Senin, 29 Juni 2015

Kolak (Koempoelan Kisah) Ramadhan: "Kue Pie yang Pensiun"

   Siang itu, matahari tengah mengucurkan sinar terangnya. Ini hari kedua di Ramadhan. Lebih banyak kegiatan yang tidak dilakukan, tepatnya jam-jam makan. Sama seperti hari ini, selesai sholat Zuhur. Dapur akan segera ramai.



   Sudah direncanakan beberapa hari yang lalu, sudah teramat lama. Hingga akhirnya, pada siang ini, hasrat adik kecilku, indah, terealisasikan. Semua bahan serta alat-alat sudah dipersiapkan. Tadi pagi ibu melengkapinya dengan berbelanja di pasar.

   Keadaan terkendali dan aman-aman saja. Tidak ada yang nampak aneh. Sampai pada adukan terakhir, pertanda adonan berhasil diselesaikan.

   "Loh, kok berair ya adonannya?" tanyaku pada Lisda yang kebetulan sedang mengaduk-aduk.

   "Ya, nantikan mau dimasukkan ke kulkas" jawab Lisda.

   "Tapi beda loh teksturnya, masih lembek sekali. Pasti tak bisa dicetak" aku menjawab pula.

   "Apa sih? Ini sama saja. Nanti juga keras" ada nada sinis.

   "Terserahlah. Itu kurang tepung. Mana bisa dicetak kalau adonannya masih basah begitu" aku masih tetap teguh dengan pendapatku.

   "Iyalah" jawabnya pendek.

   Seharusnya, siang itu dapur tak harus ramai dengan obrolan tak penting antara aku dan Lisda yang kelama-lamaan dikhawatirkan akan memacu emosi. Hingga 20 menit kami menunggu. Hingga pergantian menit menuju akhir. Indah mengambil adonan tadi dari lemari es.

   "Kan tetap begitu juga?" kataku.
  
  "Hmm. Iyalah, dek. Tambahkan tepung. Biar saja kalau adonan ini akhirnya jadi keras" dia berbicara pada Indah -bukan padaku.

   "Lah. Kalau memang bisa, cobalah. Tak ada yang memaksanya" aku menjawab, walau tak diajak atau diminta.

   Lengang sedikit.

   "Ini cetakannya dikasih tepung atau minyak?" tanyaku entah pada siapa.

   "Tak perlu. Di video yang kita lihat tadi tak begitu" Lisda menjawabnya.

  "Tapi, aku sudah lihat beberapa video lainnya, rata-rata dikasih tepung atau minyak. Biar tak lengket" jawabku lagi.

   "Iyalah" jawabnya singkat.

   Hendak mengaduk dan menuangkan ke adonan. Tiba-tiba ada yang datang dari muka pintu.

   *Dmmmmmppppppp*

   Ada yang melumer di badan tangga. Aku, Lisda, juga indah menjerit. Adonan isi untuk pie tertendang oleh ibu. Muka kaget dan sedikit sesalan.

   "Inilah akibatnya kalau dari tadi beradu mulut (baca: ribut) terus," pesan ibu menghampiri kami yang sejak dari tadi melipat muka.

   "Jadi gimana bu?" tanya Indah panik.

   "Ambil, cepat ambil!" ibu menunjuk sendok sayur.

   Aku kalang kabut mengambil dan menyerahkannya pada ibu. Dengan gesitnya, ibu menggerakkan tangan mengambil isian kue pie yang sudah berhamburan di lantai.

   "Bu, sudah jangan diambil lagi kotor," aku mencoba menghalangi ibu.

   Akhirnya, ibu menghentikan gerakkan tangannya. Bukan karena ucapanku, tapi karena sisanya sudah terlalu lama terkontaminasi dengan lantai.

   Indah menahan tawanya. Mungkin ia sedang bingung melihat tingkah aneh sekaligus "kegesitan" ibu dalam melindungi isi kue pie itu. Sedang aku, masih setia dengan muka tekuknya.

   Tetap saja dipaksa untuk menyelesaikan, walau keyakinan untuk keberhasilan masih sangat tidak mungkin. Mencetak adonan yang tak jelas teksturnya. Sekali dicetak, menciut lagi. Oh, Allah. Isian pun tetap diberikan. Hingga adonan dapat diselesaikan dan dipanggang. Aku dan Lisda masih setia dengan kediaman setelah cecok mulut di awal.

   Sudah selesai semua. Hasilnya sungguh diambang kekecewaan. Di puasa kedua ini, kue pie terbatalkan. Setelah dicoba, kulit pienya keras dan isiannya terlalu manis. Alhasil, menganggurlah kue pie di dalam lemari. Tak ada yang tertarik untuk mencobanya bahkan aku selaku kokinya -yang gagal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar