Rabu, 17 Juni 2015

Pelepas Kecewa

   Jadi gini yaa. Tulisan ini bukan untuk menyesali apapun kehendaknya Allah. Bukannya juga mengumbar kesakitan. Sungguh bukan begitu, cerita ini hanya sekedar pelepas dahaga ketika haus. Jadi sekedar tulisan pelepas kecewa. Eh, kenapa gak curhat ke Allah aja? Kalau itu, insyaAllaah udah. Ya sekarang, saatnya berbagi cerita. Ini persamaan tentang ujian. Jadi uasku sama dengan ujianku. Begitu yaa.


   Hari ke empat ujian. Sebenarnya, hari itu. Lisda sedang asyik dengan akivitasnya. Aku hanya berdecak sendiri: "Lebih baik di tinggal aja deh". Awal ceritanya yaa sesederhana itu.

  Oke, dengan perasaan yang sedikit dirundung deg-degan, aku melangkah ke ruang ujian. Sebelumnya, aku sempat -ingin membalas bbm dari temanku. Belum sempat tanganku mengetik balasan, tiba-tiba pengawas menyembul dari muka pintu ruangan. Sudahlah, saatnya berkemas. Aku letakan tas, dan ujian. Wuiiiih, soalnya tidak seberat yang dipikirkan. Tidak terlalu rumit namun menyita waktu juga.

   Aku hari itu sangat antusias menjawab soal-soal di lembaran kertas itu. Walau bukan hari ini saja, karena seperti hari lainnya aku selalu antusias. Alhasil, aku selalu jadi buronan pengawas alias penghuni terakhir ruang ujian, hingga benar-benar lengang seisi kelas. Temanku masih menanti di samping teras kampus.

   "Aku pulang sama Erina" jawabku setelah Latif memilih acara bersama Een temanku lainnya.

   "Okedeh. Stnk mana?" balas Latif.

   Aku merogoh tas dan menyerahkannya.

   Segera aku pulang menuju kos temanku. Sebelumnya, aku menemani Erina mengisi lambungnya. Ya, saat itu tempat makan juga lengang. Erina dan aku asyik mengobrol dan saling pandang. Tak ada orang di sekeliling yang mendekat bahkan mengintai serta mencurigakan. Sudahlah, nasi ayam penyet sudah dipersiapkan. Membayar dan pulang.

   Hingga makanan berhasil dihabiskan. Tak ada yang berbeda dengan perasaan dan firasatku. Aku celingukan mencari benda itu. Ya, apalagi kalau bukan hape. Karena saat itu, Lisda, saudara kembarku, tengah membutuhkannya. Sudah pontang-panting seisi tas, aku bongkar. Melanting di sana-sini. Aku coba menghubungi. Wahhh! Sekarang jantungku berdebar lebih hebat. Nomornya sudah tidak aktif dan tunggu dulu, nomornya tertinggal satu angka. Dengan percaya diri, aku coba menghubunginya lagi. Sungguh, aliran darah entah mengalir bagaimana. Pucat sudah raut wajahku ini. Aku malah berdebat kusir dengan Lisda. Sedikit keras. Entah apa dan bagaimana bentuk bahasanya, yang jelas ada 'maksud' amarah di dalamnya. Sudah menitik air itu di wajah. Memenuhi wajahku yang semakin memerah. Aku sempat berpikir: INI HANYA MIMPI. Cobaku cubit, ini sakit. Ini memang sakit!

   Aku kebakaran jesggot. Cepat-cepat bersiap, menuju kampus lagi. Kalau-kalau masih ada harapan di sana. Sekalipun Semangatku sudah tercecer dan berhamburan dimana-mana. AKu terseok-seok menerima takdir, kalau memang keberadaannya sudah tidak terdefinisi lagi. Bahkan, dengan pikiran yang benar-benar real, aku berpikiran menitipkan hapeku pada temanku. Perkiraan yang meleset, sudah tidak BERHASIL.

   Berkumpulah aku dan beberapa temanku di taman. Segera dilacak gps hapeku. Tidak ada, tidak ditemukan. Isak tangisku ingin pecah di sana. Namun, ada yang menahan. Di sekelilingiku sudah ramai mahasiswa yang hendak ujian lagi. Badanku sudah terkulai lemas. Maunya dihempas saja badan ini. Dipikiranku apa benar ucapan Lisda tadi: "Mungkin teman satu kelasmu?". Pertanyaan itu sudah berkeliaran sana-sini dan kurang ajar. Aku tak bisa mengendalikan emosiku, aku benar-benar kecewa. Tidak ada kemungkinan lain, selain di ruang kelas ujian. Anehnya, saat itu tasku juga teman-temanku ttak dikumpulkan di depan, tapi di belakang. Sudahlah, aku membuka kesempatan itu sendiri.

   Tak ada yang benar-benar membuatku kecewa, selain keyakinan bahwa pelakunya adalah teman satu kelasku. Kenyataannya akan selalu berhenti dituduhan itu. Oh, Allah. Sudah kukirimkan doa dan pengharapan, agar hati yang mengambil bisa tergugah. Berkat bantuan temanku, hampir setiap malam ia mengecek keberadaan gps hapeku. Sudahlah, sampai sekarang kabarnya tidak membaik.

Kepada pemilik hape-ku saat ini
atau siapapun yang berhasil merenggutnya dariku
Coba dengar ini
Sepandai-pandainya tupai melompat pasti akan terjatuh juga

Jikalau, hati dan keyakinan dari Allah memang benar
Kau sungguh tak jauh dari aku

Bukan hape yang selalu ingin aku hadirkan digenggamanku
Ini persoalan, sakitnya kehilangan
Sudikah kehilangan akan menghadirkan keikhlasannya? Sudikah?
Sudihkah kehilangan mengajakku kuat?
Karena saat aku mengingatnya, butiran-butiran itu melebur
Membuat aliran-aliran air berderai


Bukan aku mau menyesalkan
Aku hanya ingin menyampaikan
Aku mendapatkannya, berkat usaha menabung dua tahun terakhir
Berkat lomba menulis yang berhasil aku perjuangkan
Berkat penantiku menanti kiriman dari pihak online
Satu lagi yang selalu ku ingat
Itu hadiah dari Allah, di hari bermuhasabahku

Tidak ada komentar:

Posting Komentar