Bercermin
sambil menyesir rambut yang sedikit kusut terkena air ketika mandi pagi tadi.
Segera matanya yang lincah, melirik sebuah bingkai foto. Menunjuk sesosok putra
Ayah yang saat ini tengah mempersiapkan wisudanya. Ia tersenyum. Tak ingin
terlihat cengeng di depannya. Ia sadar, dia laki-laki yang kuat.
“Anakku,
ketahuilah. Tiada kebahagiaan lain ketika orang tua berhasil mendidik
anak-anaknya. Mendidiknya dengan akhlak dan membekalinya dengan ilmu. Sekarang,
tugas Ayah hampir selesai. Memberikanmu pendidikan. Ayah tahu, ini semua berkat
perjuangmu. Bukan hanya karena uang yang setiap bulan yang ayah kirimkan. Bukan
hanya karena doa ibu yang selalu berkumandang. Bukan. Ini karena doa dan
perjuanganmu. Selamat putraku. Selamat karena engkau berhasil menghadirkan
bunga di taman hati ayah” sepenggal kalimat Ayah dan segera merapikan
pakaiannya sebelum berangkat bekerja.
Ayah
menjalani rutinitasnya. Bekerja. Mengabdi pada negara. Mencerdaskan anak-anak
bangsa. Seorang guru, pahlawan tanpa jasa. Begitulah. Salah satu lirik terakhir
di lagu hymne guru, lagu kesukaan anak bungsunya. Dia suka menyanyikannya.
“Tanpa
tanda jasaa.....” lirik itu muncul lagi dari bibir putri bungsu Ayah.
Beberapa
hari ini, Rahma, putri bungsunya, rajin sekali menyanyikan lagu itu. Entah
karena apa. Rahma selalu takut dan malu bercerita kepada ayahnya. Anak-anak
selalu memilih bercerita kepada ibunya. Mungkin ayah terlalu sulit untuk
memahaminya. Ayah keras. Terlalu keras perangainya.
Ketika
masa kecil anak-anaknya, ayah sangat keras perlakuannya. Tak ada main di kala
siang. Harus belajar. Harus sholat dan pergi mengaji. Terkadang ia melirik
keletihan diwajah anak-anaknya. Mereka merasa bosan dengan berjejal-jejal
paksaannya. Ia sangat ingat wajah itu. Ketika anak-anaknya sedang asyik bermain
di siang itu. Paksaan itu lagi, mengelilingi sepanjang hari di masa kecil
mereka.
“Ayoo...waktunya
tidur siang” ayah meminta itu pada anak-anaknya.
Dengan
muka yang sangat berat dan kusut, anak-anaknya akan menjawab terpaksa.
“Iya,
ayah” jawab mereka dan menyuruh teman-temannya pulang ke rumah.
Mungkin
itu sangat membosankan bagi anak-anaknya. Ia tahu kenapa Rahmawan, dan
adik-adiknya selalu memanggil dan mengajak teman di waktu menjelang tidur
siang. Ia tau itu. Mereka tak ingin menikmati tidur siang. Namun, ayah tegas.
Ia harus konsisten dengan keputusan kepala keluarga itu. Ia mau, anak-anak
kecilnya tak merepotkan ibu saat tengah malam. Kalian akan merengek pada ibu
jika tak dapat tidur siang. Tapi kalian tak mengetahuinya.
Adakalanya,
ayah marah-marah. Satu hari penuh.
“Kenapa
rumah berantakan? Kenapa meja, kursi, lemari semuanya berdebu? Kenapa
meletakkan buku bukan pada tempatnya?” beribu pertanyaan ayah. Jika ayah tahu
keadaan rumah berantakkan. Ketika buku-buku berserakan di atas tempat tidur.
Kalian tak tahu, ayah sedang mengajar kalian untuk hidup rapi dan bersih.
“Sampai-sampai
ayah yang harus menyusun buku-buku itu. Dan ia jugalah yang harus memindahkan
buku-buku yang bersemayam di tas kalian ke dalam lemari buku. Mungkin anak-anak
ayah berpikir, ayah terlalu ikut mengatur dan mencemplungi dunia kalian. Ayah
ingin kalian tahu, pekerjaan kalian kurang rapi dan asal-asalan” isi benak ayah
melihat kelakuan anaknya.
“Kenapa
kalian tak bisa bekerja rapi seperti ayah? Kenapa tak pernah letakkan barang
yang telah diambil pada tempatnya semula?” cerewet ayah kepada anak-anaknya.
Apalah
daya, anak-anak hanya menggeram sendiri. Mengomel di hati sendiri. Ia sangat
yakin, itu terjadi pada diri anak-anaknya.
Ayah
sering berbicara. Sangat sering. Seperti ibu-ibu. Bahkan ibu akan kalah
bersaing, jikalau ayah telah mengeluarkan jurus-jurus ayah. Ia sangat mudah
sekali marah. Sangat mudah menegur anak-anaknya. Bahkan, harus membenahi
lipatan pakaian yang sudah disetrika oleh anak-anaknya. Mengulang kembali
semuanya. Ukuran lipatan kiri dan kanan harus sama. Memang aneh, tapi
ketahuilah laki-laki pekerja keras itu tak ingin anak-anaknya manja.
Tahun
berjalan normal, searah jarum jam. Berputar. Begitulah sikap ayah. Tak berubah.
Perwatakkan keras. Sampai pada akhirnya, watak itu semakin tampak.
Sering
pusing, di bagian dada sedikit nyeri. Kadang-kadang. Nanti menghilang. Nanti
sakitnya berpindah. Sewaktu-waktu hadir lagi. Perangai pun makin keras.
Ayah ingin kalian tahu,
ayah tak ingin eluhkan rasa sakit, ayah ingin kalian tahu ayah tetap sehat
dengan perangai keras ini.
Pagi
itu, ayah marah-marah. Karena sarapan pagi ini. Ia tak suka.
“Kenapa
dengan ayah, bu? Mengapa beberapa hari ini ayah sering sekali marah?” bisik si
bungsu pada ibunya.
“Ayahkan
memang begitu, nak. Sudah jangan terlalu didengarkan. Ayah bukan marah. Ayah
hanya tak suka dengan sarapan pagi kita” ibu menasehatinya. Ibu selalu
mendinginkan suasana dan berhasil mengerti ayah.
Terkadang
malu. Mengapa rasa marah itu ingin selalu dihadirkan. Bahkan tanpa disadari,
mengeluhkan rasa sakit dihadapan anak-anak. Merasa letih dengan kesakitan. Maafkan.
Perbincangan
di ruang tamu kali itu, ketika menjelang libur sekolah.
“Maafkan
ayah, rencana pergi tamasya itu.. Ayah belum bisa menepatinya. Ayah sibuk
dengan urusan sekolah. Apalagi ayah sekarang wakil kepala sekolah. Ayah juga
sedang berjuang melawan rasa sakit ayah. Doakan saja ayah dan kita semua sehat.
Lihatlah sudah beberapa rupiah ayah keluarkan untuk berobat. Kalian harus bisa
memahaminya, ya” penjelasan ayah.
“Iya,
yah. Tak apa-apa, yah. Kami doakan saja supaya kita semua diberi kesehatan, supaya
kita bisa bertamasya sesuai harapan” jawab anak-anak dengan nada yang sedikit
kecewa.
“Ayah
janji” sepotong saja ayah menjawab.
Sangat
kecewa, tergambar dari suasana yang hadir. Masih terlintas diingatan, bahagianya
mereka mendengar rencana tamasya itu.
Ayah hanya ingin kalian
tahu..
Orang
tua mana yang tak ingin membahagiakan anaknya. Ingin sekali sebenarnya mengajak
berkeliling ke tempat yang diinginkan. Juga mau mengabulkan setiap permintaan.
Tapi apalah daya. Banyak sekali rupiah demi pengobatan. Banyak sekali rupiah untuk
memenuhi kebutuhan keluarga. Hanya pekerja sebatang kara. Ibu hanya membantu sekedarnya,
berjualan kecil-kecilan. Ada harapan, kecil, harapan yang sangat kecil, semoga tundukan
atas jawaban yang diberi merupakan jawaban yang ikhlas dari mereka.
Kekecewaan
itu menjadi penyemangat. Tak ingin hanya mengandalkan uang pegawai, ia berusaha
membuka les privat. Walau terkadang sangat letih untuk memulainya. Apalagi
ketika tubuh tak mendukungnya. Mata berkunang-kunang. Sesak di dada muncul.
Hanya ingin tidur dan beristirahat. Melihat anak-anaknya, ayah semangat.
Beberapa
kali mengkonsumsi obat dan tak ada perubahan. Memaksanya melakukan pemeriksaan
yang lebih lanjut. Pemeriksaan yang bertujuan sedikit melegakan. Kenyataannya
berbeda, malah semakin lesu menapaki jalan menuju dapur. Entah tak bersemangat seperti
biasanya. Perangainya pucat.
“Ya
Allah...” begitu lafaz ayah, pendek, sembari menarik napas yang sangat dalam
dan menghembuskannya. Seperti eluhan. Lagi.
“Ada
apa mas?’ jawab ibu agak cemas.
Memperlihatkan
sebuah diagnosa dokter kepada ibu, “coba baca ini, bu”. Wajah ayah makin pucat.
Tempias
air mata ibu, menghambur di pipi tirusnya itu. Menangisi kertas yang tak
bernyawa itu. Tergambar kekecewaan yang amat mendalam dari perangainya. Namun,
dengan gesit cercahan air mata itu, dihapus.
“Jangan
terlalu di percaya dahulu, mas. Siapa tau ini baru dugaan sementara” sedikit
gemetar suara yang menyembul itu.
Lagi-lagi
menarik nafas sangat dalam. Terjangkit penyakit jantung, begitu diagnosanya.
Berhamburan harapan itu terjatuh. Beribu pertanyaan datang satu per satu, makin
banyak, memenuhi otaknya. Ada banyak jawaban yang harus di cari. Bagaimana,
bagaimana, bagaimana, bagaimana kalau usia yang tersisa hanya sebentar saja.
Sedangkan, anak-anaknya masih sangat membutuhkan sosok ayah. Bagaimana dengan
pendidikannya, bagaimana hanya bagaimana.
Beberapa
hari mereka menyembunyikan diagnosa itu kepada buah hatinya. Apalah daya, semua
terdengar begitu saja. Terdengar begini..
Ya Tuhan, jikalau memang aku
diberikan kesakitan ini. Aku tak meminta apa-apa. Aku hanya meminta kesempatan.
Anak-anakku sangat membutuhkan sosokku. Anak-anakku masih butuh biaya untuk
pendidikannya. Anak-anaku masih sangat kecil untuk menghadap persoalan yang
rumit ini. Jikalau aku harus meninggalkannya, biarkan aku berkorban dahulu
untuk mereka. Biarkan aku berkorban, mengumpulkan beberapa rupiah dan
memberikan mereka banyak pelajaran hidup terlebih dahulu. Lalu, bagaimana
dengan istriku jikalau harus secepat ini aku harus meninggalkannya. Masih
banyak cinta dan ketulusannya yang belum sempurna aku balas. Bagaimana dengan
keinginan-keinginan anak-anakku yang belum bisa kupenuhi..
Keheningan mulai memenuhi ruangan di setiap
rumah. Seorang ayah yang tak ingin melukai hati-hati buah hatinya, dengan
segala daya mencoba membahagiakannya. Ada janji yang harus ditepati, ada duka
yang harus disimpan.
“Ayah,
rahma ada PR matematika. Bisa bantu rahma, yah?” si kecil alasan bahagia ayah.
“Bisa,
nak. Besok kalau nilai tugas Rahma bagus, ayah belikan es krim” tawaran ayah
membuat anak gadis kecilnya meringis senang.
“Rahma,
juga mau beli buku, yah. Boleh?” mulai mengabsen pintanya.
“Boleh.
Asal bukunya bermanfaat untuk, Rahma” ayah ingin menutup ruang duka itu pada gadis kecil itu.
“Ayah,
sehatkan?” sambil cengingisan.
“Ayah
selalu sehat. Ayah janji, ayah akan membahagiakan anak-anak ayah” senyum
kedamaian terkembang saat itu juga, lagi-lagi menutup celah duka.
Hari
mulai larut, Oki dan Oke, anak kembarnya, dan si kecil sudah tidur begitu
dalam, mungkin telah bermimpi indah di alam tidurnya. Saat itu, pertanyaan itu
datang. Mengetuk ketenangan hati lelaki paruh baya itu. Mengingat Tuhan. Tetap
berpikir positif, ketakutan itu takkan pernah terjadi tanpa seizin-Nya.
Timbullah di otak, saran ibu yang lalu untuk memeriksakan kembali.
Nyeri
semakin terasa di dada. Sebaliknya, kesakitan itu memacu semangat yang luar
biasa. Sekali lagi semangat seorang ayah demi buah hatinya. Hari itu tetap
mengajar seperti biasanya. Selepas itu, baru bisa berangkat check up. Ada pemeriksaan ulang tentang
kesakitan tersebut. Semoga ada sisi terang dari kegelapan penyakit ini. Tak
lupa ibu mendampingi.
Melihat
berbagai macam peralatan medis membuat ibu sedikit aneh. Ini tak seperti pisau
yang ada di dapur ibu. Di sini juga tidak ada penggorengan seperti di dapur
ibu. Sangat berbeda. Semua alat medis mulai dari suntik hingga laboratorium
besar tempat ayah akan diperiksa. Beberapa dijejalkan dibadannya. Di dalam
hati, ia tak ingin melihat sang istri hanyut dalam ketakutan dan kekhawatiran
yang luar biasa. Tapi, tak ada cara lain. Keadaan ayah yang lemah tak akan
mungkin dipaksakan untuk pergi sendirian seperti saat ia sehat.
Seminggu
menunggu, hasilnya pun bisa dilihat. Apalah. Pemikiran keluarga yang sejatinya
akan bahagia, karena memang bukan jantung penyakitnya. Obat dengan dosis
tinggipun tak jadi tertelan. Kenyataan yang baru ini malah makin memperkeruh
keadaan. Memperkeruh keadaan hati.
“Rupanya
ada benjolan pak, di dada bapak. Namun, kami belum bisa memastikan itu tumor
atau bukan pak. Kita akan lihat perkembangannya tiga bulan ke depan. Jika
benjolan tersebut makin membesar dapat dipastikan itu tumor. Maka, harus
dilakukan operasi” penjelasan dokter yang berhasil membuat tubuhnya yang gempal
itu menggigil.
Lepas
dari kenyataan itu. Tetap saja berpikir tenang. Mencoba melakukan pengobatan
alternatif, ada sedikit angin segar.
“Penyakit
ini tak seganas tumor, pak. Itu hanya gumpalan lemak. Lambat laun jika
melakukan pengobatan akan sembuh tanpa operasi” jawaban pak Oom, si pengobat
herbal itu. Memang semakin terang ketika itu, check up kedua bapak, menyatakan benjolan tak membesar, bahkan sama
seperti hasil pemerikasaan pertama.
Sambil
mengomsumsi obat herbal itu. Ayah menjalani rutinitas, menjadi guru dengan les
privatnya. Beberapa kali diderap kesakitan. Atau maagnya kambuh.
Tahun
terberat di tahun ini, melepaskan si kembar Oki dan Oke di perguruan tinggi di
luar kota. Semakin berat tanggungan yang harus dipikul lelaki dengan uban yang
hampir menutup rambut hitamnya. Jauh di dalam itu. Perasaannya sangat tersiksa
bukan karena biaya yang harus ditanggungnya bertahun nanti. Tapi, melepaskannya
dari pandangan mata.
“Sekarang,
anak kembarku, akan menuntut ilmu jauh di luar kota. Sunguh bukan materi yang
sangat memberatkan ayah. Tapi, ketakutan ayah akan keadaan anak-anak ayah. Jauh
di sana tidak akan ada yang mengajarkannya mandiri, hidup rapi. Akan banyak
tanggung jawab ayah yang terlalaikan. Tapi, kalian tak pernah tahu. Ayah selalu
menangisi kalian saat kalian jauh. Sayang, kalian tak pernah tahu itu” hatinya berbicara
semalam sebelum kepergian Oki dan Oke.
Lambaian
pengantar mereke menuntut ilmu. Ibu dan Rahma menangis tersedu. Ia tau Rahma
sangat kesepian. Setelah ditinggal kakak sulungnya, Bagus, yang merantau juga.
Sekarang ia harus merasakan kesedihan dalam sepinya. Ibu juga nampaknya sangat
larut.
Dua
tangan terangkat, “Hati-hati di jalan, ya, nak” melepas kepergian anak
kembarnya.
Di
dalam hatinya merintih sakit, dadanya sesak, penyakit itu mulai menyerangnya.
Ada perbedaan rasa sakitnya. Bukan karena gumpalan lemak, tapi karena melihat
anak-anaknya yang kini makin jauh dari pandangannya.
“Ayah,
ingin kalian tahu.. Hal yang paling berat di dunia ini ialah melepaskan anaknya
jauh dari peluknya. Ketakutan yang menghantui di setiap terlelapnya. Kerisauan
yang hadir ketika menelan nasi yang entah di telan anaknya atau tidak. Ayah tak
mengisakan tangis di hadapan kalian, hanya pada persoalan ayah terlalu keras.
Ayah akan lemah di hadapan kalian. Berjuanglah demi, masa depan yang telah
kalian rancang indah. Biarlah ayah bekerja keras bersama ibu. Biarlah ayah
sibuk dengan pekerjaan ayah. Juga dengan ibu yang sibuk dengan usaha barunya.
Hanya ingin berharap kalian menyisakan beberapa bait doa untuk kami, orangtua
yang selalu menyayangi kalian. Juga teruntuk adik kecil kalian, yang sekarang
mulai tumbuh menjadi anak gadis yang mencintai Tuhan dan keluarganya. Jaga
diri, jangan pernah tinggalkan kewajiban kalian sebagai hamba. Biarlah lambaian
tangan ayah, menjadi pertanda bahwa sangat berat mengangkatnya tinggi dan melambainya
pada kalian” sesak segera sirna, setelah bermunculan pengakuan itu.
Semenjak
itu, pengorbanan ayah makin giat. Begitu juga dengan ibu. Hasil kreatifnya
membuat keripik singkong dapat diterima beberapa warung di dekat sekolah bahkan
ada satu atau dua minimarket yang mau
menerima keripik singkong itu. Adakalnya, warung tersebut menolak dengan alasan
sudah ada pemasok yang baru, dan begitu saja meninggalkan ibu. Selama ada
Tuhan, dan selama kita mau mendekat akan ada jalan. Akan ada langkah yang dimudahkan
dari yang dianggap disulitkan.
Dulu
sempat ada perdebatan antara perkuliahan Oki dan Oke.
“Nak,
kalau Oke tetap memaksakan memilih kesehatan, maka akan hadir pilihan. Oki yang
terlebih dahulu kuliah atau kamu?” ibu berbicara serius pada Oke yang tetap
pada kehendaknya dan Oki hanya menatap pasrah jikalau dia harus mengalah
terlebih dahulu.
Untunglah,
“Oke tak mau menerima pilihan itu. Lebih baik Oke alihkan jurusan yang hendak
Oke ambil”.
Tapi,
tetap saja berat. Sebenarnya bukan karna kehendak Oke, tapi karena si sulungnya
yang masih membutuhkan biaya yang banyak.
“Doakan
saja ayah sehat, nak. Kalau ayah sehat, kalian berdua bisa kuliah” ibu
berbicara lembut.
Rasa
tangis ingin menghambur ketika itu. Betapa inginnya si kembar menempuh jenjang
yang lebih tinggi.
Namun,
Tuhan memberinya jalan. Tulang punggung keluarga mereka, mendapatkan santuan
dari pemerintah. Santunan kepada guru-guru yang telah lama mengabdi dan ayah
mendapatkannya, uang sertifikasi namanya. Bertahun-tahun ayah berjuang, menjadi
guru yang teladan. Berjuang dan berdoa. Kini, ibu juga membantu ekonomi
keluarga walau tak seberapa.
Pekerjaan seorang ayah ialah berjuang, setelah
itu melihat anaknya sukses dengan gemilang. Itu menjadi kebahagiaan orangtua di
dunia dan di akhiratnya. Anak yang mau mengirimkan doa, dari kesibukan
aktivitasnya, yang menyempatkan menghubungi kedua orang tuanya. Dan yang tak
pernah lupa pada Tuhannya serta larangannya..
Ayah, ingin kalian tahu. Kerasnya
sifat ayah hanya ingin membangun kepribadian kalian.
Ayah, ingin kalian tahu. Kenapa
semuanya harus rapi, karena itu untuk menjaga diri kalian dari sifat
tergopoh-gopoh..
Ayah, ingin kalian tahu.. ayah
sangat menyayangi anak-anak ayah, dan tentunya ibu yang mengandung kalian..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar