Kamis, 20 Agustus 2015

Gue Antena Besi

“Gue Antena Besi”

oleh Lisma Nopiyanti


    “Lo bakal nyesel!” Bram melemparkan kata-kata itu.

     “Nyesel gimana, ya?” gue kalang-kabut nerima pesan Bram.

Belum sempat terjawab, Bram melejit entah kemana bersama motornya. Sempat melempar senyum dengki sebelum dia pergi.

Pagi itu, semua tampak biasa. Bahkan tukang antena yang biasa memperbaiki keluhan beberapa rumah di sekitar tempat tinggal gue. Semuanya biasa. Beberapa hari menjelang piala dunia, rumah gue, tetangga gue, semuanya rusuh pasang antena.

“Bang, coba Lo lihat deh. Babe ikut-ikutan pasang antena,” dialog pagi antara gue dan Bang Arbi.

Lah, memang kenapa? Baguslah, biar bisa nonton piala dunia,” persetujuan Bang Arbi.

“Ya, tapikan...,”  keluh gue.

“Tapi, gimana lagi?” bang Arbi angkat bicara lagi.

“Tapi, gak harus dipasang di pohon rambutankan?” jawab gue aneh.

“Apa?” bang Arbi mengernyitkan matanya.

“Ya mana gue tau, bang. Kan lo yang maksa babe masang begituan,” mendengus.

“Baguslah, babe memang kreatif. Kemarin dipasang di atap rumah sinyalnya luar binasa. Ya, atas kekreatifan babe, dialih-fungsikan,” lagi-lagi persetujuan.

“Terserah deh. Pokoknya gue mau panen tuh rambutan”

“Bagus deh, yang banyak, ya. Kan lumayan buat camilan nonton bareng,” senyumnya kecut dan mengarah ke gue alias nyuruh gue.

Sedikit jengkel, gue selesaikan dialog pagi itu.

***

“Ipeh...,” Alena memanggilku.

“Iya. Gue denger,” jawab gue ketus.

“Siapa yang manjat pohon rambutan lo, Peh?” Alena melempar tanya.

“Ya, babe gue lah,” jawab gue ringan.

“Bukan. Coba lihat!” Alena menarik tangan gue.

Kaget. Ada laki-laki muda yang berjengger di pohon rambutan itu.

Lo jangan kaget ya, Peh. Itu yang bakal jadi calon gue,” Alena sedikit menyombonhkan diri.

Astagfirullah!”

“Lo, kenapa? Dia ideal bangetkan? Tipe lo bangetkan? Tapi, sayang. Bapak laki-laki itu teman bapak gue. Jadi, semalem bapaknya datang ke rumah gue. Ya, dalam waktu dekat ini sih, gue bakal dilamar,” curcol Alena.

 “Iya, gue setuju,” sambil meringis dalam hati.

***

Gue jadi inget lagi masa kesakitan gue. Sewaktu gue ngadepin sulitnya dapat gelar sarjana. Sewaktu gue ngadepin yang namanya dilema. Sewaktu gue, harus memilih jadi antena televisinya Diana, teman karib gue sendiri.

 “Ahmad, bakal jemput gue, peh,” Diana memberi pernyataan pahit.

“Oh gitu,” jawabku sedikit ketus.

Lo bisa pulang sendiri?” senyum meremehkan dilempar.

“Ya, biasanya jugakan gue pulang sendiri. Kenapa jadi sok perhatian gitu?” jawab gue ketus.

“Siapa tau aja, lo bosen pulang sendiri terus?” gue ngerti, itu sindiran paling halus yang pernah Diana lempar ke gue, dan itu cukup membuat senyum gue yang manis itu berubah jadi kecut.

“Santailah. Gue udah biasa, paling nanti gue pulang sama Bram. Ada keperluan mendadak,” Bram, temen karib gue, selain Diana. Dia agak rempong, mukanya banyak jerawat dan giginya dikasih kawat. Terus matanya persis kayak jengkol. Terus paling takut ketemu si Tia, cewek yang selalu menjadi cita-citanya. Yang bakal ia lamar setelah dapat pekerjaan.

Ya, sejak hari itu, hari persiapan menuju wisuda tepatnya satu bulan. Cerita Diana makin tumbuh dan berkembang. Gue sedikit kayak orang dungu. Tiba-tiba, gue gak mau dengar cerita Diana lagi. Mungkin gue udah terlalu lelah. Gue yang dulunya mati-matian pengen kenal Ahmad. Eh, dia. Cuma gara-gara ban sepeda motornya pecah, malah bisa kenal Ahmad. Orang yang udah gue incer sejak masa ospek terjadi dihidup gue. Saat itu, kelompok gue kebingungan cari ketua regu. Eh, dia muncul bak pahlawan. Dia secara cuma-cuma menawarkan diri sebagai ketua. Gue udah pasang muka kagum. Suaranya sungguh merdu, dan itu cukup membuat gue merinding ketika dia diminta mengaji di muka kelas juga kebiasaannya menjadi imam ketika sholat zuhur di mushola kampus gue. Selain itu, dia adalah seorang single abadi selama perkuliahan; sama seperti gue. Kabar percintaannya sungguh sepi, namun kabar prestasinya kocar-kacir di mading kampus tiap minggu, bulan, dan tahun. Dia mantan ketua BEM di kampus gue.

“Saya Ahmad, boleh saya pinjam penanya?” sambil memperbaiki rambutnya yang sedikit keriting dan sedikit lebat.

Gue Ipeh, iya boleh,” sambil nyodorin pena boneka gue ke Ahmad. Itu awal perkenalan antara gue dan Ahmad. Walaupun, senyata-nyatanya dia gak nanya nama gue siapa. Yang jelas, dia tau kalau pena yang dia pake buat nulis nama dan tanda tangan itu pena gue; Ipeh.

Sayang, gue gak pernah cerita ke Diana. Diana yang lebih dulu ketahuan jatuh hati dan kebetulan Ahmad lebih merespon kehadirannya, bukan gue. Gue sih sadar, perkenalan lewat pena boneka gue adalah kemustahilan Ahmad untuk mengingat nama gue. Apalagi, dia sangat memasang jarak dengan seorang perempuan. Mungkin nama gue udah ke hapus atau memang tidak dientri sama sekali. Lupakan. Bahkan, saat hari bahagia itu tiba, dengan pakaian wisuda gue. Diana menghampiri gue dan membawa calonnya, ya siapa lagi kalau bukan Ahmad.

“Peh, perkenalkan ini Ahmad. Calonku hihii,” mukanya merah muda, lalu hati gue? Pedih membara.

Gue pilih senyum semanis mungkin. “Gue Ipeh” tanpa menyodorkan tangan.

“Oh, ini temanmu ya, Dian. Salam kenal, ya. Saya Ahmad. Saya ingat, kamu yang waktu itu pernah jatuhin sajadahkan?” senyumnya tetap manis, tapi dia calon suami temen gue, temen yang tiap hari dengar cerita gue tentang cowok misterius yang gue sembunyiin namanya selama ini. Cowok misterius yang sekarang malah jadi calon suaminya. Uhh.

“Eh, iya benar. Gue buru-buru, Mad,” gue inget kejadian itu.

“Itulah awal perkenalan gue sama Ahmad, Peh,” jawab Diana, gue agak kaget. Ternyata ketika gue pergi, mereka sempat mengobrol kecil. Bram adalah penjembatan mereka. Dan ia pun, tak tau cowok misterius itu adalah Ahmad. Ahmad menaruh hati pada Diana, kehidupan karir yang mapan membuatnya berani menikahi Diana. Dan gue? Datang bawa hadiah yang besar saat resepsi mereka, gue kasih kado kompor. Karena itu janji gue ke Diana. Bibir gue gemetar, mata gue sayuh, ketika gue lihat ternyata jodoh Ahmad adalah teman semakan-minum gue. Tisu gue sedikit berair, ketika ijab kabul selesai. Mungkin sepengetahuan Diana, gue terlalu haru dengan acara sakralnya itu. Padahal, gue haru melihat laki-laki itu yang dulunya adalah cita-cita gue.

***

Gue kaget!” si Alena yang membangunkan lamunan gue.

“Jadi, nanti lo bakal datang di acara resepsi gue?” undang Alena.

“Iya, gue usahain ya,” gue meringis lagi. Lagi-lagi teman akrab sepekerjaan gue.

Lo gak marahkan?” Alena mulai meledekku.

“Marah kenapa? Kan Ilham lebih milih lo, bukan gue,” tepatnya karena gue gak pernah ngomong. Gue memang suka memendam, pengen nunggu saat yang tepat. Tapi, sayang gue selalu terlambat. Persis kayak sekarang, kayak yang dulu. Gue mah gitu orangnya.

“Syukurlah, Peh. Pokoknya gue bahagia deh. Ilham tuh suami idaman, Peh. Alhamdulillah, dia masih semangat hafal Qur’an. Gue juga udah mulai coba. Gue bahagia banget dah. Gue gak marah kalau masih harus mengulang jaman Siti Nurbaya. Hihih,” senyumnya manis sekali. Gue bingung harus kasih respon apa. Dia benar dijodohkan dengan Ilham. Dan gue? Gue masih tunggu saat yang tepat, karena gue masih harus bebenah diri. Lah tapi? Gue terlambat lagi. Laki-laki bersenyum manis, berambut keriting tebal, berkulit sawo matang itu harus terlupakan. Dan gue tersadar, dia mirip Ahmad. Uhh.

***

Benar kata Bram, nanti gue nyesel. Ini buktinya. Sudah berulang kali, dia ingin gue kenal Ilham, ya sebagai teman. Tapi gue selalu menolak, gue belum baik untuk dikenal, gue masih harus bebenah, gue masih banyak salah, dan akhirnya gue memang salah. Sekarang, Bram sedang mempersiapkan pernikahannya juga. Bram yang selalu ingin tau cowok misterius di jaman kuliah dulu. Bram yang selalu ingin tau laki-laki muda yang sering memperbaiki antena di rumah gue juga rumah warga. Ilham, memang pemuda multitalent yang pernah gue kenal. Dia guru fisika yang teladan, rekan kerja gue di sekolah SMP yang sama dengan Alena. Tapi, Bram lebih dahulu mengenalkan mereka berdua, dan gue bisa apa?

       “Ya, itu karena lo gak pernah cerita ke gue!” Bram melotot.

“Terserah deh, Bram. Gue pasrah aja lo mau ngomong apa. Kan gue selalu cerita ke lo tentang masalah ini,” gue sedikit merendah.

       “Tapi, lo gak pernah kasih tau namanya. Lo tau Ahmad?” Bram sedikit kesal.

         “Ya, taulah,” jawab gue pendek.

  “Dia pernah kagum sama lo sebelum dia kenal Diana. Karena lo selalu pengen belajar lebih baik dan lebih baik” Bram melotot lagi.
Gue diem.

  “Kenapa lo diam? Lo mau ngomong kenapa gue gak ngasih tau lo? Lo lucu ya, lo kan gak pernah kasih tau nama cowok yang lo kagumi  itu. Hahaha”
Gue ikut ketawa. “Hahahaha”

       “Lo malah ketawa?” Bram heran.

“Jadi gue harus nangis? Lo lucu ya. Untuk apa gue sedih, ternyata Ahmad lebih bahagia sama Diana. Lo gak bisa menyalahkan takdir Bram. Gue gak mau terlalu mengembar-gemborkan nama karena gue anggap belum saatnya. Biarlah gue jadi antena besi.

        “Hah? Lo antena besi?”

“Ia antena besi yang bisa buat televisi jadi punya harga diri. Jadi, orang bisa terhibur karena jernihnya gambar. Biarlah gue yang jadi jembatan kebahagiaan temen-temen gue. Gue yakin Allah punya cerita imajinatif untuk gue, sama kayak Lo.

“Hehehe, iya deh. Gue setuju sama lo. Gue juga bisa kenal sama Asyah karena lo, Peh. Makasih ya sudah jadi antena besi untuk televisi rumah tangga kami. Doakan kami jadi keluarga sakinah, mawadah, warohmah, ya?” sekarang dia tersenyum.

      Aamiin, Bram,” sekarang senyum gue memang manis, gak ada kecut.

Dan malam ini, gue ikut babe juga Bang Arbi menonton pembukaan piala dunia. Sambil ngomong dalam hati: Babe, Bang Arbi, cowok misterius itu yang paling sering naik pohon rambutan kita dan memperbaiki antena kita. Lalu, ibu tersenyum. Bukan mendengar kicauan hati gue itu, tapi karena televisi yang nonton babe.

*Kiat dari gue sih: Ya, lo harus yakin Allah punya jalan buat cerita imajinatif tentang jodoh lo. Kalau lo sedih? Ya itu wajar, tapi jangan lo siksa diri lo dengan air mata. Kenapa harus dengan air mata? kalau dengan senyum dan sedikit tertawa lo bisa lebih bahagia dan jauh lebih baik?

Dan biar lo gampang move on: Cobalah, buka hati lo. Terus sadar, bahwa setiap orang udah punya cerita masing-masing. Kalau memang jodoh lo, dia. Sejauh apapun lo berlari pasti akan terkejar juga. Dan sedekat apapun lo berjalan bersama dia, tetep kalau dia bukan jodoh lo, gak bakal nyatu juga. Mending lo arahin diri lo ke hal yang positif. Jangan lo tangisi kepedihan itu, jangan lo sesali kenapa harus orang terdekat lo yang lebih pantes dapetin itu. Balik lagi, ya dia bukan jodoh lo. Simple kan? Kalau masih ada yang belum bisa move on, lo hanya butuh waktu dan kepekaan akan rencana Allah. Lo masih punya Allah, keluarga, dan sahabat yang siap memeluk kesulitan lo. Yok kuat! Jadi kayak gue, antena besi! Hehe *senyum manis* *jodohpastibertemu* *jodohpastibertamu*


Tidak ada komentar:

Posting Komentar