Untuk ketiga kalinya, aku masih tertarik untuk membiarkan cerita ini tetap berkelanjutan. Setelah edisi 1 ku: Oh Lumut! dan edisi 2 ku: Oh, Turunan!. Entah kenapa? Tapi, ku rasa memang cerita ini tak dapat dilupakan begitu saja. Tentang tiga hari masa orientasi siswa SMA kala itu.
Melanjutkan
cerita yang selanjutnya. Iya ini hari kedua orientasi siswa. Masih dalam
kejadian yang sama. Bersama emosi berkendara.
Pagi
ini, sebelum berangkat ke sekolah. Lisda sudah melipat wajahnya −sangat masam.
Ya, aku tau ini salahku. Aku lambat. Lambat sekali. Sedang, Lisda bergegas;
lebih cepat dariku. Aku sebenarnya malas untuk meributkannya. Tapi entah
kenapa, meilihat wajahnya aku juga agak kesal.
“Cepatlah..
Lama sekali!” Lisda memintaku cepat.
“Iya,
iyaaaa. Ini lagi pake sepatu” aku
sangat tergesah-gesah kala itu. Pontang-panting kececeran dimana-mana
konsentrasiku.
“Nanti
kita telat, kamu mau kita dihukum kakak senior?” Lisda menambah lipatan di
wajahnya.
“Aduh.
Sebentar lagi, aku masih mengikat tali sepatuku” aku juga ikut melipat wajahku;
yang jelas tak semasam dia.
Dimain-mainkannya
si motor. Klakson dibunyi-bunyikan. Cepat, cepat, cepat. Mungkin ia hendak
menyampaikan pesan itu padaku. Padahal, ia tahu. Aku sedari tadi berpeluh, lari
sana lari sini dengan cepat. Persoalan sederhana dengan kerudungku. Kerudung
yang hari ini sangat rewel; susah diatur.
Sekarang,
aku sudah terduduk di atas kendaraan itu. Langsung dilarikan secara serampangan
oleh sang sopir; Lisda.
“Hati-hati,
da. Jangan bertengkar di kendaraan, tak baik.” Bapak mengirimkan wejangan
setelah mendapatkan sinyal ketidakcocokan puteri kembarnya ini.
Lisda
hanya mengangguk. Mana dia peduli. Motor tetap berlari sedikit kencang.
Benar
saja, ketakutan Lisda saat berkendara. Apalagi kalau bukan keramaian. Itu
sangat menakutkan baginya. Aku dan Lisda memang harus berangkat lebih awal,
bahkan memang harus sedikit lebih awal. Tujuannya agar tak bertemu keramaian.
Terkadang di sekolah masih sangat sepi, mungkin hanya ada satu atau beberapa
orang saja. Tapi, hari ini kami bertemu keramaian. Mau tidak mau harus
ditaklukan.
Keadaan
makin parah ketika keramaian mulai melanda. Lisda mulai kagok. Mulai bingung
mengarahkan kendaraan. Wah, itu sangat menakutkan. Tiba-tiba, langitku gelap.
Aku pasrah. Apalagi yang menabrak dan ditabrak.
--------------------BRAKKK!!!-----------------
Aku
sudah terguling di jalanan, pun Lisda. Aku harus mengalami ketakutan lagi. Kali
ini bukan kejadian tunggal. Kami melibatkan keramaian, melibatkan kakek penjual
kerupuk. Ya, sang sopir kehilangan konsentrasinya. Kami berbenturan dengan kerupuk-kerupuk
itu.
Aku
dan Lisda segera menjadi tontonan. Kami dilarikan di pinggir jalan. Begitupun
dengan sang kakek. Aku pucat, tak dapat berkata. Sama seperti Lisda yang
ketakutan. Bukan karena kondisiku atau kondisinya. Tapi, dengan sang kakek
penjual kerupuk itu.
Beruntungnya
saat itu, ada rekan bapak yang tak sengaja melintas. Beliau mengenali aku dan
Lisda, ia berhenti. Dan segera menghampiri kami. Menanyakan apa yang terjadi. Di
sebelah Lisda, ada laki-laki paruh baya yang sudah siap menjawab pertanyaan
dari siapapun mengenai perkara itu. Lebih tepatnya, laki-laki itu adalah saksi
mata.
Aku
tak membawa hape, juga uang yang
banyak. Mungkin hanya lima ribu rupiah saja. Aku memang tak pernah minta uang
jajan, karena aku dan Lisda selalu membawa bekal. Tak pernah terlintas akan
mengalami hal semacam ini.
“Biar
bapak telepon ayah kalian, ya?” tanya laki-laki teman bapak itu.
Kami
yang cemas, hanya bisa menjawab dengan isyarat –mengangguk.
Sedang
cemas menunggu, ada yang iseng menggodaku dan Lisda.
“Kalian
nanti dilaporkan ke polisi. Lihatlah kakek itu, ia terluka dan sepedanya
hancur” orang itu menakuti.
Makin
cemaslah anak berseragam SMP ini, yang sebenarnya siswa SMA. Namun belum
mendapatkan pengakuan.
Bukan
main, jantung berdebar makin kencang. Ketakutan dilaporkan ke polisi atas
tuduhan yang tak terpikirkan saat ini.
Tiba-tiba...
“Kenapa?
Ada apa ini?” tanya bapak, memecah lamunku.
“Ini,
pak. Anak bapak menabrak tukang kerupuk.” Jawab rekan bapak itu.
“Astagfirullah. Kalian tidak apa-apakan?”
bapak menanyakan keadaanku.
“Iya,
tidak apa-apa, pak.” Lisda menjawabnya; bukan aku.
Selepas
itu, bapak menghampiri sang kakek. Sungguh malang, ban sepedanya hancur
berkelok-kelok. Pahanya berdarah. Ada luka kecil, dan itu sangat menakutkan. Yang
menjadi korban kami kali ini adalah
seorang kakek-kakek yang sudah rentah. Aku benar-benar merasa bersalah. Uhh.
Bapak
segera meminta maaf, lalu mengeluarkan beberapa rupiah untuk mengobati luka dan
memperbaiki sepedanya. Ya Allah, saat
itu yang memenuhi kepalaku adalah pernyataan maaf, maaf, dan hanya kata maaf.
Sopir kendaraan kami memang belum lulus ujian mengemudinya. Jangankan untuk
berjalan nyaman, menekan klakson pun tak mahir. Hampir celaka waktu itu, ketika
Lisda memaksakan membunyikan klaksonnya. Ini memang kabar buruk. Seperti penyebab
kejadian tabrakan hari ini: keramaian, juga klakson yang tak dapat berfungsi
dengan baik.
Oh,
ya tak ada polisi dan yang dilaporkan. Laki-laki yang menyebalkan itu hanya
menakutiku dan juga Lisda. Masih dengan perasaan yang was-was, aku dan Lisda
tetap pergi ke sekolah. Walaupun, badan masih sedikit gemetar.
Bapak
tak langsung pulang. Rupanya, ia sempat mengobrol di kedai −dekat tkp. Dia
sekarang tengah mendengar pembicaraan seorang pejalan kaki yang hendak pergi
berladang.
“Wuhh,
rasanya saya tadi mau mati saja, pak.” Ceritanya pada sang penjual kedai.
“Kenapa,
pak?” tanya penjual itu.
“Tadi
sewaktu saya hendak pergi berladang, ada pengendara motor yang menabrak saya.
Kejadiannya sangat cepat. Hingga saya meloncat ketakutan. Pelajar dengan
seragamnya menghantam tukang kerupuk. Ada yang saya khawatirkan.” Pejalan kaki
yang coba menguraikan ceritanya.
“Apa
itu, pak?”
“Saya
berjalan dengan membawa parang, untuk berladang. Untunglah dia tak melukai
siapa-siapa, saat terjadi tabrakan itu.”
Bapak
hanya mendengar, dia berkata dalam hati: “Itu anak saya, pak.”
Ada
satu hal yang terlupa. Usut punya usut berdasarkan keterangan saksi mata.
Sebenarnya yang menyebabkan kakek penjual kerupuk itu tersungkur adalah pengendara
lainnya. Yap, pengendara dengan arah yang berlawanan. Saat kakek kehilangan
konsentrasi −saat sepeda mulai oleng, rupanya ada yang menabrak sepedanya.
Hingga akhirnya, sang kakek jatuh tersungkur.
Keramaian.
Pagi yang bercerita pada keramaiannya. Anak-anak yang rewel hendak mempercepat
waktunya ke sekolah. Orangtua yang berhambur mengantar anaknya, dan para
pelajar yang mengejar ketertinggalannya. Oh, Allah.
Hanya
karena persoalan klakson yang tak berbunyi. Persoalan keramaian yang takkan
bisa diatasi. Oh, keramaian!
Herannya,
Lisda tak kenal takut, pada kesempatan yang lain dia berhasil menyakiti aku;
lagi...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar