adalah jalan yang sering
kami lalui ketika berkunjung ke rumah tante. Dan yang lebih melesetnya lagi, Lisda tau letak alamat
itu. Namun, entahlah pikirannya kemana.
Lapar beserta haus
hinggap di jasmani kami. Emosi yang entah bagaimana cara meluapkannya. Timbullah
ide untuk mencari kedai. Aku mengiyakan.
“Aku tau kita makan
dimana. Di dekat simpang tiga ada soto yang lumayan enak juga, bagaimana?’
tawarku kepada Lisda yang tengah terpenjara soto.
“Oke. Berangkat” si
Temol melaju.
Sedikit lagi sampai,
aku memberi wejangan jangan sampai salah arah lagi, dan sampai. Akhirnyaaa....
Kedai soto itu, tutup.
Sempurna, meleset lagi.
Lapar dan haus yang
makin mendesak, membuatku dan Lisda juga Temol yang mungkin sudah mulai lelah
menghampiri kedai ayam goreng sekelas Fried
Chicken; Q-Chicken. Memesan makan dan minum, cuci tangan, berdoa dan makan.
Betapa sejuknya air teh itu, rasanya pas.
Tak terlalu manis, sedang saja. Sambil menikmati angin berhembus, ya,
sengaja mengambil bangku di luar biar hati yang di dalam juga ikut dingin.
Alhamdulillah, sedikit pahit cerita meleset
hari ini. Tetap tersenyum walau berat, percaya saja rencana Allah akan
lebih indah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar