Minggu, 03 Mei 2015

Anak Kembar, Ed.3: "Oh, Keramaian!"


Untuk ketiga kalinya, aku masih tertarik untuk membiarkan cerita ini tetap berkelanjutan.  Setelah edisi 1 ku: Oh Lumut! dan edisi 2 ku: Oh, Turunan!. Entah kenapa? Tapi, ku rasa memang cerita ini tak dapat dilupakan begitu saja. Tentang tiga hari masa orientasi siswa SMA kala itu.
Melanjutkan cerita yang selanjutnya. Iya ini hari kedua orientasi siswa. Masih dalam kejadian yang sama. Bersama emosi berkendara.


Pagi ini, sebelum berangkat ke sekolah. Lisda sudah melipat wajahnya −sangat masam. Ya, aku tau ini salahku. Aku lambat. Lambat sekali. Sedang, Lisda bergegas; lebih cepat dariku. Aku sebenarnya malas untuk meributkannya. Tapi entah kenapa, meilihat wajahnya aku juga agak kesal.

“Cepatlah.. Lama sekali!” Lisda memintaku cepat.

“Iya, iyaaaa. Ini lagi pake sepatu” aku sangat tergesah-gesah kala itu. Pontang-panting kececeran dimana-mana konsentrasiku.

“Nanti kita telat, kamu mau kita dihukum kakak senior?” Lisda menambah lipatan di wajahnya.

“Aduh. Sebentar lagi, aku masih mengikat tali sepatuku” aku juga ikut melipat wajahku; yang jelas tak semasam dia.

Dimain-mainkannya si motor. Klakson dibunyi-bunyikan. Cepat, cepat, cepat. Mungkin ia hendak menyampaikan pesan itu padaku. Padahal, ia tahu. Aku sedari tadi berpeluh, lari sana lari sini dengan cepat. Persoalan sederhana dengan kerudungku. Kerudung yang hari ini sangat rewel; susah diatur.

Sekarang, aku sudah terduduk di atas kendaraan itu. Langsung dilarikan secara serampangan oleh sang sopir; Lisda.

“Hati-hati, da. Jangan bertengkar di kendaraan, tak baik.” Bapak mengirimkan wejangan setelah mendapatkan sinyal ketidakcocokan puteri kembarnya ini.

Lisda hanya mengangguk. Mana dia peduli. Motor tetap berlari sedikit kencang.

Benar saja, ketakutan Lisda saat berkendara. Apalagi kalau bukan keramaian. Itu sangat menakutkan baginya. Aku dan Lisda memang harus berangkat lebih awal, bahkan memang harus sedikit lebih awal. Tujuannya agar tak bertemu keramaian. Terkadang di sekolah masih sangat sepi, mungkin hanya ada satu atau beberapa orang saja. Tapi, hari ini kami bertemu keramaian. Mau tidak mau harus ditaklukan.

Keadaan makin parah ketika keramaian mulai melanda. Lisda mulai kagok. Mulai bingung mengarahkan kendaraan. Wah, itu sangat menakutkan. Tiba-tiba, langitku gelap. Aku pasrah. Apalagi yang menabrak dan ditabrak.

--------------------BRAKKK!!!-----------------

Aku sudah terguling di jalanan, pun Lisda. Aku harus mengalami ketakutan lagi. Kali ini bukan kejadian tunggal. Kami melibatkan keramaian, melibatkan kakek penjual kerupuk. Ya, sang sopir kehilangan konsentrasinya. Kami berbenturan dengan kerupuk-kerupuk itu.

Aku dan Lisda segera menjadi tontonan. Kami dilarikan di pinggir jalan. Begitupun dengan sang kakek. Aku pucat, tak dapat berkata. Sama seperti Lisda yang ketakutan. Bukan karena kondisiku atau kondisinya. Tapi, dengan sang kakek penjual kerupuk itu.

Beruntungnya saat itu, ada rekan bapak yang tak sengaja melintas. Beliau mengenali aku dan Lisda, ia berhenti. Dan segera menghampiri kami. Menanyakan apa yang terjadi. Di sebelah Lisda, ada laki-laki paruh baya yang sudah siap menjawab pertanyaan dari siapapun mengenai perkara itu. Lebih tepatnya, laki-laki itu adalah saksi mata.

Aku tak membawa hape, juga uang yang banyak. Mungkin hanya lima ribu rupiah saja. Aku memang tak pernah minta uang jajan, karena aku dan Lisda selalu membawa bekal. Tak pernah terlintas akan mengalami hal semacam ini.

“Biar bapak telepon ayah kalian, ya?” tanya laki-laki teman bapak itu.

Kami yang cemas, hanya bisa menjawab dengan isyarat –mengangguk.

Sedang cemas menunggu, ada yang iseng menggodaku dan Lisda.

“Kalian nanti dilaporkan ke polisi. Lihatlah kakek itu, ia terluka dan sepedanya hancur” orang itu menakuti.

Makin cemaslah anak berseragam SMP ini, yang sebenarnya siswa SMA. Namun belum mendapatkan pengakuan.

Bukan main, jantung berdebar makin kencang. Ketakutan dilaporkan ke polisi atas tuduhan yang tak terpikirkan saat ini.

Tiba-tiba...

“Kenapa? Ada apa ini?” tanya bapak, memecah lamunku.

“Ini, pak. Anak bapak menabrak tukang kerupuk.” Jawab rekan bapak itu.

Astagfirullah. Kalian tidak apa-apakan?” bapak menanyakan keadaanku.

“Iya, tidak apa-apa, pak.” Lisda menjawabnya; bukan aku.

Selepas itu, bapak menghampiri sang kakek. Sungguh malang, ban sepedanya hancur berkelok-kelok. Pahanya berdarah. Ada luka kecil, dan itu sangat menakutkan. Yang  menjadi korban kami kali ini adalah seorang kakek-kakek yang sudah rentah. Aku benar-benar merasa bersalah. Uhh.

Bapak segera meminta maaf, lalu mengeluarkan beberapa rupiah untuk mengobati luka dan memperbaiki sepedanya. Ya Allah, saat itu yang memenuhi kepalaku adalah pernyataan maaf, maaf, dan hanya kata maaf. Sopir kendaraan kami memang belum lulus ujian mengemudinya. Jangankan untuk berjalan nyaman, menekan klakson pun tak mahir. Hampir celaka waktu itu, ketika Lisda memaksakan membunyikan klaksonnya. Ini memang kabar buruk. Seperti penyebab kejadian tabrakan hari ini: keramaian, juga klakson yang tak dapat berfungsi dengan baik.

Oh, ya tak ada polisi dan yang dilaporkan. Laki-laki yang menyebalkan itu hanya menakutiku dan juga Lisda. Masih dengan perasaan yang was-was, aku dan Lisda tetap pergi ke sekolah. Walaupun, badan masih sedikit gemetar.

Bapak tak langsung pulang. Rupanya, ia sempat mengobrol di kedai −dekat tkp. Dia sekarang tengah mendengar pembicaraan seorang pejalan kaki yang hendak pergi berladang.

“Wuhh, rasanya saya tadi mau mati saja, pak.” Ceritanya pada sang penjual kedai.

“Kenapa, pak?” tanya penjual itu.

“Tadi sewaktu saya hendak pergi berladang, ada pengendara motor yang menabrak saya. Kejadiannya sangat cepat. Hingga saya meloncat ketakutan. Pelajar dengan seragamnya menghantam tukang kerupuk. Ada yang saya khawatirkan.” Pejalan kaki yang coba menguraikan ceritanya.

“Apa itu, pak?”

“Saya berjalan dengan membawa parang, untuk berladang. Untunglah dia tak melukai siapa-siapa, saat terjadi tabrakan itu.”

Bapak hanya mendengar, dia berkata dalam hati: “Itu anak saya, pak.”

Ada satu hal yang terlupa. Usut punya usut berdasarkan keterangan saksi mata. Sebenarnya yang menyebabkan kakek penjual kerupuk itu tersungkur adalah pengendara lainnya. Yap, pengendara dengan arah yang berlawanan. Saat kakek kehilangan konsentrasi −saat sepeda mulai oleng, rupanya ada yang menabrak sepedanya. Hingga akhirnya, sang kakek jatuh tersungkur.

Keramaian. Pagi yang bercerita pada keramaiannya. Anak-anak yang rewel hendak mempercepat waktunya ke sekolah. Orangtua yang berhambur mengantar anaknya, dan para pelajar yang mengejar ketertinggalannya. Oh, Allah.

Hanya karena persoalan klakson yang tak berbunyi. Persoalan keramaian yang takkan bisa diatasi. Oh, keramaian!


Herannya, Lisda tak kenal takut, pada kesempatan yang lain dia berhasil menyakiti aku; lagi...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar