Selasa, 18 Agustus 2015

Aku; anak perbatasan negeri.

Aku; anak perbatasan negeri.

Aku adalah seorang anak yang terpencil diperbatasan negeriku.
Aku, disini bersama mereka, teman-temanku.
Aku sering takut. Tau kenapa? Di sekelilingku sering terjadi pertikaian menakutkan.
Aku menyaksikan nyerinya bentrokan antara warga di sini, di perbatasan ini.


Aku adalah seorang anak yang merindukan kedamaian di negeri dua warna ini, negeri merah putihku.
Aku merindukan kemerdekaan yang dulunya berhakikat kemenangan.


Aku adalah seorang anak yang ingin tetap belajar.
Belajar menjadi warga yang pandai juga arif bijaksana.
Agar negeriku tak terus digeser.
Agar batas rumahku tak ditarik-ulur.


Aku adalah seorang anak yang ketakutan.
Takut, jikalau harus kehilangan perbatasan ini.
Aku takut.
Aku sangat takut.


Aku adalah seorang anak yang ingin memperjuangkan Indonesia.
Di saat mereka, satu per satu meninggalkan negeri ini ke seberang.


Kata mereka: untuk apa hidup di tanah Indonesia kalau yang berkuasa di sana enggan menyapa?

Ayahku,
Ibuku,
Serta adikku,
Mereka meninggalkan aku dan negeriku.
Demi buaian negeri di sebrang sana.


Sekarang, aku hanya sendiri menggenggam "Sang Saka Merah Putih".
Aku terlanjur mencinta,
menyayangi negeri dua warna ini.
Walaupun, tak pernah kukenal apa itu lagu "balonku".
Karena yang harus kupegang erat bukanlah sisa balonku.
Namun, yang akan terus kupegang erat hanya "Sang Saka Merah Putih"


Aku adalah seorang anak yang menginginkan Indonesia,
Indonesia,
Indonesia Jaya.


Kemana hakikat merdeka yang dulu diperjuangkan?
Kemanakah perginya?
Karena yang aku tau, merdeka yang sekarang disebutkan hanya slogan yang tak berarti.
Digembar-gemborkan kemana-mana.


Merdeka yang telah hilang kekuatannya.
Merdeka yang sekarang lebih memenangkan ambisi dan hasrat semata.

Aku adalah seorang anak yang terdampar di perbatasan ini.

Dulu, mereka saling bahu-membahu
Sekarang, mereka saling siku demi kemenangan

Dulu, mereka bersatu demi satu tujuan; kemenangan.
Kemenangan untuk membebaskan ambisi dan hasrat penguasa yang serakah.
Sekarang, merdeka kehilangan taringnya.
Ia semakin tumpul.
Ia semakin rentah.
Ia semakin hilang.
Ia semakin rapuh.
Ia semakin tak berdaya.
Ambisi yang dimerdekakan!
Hasrat yang dimerdekakan!


Aku adalah seorang anak yang kehilangan keluarga demi negera dua warna ini.
Aku mencintai Indonesia.
Aku diletakkan Tuhan, disini.
Tuhan memberiku amanah untuk ikut memasyurkannya.
Sayang, mereka peka akan amanah itu!


Aku adalah seorang anak yang harus menelan raskin.
Sedang, ayam di sini ogah-ogahan memakannya.
Lalu, aku disamakan dengan siapa?


Aku kehilangan sekolahku.
Aku kehilangan pakaianku.
Tapi, aku tetap cinta Indonesia.
Sekali lagi, ini karena amanah yang diberi Tuhan.


Apa hakikatnya merayakan ulang tahun negeri dua warnaku?
Jika yang dilakukan tak dipahami pelajarannya?
Kalian tau kenapa panjat pinang selalu diadakan?
Itu karena menandakan untuk mencapai kemenangan haruslah bersama, bukan bercerai hanya karena satu perbedaan.
Sayang, kau tak pernah memikirikannya!
Lagi-lagi, ambisimu yang selalu kau merdekakan!
Selalu begitu!


Aku adalah seorang anak yang masih ingin memperjuangkan.
Aku masih ingin berlari.
Aku masih ingin berusaha.
Aku masih ingin belajar.
Agar Tuhan tersenyum.
Agar Indonesia masyur.


Aku adalah seorang anak di perbatasan.

Tak ada yang ingin aku cemoohi akan luka ini.
Tak ada yang ingin aku maki.
Mulailah dari diri sendiri.
Dari "aku".
Perubahan akan terjadi, jika ada yang berperan sebagai "penggerak".
Penggerak yang memiliki kepribadian agamis dan berpendidikan manis.
Bukan mereka yang menghalalkan yang najis!
Bukan mereka yang tertawa manis,
Saat semua rakyat menangis.
Bukan mereka, bukan!


Salam dari anak di perbatasan negeri dua warna.

Dirgahayu negeriku.
Semoga Tuhan berkenan menjawab segala doa dan pengharapan yang bersungguh-sungguh.

Negeri Dua Warna, Merah Putih, Pekanbaru 18092015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar