Rabu, 17 Juni 2015

Kolak (Koempoelan Kisah) Ramadhan: "Jadwal yang Salah"

Sungguh ini nikmat yang sangat luar biasa. Jadi, tulisan yang insyaAllah direncakan selama Ramadhan akan berusaha diteruskan. Sebagai rasa syukur diri yang hina terhadap kuasa Pencipta-Nya. Nikmat malam bertaburan cahaya redup bintang-gemitang. Langit terhias alami, indah sekali. Suara muadzin memecah lagi langit sunyi. MasyaAllah :)

Suara kipas angin sudah meramaikan. Sajadah sudah selesai dibentang. Rakaat demi rakaat berhasil diselesaikan. Lanjut dengan sholat tarawih juga dengan sholat witirnya. Namun, tak begitu ramai. Hanya ada 4 jamaah. Sungguh ada kecewa juga perasaan geli yang menghampiri, setelah berdzikir dan bersalaman.


Sebenarnya begini ceritanya. Alhamdulillah, kemarin aku berhasil berkumpul di rumah sederhana ini bersama keluarga kecil kami. Biasanya saudara tertua, mas Jufri, belum bisa meramaikan rumah. Namun, sekarang kesibukannya sudah berhasil ditaklukan. Beberapa bulan lalu, ia berhasil dinobatkan sebagai sarjana komputer.

Demi menyambut bulan yang teramat istimewa ini, ibu sudah menyiapkan opor bebek (bukan opor ayam) sebagai pembuka makan sahur perdana ini. Sebelum berangkat sholat tarawih, ibu meminta anak-anaknya untuk makan terlebih dahulu dengan opor bebek tadi. Aku mengambil porsi sedikit saja, sebab perlu gerakan yang optimal ketika hendak sholat sunnah tarawih juga wittir itu. Sambil menunggu, aku dan saudara mencuci piring sambil menunggu lambung memproses makanannya.

Adzan hampir berkumandang, antrian pun mulai panjang. Sementara bapak, sudah selesai mempersiapkan wudhu serta busananya. Aku mendapat giliran terakhir. Alhasil, aku keteteran.

"Bu, tolong siapkan mukenahnya, ya" aku meminta tolong pada ibuku.

Belum sempat selesai mengenakan mukenah, mas Juf dan bapak sudah berangkat terlebih dahulu. Aku, ibu, Lisda, juga adikku melangkah agak cepat. Namun, langkah kaki terhenti. Ada seekor hewan sebut saja anj***, sedang duduk menghambat jalan pasukan kami. Keadaan makin diperparah dengan lampu-lampu yang mati dan itu tidak biasanya. Sempoyongan kami sedikit berlari membuat jarak antara kami dan ibu. Tunggang-langgang kami berlari.

"Ada yang sholatkan?" kata ibu, sedikit membesar suara akibat jarak tadi.

"Ada bu, kan lampu musholanya menyala" jawab Lisda singkat.

Betapa paniknya, mushola itu kosong. Pasukan ibu harus memutar lagi ke belakang. Sebab, tak jauh dari komplek kami ada mushola yang lumayan besar berdiri kokoh di sana. Tunggang-langgang lagi.

"Kalian, jangan begini dong. Hewan itu tak akan mengganggu" ibu menenangkan.

Berjalan cepat, pasukan ibu menuju mushola. Sedang pasukan bapak sudah tak terlihat arahnya. Namun, dugaan sementara pastilah sholat di mushola yang ini: mushola Ar-Rohim. Setibanya, di sana. Ibu langsung mengambil syaf. Lah, aku dan Lisda bersama adikku, Indah, masih celingukan. Ibu mulai mengarahkan untuk masuk. Tapi, bagaimana caranya. Syafnya sudah terisi full.

Aku agak bingung. Akhirnya, ibu keluar.

"Ayo, sholat di rumah saja" ibu mulai memberitahu pasukannya.

Aku yang masih setengah sadar mengiyakan perkataan ibu. Berjalanlah lagi, menuju rumah. Kaki Lisda, malah terjebak di rerumputan. Dan berhasil membuat keributan. Cekikikan kami tertawa. Sudah berlari ke sana- kemari tak kunjung jua menemukan syaf. Sudah bertemu anj***. Sudah bertemu rerumputan. Namun, ibu tak jua tertawa bersama kami. Ibu sebenarnya kecewa, tak dapat sholat berjamaah. Alhasil, kami menggelar sajadah, menghidupkan kipas angin, dan melaksanakan sholat dengan 4 orang saja hanya persoalan jadwal yang salah.

Sudahlah, walaupun hanya di rumah shoalt tarawih dan wittirnya, insyaAllah tetap dijalankan penuh khidmat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar