Jumat, 07 Agustus 2015

Listrik yang Nakal

Seharian ini aku dan Lisda sangat sibuk. Kuota liburku sudah habis, benar-benar habis. Kesibukan inilah yang memempal dua bersaudara ini.

Pagi selesai dengan rumah (baca: pekerjaan rumah) aku sudah merapikan segala kebutuhan sandang. Sudah kulipat semua kecil-kecil. Penyusunan pakaian dan saudaranya itu sangat menentukan tingkat kemuncungannya. Jadi, kalau kurap, alhasil koper akan sulit ditutup, tingkat kemuncungannya akan makin parah.



Memang takkan pernah ada bosannya bercengkrama dengan keluarga; kapanpun. Apalah daya, tugas dan kewajiban harus segera dilaksanakan. Mangkir dari jadwal kuliah bukanlah hal yang mulia (mungkin). Sebab keputusanku kali ini bukan tak beralasan apa-apa. Mengingat dan menimbang, insyaaAllaah pilihan mangkir dari jadwal kuliah adalah jalan terbaik (Perhatian: jangan tiru ini dalam hidup Anda, jika tak ada alasan masuk akal).

Sudah cukup alinea pembukaannya. Sekarang fokus ke inti cerita. Ini tentang perjalanan belanja antara seorang bapak dan dua puterinya. Entah menarik atau malah membosankan, inilah cerita yang pernah menghampiriku. Jadi, nikmati saja.

"Ada yang mau dibeli, Da, Ma," tanya bapak ba'da maghrib kala itu.

"Ada pak, sampo, makanan untuk diperjalanan, ehh...."

"Sabur cair shin**** (menyebutkan merk)," sambar mas Jufri.

"Iya nanti, insyaaAlaah dibelikan," jawab bapak ringan.

Malam itu, ketika sudah siap dengan kostum. Dengan ketiba-tibaan semua jadi gelap. Ruangnya yang ramai jadi nampak kosong karena hanya nampak hitam-gelap. Listrik padam.

Sempat ada diskusi kecil. Sampai akhirnya, keputusan yang diambil ialah tetap berjalan. Karena minimarket (indo*****) selalu sedia mesin diesel. Jangan khawatir.

Aku, bapak, dan adik Indah menyusuri per-komplekan dengan menggunakan lampu temaran dari senter. Lumayan menyinari beberapa meter dari langkah kaki. Sebentar saja gelap, di luar gerbang sudah kelap-kelip; lampu menyala karena diesel.

Sesampainya disana, lincahlah kaki adik bungsuku itu, mencengkram beberapa jajanan juga keperluan. Sesekali ia mewanarkan padaku.

"Mbak, ini bagus lho untuk wajah." Sambil menjangkau kosmetik terkenal itu.

"Sudah, sudah, jangan dibeli. Kan mbakmu ndak pernah pakai macam-macam, dik," bapak melarang keras.

Dan aku hanya mengangguk saja. Aku tak pernah tertarik membahas alat kecantikan.

Sudah kepayahan berjalan, tiba waktunya menghampiri kasir. Aku meletakkan keranjang yang berisi belanjaan.

"Maaf, pak. Mesin kasirnya tak bisa dipakai." Aku kaget mendengar yang diutarakan kasir cantik itu.

"Rusak? Kalau cabang pusat bisa?" bapak mencari jalan keluar.

"Mungkin bisa, pak. Kami tidak dapat memastikan. Kami mohon maaf ya, pak." Sang kasir menangkap raut kecewa diwajah adikku. Cukup lelah mengitari minimarket ini. Saat semua belanjaan tersusun lengkap, haruskah dikembalikan ke tempatnya berasal? Memang bukan aku yang akan melakukannya. Tapi, itu membuat garis lengkung diwajah kehilangan manisnya.

Malam itu, saat listrik padam, kami memutuskan keluar. Belanjaan yang sudah kami ambil, harus dikembalikan oleh kasir. Bapak mencoba ke sebrang menuju minimarket yang lainnya. Sayang, di sana belanjaan yang hendak dibeli tak lengkap, selain tak ada promo. Pulang, itulah jalan satu-satunya.

Tepat di depan pintu, lampu menyala dengan terang. Aku menarik nafas. Lalu, disusul dengan suara bapak, "Nanti kita pergi ke sana lagi. Makan malam dulu, selepas Isya, kita berangkat lagi."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar