Selasa, 26 Mei 2015

[Cerpen] Barisan Sakit Hati - Ken! Pernah Mimpi ke Malioboro?

Duh, di malam tantangan OWOP. Daku malah nulis yang beginian. For mba Saa, Mba Nana, dan Mba Zuuu: Inilah cerpen barisan sakit hati yang mampu daku fiksikan. Entah berapa kali hapus dan terbengkalai tapi alhamdulillah selesai juga.

Kumcer: Barisan Sakit Hati
1. Versi Mba Naa --> Sang Maha Imajinatif
2. Versi Mba Zuu -->  Sensi
3. Versi Mba Naa --> Jodoh untuk Barisan Sakit Hati
4. Versi ke empat yang paling apa banget.



“Ken! Pernah Mimpi ke Malioboro?”
oleh Lisma Nopiyanti

“Pernah mimpi ke Malioboro?”
Huruf yang merangkai kalimat itu, terpatri benar di kepalaku. Entah aku mengartikannya janji atau sebuah ilusi. Aku pernah mendengarnya tapi samar-samar.

Pagi ini, mentari bersinar kuat. Terik membingkai udara di keramaian pagi ini. Aku merogoh ranselku. Mencari-cari alamat yang sedang aku telusuri sepagi ini. Kebenaran mengenai kertas bunga dan mozaiknya Azizah.

Rasanya, baru kemarin aku asyik bertani dengannya. Menanam banyak bunga di perkarangan. Menanam banyak buah di ladang bapak. Sekarang, aku harus menemuinya. Menulusuri rumah mertuanya. Ya, ini mozaikku yang sedang terpecah-belah. Sedang aku belum berusaha memperbaikinya. Kini aku tengah membantu merapikan mozaik Azizah. Diperjalan bus kota ini, aku terlena.

“Secepat itukah, mozaik Azizah tercipta? Begitu kreatifnya Sang Pencipta. Aku yang selalu berusaha memperbaikinya, namun Azizah yang lebih dahulu merapikannya dengan sebuah ijab” ada yang berjejalan dibenakku.

Perjumpaannya dengan Dody sungguh magis. Hanya beradu pandang ketika berjumpa di Malioboro dan bertemu dalam majelis ilmu di Jogja. Mozaiknya lalu berwarna. Entah apa yang ingin sang Pencipta tawarkan padaku, aku masih tetap menunggu.

Kriiing....kriiiingg...kriiinggg...

Assalamu’alaikum, Zah” jawabku sigap.

Wa’alaikumusalam, Ken. Kamu sudah berangkatkan?” Zizah yang menelponku.

“Sedang menikmati, Zah. Rumah mertuamu lumayan jauh. Hehehe” jawabku santai.

Yo wes, tak enteni tekamu yo, Ken**” bahasa daerah Zizah menyeruat.

“Yo, ojo nesu yo” jawabku asal.

Azizah tertawa dan tak lama menutupnya. Ketawanya sungguh bahagia. Mungkin bukan karena bahasaku yang entah kemana arahnya. Tapi, karena mozaiknya yang sekarang mulai berwarna.

“Besok, kalau Zizah ada waktu.. Aku harus mengajaknya ke Malioboro. Siapa tau, di sana, aku akan menemukan mozaikku” aku berbicara dalam hati, sekaligus tersenyum kekeh.

Kring...kriiiiing...kriiiing

Sekarang, Ari yang sibuk menelponku.

“Berkasmu mana? Sudah kuobrak-abrik isi lemarimu tapi tak ketemu juga” suaranya memekikkan telingaku dan mengganggu khayalku.

“Jangan ganggu aku, Ri. Aku sedang liburan. Siapa yang mengizinkanmu mengobrak-abrik meja kerjaku? Kan aku sudah jelaskan berkali-kali, bahwa berkas-berkas laporan keuangan, sudah ku antar ke ruanganmu seminggu yang lalu” jelasku pada Ari, yang selalu beranggapan kalau aku melalaikan perkejaan.

“Tapi, sudah aku cari! Tetap tidak ada. Kamu yang jelas dong, ini masa depan kita. Eh, masa depan kantor kita!” tingkahnya makin tak jelas.

“Kamu sekarang dimana, Ri? Coba cari di meja sebelah kiri. Map yang berwarna biru, aku letakkan paling atas” aku menjawab dengan pelan. Aku hanya tak ingin ibu-ibu di sebelahku ketakutan melihat kebuasanku saat menghadapi Ari si pikun ini.

“Ada! Ada! Mulai besok kasih catatan di mejaku! Awas kalau lupa! Dasar pelupa! Oleh-olehku juga!” telepon langsung terputus.

Aku menarik nafas sedikit lebih dalam. Jemariku mengepal dan ingin meremas wajahnya yang selalu berminyak itu. Atau kutarik rambutnya yang gagal gimbal itu. Ari benar-benar melatih kesabaranku. Padahal susah-payah aku selalu meletakkan catatan di atas meja kerjanya. Kemudian, aku yang selalu dihardiknya. Misteri hilangnya catatan itu, sungguh aku tak pernah mengerti. Oh, Allah. Aku tak tau mozaikku akan berwarna dengan siapa. Jikalau, Engkau izinkan aku memilih, jangan pilihkan Ari untukku. Aku sudah jengah menghadapi tingkahnya.

Aku menarik nafas sekali lagi. Perjalananku masih satu jam lagi. Aku tak ingin mengingat Ari. Mengingatnya akan membuat gigiku ngilu. Aku buang pandanganku ke arah jendela. Ku hibur hati dengan pemandangan sawah yang indah.

Duhai, kekasih yang selalu di hati. Aku menunggumu. Duhai, gadis yang selalu hadir dalam mimpiku. Di setiap tidurkuu...

Suara gitar memecah sunyi. Aku hampir senyum-senyum sendiri. Suara yang merdu sedang beradu mata denganku. Aku kaget. Dengan cekatan aku mengambil sisa uang di rok jeansku, aku lempar saja ke tempat pengumpul uangnya –bungkus air mineral bekas.

Hatiku berkata lagi: Apakah mozaikku akan berwarna dengan birama? Apakah suaranya merdu ketika metartilkan kitab suci? Atau membuatku meneteskan airmata ketika ia mengaji? Sadar! Aku sedang berangan lagi. Azizah benar-benar mengepung pikiranku. Ia meninggalkanku, ia lebih dulu berhenti di garis finish mozaiknya.

Sebentar lagi aku sampai, aku sudah tiba di tugu pal putih yang menandakan perjalananku akan segera berakhir. Aku turun dan berteduh di bangunan ruko-ruko. Bukan karena hujan, tapi berteduh dari sengatan mentari. Mungkin berteduh sudah kehilangan hujannya, seperti aku yang kehilangan mozaiknya. Sudahlah!

“Haiii, Ken!” Itu Azizah, dia memelukku. Lalu, di belakangnya. Aaah, ada si Dody. Mozaiknya Azizah.

“Akhirnya sampai juga, ya?” Azizah merangkulku dan suaminya membawa koper kecilku ke mobil mereka.

Alhamdulillah. Lunasi hutangmu, ya, Zah. Hehe” Aku terkekeh. Kodeku sedikit keras. Aku ingin Azizah mengingatnya.

“Malioboro, malioboro, yaaa” aku menyanyi tanpa irama. Lalu, ku lirik sedikit, Dody tersenyum. Aku khawatir, Azizah terlalu banyak bercerita tentangku pada suaminya itu.

“Mari” mozaiknya Azizah mempersilakan aku.

***
 
Seperti perjanjian yang lama itu. Azizah menepati janjinya padaku. Malam ini setelah makan malam bersama keluarga suaminya, aku diajak ke sana. Ya, bertemu mozaikku.

Tetap dengan kemejaku dan rok jeansku, aku melangkah ke luar dari mobil avanza berwarna hitam itu. Aku seperti anak mereka yang tengah kebingungan memilih jajanan. Mungkin berteriak: Ayo, ma! Ayo, pa! Belikan Ken jajan. Hehe. Aku bergurau. Tak pantas lagi aku merengek.

“Nah, inilah tempat pertamaku melihat mas Dody, Ken. Tepat ini.” Zizah menunjuk tempat berkumpulnya makanan khas Jogja. Apalagi kalau bukan gudeg.

“Iya, Ken. Inilah saksi ketika mozaiknya Azizah berwarna” celetupan Dody membuatku hampir histeris. Bagaimana dengan mozaik itu? Kenapa dia bisa tau? Aku lirik Zizah, dialah biangnya.

Aku hanya membalas dengan senyuman. Lalu, mereka mengajakku duduk  lesehan sambil menikmati alunan musik. Sebentar.. Aku mendengar sesuatu..

“Pernah mimpi ke Malioboro?”

Aku berdecak. Aku terdiam. Bagaimana mungkin kalimat itu sama persis. Aku melirik ada yang tersenyum dan aku mengenalinya.

Tapi, tunggu!

“Dorrrrr!” Azizah membangunkan lamunanku.

“Kamu tidur ya, Ken?” Azizah meledekku.

“Bercandanya jelek” dengusku.

“Lah, itu. Dari tadi mas-masnya sodorin pesanan, kamu malah diam” Zizah melanjutkan ledekannya.

“Mungkin aku lelah, Zah” aku tertawa kecil, juga Azizah dengan mozaiknya.

Sudahlah. Malam ini aku kembali mengingatnya, mengingat seseorang yang pernah berjanji mengajakku pergi ke Malioboro. Beberapa tahun berlalu, Ari dengan sakit pikunnya mampu melupakanku akan janji itu atau hanya ilusi itu. Bukan karena kungkungan sebuah rasa, tapi terlebih karena kesibukannya yang harus aku handle dengan baik. Juga bukan pemuda yang mengamen di bus tadi. Ini tentang dia yang pernah berjanji.

“Ayo, pulang, Zah. Aku mau istirahat” ajakku.

Loh kok loyo? Katanya mau cari mozaik?” Azizah terus meledekku.

“Mungkin dilain waktu, Zah” kataku letih.

“Sudahlah, Zah. Jangan menghardik sahabatmu itu. Nanti dia kehilangan semangat mencari mozaiknya” sekarang Azizah dan Dody tertawa keras.

Mungkin benar, aku takkan bisa mendapatkan cerita yang sama layaknya pertemuan Azizah dan mozaiknya. Tidak ada peristiwa yang bisa dicopas. Aku punya cerita sendiri dengan mozaik dan warnanya. Sang Pencipta punya cara yang lebih menarik. Tugasku hanya memperbaiki. Walaupun si penjanji takkan pernah menemuiku di Malioboro.

“Ken! Pernah mimpi ke Malioboro?”


Catatan:
**Ya sudah, aku tunggu kedatanganmu ya, Ken.


4 komentar:

  1. Lismaaaaa~
    Akhirnya ada yang nulis versi lain dari cerpen Barisan Sakit Hati, hahahahahaha xD

    Dan ini tentang mozaik, yah....
    Kenapa 'itu' harus disebut mozaik? Aku mikirnya jadi kayak puzzle gitu (padahal mah gak nyambung xD)

    Dan emang nggak ada kisah cinta yang bisa dicopas, setuju sekali :9

    BalasHapus
  2. Walaupun entah bagaimana hasilnya mba naa :$

    Iya sih mba naa, hampir sama sih sama puzzle. Tapi, mozaik lebih membuat saya tertarik. Karena menurut saya, mozaik adalah sebuah seni yang bisa menghasilkan sebuah gambar dari kepingan-kepingan kecil berwarna. ungkin saya memaknainya bahwa mozaik itu lebih berwarna mba naa *apasih

    Iya mba naa, gak bisa dicopas =D

    BalasHapus
  3. Waaah, akhirnya ada yang mau ikutan cerita barisan sakit hatii. Makasih lisma atas partisipasinya #udahkayakuisaja wakaka

    Betewe, aku udh pengen blogwalking dr kapan tau, baru bisa mampirnya sekarang. Maap yaa...

    Dan waw, aku baru mau bikin dari pov cowo lho lis, biar imbang (kemaren udh bikin dr pov cewe soalnya). Ntar deh kapan2...

    Ceritanya kurang sakit hati, Lis... hahaha
    Tapi lain kali klo kamu udh di posisi barisan sakit hati beneran, ketika numpahin emosi ke tulisan bakal lebih spektakuler deh wakakaka

    Ayo nulis teruuuuus~

    Aku juga suka statement cerita cinta ngga bs dicopas :*

    BalasHapus
  4. iya gpp mba zuu. Maaf baru sempet bales nih.Wah kurang sakit yah mba zuu?
    Baiklah, saya akan coba lagi biar lebih sakit hihi :D
    Kayaknyamau nambah part 2 nya hihi
    Makasih ya, mba Zuu {}

    BalasHapus