Jumat, 06 Maret 2015

Spion dan Truk Besar

Sebenarnya terlambat untuk mengirim tulisan ini. Kejadiannya sekitaran satu bulan yang lalu. Ketika menempuh perjalanan pergi di kotaku ini. Pekanbaru.

Perjalanan yang terbilang biasa. Dengan nama bus yang sama, dengan teman sebangku yang sama, dengan koper yang sama, juga nomer kursi yang sama. Begitu banyak persamaannya; terkesan biasa.
Siapa sangka hal-hal yang biasa itu berubah. Kala seisi penumpang berteriak histeris. Menyebut nama Allah, dengan suara lantang.


Persoalan sederhana. Hanya masalah kaca spion. Kita spesifikan menjadi peristiwa pecahnya kaca spion. Kesimpulan bahwa bus yang melaju ini berjalan tanpa kaca spion. Bermula dari sinilah suara histeris itu.

Sang sopir mengetahui hal itu. Segera banting stir dan berbalik arah mengejar pengemudi truk yang tak bertanggungjawab itu. Dikejar dengan kecepatan yang lumayan tinggi, sekarang nyatanya membuat jantung berdenyut di atas normal. Makin kencang ketika mendapati mangsanya, dan semakin mendekati.

Bukan memperkecil masalah, mereka malah beradu mulut di kendaraan umum itu. Tentu keadaan akan semakin panas. Bagaimana saat itu kondisi pikiranku? Sangat berdebar.

"Allahuakbar, ya Allaah.." suara itu berjubel keluar.

"Hati-hati, bahaya ini" penumpang semakin resah.

Keadaan ini dihasilkan atas kelakuan supir truk itu. Ia dengan ganasnya memepet bus kami, disenggolnya, disenggolnya terus hingga badan bus hampir keluar dari pembatas jalan. Miringlah bus itu, sedikit.

Bukan main teriakkanku. Isak tangis meramaikannya. Pikirku, bagaimana kalau mobil ini jatuh dan terhempas. Menenangkan pikiran pun terlalu sulit. Mengerikan. Ukuran mobil yang lumayan lebih besar menghantam bus kami. Sedikit miring (lagi) dan perdebatan berhenti. Sopir keluar. Meninggalkan bus dengan mesin yang nyala dan penumpangnya.

"Tenang-tenang, ada saya di sini. Saya bisa kondisikan ini" berkatalah salah seorang penumpang laki-laki bertubuh gempal yang berkulit hitam itu.

Aku sedikit tenang, kulirik lisda sedang ketakutan dengan ringkihan di matanya. Oh, Allah. Bus diselamatkan. Kami menepi di pinggir jalan.

Dan perdebatan di antara mereka, makin mengerikan. Ada adu jotos. Hingga keluarlah anak buah sopir itu. Menyeringai hebat, dan yang lebih diluar akalku, bus itu hendak menabrak sopir bus kami dengan rombongannya.

Bukan main, berjerit sekencang-kencangnya. Ini pemandangan di luar nalarku. Bagaimana mungkin dengan kecepatan penuh, sang sopir hendak menyelamatkan jiwanya dengan menerobos orang-orang yang ada di depannya.

Hal terburuk yang muncul di benakku, hanya, tak sanggup jika harus menyaksikan pembantaian di depan mataku. Menarik napas dalam, menunjukkan napas lega. Alhamdulillah. Mimpi buruk itu tak terjadi.

"Ndak lihat apa penumpang di bus ini banyak. Harus dikorbankan nyawa kami hanya karena persoalan spion" pernyataan yang ingin segera aku iyakan. Perkataan dari penumpang ibu-ibu yang menggedong anak bayinya.

Lemas, perasaan itu yang didapati. Perjalanan masih sangat jauh. Aku takut dengan hempasan itu. Berdzikir makin kencang, tumpahlah rintik-rintik kecil. Mengantar mataku terlelap dengan perasaan lebih tenang (mencoba menenangkan diri sendiri).

Hingga esok mentari menyambut dengan lembut dengan sinarnya yang menghangatkan. Aku sampai, dan hanya ada satu kali cerita gila dan konyol semacam itu. Syukurlah..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar