“Gue
Antena Besi”
oleh Lisma Nopiyanti
“Lo bakal nyesel!” Bram melemparkan kata-kata itu.
“Nyesel gimana, ya?” gue
kalang-kabut nerima pesan Bram.
Belum
sempat terjawab, Bram melejit entah kemana bersama motornya. Sempat melempar
senyum dengki sebelum dia pergi.
Pagi
itu, semua tampak biasa. Bahkan tukang antena yang biasa memperbaiki keluhan
beberapa rumah di sekitar tempat tinggal gue.
Semuanya biasa. Beberapa hari menjelang piala dunia, rumah gue, tetangga gue,
semuanya rusuh pasang antena.
“Bang,
coba Lo lihat deh. Babe ikut-ikutan pasang antena,” dialog pagi antara gue dan Bang Arbi.
“Lah, memang kenapa? Baguslah, biar bisa nonton piala dunia,” persetujuan Bang Arbi.
“Ya,
tapikan...,” keluh gue.
“Tapi,
gimana lagi?” bang Arbi angkat bicara lagi.
“Tapi,
gak harus dipasang di pohon
rambutankan?” jawab gue aneh.
“Apa?”
bang Arbi mengernyitkan matanya.
“Ya
mana gue tau, bang. Kan lo yang maksa babe masang begituan,” mendengus.
“Baguslah,
babe memang kreatif. Kemarin dipasang di atap rumah sinyalnya luar binasa. Ya,
atas kekreatifan babe, dialih-fungsikan,” lagi-lagi persetujuan.
“Terserah
deh. Pokoknya gue mau panen tuh
rambutan”
“Bagus
deh, yang banyak, ya. Kan lumayan buat camilan nonton bareng,” senyumnya kecut
dan mengarah ke gue alias nyuruh gue.
Sedikit
jengkel, gue selesaikan dialog pagi
itu.
***
“Ipeh...,”
Alena memanggilku.
“Iya.
Gue denger,” jawab gue ketus.
“Siapa
yang manjat pohon rambutan lo, Peh?” Alena melempar tanya.
“Ya,
babe gue lah,” jawab gue ringan.
“Bukan.
Coba lihat!” Alena menarik tangan gue.
Kaget.
Ada laki-laki muda yang berjengger di pohon rambutan itu.
“Lo jangan kaget ya, Peh. Itu yang bakal jadi calon gue,” Alena sedikit menyombonhkan diri.
“Astagfirullah!”
“Lo,
kenapa? Dia ideal bangetkan? Tipe lo bangetkan? Tapi, sayang. Bapak
laki-laki itu teman bapak gue. Jadi,
semalem bapaknya datang ke rumah gue.
Ya, dalam waktu dekat ini sih, gue bakal
dilamar,” curcol Alena.
“Iya, gue
setuju,” sambil meringis dalam hati.
***
Gue
jadi inget lagi masa kesakitan gue.
Sewaktu gue ngadepin sulitnya dapat gelar sarjana. Sewaktu gue ngadepin yang namanya dilema.
Sewaktu gue, harus memilih jadi
antena televisinya Diana, teman karib gue
sendiri.
“Ahmad, bakal jemput gue, peh,” Diana memberi
pernyataan pahit.
“Oh
gitu,” jawabku sedikit ketus.
“Lo bisa pulang sendiri?” senyum
meremehkan dilempar.
“Ya,
biasanya jugakan gue pulang sendiri.
Kenapa jadi sok perhatian gitu?” jawab gue ketus.
“Siapa
tau aja, lo bosen pulang sendiri
terus?” gue ngerti, itu sindiran
paling halus yang pernah Diana lempar ke
gue, dan itu cukup membuat senyum gue yang manis itu berubah jadi kecut.
“Santailah.
Gue udah biasa, paling nanti gue pulang
sama Bram. Ada keperluan mendadak,”
Bram, temen karib gue, selain Diana.
Dia agak rempong, mukanya banyak jerawat dan giginya dikasih kawat. Terus matanya persis kayak jengkol.
Terus paling takut ketemu si Tia, cewek yang selalu menjadi cita-citanya. Yang
bakal ia lamar setelah dapat pekerjaan.
Ya,
sejak hari itu, hari persiapan menuju wisuda tepatnya satu bulan. Cerita Diana
makin tumbuh dan berkembang. Gue
sedikit kayak orang dungu. Tiba-tiba,
gue gak mau dengar cerita Diana lagi.
Mungkin gue udah terlalu lelah. Gue yang dulunya mati-matian pengen kenal Ahmad. Eh, dia. Cuma
gara-gara ban sepeda motornya pecah, malah bisa kenal Ahmad. Orang yang udah gue incer sejak masa ospek terjadi
dihidup gue. Saat itu, kelompok gue kebingungan cari ketua regu. Eh, dia
muncul bak pahlawan. Dia secara cuma-cuma menawarkan diri sebagai ketua. Gue udah
pasang muka kagum. Suaranya sungguh merdu, dan itu cukup membuat gue merinding ketika dia diminta mengaji
di muka kelas juga kebiasaannya menjadi imam ketika sholat zuhur di mushola
kampus gue. Selain itu, dia adalah seorang
single abadi selama perkuliahan; sama
seperti gue. Kabar percintaannya
sungguh sepi, namun kabar prestasinya kocar-kacir di mading kampus tiap minggu,
bulan, dan tahun. Dia mantan ketua BEM di kampus gue.
“Saya
Ahmad, boleh saya pinjam penanya?” sambil memperbaiki rambutnya yang sedikit
keriting dan sedikit lebat.
“Gue Ipeh, iya boleh,” sambil nyodorin pena boneka gue ke Ahmad. Itu awal perkenalan antara gue dan Ahmad. Walaupun, senyata-nyatanya dia gak
nanya nama gue siapa. Yang jelas,
dia tau kalau pena yang dia pake buat
nulis nama dan tanda tangan itu pena gue;
Ipeh.
Sayang,
gue gak pernah cerita ke Diana. Diana
yang lebih dulu ketahuan jatuh hati dan kebetulan Ahmad lebih merespon
kehadirannya, bukan gue. Gue sih sadar, perkenalan lewat pena
boneka gue adalah kemustahilan Ahmad untuk
mengingat nama gue. Apalagi, dia
sangat memasang jarak dengan seorang perempuan. Mungkin nama gue udah ke hapus atau memang tidak
dientri sama sekali. Lupakan. Bahkan, saat hari bahagia itu tiba, dengan
pakaian wisuda gue. Diana menghampiri
gue dan membawa calonnya, ya siapa
lagi kalau bukan Ahmad.
“Peh,
perkenalkan ini Ahmad. Calonku hihii,” mukanya merah muda, lalu hati gue? Pedih membara.
Gue
pilih senyum semanis mungkin. “Gue
Ipeh” tanpa menyodorkan tangan.
“Oh,
ini temanmu ya, Dian. Salam kenal, ya. Saya Ahmad. Saya ingat, kamu yang waktu
itu pernah jatuhin sajadahkan?” senyumnya tetap manis, tapi dia calon suami
temen gue, temen yang tiap hari dengar
cerita gue tentang cowok misterius
yang gue sembunyiin namanya selama
ini. Cowok misterius yang sekarang malah jadi calon suaminya. Uhh.
“Eh,
iya benar. Gue buru-buru, Mad,” gue inget
kejadian itu.
“Itulah
awal perkenalan gue sama Ahmad, Peh,”
jawab Diana, gue agak kaget. Ternyata
ketika gue pergi, mereka sempat
mengobrol kecil. Bram adalah penjembatan mereka. Dan ia pun, tak tau cowok
misterius itu adalah Ahmad. Ahmad menaruh hati pada Diana, kehidupan karir yang
mapan membuatnya berani menikahi Diana. Dan gue?
Datang bawa hadiah yang besar saat
resepsi mereka, gue kasih kado
kompor. Karena itu janji gue ke
Diana. Bibir gue gemetar, mata gue sayuh, ketika gue lihat ternyata jodoh Ahmad adalah teman semakan-minum gue. Tisu gue sedikit berair, ketika ijab kabul selesai. Mungkin
sepengetahuan Diana, gue terlalu haru
dengan acara sakralnya itu. Padahal, gue
haru melihat laki-laki itu yang dulunya adalah cita-cita gue.
***
***
“Gue kaget!” si Alena yang membangunkan
lamunan gue.
“Jadi,
nanti lo bakal datang di acara
resepsi gue?” undang Alena.
“Iya,
gue usahain ya,” gue meringis lagi. Lagi-lagi teman akrab sepekerjaan gue.
“Lo gak marahkan?” Alena mulai meledekku.
“Marah
kenapa? Kan Ilham lebih milih lo,
bukan gue,” tepatnya karena gue gak pernah ngomong. Gue memang suka memendam, pengen nunggu saat yang tepat. Tapi,
sayang gue selalu terlambat. Persis kayak sekarang, kayak yang dulu. Gue mah
gitu orangnya.
“Syukurlah,
Peh. Pokoknya gue bahagia deh. Ilham
tuh suami idaman, Peh. Alhamdulillah, dia masih semangat hafal Qur’an. Gue juga udah mulai coba. Gue
bahagia banget dah. Gue gak marah kalau masih harus mengulang
jaman Siti Nurbaya. Hihih,” senyumnya manis sekali. Gue bingung harus kasih respon apa. Dia benar dijodohkan dengan
Ilham. Dan gue? Gue masih tunggu saat yang tepat, karena gue masih harus bebenah diri. Lah tapi? Gue terlambat lagi. Laki-laki bersenyum manis, berambut keriting
tebal, berkulit sawo matang itu harus terlupakan. Dan gue tersadar, dia mirip Ahmad. Uhh.
***
***
Benar
kata Bram, nanti gue nyesel. Ini
buktinya. Sudah berulang kali, dia ingin gue
kenal Ilham, ya sebagai teman. Tapi gue
selalu menolak, gue belum baik untuk
dikenal, gue masih harus bebenah, gue masih banyak salah, dan akhirnya gue memang salah. Sekarang, Bram sedang
mempersiapkan pernikahannya juga. Bram yang selalu ingin tau cowok misterius di
jaman kuliah dulu. Bram yang selalu ingin tau laki-laki muda yang sering
memperbaiki antena di rumah gue juga
rumah warga. Ilham, memang pemuda multitalent yang pernah gue kenal. Dia guru fisika yang teladan, rekan kerja gue di sekolah SMP yang sama dengan
Alena. Tapi, Bram lebih dahulu mengenalkan mereka berdua, dan gue bisa apa?
“Ya, itu karena lo gak pernah cerita ke gue!” Bram melotot.
“Terserah
deh, Bram. Gue pasrah aja lo mau ngomong apa. Kan gue selalu cerita ke lo tentang masalah
ini,” gue sedikit merendah.
“Tapi, lo gak pernah kasih tau namanya. Lo tau Ahmad?” Bram sedikit kesal.
“Ya, taulah,” jawab gue pendek.
“Dia
pernah kagum sama lo sebelum dia
kenal Diana. Karena lo selalu pengen
belajar lebih baik dan lebih baik” Bram melotot lagi.
Gue
diem.
“Kenapa
lo diam? Lo mau ngomong kenapa gue
gak ngasih tau lo? Lo lucu ya, lo kan gak pernah kasih
tau nama cowok yang lo kagumi itu. Hahaha”
Gue
ikut ketawa. “Hahahaha”
“Lo malah ketawa?” Bram heran.
“Jadi
gue harus nangis? Lo lucu ya. Untuk
apa gue sedih, ternyata Ahmad lebih
bahagia sama Diana. Lo gak bisa menyalahkan
takdir Bram. Gue gak mau terlalu
mengembar-gemborkan nama karena gue
anggap belum saatnya. Biarlah gue jadi
antena besi.
“Hah? Lo antena besi?”
“Ia
antena besi yang bisa buat televisi jadi punya harga diri. Jadi, orang bisa
terhibur karena jernihnya gambar. Biarlah gue
yang jadi jembatan kebahagiaan temen-temen gue. Gue yakin Allah punya cerita imajinatif
untuk gue, sama kayak Lo.
“Hehehe,
iya deh. Gue setuju sama lo. Gue
juga bisa kenal sama Asyah karena lo,
Peh. Makasih ya sudah jadi antena besi untuk televisi rumah tangga kami. Doakan
kami jadi keluarga sakinah, mawadah, warohmah, ya?” sekarang dia tersenyum.
Aamiin, Bram,” sekarang senyum gue
memang manis, gak ada kecut.
Dan
malam ini, gue ikut babe juga Bang
Arbi menonton pembukaan piala dunia. Sambil ngomong dalam hati: Babe, Bang
Arbi, cowok misterius itu yang paling sering naik pohon rambutan kita dan
memperbaiki antena kita. Lalu, ibu tersenyum. Bukan mendengar kicauan hati gue itu, tapi karena televisi yang
nonton babe.
*Kiat
dari gue sih:
Ya, lo harus yakin Allah punya jalan buat cerita imajinatif tentang jodoh lo. Kalau
lo sedih? Ya itu wajar, tapi jangan lo siksa diri lo dengan air mata. Kenapa
harus dengan air mata? kalau dengan senyum dan sedikit tertawa lo bisa lebih
bahagia dan jauh lebih baik?
Dan
biar lo gampang move on:
Cobalah, buka hati lo. Terus sadar, bahwa setiap orang udah punya cerita
masing-masing. Kalau memang jodoh lo, dia.
Sejauh apapun lo berlari pasti akan terkejar juga. Dan sedekat apapun lo
berjalan bersama dia, tetep kalau dia bukan jodoh lo, gak bakal nyatu juga.
Mending lo arahin diri lo ke hal yang positif. Jangan lo tangisi kepedihan itu,
jangan lo sesali kenapa harus orang terdekat lo yang lebih pantes dapetin itu.
Balik lagi, ya dia bukan jodoh lo. Simple kan? Kalau masih ada yang belum bisa move on, lo hanya butuh waktu dan
kepekaan akan rencana Allah. Lo masih punya Allah, keluarga, dan sahabat yang
siap memeluk kesulitan lo. Yok kuat! Jadi kayak gue, antena besi! Hehe *senyum
manis* *jodohpastibertemu* *jodohpastibertamu*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar