Kamis, 10 September 2015

Hujan, Kemarau, dan Tanah

"Hujan tak mau lagi datang ke kotaku. Wajarlah kemarau datang. Sebenarnya, ada harap dihatiku. Ada juga sesak yang meretakkan gundukan rasaku."
---------------------------------------------------------

"An, besok aku usahakan datang! Tolong, dengarkan bicaraku kali ini." Lelaki berambut ikal itu meyakinkan pada kekasihnya; calon istrinya.

Si perempuan hanya menggelengkan kepala. Hanya diam dan tak ikut andil bersuara.

"Ku mohon! Ku mohon! Kali ini aku penuhi janjiku!" Tan, mencerca kekasihnya dengan kata mohon.

"Lebih baik jangan datang lagi, Tan." An membalasnya dengan mata berkaca.

"Aku takkan mencarimu lagi, jika kesempatan ini tak berhasil aku taklukan. Ku mohon, beri aku satu kesempatan lagi. Setelah ini, biarkan aku pergi!" Tan membuang pandangannya jauh dan berlari meninggalkan An, kekasihnya.


Kemarau hendak datang. Hujan makin jauh dari harapan. Lihatlah daun-daun harapan tak lagi mau tumbuh, mereka sudah gugur. Rantingpun sudah rapuh, kehilangan kekuatannya. Sama seperti Tan, seperti senja ini. Walau setinggi apapun harapan Ta diterbangkan, ia tetap gugur. Ta tetap kalah. Waktu menghancurkan bangunan rasanya.

"Aku sudah mempersiapkan semua ini bahkan sudah sejak lama. Takkan mungkin aku mengulangi kesalahanku lagi." Tan, meyakinkan dirinya sendiri. Kesalahannya dihari kemarin adalah obat pahit untuk menyembuhkan kecewanya. Ini karena kemarau yang berkepanjangan datang kepadanya.

Hari hampir senja, matahari masih menggelayut di kaki langit, walau segera berpamitan. Tan berjalan lebih kencang. Ia takkan kehilangan kesempatannya mendapatkan sang kekasih yang telah diperjuangkannya selama ini. Hari sesakral itu tak mau ia rusak dengan menghiraukan siapapun yang datang lagi.

Tiba-tiba langkah kakinya terhenti..

Kediaman An telah ramai dikunjungi sanak-keluarga. Tan terhenti. Benarkah keputusannya menerobos keramaian adalah benar. Tapi, dia laki-laki, dia bisa memutuskan, dia berhak akan itu.
Dengan hati berdebar, ia menerobos masuk. Menyisakan kebisuan. Rasa sakit yang tak terperikan.

"Annnn!" bibirnya gemetar.

Semua mata tertuju pada dua mata yang mulai memerah itu.

"Kenapa kau tak mengatakan sejujurnya? Aku bukan lari dari tanggung jawab ini, tanggung jawab akan janji suci ini." Tan meremas cincin yang telah dibelinya.

"Berhenti! Kau yang mempermainkan keluarga An! Pantaskah kau mengharapkan kesucian cinta ini? Pergi! Dia istriku! Kau tak berhak memanggilnya lagi. Dia milikku! Pergi!" Laki-laki yang resmi menikahi An memaki Tan. Ia menganggap Tan lari dari tanggung jawabnya.

"Aku tak pernah lari dari tanggung jawabku. Ema yang kala itu datang lebih membutuhkan pertolongan. Akankah aku biarkan laki-laki biadap itu menyakiti Ema didepanku? Kurasa kau tidak memikirkan itu. Aku akan pergi. Sekalipun kau tak memintanya." Tan meninggalkan keramaian. Tak ditatap calon istrinya yang gagal itu. Tan pergi menyisakan kisah heroiknya untuk pujaan hatinya. Terlanjur retak. Semuanya kering, rapuh. Perempuan bersenyum manis, An, Hujan.

***

"Mas, mau minum teh hangat." Tan terbangun dari lamunannya.

"Iya, boleh, Ema." Tan menjawab pendek pertanyaan istrinya.
Hujan tak pernah menemuiku lagi di kota ini. Hanya kemarau-lah yang setia menemani Tanah yang retak dan gersang ini. Tanah yang kehilangan pohon harapannya, daun-daunnya sudah menghilang karena hujan memilih pergi. Pergi ke kota bersama cintanya.

Epilog

Seorang pria bernama Tanah didera rasa kecewa. Pujaan hati yang selalu diperjuangkannya memilih meninggalnya ke kota lain, demi cinta baru yang dikenalnya. Hujan, nama kekasihnya. Sayang, hanya karena Tan(ah) gagal datang ketika lamaran dikesempatan pertamanya. Ini dikarenakan kedatangan k(EMA)rau yang ketakutan karena disakiti suaminya. Pelipis Ema sudah berlumur darah kala Tan melintas. Tan menentukan pilihan. Ia menunda langkahnya ke rumah An dan membantu Ema.

Saat itu, An sudah malu. Tan tak kunjung menemui dia dan keluarganya. Hingga malam tiba, Tan baru muncul. Ia ditolak. An sangat kecewa. Ia sangat mencintain Tan. Namun, rasa kecewanya merobohkan tingginya rasa cinta.

Hingga dikesempatan kedua, Tan terlambat lagi. An telah mengikat janji suci dengan mantan suami Ema. Tan hendak melarang, namun itu bukan yang harus dilakukan. Setidaknya ia harus merelakan yang menjadi pilihan. Walaupun rasa sakit acap kali datang. Karena rasa manusiawi, sekalipun ia laki-laki dengan postur tubuh berbidang.

Tantangan OWOP, 10092015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar