Kamis, 17 Desember 2015

Ranting Rambutan

Masa kecil itu milik semua orang. Sangat universal. Sudah tak ternilai berapa banyak persoalan yang pernah dilalui. Belajar banyak hal. Bertanya banyak hal. Ingin tahu banyak hal. Hamparan memori itu menghias dikepalaku, kala kucoba merangkai semua cerita itu. Seperti hari ini, apalah daya.. Rasa rindu terhadap rumah makin menyeruak. Rinduku pada pohon rambutan di sebelah rumahku. Rindu ini berasal dari gambar yang bapak sebar di medsos (sebut saja: bbm).

Dulu...

Aku, juga semua anak-anak bapak dan ibu sangat antusias mendekati musim panen. Pucuk-pucuk rambutan yang mulai tumbuh makin matang. Ranting per ranting berlomba-lomba menguning lalu memerah. Dari ujung sebelah kanan, hingga ujung sebelah kiri. Buah rambutan menjuntai-juntai ingin diperhatikan. Bahkan, tak perlu menggunakan galah untuk memetiknya. Cukup dengan meninggikan kaki, buah rambutan berhasil diterkam. Pemandangan indah semacam itu, jadi jadwal rutin setiap tahunnya.

Sama seperti hari ini. Kebetulan keadaan buah rambutan (sudah) wajib panen. Hari ini ada gotong-royong untuk memanen rambutan. Seperti kebiasaan pada tahun-tahun sebelumnya, keluargaku selalu membagikan buah-buahan hasil panen itu kepada sanak-tetangga dan sanak-saudara.

"Awas, Lisda, Lisma, hati-hati! Jangan tergesa-gesa!" ibu memperingatkan kedua anak kembarnya yang tengah bekerja menjadi pemanen.

"Beresssss!" Lisda mengayunkan jempolnya.


Bukan hanya aku dan Lisda, mas Jufri pun ikut-ikutan panen. Bedanya, aku dan Lisda hanya bertugas memungut buah rambutan yang sudah jatuh ke tanah. Sementara mas Jufri, bersusah payah memetiknya dari pohon. Mas Jufri tetap melincahkan gelagatnya, setia dengan tongkat pengaitnya. Kepalanya miring-miring, mendongak ke atas, mengintai dari bawah. Kurasa itu memang melelahkan.

"Dik, gantianlah yaaa. Ini leher hampir patah." Mas Jufri menyerah atau lebih tepatnya ia kelelahan.

"Siniiii...." Lisda dengan cekatannya mengambil tongkat pengait itu.

"Lisda, sebelah sini. Itu yang di atas itu!" Aku berteriak hendak memberi arahan.

"Mana yang mana?" Lisda masih meraba.

"Ituuu di situuuuuuu!" aku hampir kesal, arahanku tak dilakukan dengan baik. Apa dia tak  mendengar teriakan buah rambutan di atas pohon itu? Bukankah, ia tak sabar ingin dipetik?

"Manaaaa sih?" Lisda terus mendongak ke atas.

"Ituuuuuuu. Ya Allaah, itu nah yang aku tunjuk? Ituuuuuuu. Punya mata ya dipake jangan cuma ditempel!" aku malah kesal. Aku memonyong-monyongkan bibirku.

"Nah, ambil ini. Kau saja yang mengambilnya." Lisda membalas kekesalanku. Dia pukul-pukulkan tongkat pengait itu ke ranting-ranting yang ramai buahnya. Tak peduli tanah yang dipijaknya berliuk-liuk.

"Aduuuuh!!!!! Astagfirullaaaaaahhhhh!!!!" aku benar-benar kaget. Lisda hilang kendali, terinjak tanah berliuk. Tongkat pengait dari bambu itu hampir mengenai kepala dan badanku. Jatuh, ingin menghantamku.

"Eh, Lisda hati-hati! Tongkatmu itu hampir mencelakai aku!" aku menggerutu.
Lisda cekikikan. Itulah caranya melampiaskan amarahnya padaku. Walaupun, aku sendiri yang mencari penyakit. Lisda emosi, akibat mendengar arahanku yang ujung-ujungnya malah kurang ajar.
Sementara aku dan Lisda asyik memanen.  Di teras rumah, sudah ramai orang datang. Ternyata sanak-saudara dari ibu yang kebetulan datang. Berbarengan dengan hari panen yang kami lakukan tahun ini. Beruntung, mereka mau membantu kami. Mereka tak hanya memanfaatkan tongkat pengait itu, tapi mereka dengan gesitnya melejit ke ranting satu ke ranting lainnya. Jantungku berdesir. Berdebar tak menentu. Takut kalau yang memanen terpleset. Takut kalau ranting yang dipijak rapuh. Aku dan Lisda menjerit-jerit histeris.

"Mas Ahmad, hati-hati. Jangan terlalu ke pinggir." Ibu mencoba memperingatkan (lagi).
Mas Ahmad, sanak-saudara kami itu, hanya membalas dengan senyum. Ayahnya malah terlihat santai, sangat santai melihat pertunjukkan anaknya di atas pohon.

Beberapa menit kemudian, kami memutuskan untuk beistirahat. Mas Ahmad mengakhiri perjalanannya ke ranting-ranting pohon. Mengingat buah yang terkumpul sudah banyak. Ia hendak turun. Sementara aku mengipas-ngipas wajahku secara manual dengan kedua tanganku. Kerudungku sudah basah keringat. Baru terasa lega (sedikit). Terdengar suara memedihkan.

Bbbbbbrrrrrrrrrrrrrrrkkkkkkkkkkk!!!

Kami lari sekonyong-konyong mendengar bunyi reruntuhan itu.

"Astagfirulllaaaaaah, Ahmaaaad!" Ibu kaget menyaksikan pertunjukkan ranting itu.
Mas Ahmad terjatuh bersamaan dengan ranting-ranting pohon. Dia kurang beruntung, ranting tempat berpijaknya patah.

Menyaksikan itu, aku hendak tertawa dan sekaligus iba. Tapi, memang masih beruntung. Kejatuhan yang dialami mas Ahmad bukan kejatuhan 'tunggal'. Ia bukan terhempas sendirian ke tanah. Ada ranting-ranting yang menjadi tumpuan. Tentulah ia tak merasa kesakitan, sebab badannya tak terbentur tanah secara langsung. Tubuhnya terlapis dedaunan. Itu menurut hematku saja.
Ayah mas Ahmad, bapak, dan ibu mendekati korban. Memang pucat wajahnya, tapi sempat juga ia melempar tawa. Entah apa yang ada pikirannya, tapi yang pasti, ia baik-baik saja. Karena tawanya pertanda tak ada kesakitan yang berarti.

"Mad, ada yang sakit? Ada yang patah?" Bapak menjejal mas Ahmad dengan beberapa pertanyaan.

"Ndak apa-apa, Pakde." Mas Ahmad menjawab dengan logat jawanya.

"Kalau memang ada yang sakit bilang saja, Mad. Biar diobati." Ibu angkat bicara lagi.

"Sudahlah, Mbak. Ahmad baik-baik saja." Ayah mas Ahmad menjawab tegas.
Akibat kejatuhan itu, sebagian ranting di posisi kiri di tebang. Takut kejadian serupa terjadi lagi. Mengingat lokasi rumah kami yang berada di sekeliling sekolah. Ada kalanya siswa yang jahil mengintai rambutan (tanpa permisi). Kesalahan sedikit saja, bisa-bisa ranting-ranting itu membahayakan mereka dan menelan korban lagi.

Selamat panen rambutan 
Pekanbaru, 17122015
(Saat hati merindukan rumah,
Saat mata menatap foto gerombolan rambutan di display picture bbm bapak)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar