Kumcer: Barisan Sakit Hati
1. Versi Mba Naa --> Sang Maha Imajinatif
2. Versi Mba Zuu --> Sensi
3. Versi Mba Naa --> Jodoh untuk Barisan Sakit Hati
4. Versi ke empat yang paling apa banget.
“Ken! Pernah
Mimpi ke Malioboro?”
oleh Lisma Nopiyanti
oleh Lisma Nopiyanti
“Pernah
mimpi ke Malioboro?”
Huruf
yang merangkai kalimat itu, terpatri benar di kepalaku. Entah aku
mengartikannya janji atau sebuah ilusi. Aku pernah mendengarnya tapi
samar-samar.
Pagi
ini, mentari bersinar kuat. Terik membingkai udara di keramaian pagi ini. Aku
merogoh ranselku. Mencari-cari alamat yang sedang aku telusuri sepagi ini.
Kebenaran mengenai kertas bunga dan mozaiknya Azizah.
Rasanya,
baru kemarin aku asyik bertani dengannya. Menanam banyak bunga di perkarangan.
Menanam banyak buah di ladang bapak. Sekarang, aku harus menemuinya. Menulusuri
rumah mertuanya. Ya, ini mozaikku yang sedang terpecah-belah. Sedang aku belum
berusaha memperbaikinya. Kini aku tengah membantu merapikan mozaik Azizah.
Diperjalan bus kota ini, aku terlena.
“Secepat
itukah, mozaik Azizah tercipta? Begitu kreatifnya Sang Pencipta. Aku yang
selalu berusaha memperbaikinya, namun Azizah yang lebih dahulu merapikannya
dengan sebuah ijab” ada yang berjejalan dibenakku.
Perjumpaannya
dengan Dody sungguh magis. Hanya beradu pandang ketika berjumpa di Malioboro
dan bertemu dalam majelis ilmu di Jogja. Mozaiknya lalu berwarna. Entah apa yang
ingin sang Pencipta tawarkan padaku, aku masih tetap menunggu.
Kriiing....kriiiingg...kriiinggg...
“Assalamu’alaikum, Zah” jawabku sigap.
“Wa’alaikumusalam, Ken. Kamu sudah
berangkatkan?” Zizah yang menelponku.
“Sedang
menikmati, Zah. Rumah mertuamu lumayan jauh. Hehehe” jawabku santai.
“Yo wes, tak enteni tekamu yo, Ken**” bahasa
daerah Zizah menyeruat.
“Yo,
ojo nesu yo” jawabku asal.
Azizah
tertawa dan tak lama menutupnya. Ketawanya sungguh bahagia. Mungkin bukan
karena bahasaku yang entah kemana arahnya. Tapi, karena mozaiknya yang sekarang
mulai berwarna.
“Besok,
kalau Zizah ada waktu.. Aku harus mengajaknya ke Malioboro. Siapa tau, di sana,
aku akan menemukan mozaikku” aku berbicara dalam hati, sekaligus tersenyum
kekeh.
Kring...kriiiiing...kriiiing
Sekarang,
Ari yang sibuk menelponku.
“Berkasmu
mana? Sudah kuobrak-abrik isi lemarimu tapi tak ketemu juga” suaranya
memekikkan telingaku dan mengganggu khayalku.
“Jangan
ganggu aku, Ri. Aku sedang liburan. Siapa yang mengizinkanmu mengobrak-abrik
meja kerjaku? Kan aku sudah jelaskan berkali-kali, bahwa berkas-berkas laporan
keuangan, sudah ku antar ke ruanganmu seminggu yang lalu” jelasku pada Ari,
yang selalu beranggapan kalau aku melalaikan perkejaan.
“Tapi,
sudah aku cari! Tetap tidak ada. Kamu yang jelas dong, ini masa depan kita. Eh,
masa depan kantor kita!” tingkahnya makin tak jelas.
“Kamu
sekarang dimana, Ri? Coba cari di meja sebelah kiri. Map yang berwarna biru,
aku letakkan paling atas” aku menjawab dengan pelan. Aku hanya tak ingin
ibu-ibu di sebelahku ketakutan melihat kebuasanku saat menghadapi Ari si pikun
ini.
“Ada!
Ada! Mulai besok kasih catatan di mejaku! Awas kalau lupa! Dasar pelupa! Oleh-olehku
juga!” telepon langsung terputus.
Aku
menarik nafas sedikit lebih dalam. Jemariku mengepal dan ingin meremas wajahnya
yang selalu berminyak itu. Atau kutarik rambutnya yang gagal gimbal itu. Ari
benar-benar melatih kesabaranku. Padahal susah-payah aku selalu meletakkan
catatan di atas meja kerjanya. Kemudian, aku yang selalu dihardiknya. Misteri
hilangnya catatan itu, sungguh aku tak pernah mengerti. Oh, Allah. Aku tak tau
mozaikku akan berwarna dengan siapa. Jikalau, Engkau izinkan aku memilih,
jangan pilihkan Ari untukku. Aku sudah jengah menghadapi tingkahnya.
Aku
menarik nafas sekali lagi. Perjalananku masih satu jam lagi. Aku tak ingin
mengingat Ari. Mengingatnya akan membuat gigiku ngilu. Aku buang pandanganku ke
arah jendela. Ku hibur hati dengan pemandangan sawah yang indah.
Duhai, kekasih yang selalu di hati.
Aku menunggumu. Duhai, gadis yang selalu hadir dalam mimpiku. Di setiap
tidurkuu...
Suara
gitar memecah sunyi. Aku hampir senyum-senyum sendiri. Suara yang merdu sedang
beradu mata denganku. Aku kaget. Dengan cekatan aku mengambil sisa uang di rok
jeansku, aku lempar saja ke tempat pengumpul uangnya –bungkus air mineral bekas.
Hatiku
berkata lagi: Apakah mozaikku akan berwarna dengan birama? Apakah suaranya
merdu ketika metartilkan kitab suci? Atau membuatku meneteskan airmata ketika ia
mengaji? Sadar! Aku sedang berangan lagi. Azizah benar-benar mengepung
pikiranku. Ia meninggalkanku, ia lebih dulu berhenti di garis finish mozaiknya.
Sebentar
lagi aku sampai, aku sudah tiba di tugu pal putih yang menandakan perjalananku
akan segera berakhir. Aku turun dan berteduh di bangunan ruko-ruko. Bukan
karena hujan, tapi berteduh dari sengatan mentari. Mungkin berteduh sudah
kehilangan hujannya, seperti aku yang kehilangan mozaiknya. Sudahlah!
“Haiii,
Ken!” Itu Azizah, dia memelukku. Lalu, di belakangnya. Aaah, ada si Dody.
Mozaiknya Azizah.
“Akhirnya
sampai juga, ya?” Azizah merangkulku dan suaminya membawa koper kecilku ke
mobil mereka.
“Alhamdulillah. Lunasi hutangmu, ya, Zah.
Hehe” Aku terkekeh. Kodeku sedikit keras. Aku ingin Azizah mengingatnya.
“Malioboro,
malioboro, yaaa” aku menyanyi tanpa irama. Lalu, ku lirik sedikit, Dody
tersenyum. Aku khawatir, Azizah terlalu banyak bercerita tentangku pada
suaminya itu.
“Mari”
mozaiknya Azizah mempersilakan aku.
***
***
Seperti
perjanjian yang lama itu. Azizah menepati janjinya padaku. Malam ini setelah
makan malam bersama keluarga suaminya, aku diajak ke sana. Ya, bertemu
mozaikku.
Tetap
dengan kemejaku dan rok jeansku, aku melangkah ke luar dari mobil avanza
berwarna hitam itu. Aku seperti anak mereka yang tengah kebingungan memilih
jajanan. Mungkin berteriak: Ayo, ma! Ayo, pa! Belikan Ken jajan. Hehe. Aku bergurau.
Tak pantas lagi aku merengek.
“Nah,
inilah tempat pertamaku melihat mas Dody, Ken. Tepat ini.” Zizah menunjuk
tempat berkumpulnya makanan khas Jogja. Apalagi kalau bukan gudeg.
“Iya,
Ken. Inilah saksi ketika mozaiknya Azizah berwarna” celetupan Dody membuatku
hampir histeris. Bagaimana dengan mozaik itu? Kenapa dia bisa tau? Aku lirik
Zizah, dialah biangnya.
Aku
hanya membalas dengan senyuman. Lalu, mereka mengajakku duduk lesehan sambil menikmati alunan musik.
Sebentar.. Aku mendengar sesuatu..
“Pernah
mimpi ke Malioboro?”
Aku
berdecak. Aku terdiam. Bagaimana mungkin kalimat itu sama persis. Aku melirik
ada yang tersenyum dan aku mengenalinya.
Tapi,
tunggu!
“Dorrrrr!”
Azizah membangunkan lamunanku.
“Kamu
tidur ya, Ken?” Azizah meledekku.
“Bercandanya
jelek” dengusku.
“Lah,
itu. Dari tadi mas-masnya sodorin pesanan, kamu malah diam” Zizah melanjutkan
ledekannya.
“Mungkin
aku lelah, Zah” aku tertawa kecil, juga Azizah dengan mozaiknya.
Sudahlah.
Malam ini aku kembali mengingatnya, mengingat seseorang yang pernah berjanji
mengajakku pergi ke Malioboro. Beberapa tahun berlalu, Ari dengan sakit
pikunnya mampu melupakanku akan janji itu atau hanya ilusi itu. Bukan karena
kungkungan sebuah rasa, tapi terlebih karena kesibukannya yang harus aku handle dengan baik. Juga bukan pemuda
yang mengamen di bus tadi. Ini tentang dia yang pernah berjanji.
“Ayo,
pulang, Zah. Aku mau istirahat” ajakku.
“Loh kok loyo? Katanya mau cari mozaik?”
Azizah terus meledekku.
“Mungkin
dilain waktu, Zah” kataku letih.
“Sudahlah,
Zah. Jangan menghardik sahabatmu itu. Nanti dia kehilangan semangat mencari
mozaiknya” sekarang Azizah dan Dody tertawa keras.
Mungkin
benar, aku takkan bisa mendapatkan cerita yang sama layaknya pertemuan Azizah
dan mozaiknya. Tidak ada peristiwa yang bisa dicopas. Aku punya cerita sendiri dengan mozaik dan warnanya. Sang
Pencipta punya cara yang lebih menarik. Tugasku hanya memperbaiki. Walaupun si
penjanji takkan pernah menemuiku di Malioboro.
“Ken!
Pernah mimpi ke Malioboro?”
Catatan:
**Ya sudah, aku tunggu kedatanganmu ya, Ken.
Catatan:
**Ya sudah, aku tunggu kedatanganmu ya, Ken.
Lismaaaaa~
BalasHapusAkhirnya ada yang nulis versi lain dari cerpen Barisan Sakit Hati, hahahahahaha xD
Dan ini tentang mozaik, yah....
Kenapa 'itu' harus disebut mozaik? Aku mikirnya jadi kayak puzzle gitu (padahal mah gak nyambung xD)
Dan emang nggak ada kisah cinta yang bisa dicopas, setuju sekali :9
Walaupun entah bagaimana hasilnya mba naa :$
BalasHapusIya sih mba naa, hampir sama sih sama puzzle. Tapi, mozaik lebih membuat saya tertarik. Karena menurut saya, mozaik adalah sebuah seni yang bisa menghasilkan sebuah gambar dari kepingan-kepingan kecil berwarna. ungkin saya memaknainya bahwa mozaik itu lebih berwarna mba naa *apasih
Iya mba naa, gak bisa dicopas =D
Waaah, akhirnya ada yang mau ikutan cerita barisan sakit hatii. Makasih lisma atas partisipasinya #udahkayakuisaja wakaka
BalasHapusBetewe, aku udh pengen blogwalking dr kapan tau, baru bisa mampirnya sekarang. Maap yaa...
Dan waw, aku baru mau bikin dari pov cowo lho lis, biar imbang (kemaren udh bikin dr pov cewe soalnya). Ntar deh kapan2...
Ceritanya kurang sakit hati, Lis... hahaha
Tapi lain kali klo kamu udh di posisi barisan sakit hati beneran, ketika numpahin emosi ke tulisan bakal lebih spektakuler deh wakakaka
Ayo nulis teruuuuus~
Aku juga suka statement cerita cinta ngga bs dicopas :*
iya gpp mba zuu. Maaf baru sempet bales nih.Wah kurang sakit yah mba zuu?
BalasHapusBaiklah, saya akan coba lagi biar lebih sakit hihi :D
Kayaknyamau nambah part 2 nya hihi
Makasih ya, mba Zuu {}