Cerpen: "Bukan Sepeda Guru Oemar Bakrie"

Bukan Sepeda Guru Oemar Bakrie
Lisma Nopiyanti

Terlahir dari kedua orang tua yang luar biasa telah menjadikan pribadiku kuat. Tak takut gelap tak silau mentari. Sebuah filosofi bapak, yang katanya memiliki arti tak takut miskin tak silau kekayaan.

Terkadang perlu beberapa kali pemikiran untuk benar-benar meyakinkan bahwa jawaban yang bapak lontarkan adalah benar. Sebab, tak ada korelasinya antara filosofi dan maknanya seperti yang bapak katakan. Tetapi, tak dapat kupungkiri filosofi itulah yang dapat membuat bapak bertahan sejauh ini tanpa adanya sang istri yang menemani. Ya, ibuku bekerja di luar negeri demi membesarkan aku dan menyambut mimpi-mimpiku. Mimpi-mimpi itu hanya terpaku pada keputusanku menjadi seorang guru.

Menurut bapak, ia sangat mengidolakan seorang guru bernama Guru Oemar Bakrie. Ia mendapatkan sosok guru itu, dari sebuah lagu di radio tuanya. Kala itu, stasiun radio yang sedang mengudara memutarkan tembang itu, Guru Oemar Bakrie, oleh penyanyi legendaris, Iwan Fals. Hingga bapak benar-benar mengidolakan sosok seorang guru. Dan saat ini, akulah harapannya. Akulah yang diharap bisa menjadi seorang guru, yang bisa mendidik dan memperbaiki akhlak anak-anak muridnya.

Melihat kenyataanku, bapakku tak hanya menunggu dan pasrah walaupun kesehatannya tak begitu baik. Bapak rela berladang melawan dinginnya subuh dan menahan panasnya terik mentari di siang hari. Demi mewujudkan mimpiku. Namun bapak dan ibu sedikit merasa lega, karena biaya sekolahku hingga menengah atas dibiayai pemerintah. Berkat yang Maha Kuasa, Allah Swt. Aku diberi kesempatan menerima beasiswa. Walau untuk keperluan sekolah yang lainnya aku dan keluargaku harus berusaha melengkapinya.

Minggu pagi, seperti biasa aku ikut bapak ke ladang, namun sebelum kepergian itu tiba-tiba pak pos datang.

“Assalamualaikum, selamat pagi, ada surat untuk keluarga bapak. Silahkan diterima” sambil menyodorkan sebuah amplop pada bapak.

“Terima kasih, pak” balas bapak kepada pak pos.

Mataku berbinar-binar karena aku yakin pak pos membawa surat wanita syurgaku, ibu.

“Surat dari ibu kan pak?” untuk menyakinkan diri.

“Siapa lagi kalau bukan Ibu, mad?” ayah menjawab dengan nada santai.

 Betapa bahagia hatiku, setelah penantian berbulan-bulan dan akhirnya menemukan jawaban. Inilah jalan satu-satunya untuk melepaskan kerinduanku dengan ibu. Sepucuk surat yang bagi mereka tak memiliki arti apalagi di jaman serba canggih seperti sekarang ini, tapi tidak untukku. Karena lewat suratlah aku dapat mengetahui keadaan ibu. Bahkan, ada dua atau tiga kali ibu mengirimkan fotonya, untuk apalagi kalau tidak sebagai senjata penumpas rindu.

Ia nampak cantik dibalut dengan kerudung dan senyum manisnya. Wajahnya yang teduh selalu memberikanku semangat. Semangat untuk mengejar mimpi dan tentunya membantu bapak. Wajahnya tak jauh berbeda ketika terakhir aku perjumpaan dengannya. Kalau sudah begitu bapak dengan gesit pergi ke pasar membelikan bingkai dengan harga sepuluh ribu untuk meletakkan foto separuh jiwanya, ibu.

Ketika aku menerima surat itu. Ada hal yang aneh dari biasanya. Surat yang diberikan pak pos sedikit lebih tebal. Entah kenapa. Aku penasaran, dan membukanya. Sekilas hanya terlihat selembar kertas berisikan kata-kata dan dibaliknya aku melihat beberapa lembar semacam lipatan rupiah, benar.

Assalamua’laikum yang tersayang,

Maafkan ibu, baru menyempatkan diri ‘tuk menulis surat rindu ini. Ibu sedang sibuk membantu majikan ibu, bisnis restorannya di sini sedang ramai. Ibu di sini baik-baik saja, sehat, tak ada kurang satupun. Majikan ibu sangat baik pada ibu, dan sangat menghargai keadaan ibu. Jangan khawatirkan ibu ya, nak. Ibu harap Ahmad dan bapak di kampung juga berbahagia dan baik-baik saja. Ibu sangat rindu berbagi dan bercanda bersama kalian. Belajarlah sungguh-sungguh, ibu akan menantikan selalu kabar bahagia mengenai prestasimu ya nak.Jaga bapak di sana, jangan biarkan bapak sakit ya.

Oh ya, Anandaku.Ibu selipkan beberapa rupiah ini untukmu, belikanlah sepeda. Agar ananda tak susah pergi ke sekolah. Sampaikan salam rindu dan sayang ibu kepada bapak ya nak. Ibu harap, ananda akan membalas surat ibu.

Peluk sayang, ibumu..

Aku haru, walau tak sempat kubiarkan air mata ini berderai. Hatiku damai, mendapatkan kabar bahwa ibu baik-baik saja. Apalagi majikan tempatnya bekerja baik dan sayang padanya. Aku ingat, waktu surat pertama ibu datang. Ia menceritakan secara detil bagaimana situasi rumah juga watak majikannya. Ternyata majikan ibu, ialah warga negara Indonesia yang beberapa waktu lalu memutuskan pindah ke negara asal suaminya, yaitu di Brunei Darussalam.  Untuk mengisi kekosongannya, majikan ibu Nyonya Briney membuka sebuah restoran masakan Indonesia, restoran yang tak terlalu mewah. Tetapi sayangnya, sudah hampir enam tahun menikah, mereka belum memiliki buah hati. Hingga akhirnya, Nyonya Briney sering memberikan uang lebih kepada ibu, untuk mengirimkan aku, anak ibu, di kampung. Sungguh ibu beruntung mendapatkan majikan sebaik Nyonya Briney.

Rupanya, aku hanyut dalam rindu. Ternyata bapak telah berlalu meninggalkanku. Ia begitu bersemangat berladang hari ini. Tanpa pikir panjang, aku segera menyusul bapak, tentunya lengkap dengan perbekalan yang telah aku dan bapak siapkan.

 “Pak, pak..........” suaraku memekik di tengah ladang sawah yang menguning dan siap di panen hari ini.

“Iya, mad. Ada apa?”

“Ibu titipkan uang, Pak. Ahmad, bisa beli sepeda, Pak......”

“Alhamdulillah”. Suara kami bersahut-sahutan.

“Ibu sehatkan, mad? Tanya bapak padaku, saat aku menghampirinya.

“Alhamdulillah, pak. Ibu baik-baik saja. Namun, tak ada foto ibu, pak. Ibu terlalu sibuk dengan pekerjaannya” jelasku pada bapak. Akulah juru baca bapak, karena memang bapak sering kesulitan jika harus membaca. Bukan karena tak bisa, tapi matanya yang mulai menua.

“Ya, tidak apa, mad. Yang penting ibumu masih sempat menulis surat untuk bapak, menulis surat rindu, ya untuk bapak, suami tercintanya” senyum mengembang dari bibir bapak, ia merasa dirinya selalu ada di hati ibu, dan begitu pun sebaliknya.

Tak perlu menghabiskan waktu yang lama, panen pun berakhir dengan kegembiraan. Kami para peladang telah berhasil menanam padi dengan baik. Selepas itu, membersihkan diri dan sholat berjamaah di surau dekat ladang. Serta mempererat silahturahmi dengan makan bersama di pinggir sawah. Melepas dahaga dan rasa lapar dengan sebuah tembang kesayangan aku dan bapak, Guru Oemar Bakrie.

...

Kokok ayam menjerit di muka jendelaku. Aku tersentak, dan segera bergegas menuju surau bersama bapak untuk melaksanakan kewajibanku juga bapak.

Terik mentari, menyembul makin luas. Bumi yang gelap perlahan menerang. Saatnya aku menunaikan kewajibanku sebagai seorang siswa. Seperti biasa aku harus pergi lebih awal dibandingkan yang lain karena jarak tempuh ke sekolahku sangatlah jauh. Di tambah lagi aku hanya menggunakan sepeda kumbang yang kata mereka sekelas guru Oemar Bakrie. Sepeda yang baru beberapa hari saja aku dapatkan. Sepeda yang telah lama bapak dambakan untuk kumiliki.

“Laju sepeda kumbang di jalan berlubang” sebaris lirik lagu itu.

Senin ini aku memang beruntung, upacara belum berlangsung lama. Lebih indahnya lagi tak ada yang mencurigai keterlambatanku pagi ini. Hanya berbekal sebuah topi berlambangkan OSIS aku mengikuti upacara dengan khidmat, walau dasiku entah kuletakkan dimana, walau ikat pinggangku entah dimana rimbanya. Bahkan sepatuku yang telah aku loakkan untuk membeli sebuah buku paket  berjudul “Matematika Mengasyikan” memaksaku memakai sepatu bekas hasil pinjaman bapak dari teman seladangnya. Bentuknya aneh, ya terpaksa. Lebih baik seperti ini. Daripada aku harus mengenakan sepatuku yang memang telah compang-camping, tak karuan bentuknya, lubang disana-sini.

Keberuntungan, memang menolongku. Aku juga selamat dari razia. Karena para guru telah memaklumi keadaanku. Aku yang hidup penuh kekurangan ini.

Ini bukan senin pagi yang pertama, bahkan mungkin senin yang tak kutahu berapa kalinya, atributku tak jelas. Rasa malu itu kerap menjejali hati kecilku. Bukan karena kemiskinanku, tapi hal yang paling aku takuti mereka atau teman-temanku yang lainnya mengira aku mengemis, mengemis perhatian para guruku. Sehingga, aku bisa mendapat nilai yang baik. Hanya itu.

Kadang usahaku yang gigih ini, harus berhadapan dengan mereka, anak-anak berkelas mewah. Aku selalu menjadi hiburan, yang mereka jadikan bahan tertawa. Semakin keras rasa sakit yang mereka hadirkan, maka keinginan untuk suksesku lebih membara. Sebisa mungkin aku sisakan beberapa menit saja untuk belajar di sela-sela kesibukkanku berladang, membantu ayah. Terima kasih ibu, sepeda kumbangmu telah membantuku mengayuh lebih banyak ilmu. Semenjak itu juga, aku sering pergi ke perpustakaan sekolah. Semakin rajin. Sebab, jarak yang jauh itu telah dikalahkan sepeda kumbangku, sepeda Guru Oemar Bakrie kata bapak.

Hingga saat ujian penutupan kelas terakhirku di sekolah menengah, aku berhasil meraih prestasi membanggakan. Aku bisa lulus dengan nilai terbaik, dan hadiahnya aku bisa melanjutkan pendidikanku ke kota. Usaha dan doaku yang sungguh-sungguh, menghasilkan keberhasilan yang sungguh luar biasa. Alhamdulillah, terima kasih Allah.

...

Kabar gembira ini, kulampirkan pada surat rinduku pada ibu. Juga surat permohonan izinku untuk pergi menuntut ilmu ke kota. Mengejar cita-citaku, cita-cita bapak. Cita-cita kita. Menjadi seorang guru. Aku ingin membagi cerita bahagia pada ibu. Terutama tentangnya, tentang sepeda kumbang, sepeda Guru Oemar Bakrie. Sekaligus, membunuh rindu yang semakin menjadi. Sebab sudah beberapa bulan, ibu tak menyapa dan membalas surat rinduku, surat rindu kami tepatnya. Bapak merindukan ibu. Koleksi fotonya tak bertambah sejak surat terakhir ibu yang mengenalkan aku dengan sepeda kumbang itu. Kutulis saja, hanya setengah halaman, selesai. Kubungkus, kemudian kuhantar.

Berhari-hari aku menanti, tak jua kutemui pak pos berkunjung. Hingga akhirnya, aku harus pergi meninggalkan bapak ke kota. Berkemas, dan tak kutinggalkan sepeda kumbangku serta salah satu buku favoritku “Matematika Mengasyikan” untuk perbekalan.

...

Setelah 2 tahun berlalu, aku teramat ingin mengunjungi bapak. Tepatnya, libur setelah ujian semester, aku pulang. Berladang dengan bapak, itulah caraku memeluknya. Mengetahui niatku, bapak menanti di ujung setapak menuju rumah. Sawah-sawah siap panen, aku tertawa-tawa bersama bapak, mendengar kabar ibu tetap bahagia. Dan koleksi foto ibu semakin banyak. Hampir dua puluh bingkai. Bapakku, mungkin kerinduanmu pada ibu lebih besar dibanding aku.

Mengisi waktu liburku, aku tak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Kucoba berbagi ilmu pada adik-adik yang tak seberuntung aku. Sehabis membantu orang tuanya berladang, aku mencoba memberikan mereka semacam les secara gratis dengan tempat dan materi seadanya. Setidaknya, mereka memiliki ilmu walau saat ini masih sangat terbatas. Membina dan mendidik mereka, memang payah. Kadang aku harus beberapa kali mengulangnnya. Namun, aku percaya keikhlasan hati menolong saudara-saudaraku akan dipermudah oleh Sang Kuasa.

Semuanya selesai, saatnya aku beristirahat. Mataku sayuh dan hampir terlelap. Muncul sekelebat suara hebat memanggil namaku. Aku tersentak dan terbelalak. Kulihat seorang laki-laki dewasa menghampiriku dengan nafas terengah. Aku bingung. Tiba-tiba, bapak segera menyambut laki-laki itu dengan sigap.

“Ada perempuan yang ingin bertemu kamu. Sepertinya ia ingin menyampaikan sesuatu yang sangat penting” pesannya kepada bapak.

Bapak bergegas pergi bersamanya, menuju rumah ketua RT.

Aku tak tenang, aku mengkhawatirkannya. Aku menyusulnya dengan sepeda kumbangku, sangat kencang. Hingga akhirnya tersungkur aku dihadapan mereka. Badanku gemetar dan terasa dingin. Sesak penuh luka. Aku dan mereka bergegas pergi menuju ke sebuah rumah sakit elit.

Apalah daya bapak, juga aku. Melihat perempuan tak berdaya terbaring di sana. Siapa lagi kalau bukan wanita yang selalu kurindu. Aku dan bapak hanya termenung, tak dapat berkata. Perasaan yang ada semua menyumbul satu per satu. Rasa ingin kumarahi perempuan itu, ingin kupukuli sampai mati. Tapi, aku tak dapat meningkari dialah yang merawat ibu di sini serta membiayainya. Apa kata Allah, jika melihatku menumpahkan darah kepada seseorang yang tengah berjuang menobati ibu, berjuang mencari alamat rumahku, demi ibu.

Aku menyesali, apakah sepeda kumbangku ini yang menyebabkan semuanya terlihat menyakitkan. Ibu sakit, dan itu karena ulahku, cita-citaku.

Semenjak kejadian itu, keadaan ibu tak senormal dulu. Wajahnya pun sulit kukenali. Dia tak lagi bisa tersenyum, kulihat hanya ketakutan yang menghantuinya. Kulihat juga bapak, ia bermalas-malasan pergi ke ladang setelah itu. Ia merasa sangat bersalah, melepaskan ibu jauh di sana. Matanya bengap. Suaranya serak. Bapak benar-benar terluka.

Liburku bersisa hari ini. Mau tidak mau, esok aku akan berangkat. Karena perkuliahanku akan segera dimulai. Bapak pun telah menegurku untuk berangkat menjemput mimpiku, mimpi kita. Aku ia kan saja, karena tak ingin melukai hati bapak semakin dalam. Aku tau ini sangat berat. Melepaskan kedua tanganku untuk mengurus ibu juga bapak. Namun, keadaan berkata lain, ibu sedikit meresponku. Ketika aku berpamitan ia tersenyum sangat manis padaku.

“Ibu, bapak, izinkan Ahmad pamit. Doakan Ahmad sukses” sambil membawa sepeda kumbangku yang nantinya akan ku titipkan pada truk pamanku yang hendak pergi ke kota juga.

Berat aku langkahkan. Aku sangat terpukul dengan kejadian ini. Namun aku tak bisa menyalahkan ibu, keputusannya sangat mulia. Menyelamatkan Nyonya Briney dari kekejaman para penjahat itu.

...

Aku pulang. Aku berhenti. Biarlah aku berjuang dengan sepeda kumbangku di sini, dikampung ini. Membagi beberapa ilmu yang aku punya, walau belum seberapa. Aku tak ingin kerinduan pada ibu, makin menyiksa. Biarlahku patahkan. Aku akan mengurus ibu dan bapak di sini. Dengan berladang dan berbagi ilmu. Hanya ini yang mampu ku tuliskan, di buku catatanku.

Biar, biarlah. Tasku bukan dari kulit buaya, mungkin hanya tas biasa

Seruputku dipagi hari dengan kopi, bersiap memberi pelajaran

Ku lihat siswa-siswiku telah menanti

Walau tanpa seragam dan alas kaki

Sekali lubang dihadapku, sepeda kumbangku takkan berhenti

Berharap aku bisa ciptakan materi supaya siswa-siswiku jadi menteri

Tapi sayang sepedaku, bukan sepeda Guru Oemar Bakrie yang bisa menjadi pegawai negeri

Dan diupah gaji walau gigit jari

Karena Bapak telah mengajarkan, jangan disilaukan kekayaan harta benda

Aku masih bisa berbahagia tanpa harta

Aku masih berbahagia, saat bisa membagi ilmu-ilmu yang kupunya

Lihatlah muridku kini, belajar di tengah ladang

Bersemangat ingin menangkap ikan-ikan

Sekali lagi, sepeda kumbangku, bukan sepeda Guru Oemar Bakrie..

****