Kamis, 19 Maret 2015

Cerpen: Ayah, Ingin Kalian Tahu

Bercermin sambil menyesir rambut yang sedikit kusut terkena air ketika mandi pagi tadi. Segera matanya yang lincah, melirik sebuah bingkai foto. Menunjuk sesosok putra Ayah yang saat ini tengah mempersiapkan wisudanya. Ia tersenyum. Tak ingin terlihat cengeng di depannya. Ia sadar, dia laki-laki yang kuat.


“Anakku, ketahuilah. Tiada kebahagiaan lain ketika orang tua berhasil mendidik anak-anaknya. Mendidiknya dengan akhlak dan membekalinya dengan ilmu. Sekarang, tugas Ayah hampir selesai. Memberikanmu pendidikan. Ayah tahu, ini semua berkat perjuangmu. Bukan hanya karena uang yang setiap bulan yang ayah kirimkan. Bukan hanya karena doa ibu yang selalu berkumandang. Bukan. Ini karena doa dan perjuanganmu. Selamat putraku. Selamat karena engkau berhasil menghadirkan bunga di taman hati ayah” sepenggal kalimat Ayah dan segera merapikan pakaiannya sebelum berangkat bekerja.

Ayah menjalani rutinitasnya. Bekerja. Mengabdi pada negara. Mencerdaskan anak-anak bangsa. Seorang guru, pahlawan tanpa jasa. Begitulah. Salah satu lirik terakhir di lagu hymne guru, lagu kesukaan anak bungsunya. Dia suka menyanyikannya.

“Tanpa tanda jasaa.....” lirik itu muncul lagi dari bibir putri bungsu Ayah.

Beberapa hari ini, Rahma, putri bungsunya, rajin sekali menyanyikan lagu itu. Entah karena apa. Rahma selalu takut dan malu bercerita kepada ayahnya. Anak-anak selalu memilih bercerita kepada ibunya. Mungkin ayah terlalu sulit untuk memahaminya. Ayah keras. Terlalu keras perangainya.

Ketika masa kecil anak-anaknya, ayah sangat keras perlakuannya. Tak ada main di kala siang. Harus belajar. Harus sholat dan pergi mengaji. Terkadang ia melirik keletihan diwajah anak-anaknya. Mereka merasa bosan dengan berjejal-jejal paksaannya. Ia sangat ingat wajah itu. Ketika anak-anaknya sedang asyik bermain di siang itu. Paksaan itu lagi, mengelilingi sepanjang hari di masa kecil mereka.

“Ayoo...waktunya tidur siang” ayah meminta itu pada anak-anaknya.

Dengan muka yang sangat berat dan kusut, anak-anaknya akan menjawab terpaksa.

“Iya, ayah” jawab mereka dan menyuruh teman-temannya pulang ke rumah.

Mungkin itu sangat membosankan bagi anak-anaknya. Ia tahu kenapa Rahmawan, dan adik-adiknya selalu memanggil dan mengajak teman di waktu menjelang tidur siang. Ia tau itu. Mereka tak ingin menikmati tidur siang. Namun, ayah tegas. Ia harus konsisten dengan keputusan kepala keluarga itu. Ia mau, anak-anak kecilnya tak merepotkan ibu saat tengah malam. Kalian akan merengek pada ibu jika tak dapat tidur siang. Tapi kalian tak mengetahuinya.

Adakalanya, ayah marah-marah. Satu hari penuh.

“Kenapa rumah berantakan? Kenapa meja, kursi, lemari semuanya berdebu? Kenapa meletakkan buku bukan pada tempatnya?” beribu pertanyaan ayah. Jika ayah tahu keadaan rumah berantakkan. Ketika buku-buku berserakan di atas tempat tidur. Kalian tak tahu, ayah sedang mengajar kalian untuk hidup rapi dan bersih.

“Sampai-sampai ayah yang harus menyusun buku-buku itu. Dan ia jugalah yang harus memindahkan buku-buku yang bersemayam di tas kalian ke dalam lemari buku. Mungkin anak-anak ayah berpikir, ayah terlalu ikut mengatur dan mencemplungi dunia kalian. Ayah ingin kalian tahu, pekerjaan kalian kurang rapi dan asal-asalan” isi benak ayah melihat kelakuan anaknya.

“Kenapa kalian tak bisa bekerja rapi seperti ayah? Kenapa tak pernah letakkan barang yang telah diambil pada tempatnya semula?” cerewet ayah kepada anak-anaknya.

Apalah daya, anak-anak hanya menggeram sendiri. Mengomel di hati sendiri. Ia sangat yakin, itu terjadi pada diri anak-anaknya.

Ayah sering berbicara. Sangat sering. Seperti ibu-ibu. Bahkan ibu akan kalah bersaing, jikalau ayah telah mengeluarkan jurus-jurus ayah. Ia sangat mudah sekali marah. Sangat mudah menegur anak-anaknya. Bahkan, harus membenahi lipatan pakaian yang sudah disetrika oleh anak-anaknya. Mengulang kembali semuanya. Ukuran lipatan kiri dan kanan harus sama. Memang aneh, tapi ketahuilah laki-laki pekerja keras itu tak ingin anak-anaknya manja.

Tahun berjalan normal, searah jarum jam. Berputar. Begitulah sikap ayah. Tak berubah. Perwatakkan keras. Sampai pada akhirnya, watak itu semakin tampak.

Sering pusing, di bagian dada sedikit nyeri. Kadang-kadang. Nanti menghilang. Nanti sakitnya berpindah. Sewaktu-waktu hadir lagi. Perangai pun makin keras.

Ayah ingin kalian tahu, ayah tak ingin eluhkan rasa sakit, ayah ingin kalian tahu ayah tetap sehat dengan perangai keras ini.

Pagi itu, ayah marah-marah. Karena sarapan pagi ini. Ia tak suka.

“Kenapa dengan ayah, bu? Mengapa beberapa hari ini ayah sering sekali marah?” bisik si bungsu pada ibunya.

“Ayahkan memang begitu, nak. Sudah jangan terlalu didengarkan. Ayah bukan marah. Ayah hanya tak suka dengan sarapan pagi kita” ibu menasehatinya. Ibu selalu mendinginkan suasana dan berhasil mengerti ayah.

Terkadang malu. Mengapa rasa marah itu ingin selalu dihadirkan. Bahkan tanpa disadari, mengeluhkan rasa sakit dihadapan anak-anak. Merasa letih dengan kesakitan. Maafkan.

Perbincangan di ruang tamu kali itu, ketika menjelang libur sekolah.

“Maafkan ayah, rencana pergi tamasya itu.. Ayah belum bisa menepatinya. Ayah sibuk dengan urusan sekolah. Apalagi ayah sekarang wakil kepala sekolah. Ayah juga sedang berjuang melawan rasa sakit ayah. Doakan saja ayah dan kita semua sehat. Lihatlah sudah beberapa rupiah ayah keluarkan untuk berobat. Kalian harus bisa memahaminya, ya” penjelasan ayah.

“Iya, yah. Tak apa-apa, yah. Kami doakan saja supaya kita semua diberi kesehatan, supaya kita bisa bertamasya sesuai harapan” jawab anak-anak dengan nada yang sedikit kecewa.

“Ayah janji” sepotong saja ayah menjawab.

Sangat kecewa, tergambar dari suasana yang hadir. Masih terlintas diingatan, bahagianya mereka mendengar rencana tamasya itu.

Ayah hanya ingin kalian tahu..

Orang tua mana yang tak ingin membahagiakan anaknya. Ingin sekali sebenarnya mengajak berkeliling ke tempat yang diinginkan. Juga mau mengabulkan setiap permintaan. Tapi apalah daya. Banyak sekali rupiah demi pengobatan. Banyak sekali rupiah untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Hanya pekerja sebatang kara. Ibu hanya membantu sekedarnya, berjualan kecil-kecilan. Ada harapan, kecil, harapan yang sangat kecil, semoga tundukan atas jawaban yang diberi merupakan jawaban yang ikhlas dari mereka.

Kekecewaan itu menjadi penyemangat. Tak ingin hanya mengandalkan uang pegawai, ia berusaha membuka les privat. Walau terkadang sangat letih untuk memulainya. Apalagi ketika tubuh tak mendukungnya. Mata berkunang-kunang. Sesak di dada muncul. Hanya ingin tidur dan beristirahat. Melihat anak-anaknya, ayah semangat.

Beberapa kali mengkonsumsi obat dan tak ada perubahan. Memaksanya melakukan pemeriksaan yang lebih lanjut. Pemeriksaan yang bertujuan sedikit melegakan. Kenyataannya berbeda, malah semakin lesu menapaki jalan menuju dapur. Entah tak bersemangat seperti biasanya. Perangainya pucat.

“Ya Allah...” begitu lafaz ayah, pendek, sembari menarik napas yang sangat dalam dan menghembuskannya. Seperti eluhan. Lagi.

“Ada apa mas?’ jawab ibu agak cemas.

Memperlihatkan sebuah diagnosa dokter kepada ibu, “coba baca ini, bu”. Wajah ayah makin pucat.

Tempias air mata ibu, menghambur di pipi tirusnya itu. Menangisi kertas yang tak bernyawa itu. Tergambar kekecewaan yang amat mendalam dari perangainya. Namun, dengan gesit cercahan air mata itu, dihapus.

“Jangan terlalu di percaya dahulu, mas. Siapa tau ini baru dugaan sementara” sedikit gemetar suara yang menyembul itu.

Lagi-lagi menarik nafas sangat dalam. Terjangkit penyakit jantung, begitu diagnosanya. Berhamburan harapan itu terjatuh. Beribu pertanyaan datang satu per satu, makin banyak, memenuhi otaknya. Ada banyak jawaban yang harus di cari. Bagaimana, bagaimana, bagaimana, bagaimana kalau usia yang tersisa hanya sebentar saja. Sedangkan, anak-anaknya masih sangat membutuhkan sosok ayah. Bagaimana dengan pendidikannya, bagaimana hanya bagaimana.

Beberapa hari mereka menyembunyikan diagnosa itu kepada buah hatinya. Apalah daya, semua terdengar begitu saja. Terdengar begini..

Ya Tuhan, jikalau memang aku diberikan kesakitan ini. Aku tak meminta apa-apa. Aku hanya meminta kesempatan. Anak-anakku sangat membutuhkan sosokku. Anak-anakku masih butuh biaya untuk pendidikannya. Anak-anaku masih sangat kecil untuk menghadap persoalan yang rumit ini. Jikalau aku harus meninggalkannya, biarkan aku berkorban dahulu untuk mereka. Biarkan aku berkorban, mengumpulkan beberapa rupiah dan memberikan mereka banyak pelajaran hidup terlebih dahulu. Lalu, bagaimana dengan istriku jikalau harus secepat ini aku harus meninggalkannya. Masih banyak cinta dan ketulusannya yang belum sempurna aku balas. Bagaimana dengan keinginan-keinginan anak-anakku yang belum bisa kupenuhi..
 Keheningan mulai memenuhi ruangan di setiap rumah. Seorang ayah yang tak ingin melukai hati-hati buah hatinya, dengan segala daya mencoba membahagiakannya. Ada janji yang harus ditepati, ada duka yang harus disimpan.

“Ayah, rahma ada PR matematika. Bisa bantu rahma, yah?” si kecil alasan bahagia ayah.

“Bisa, nak. Besok kalau nilai tugas Rahma bagus, ayah belikan es krim” tawaran ayah membuat anak gadis kecilnya meringis senang.

“Rahma, juga mau beli buku, yah. Boleh?” mulai mengabsen pintanya.

“Boleh. Asal bukunya bermanfaat untuk, Rahma” ayah ingin  menutup ruang duka itu pada gadis kecil itu.

“Ayah, sehatkan?” sambil cengingisan.

“Ayah selalu sehat. Ayah janji, ayah akan membahagiakan anak-anak ayah” senyum kedamaian terkembang saat itu juga, lagi-lagi menutup celah duka.

Hari mulai larut, Oki dan Oke, anak kembarnya, dan si kecil sudah tidur begitu dalam, mungkin telah bermimpi indah di alam tidurnya. Saat itu, pertanyaan itu datang. Mengetuk ketenangan hati lelaki paruh baya itu. Mengingat Tuhan. Tetap berpikir positif, ketakutan itu takkan pernah terjadi tanpa seizin-Nya. Timbullah di otak, saran ibu yang lalu untuk memeriksakan kembali.

Nyeri semakin terasa di dada. Sebaliknya, kesakitan itu memacu semangat yang luar biasa. Sekali lagi semangat seorang ayah demi buah hatinya. Hari itu tetap mengajar seperti biasanya. Selepas itu, baru bisa berangkat check up. Ada pemeriksaan ulang tentang kesakitan tersebut. Semoga ada sisi terang dari kegelapan penyakit ini. Tak lupa ibu mendampingi.

Melihat berbagai macam peralatan medis membuat ibu sedikit aneh. Ini tak seperti pisau yang ada di dapur ibu. Di sini juga tidak ada penggorengan seperti di dapur ibu. Sangat berbeda. Semua alat medis mulai dari suntik hingga laboratorium besar tempat ayah akan diperiksa. Beberapa dijejalkan dibadannya. Di dalam hati, ia tak ingin melihat sang istri hanyut dalam ketakutan dan kekhawatiran yang luar biasa. Tapi, tak ada cara lain. Keadaan ayah yang lemah tak akan mungkin dipaksakan untuk pergi sendirian seperti saat ia sehat.

Seminggu menunggu, hasilnya pun bisa dilihat. Apalah. Pemikiran keluarga yang sejatinya akan bahagia, karena memang bukan jantung penyakitnya. Obat dengan dosis tinggipun tak jadi tertelan. Kenyataan yang baru ini malah makin memperkeruh keadaan. Memperkeruh keadaan hati.

“Rupanya ada benjolan pak, di dada bapak. Namun, kami belum bisa memastikan itu tumor atau bukan pak. Kita akan lihat perkembangannya tiga bulan ke depan. Jika benjolan tersebut makin membesar dapat dipastikan itu tumor. Maka, harus dilakukan operasi” penjelasan dokter yang berhasil membuat tubuhnya yang gempal itu menggigil.

Lepas dari kenyataan itu. Tetap saja berpikir tenang. Mencoba melakukan pengobatan alternatif, ada sedikit angin segar.

“Penyakit ini tak seganas tumor, pak. Itu hanya gumpalan lemak. Lambat laun jika melakukan pengobatan akan sembuh tanpa operasi” jawaban pak Oom, si pengobat herbal itu. Memang semakin terang ketika itu, check up kedua bapak, menyatakan benjolan tak membesar, bahkan sama seperti hasil pemerikasaan pertama.

Sambil mengomsumsi obat herbal itu. Ayah menjalani rutinitas, menjadi guru dengan les privatnya. Beberapa kali diderap kesakitan. Atau maagnya kambuh.

Tahun terberat di tahun ini, melepaskan si kembar Oki dan Oke di perguruan tinggi di luar kota. Semakin berat tanggungan yang harus dipikul lelaki dengan uban yang hampir menutup rambut hitamnya. Jauh di dalam itu. Perasaannya sangat tersiksa bukan karena biaya yang harus ditanggungnya bertahun nanti. Tapi, melepaskannya dari pandangan mata.

“Sekarang, anak kembarku, akan menuntut ilmu jauh di luar kota. Sunguh bukan materi yang sangat memberatkan ayah. Tapi, ketakutan ayah akan keadaan anak-anak ayah. Jauh di sana tidak akan ada yang mengajarkannya mandiri, hidup rapi. Akan banyak tanggung jawab ayah yang terlalaikan. Tapi, kalian tak pernah tahu. Ayah selalu menangisi kalian saat kalian jauh. Sayang, kalian tak pernah tahu itu” hatinya berbicara semalam sebelum kepergian Oki dan Oke.

Lambaian pengantar mereke menuntut ilmu. Ibu dan Rahma menangis tersedu. Ia tau Rahma sangat kesepian. Setelah ditinggal kakak sulungnya, Bagus, yang merantau juga. Sekarang ia harus merasakan kesedihan dalam sepinya. Ibu juga nampaknya sangat larut.

Dua tangan terangkat, “Hati-hati di jalan, ya, nak” melepas kepergian anak kembarnya.

Di dalam hatinya merintih sakit, dadanya sesak, penyakit itu mulai menyerangnya. Ada perbedaan rasa sakitnya. Bukan karena gumpalan lemak, tapi karena melihat anak-anaknya yang kini makin jauh dari pandangannya.

“Ayah, ingin kalian tahu.. Hal yang paling berat di dunia ini ialah melepaskan anaknya jauh dari peluknya. Ketakutan yang menghantui di setiap terlelapnya. Kerisauan yang hadir ketika menelan nasi yang entah di telan anaknya atau tidak. Ayah tak mengisakan tangis di hadapan kalian, hanya pada persoalan ayah terlalu keras. Ayah akan lemah di hadapan kalian. Berjuanglah demi, masa depan yang telah kalian rancang indah. Biarlah ayah bekerja keras bersama ibu. Biarlah ayah sibuk dengan pekerjaan ayah. Juga dengan ibu yang sibuk dengan usaha barunya. Hanya ingin berharap kalian menyisakan beberapa bait doa untuk kami, orangtua yang selalu menyayangi kalian. Juga teruntuk adik kecil kalian, yang sekarang mulai tumbuh menjadi anak gadis yang mencintai Tuhan dan keluarganya. Jaga diri, jangan pernah tinggalkan kewajiban kalian sebagai hamba. Biarlah lambaian tangan ayah, menjadi pertanda bahwa sangat berat mengangkatnya tinggi dan melambainya pada kalian” sesak segera sirna, setelah bermunculan pengakuan itu.

Semenjak itu, pengorbanan ayah makin giat. Begitu juga dengan ibu. Hasil kreatifnya membuat keripik singkong dapat diterima beberapa warung di dekat sekolah bahkan ada satu atau dua minimarket yang mau menerima keripik singkong itu. Adakalnya, warung tersebut menolak dengan alasan sudah ada pemasok yang baru, dan begitu saja meninggalkan ibu. Selama ada Tuhan, dan selama kita mau mendekat akan ada jalan. Akan ada langkah yang dimudahkan dari yang dianggap disulitkan.

Dulu sempat ada perdebatan antara perkuliahan Oki dan Oke.

“Nak, kalau Oke tetap memaksakan memilih kesehatan, maka akan hadir pilihan. Oki yang terlebih dahulu kuliah atau kamu?” ibu berbicara serius pada Oke yang tetap pada kehendaknya dan Oki hanya menatap pasrah jikalau dia harus mengalah terlebih dahulu.

Untunglah, “Oke tak mau menerima pilihan itu. Lebih baik Oke alihkan jurusan yang hendak Oke ambil”.

Tapi, tetap saja berat. Sebenarnya bukan karna kehendak Oke, tapi karena si sulungnya yang masih membutuhkan biaya yang banyak.

“Doakan saja ayah sehat, nak. Kalau ayah sehat, kalian berdua bisa kuliah” ibu berbicara lembut.
Rasa tangis ingin menghambur ketika itu. Betapa inginnya si kembar menempuh jenjang yang lebih tinggi.

Namun, Tuhan memberinya jalan. Tulang punggung keluarga mereka, mendapatkan santuan dari pemerintah. Santunan kepada guru-guru yang telah lama mengabdi dan ayah mendapatkannya, uang sertifikasi namanya. Bertahun-tahun ayah berjuang, menjadi guru yang teladan. Berjuang dan berdoa. Kini, ibu juga membantu ekonomi keluarga walau tak seberapa.

Pekerjaan seorang ayah ialah berjuang, setelah itu melihat anaknya sukses dengan gemilang. Itu menjadi kebahagiaan orangtua di dunia dan di akhiratnya. Anak yang mau mengirimkan doa, dari kesibukan aktivitasnya, yang menyempatkan menghubungi kedua orang tuanya. Dan yang tak pernah lupa pada Tuhannya serta larangannya..
Ayah, ingin kalian tahu. Kerasnya sifat ayah hanya ingin membangun kepribadian kalian.
Ayah, ingin kalian tahu. Kenapa semuanya harus rapi, karena itu untuk menjaga diri kalian dari sifat tergopoh-gopoh..
Ayah, ingin kalian tahu.. ayah sangat menyayangi anak-anak ayah, dan tentunya ibu yang mengandung kalian..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar