Jumat, 25 September 2015

Kurban Ayam (?)

Takbir menghiasi langit-langit pagi ini. Gemerlap indahnya raya Iedul Adha. Masjid-masjid sudah ramai, pagi seperti hari ini. Bangunan masjid seindah kemenangan hari ini. Kemenangan melepaskan keserakahan dan menghantarkan kepada keikhlasan.

Begitupun Nana dan keluarga kecilnya. Malam ditengah kumandang takbir yang bergema. Nana dan ibunya meracik makanan untuk menyabut kedatangannya -hari raya Iedul Adha. Menyiapkan ketupat, lalu opor ayam menemaninya.

"Na, jangan makan dulu!" ibu melarang anaknya menyendokkan ketupat.

"Aku lapar, bu. Sebentar lagi kita akan pergi ke masjid." Nana kelaparan.

"Tahan. Mau dapat pahalakan?" ibu merayu anak perempuannya.

"Tapi, aku ingin opor itu." Nana menunjuk mangkuk berisi opor ayam. Tak lama, Nana mengecutkan wajahnya dengan seragam salat Iednya.

"Tadi malam makanmu sudah banyak, Na. Biasanya, kamu kuat." Ibu masih membujuk Nana.
Nana mengangguk. Nana menarik tangan ibu, mengajak cepat. Sepanjang salat, Nana tak mau menghiraukan perutnya.

"Perut, kenapa kamu cerewet? Sebentar lagi, kita akan makan opor. Jadi, berhentilah mengeluarkan suara memalukan ini." Nana kebingungan, menghadapi suara perutnya.

"Ssstttt!" ibu memberi isyarat kepada Nana. Itu artinya Nana harus diam.

"Bu, aku bisa diam. Tapi, cacing diperutku?" Nana menggerutu. Bukan menyalahkan ibunya, tapi cacing diperutnya.

Ibu mengangkat tangannya, menunjukkan kelima jarinya. Itu pertanda lima menit khutbah akan berakhir.

Nana menunggu dengan sabar. Memang ia sejak tadi memusatkan perhatiannya pada sang pengkhutbah. Apalah daya, cacing diperutnya bandel. Mengulangi berkali-kali.
Sepuluh menit berlalu, Nana masih bersedia menunggu. Mengangkat tangannya mengikuti sang pengkhutbah berdoa.

"Tolong, ampuni cacingku, ya Allah, aamiin." Mendengar itu, ibu tersenyum kecil. Kasihan gadis kecilnya yang kepayahan menghadapi cacing diperutnya (cacing bukan dalam artian penyakit).

Acara salat berjamaah ditutup dengan salam-salaman. Nana dan kedua orang tuanya meninggalkan masjid megah nan mempesona itu. Sambil menuntun tas kecilnya yang berisi mukenah.

"Na, batalkan puasanya. Minum air mineral dulu. Ibu siapkan ketupat opor ayamnya dulu." Ibu bertingkah gesit. Ia tak mau, Nana pingsan karena lapar.

Sedang menyeruput air mineral, ayah dan Nana terkejut mendengar jeritan ibu.

"Astagfirullaah, yahh!!!!" Ibu berteriak keras.

Ayah dan Nana buru-buru mengejar suara ibu.

"Ada apa, bu?" ayah keheranan melihat tingkah ibu.

"Ayamnya...." Nana menekuk lengkung dibibirnya.

Nana harus berbesar hati. Hari ini, keluarga harus berkurban. Ya, berkurban ayam. Nana mau tak mau, ridha tak ridha, harus melepaskan kepergian opor ayam. Nana terlihat lesu, memandangi mangkuk opor ayam yang mendarat sempurna di lantai; kocar-kacir. Di sebelahnya, Tora dan Bolang tertidur pulas kekeyangan. Padahal, makanan sudah disimpan didalam tudung saji. Namun, terlepas juga.

"Lho, ini namanya kurban ayam." Ibu hendak menghibur Nana.

"Iya, kurban ayam untuk kucing." Ayah ikut-ikutan.

Nana memandangi sisa-sisa opor ayam di mangkuk. Sungguh, ia tak mampu marah. Tora dan Bolang sudah bermanja-manja dikakinya.

"Jangan sedih, Na. Masih tersisa satu potong lagi." Ibu segera menyelamatkan dan mendaratkannya dipiring Nana.

"Iya, itu bentuk terima kasih kucing-kucing kita untuk opor ayam ini dengan menyisakan satu potong ayam." Ayah cengingisan kecil.

"Nana, bingung, yah. Emang ada orang berkurban ayam?" Nana mengernyit.

"Lah, kita. Lihat, kita korbankan opor ayam kita untuk Tora dan Bolang. Luar biasakan?" ayah menyuapkan ketupat dengan sayur seadaanya.

"Bukan seberapa beratnya, tapi seberapa ikhlas memaknainya." Ibu ikut sarapan ketupat sayur, walau tanpa opor ayam.

Nana tersenyum mengunyah ketupat dan satu potong ayam yang masih tersisa. Hari ini kesabaran dan keikhlasannya harus diuji. Lewat cacing diperutnya dan kucing yang menghabiskan opor ayam milik keluarganya.

Gemuruh takbir, Pekanbaru 25092015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar