Satu yang pasti dari
seorang perempuan, ialah menjadi seorang ibu. Aku menulis ini sebagai bentuk
dedikasi yang tinggi untuk itu. Menjadi sesosok perempuan yang mendapatkan
penghargaan tinggi dari Tuhan.
Aku sama dengan kebanyakan,
aku hidup, bernapas, juga bisa bergerak. Aku juga pernah berada di kandungan,
sembilan bulan. Menuruti makanan ibu, dan adakalanya ibu harus mengalah
denganku. Ibu harus berjuang demi nyidam, keinginanku.
Aku lahir kala orang-orang masih menganggap dukun beranak lebih populer dibanding tenaga kerja medis -seorang bidan. Aku lahir ditengah pasokan listrik yang sangat sulit. Bahkan ekonomi
sangat mencekik. Jaman dimana semuanya harus dibuat sendiri, harus memiliki
inistiatif untuk tetap bertahan hidup. Aku dibesarkan pada jaman itu.
Suara itu, meramaikan
kemunculan sang mentari, "Iik, kemarilah. Duduk. Biar ibu ikat
rambutmu." Mulailah tangannya yang gemulai -dibalut keras urat dan
tenaganya, menyisir rambutku yang panjang bergelombang. Disiapkan pula minyak
kelapa yang dibuatnya sendiri. Dioleskan pada kepalaku secara merata. Hingga
rambutku tertata dengan rapi dan menawan kilaunya.
Rutinitas yang selalu hadir
di pagi hari sebelum aku pergi ke sekolah. Atau rutinitas yang lebih sakral
lagi, berpamitan. Itu kebutuhan wajib yang harus aku terapkan setiap harinya.
Aku harus berhasil menemukan mamak. Dimanapun dia berada, aku harus mencarinya.
Kalau tidak, ancaman serius bisa aku dapatkan.
Kadang pagi serepot ini, aku
harus berkeliling kebun sayur sebelah rumahku demi mencari mamak, tepatnya tangan
mamak. Menciumnya dan mengucapkan salam.
"Assalamualaikum, mak. Iik berangkat ke sekolah, ya" menyembul dari mulutku, otomatis.
"Assalamualaikum, mak. Iik berangkat ke sekolah, ya" menyembul dari mulutku, otomatis.
"Waalaikumusalam, nak.
Nanti selepas jam sekolah, jangan pergi kemana-mana ya" sedikit puntalan
sesepuh mamak muncul. Aku harus mematuhinya. Aku berangkat.
Berjalan bersama teman. Jalan
kaki beramai-ramai. Jangankan listrik, kendaraan beroda dua pun sulit ditemukan,
sekalipun ada itu hanya sepeda ontel dengan belnya.
Aku tak berniat banyak hari
ini. Niatku selepas pelajaran terakhir ini segera pulang ke rumah. Membantu
meringankan kerja mamak, mengurangi kerepotan mamak, yang sibuk dengan
pengobatannya. Mamak seorang dukun beranak di desaku. Aku sangat antusias
ketika ada orang yang ingin melahirkan. Mamak menyuruhku mengambil ini dan itu,
memintaku menyiapkan air hangat di dalam baskom. Hingga aku harus merawat
barang bedah mamak, sebuah gunting bedah, pemberian orang Belanda, dulu, begitu
kata mamak.
Selesai dengan jam terakhir,
aku ingin pergi memancing hari itu. Berkat solusi cantik si Karjan yang ingin
menyantap ikan hasil pancingan sendiri. Betapa hanyutnya aku. Aku ingin pergi.
Selepas menunaikan kewajiban
sebagai hamba Tuhan dan sebagai anak yang baik. Aku memutuskan diam-diam pergi
dari rumah. Pergi bersama klub memancingku yang baru pagi tadi dibentuk. Dan
menyetujui aku sebagai ketuanya. Mana mungkin aku bisa menolaknya.
Detik demi detik memutar,
menghabiskan ke dua belas dan mengulangnya lagi. Karjan dan kawan telah
menemukan mangsa beberapa ekor anakan ikan yang tak terlalu besar. Sedangkan
aku masih manis duduk dipinggir menunggu ikan menarik umpanku. Ada beberapa
kali bergoyang, namun hilang. Beberapa menit kemudian, menemukan seekor ikan,
besar, induknya anakan ikan yang ditangkap Karjan dan kawan. Mentari mulai
menurun, langit berwarna senja menghilang di bawah garis cakrawala di ufuk barat. Mari pulang..
Mamak memanggil keras,
"Iik......". Tak ada jawaban. Termengu mamak menunggu. Tak jua
memperoleh hasil. Siaplah mamak di teras rumah membawa sebilah rotan. Wajahnya
yang sangar. Sedang aku tak mendapatinya. Aku dengan santai melangkah masuk ke
rumah dengan membawa ikan hasil tangkapan.
"BERHENTI!" huruf
capslock membentuk semburat dari emosi mamak.
Mata itu sangat tajam,
"Sudah mamak katakan, jangan pernah pulang terlalu larut sore. Ini hampir
masuk waktu Maghrib. Coba lihat pakaianmu kotor! Baumu juga amis".
Mata rotan itu seakan
melirikku, "Ampun mak, ampun. Jangan pukul Iik dengan rotan itu. Iik tak
akan mengulanginya lagi". Tangan yang keras itu membelaiku, lalu
membuatkan pekikan hebat. Mamak mencubitku, sangat sakit. Aku tertunduk. Diam.
Pergi menuju kamar mandi. Mamak jahat.
Walaupun cubitan menaruh rasa
sakit, ia takkan berhasil menghadirkan benci, syukurlah. Mamak memang keras,
apalagi semenjak hidup sendiri. Bapak pergi meninggalkan kami begitu saja.
Semenjak itu, cubitan sering menghantui badanku, semakin sering. Juga tatapan
yang mengerikan kalaulah aku, berbicara tidak sopan atau kasar kepadanya.
Namun, itu tak pernah terjadi.
Sama seperti waktu itu,
kejadian yang hampir sama. Ketika aku memutuskan untuk nekat keluar malam tanpa
sepengetahuan mamak untuk menonton pertunjukan musik yang sangat jarang ada di
kampungku. Semacam orgen tunggal, musik sederhana itu. Alhasil, bukan cubitan
yang mendarat. Apalah daya, mamak mengunci rumah. Memaksaku tidur di teras. Tak
mau rugi, aku pergi ke rumah temanku. Hingga paginya, aku mendapati mamak
dengan wajah yang dingin. Itulah mamak. Selalu menghukumku.
Hari ini tak ada yang
mencolok. Rutinitas seperti biasanya. Namun, kenyataan ini menggetarkan aku.
Menemui surat kiriman.
"Mak, ini surat apa mak?
tanyaku yang saat itu mulai berorientasi kemana-mana.
Sedikit pucat mamak menjawab,
"Itu bukan surat. Itu uang dari pasien mamak". Gaya mamak dengan
rambut yang disanggul sambil menyirih.
Aku melihat ada yang
menganjal. Aku menangkap dari wajahnya, mamak berbohong. Ingin kurobek sedikit
saja, supaya nampak isinya.
Mamak berlari dan menarik
surat itu. Terpotong belah dua. Menyembul kertas buram juga foto. Remang-remang
entah foto siapa. Apa yang mamak sembunyikan dariku. Pertanyaan yang tiba-tiba
muncul. Mamak pasrah dan meninggalkan
aku sendiri dengan surat yang telah dirobeknya.
Anakku sebenarnya ibu sangat rindu padamu, ingin rasanya ibu memelukmu. Membelai rambutmu, dan mengikat rambutmu yang panjang dan hitam itu. Ibu rasa rambutmu sama persis dengannya.. Ibu ingin sekali bertemu, atau melihat fotomu. Ibu ingin sekali...
Pentingkah mamak menyimpan
surat semacam ini? Kenapa ada gambarku di foto itu? Kenapa juga wanita itu
mengaku sebagai ibuku. Dia menyebut rambutku persis dengannya. Dengan siapa?
Antrian pertanyaan berjumpal-jumpal.
Terlupakan. Ketika aku sibuk dengan ulangan harian dan ada beberapa pasien mamak beberapa minggu ini beranak, melahirkan. Aku sangat sibuk.
"Iik. Ambilkan sarung
mamak di kamar ya, di lemari sebelah tempat tidur" mamak memerintahku.
"Iya mak, tunggu
yaa.." jawabku antusias.
Kubuka lemari mamak.
Tercenganglah aku. Ketika ku ambil sarung dari lipatan-lipatan itu. Keluarlah,
menyembul atas tarikanku tadi. Keluar semua amplop dengan gaya yang sama juga
tulisan yang sama di alamatnya.
"Cepat, Ik" mamak
mulai tak sabar.
"Iya, mak" dengan
gesit aku menyimpan amplop itu. Rencananya besok atau nanti malam. Aku akan
membuka dan membacanya.
Rencana itu tersimpan hingga
waktu yang lumayan lama. Mamak sangat sibuk, setiap minggu ada saja orang yang
melakukan persalinan.
...
Minggu pagi, udara menyambut mentari dengan indah. Secercah cahaya mentari masuk melalui celah-celah kecil. Kamar kecilku. Merapatkan lubang-lubang yang sedikit mengangah. Menimbulkan silauan di mataku. Ini kesempatan baikku. Aku akan membaca surat itu, kebetulan mamak sibuk berladang. Berkisar lima surat yang berhasil aku rampas. Surat dan foto, hanya itu. Foto aku dan perempuan yang menyebutnya, ibu. Bercanda. Itu foto mamak.
“Ik, ayo bantu mamak.
Kumpulkan sayur-sayur ini. Nanti kita antar ke pasar” suara itu membuatku
panik. Segera menyimpannya.
“Iya, mak. Iyaaaaaaa...”
jawabku panjang. Berangkat membawa sayur-sayuran ke pasar minggu.
Siangnya, aku membaca lagi,
melanjutkannya. Ada kejangkalan yang dapat aku tangkap. Kenapa pakaian yang
dikenakanku di foto itu berwarna merah jambu. Padahal aku sangat membencinya.
Penipuan jenis apa ini. Seperti di manipulasi. Mamak akan selamanya menjadi
ibuku. Dan teruntuk perempuan di foto itu. Berhenti mengganggu hidupku dan
amak.
“Iik.. Ayo makan siang. Mamak
tadi memasak sayur kesukaanmu. Sayur sop. Ada banyak kentangnya” mamakku
selalu menyiapkan itu, mamak yang selalu mencintaiku.
Nasi, sayur, dan laukku
tersusun dengan cantik. Mamak menyiapkannya untukku. Piring dari tanah berlapis
daun pisang.
“Srrrrruuuuupppp.. enak
sekali, mak. Iik suka” perkataan cinta, itu dari hati anak mamak.
“Mamak memang pintar memasak,
Ik” senyum kecil yang jarang hadir.
Mentari tergelincir,
kemerah-merahan lalu berubah menjadi gelap. Langit nampak bersih tanpa awan
mendung. Di tengah remang-remang nyala lilin, aku mencoba meraba tulisan itu.
Sangat panas suhu tubuhku, aku demam. Begitu saja tanpa gejala.
“Iik..” mamak menempelkan
tangannya pada keningku. Ia akan mulai curiga jikalau aku tak kunjung muncul
seukuran jam sekarang ini, jamku sekolah dan berpamitan tentunya.
“Badanmu panas, mamak
bikinkan jamu, ya” tawaran yang segeraku tolak.
“Lebih baik mamak biarkan Iik
istirahat saja” kata lain mengusir mamak. Membulat semakin besar dan akan
pecah. Mamak memang raja perhatian, ia hanya memusuhiku saat aku berada di luar
rumah.
Aku mogok makan, juga meminta hari libur.
Lebih banyak mengunci diri dengan alasan kepalaku pusing, badanku sangat lemah.
Sakit rasanya. Sembilu.
..Ibu harap perkembanganmu sama dengannya..
Aku benci kata-kata itu.
Perempuan itu, mamak, juga diriku sendiri. Menggigil dan gemetar rasa tubuhku.
Sakit di batin. Ternyata foto-foto itu memang bukan aku. Kenapa mamak harus
menyimpannya, itu benciku.
“Iik, makanlah. Sedikit saja”
mamak memelas padaku, tak biasanya.
Menelan ludah saja aku harus
berpikir, apalagi menelan nasi dan lauknya itu.
“Bawa saja makanan itu, Iik
tak ingin makan. Minum teh hangat saja seperti biasanya, mak” permintaanku.
Mamak mengiyakannya dan berlalu.
Tersedak minumku, ketika
membaca bahwa aku memang tak sendiri, aku dua.
Lama-kelamaan perasaan itu
mendesak kaku, menimbulkan gumpalan-gumpalan yang makin membesar. Entahlah,
perasaan asing yang mengelilingi alam sadarku. Aku lebih banyak termenung dan
diam. Hingga akhirnya, perasaanku sakit. Tak biasanya. Tak tenang, seperti itu
juga. Seperti ada yang menyapaku dalam dingin.
“Iik, beberapa hari ini kamu
lebih banyak berdiam diri. Ada apa? Ada yang sedang kamu pikirkan? Ceritakan
pada mamak” mamak membuatku membuka tirai.
“Mak, a...a..a..apakah aku
itu. Aku....a...aa...ku ada dua?” kata itu dengan brutalnya keluar dari
mulutku.
Mamak termangu, sangat dalam,
nampaknya.
“Begini, sebenarnya ada
beberapa hal yang hendak mamak sampaikan. Beberapa rahasia yang tak akan pernah
ada dibenakmu, Ik. Mamak mau, kamu dengan lapang dada menerimanya. Menerima
cerita mamak. Jangan dulu menghakimi semuanya, mamak hanya ingin kau mendengar.
Tidak untuk berkomentar apalagi menghakiminya sepihak” memang serius kalimat
mamak itu.
Aku hanya mengangguk sebagai
balasan. Aku yakin mamak pasti akan menceritakan kebohongannya. Tentang aku
yang dua. Pasti. Mengapa harus ada kebohongan kalau hanya dengan jujur aku bisa
belajar darinya. Mengapa harus ada yang ditipu.
“Tidak ada yang ingin
menipumu, Ik” jawabku itu membuatku berdecah kaget.
“Memang sejak kecil dulu dan
bahkan di dalam kandung dulu, kamu punya saudara kembar. Maafkan mamak yang tak
bisa mengungkapkan tabir ini” mamak pergi dan berlalu.
Aku menjawab. Aku bahkan
telah mengetahuinya beberapa hari yang lalu. Inilah yang mengakibatkan badanku
demam. Bahkan badanku menolak adanya kebohongan ini.
Seminggu, waktu yang singkat
untuk melupakan sekedarnya. Tetap tak bisa. Tibalah, jawaban perasaan risauku.
Ada surat untuk mamak.
Assalamu’alaikum, mbah.Tolong kabarkan Iik, ibunya sakit keras. Ia ingin sekali berjumpa dengannya.
Tolong ajak Iik pergi menengok ibunya.Terima kasih.
Pesan sesingkat itu berhasil
menarik airmata itu keluar dari mataku. Basah pipihku didera hujan yang deras
dari matanya. Keadaan itu makin perih, bila aku melirik tanggal di surat itu.
Ya, tepatnya tujuh hari yang lalu.
Mamak menghidupi aku dengan
penipuan. Dikasihnya aku dengan kebohongan. Dicintainya aku dengan kedustaan.
Keadaan seakan menikamku berkali-kali. Tak cukup dengan Ika yang tak pernah
mengenali aku. Tak cukup mamak merenggut kasih sayang ibuku.
Mamak gemetar, tangannya
apalagi. Dia ingin memelukku, tapi menjauh.
“Ada ribuan pertanyaan yang
mungkin akan hadir setelah ini, Ik. Teramat mudah jikalau memetik kesimpulan
bahwa mamak ingin melukai hatimu. Coba tengok, mamak. Adakah ketulusan yang
berdusta? Adakah kebohongan atas kasih sayang yang mamak berikan? Jikalau
kedustaan ini teramat membuatmu lapar dan ingin mengamuk dengan emosimu, kau
tak pernah menghargai mamak. Mamak yang merawatmu sedari bayi, mamak yang
memaksa, merebut katamu. Mamak iba melihat perekonomian keluargamu, keluarga
mamak sendiri. Melihatmu menangis, merengek, dan ibu yang melahirkanmu menaruh
bimbang bagaimana memberimu makan kelak besar nanti. Mamak sangat menyayangimu,
bahkan jikalau kau menyuruh mamak mati. Biarlah mamak mati. Betapa tak
berartinya kebohongan itu. Mamak yakin, suatu saat kau akan tahu. Tapi tidak
dengan jalan seperti ini. Sekarang, maafkan mamak. Hingga di ujung usianya, ia
tak bisa menemuimu lagi. Mamak tak bisa berbuat apa-apa. Maafkan, mamak” seakan
kesimpulan itu tak dapat ku percaya.
Perlu ribuan tahun untuk
menerima kepahitan ini. Butuh berjuta-juta detik melupakan keringkihan hati
ini. Bagaimana egoku membenci mamak yang membesarkan aku, berkorban demi
jiwaku, anak bukan dari rahimnya. Keberpihakan ini mungkin memenangkan Ika. Ia
berhak memeluk ibu tanpa ada batasan waktu. Namun, aku harus hidup dengan
penipu. Aku mengasingkan diri, pergi ke rumah sanakku, bibiku. Di sanalah aku
tumpahkan tangisan, terlebih mendengar kenyataan dari paman, bahwa membenarkan
perkataan mamak. Aku terlambat.
“Iik, dengarkan bibi. Jangan
menyesali keadaan ini, bibi tak mau melihatmu jauh terperanjat perasaan benci
ini. Tuhan, telah meletakkan takdirmu pada jalan ini. Tuhan, mau kau lebih
mendewasakan diri. Permasalahan hidupmu kini, kau serahkan kepada-Nya. Ibumu,
tak membutuhkan airmatamu yang tulus ini. Penyesalan akan membuatmu dan
keluarga kita makin tersiksa. Lihat sekolahmu, sudah hampir dua minggu
ditinggalkan. Suka tidak suka, kehidupan ini akan terus berputar. Ini bukan
persoalan adil dan tidaknya. Ini jalan yang ditetapkan Tuhan. Angkat kepalamu,
sayang. Lihat jalan ke depan. Lihat gerbang masa depanmu, dan lihat ibumu akan
tersenyum melihat kebangkitanmu. Tuhan akan selalu mencintaimu dan ibumu” bibi
mencium keningku, mendekapku erat.
Sempat beberapa hari aku
menerima perawatan medis, karena keadaanku memburuk. Bahkan berharap kematian
itu menjemputku. Biar kulepas rindu kepada ibu.
Jika Tuhan mengizinkan aku, kala itu. Aku akan
mendekapnya erat.
Terima kasihku belum sempat ku ucap padanya, belum memeluknya,
dan mendekapnya.
Mengandung aku dengan kesusahpayahan, mengandungku
bersama Ika.
Kini mamak membesarkan aku, memberiku ilmu.
Menyuntik aku dengan agama, tapi ibu merelakan aku
pergi teramat jauh.
Tak pernah ku tahu semanis apa senyum ibu dan juga
ayahku.
Tak pernah kudengar mesranya kata ibu membelaiku.
Tak pernah aku merasa selembut apa belaian tanganmu.
Ingin ku tulis surat cinta, ingin ku titipkan pada
Tuhan, agar ibu bisa membacanya.
Perjalanan ini semakin
menguatkan langkahanku. Perlahan-lahan aku angkat kaki yang satu. Lambat laun
ku angkatkan lagi yang satunya. Aku hanya menghakimi diriku sendiri. Bagaimana
aku sebagai anak ibu. Aku tak pernah mendoakannya dalam hidupku saat hidupnya.
Berdosakah aku melakukan ini? Kini doaku harus terbagi, doaku terbelah. Satu
untuk mamak, dan satu untuk ibu. Satu porsi yang sama tak akan kubedakan.
Walaupun nyatanya, ibu sangat aku rindukan. Mamak tetap dalam pelukan. Terima
kasih, ibu. Lelah berjuang mengandung dan melahirkan aku. Walau aku tak pernah
tau kasih sayang dari seorang ibu. Karena yang aku punya hanya mamak, dan yang
aku kenal hanya dia. Maafkan aku, biarlah doaku yang terbelah membimbingmu
menuju Syurga. Aku akan menjadi anak yang berbakti pada Tuhanku, serta
keluargaku. Di kesempatan lain aku akan memelukmu. Izinkan aku menemukan Ika
dan ayah yang menantiku, di kampung itu.
Terima kasih ibu, selalu
mendoakan aku. Walau tak pernah aku melihat cantiknya duniamu, setidaknya aku
pernah hadir meramai persalinanmu dahulu. Aku mencintaimu..
Terima kasih mamak, selalu
memelukku. Maafkan aku, mamak tak pernah menuai dusta itu. Tapi, benar.. Akulah
yang menghadirkannya sendiri. Karena, dahulu mamak pernah berjuang melahirkan
ibu tercantikku. Doaku akan selalu terbelah, untuk Ibu, untuk mamak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar