Nama saya Lisma Nopiyanti, tetapi biasanya
teman-teman khususnya teman akrab saya memanggil saya dengan sebutan mot. Kata
mereka itu panggilan kesayangan untuk saya. Saya lahir di sebuah desa di daerah
Salek Jaya. Tepatnya di Provinsi Sumatera Selatan dengan Palembang sebagai
ibukotanya. Di daerah yang mendapat julukkan “kota pempek” inilah, saya dilahirkan. Ya, di sebuah desa terpencil
yang masih menggunakan sepeda sebagai alat transpor-tasinya. Bahkan untuk
merasakan terangnya lampu pada malam hari, penduduk sekitar harus menggunakan
akumulator.
Sungguh memprihatinkan, namun keadaan itu tidak mampu menu-tupi
indahnya kebersamaan di sana. Ibarat pepatah suka sama dijinjing ringan sama
dipikul. Itulah semboyan mereka. Setiap kesedihan mereka rasakan bersama dan
saat kebahagiaan hadir di hadapan mereka, mereka selalu membaginya. Selain
pemasokan listrik yang belum memadai, kurangnya tenaga medis di sana pun memaksa
persalinan ibu hanya dibantu oleh seorang dukun beranak. Tepatnya pada hari
minggu pagi, 27 November 1994 kira-kira sekitar pukul enam pagi saya terlahir
ke dunia, tetapi saya tidak dilahirkan seorang diri, rupanya Allah memberi saya
saudara kembar. Alhamdulillah.
Kelahiran saya pun menjadi perbincangan
hangat di lingkungan desa. Bagaimana tidak memiliki anak kembar adalah suatu
hal yang luar biasa. Bapak yang tidak pernah menduga akan hal itu hanya
memiliki persediaan untuk satu orang bayi saja, baik perlengkapan bahkan nama.
Tanpa pikir panjang bapak memutuskan untuk pergi ke sebuah pasar dadakan yang
hadir setiap hari minggu itu, demi melengkapi persediaan yang ada. Sesampainya
di pasar, ternyata bapak mendapatkan bonus dari sang penjual. Sang penjual yang
baik ini, memberikan perlengkapan secara cuma-cuma kepada bapak sesaat setelah
bapak menceritakan kelahiran anak kembarnya. Tak ketinggalan juga para tetangga
yang baik hati, memberikan sumbangan berupa perlengkapan bayi yang dulu
digunakan saat proses kelahiran anak mereka. Kehangatan memang tergambar jelas
di lingkungan desa yang sederhana ini. Saya tak pernah merasa terkucilkan
walaupun saya dibesarkan dari desa yang penuh kekurangan ini. Alam yang indah
serta menyejukkan mata mampu menghapuskan segala kekurangannya.
Saya benar-benar beruntung dilahirkan di
tempat ini tentunya bersama saudara kembar saya. Bagi saya terlahir sebagai
anak kembar adalah anugerah paling indah yang pernah Sang Pencipta berikan
kepada saya. Terima kasih Allah, karena
saya yakin tidak semua orang memiliki kesempatan yang sama seperti halnya saya.
Bahkan banyak juga diantara mereka terlahir cacat atau kembar siam.
Beruntungnya, saya tidak merasakan hal semacam itu. Alhamdulillah saya dan
saudara kembar saya terlahir dalam keadaan sehat dan sempurna. Lisda Nopiyana, itu nama saudara kembar saya.
Nama itu adalah nama alternatif yang diberikan oleh bapak karena nama pertama
yang telah bapak siapkan hanya satu dan untuk satu anak saja, yaitu Diah
Renita. Siapa sangka anak yang terlahir kembar. Ternyata nama tersebut memiliki
makna yaitu Lisma, artinya pertama karena saat itu saya terlahir pertama
dibanding saudara kembar saya. Lisda, ya artinya kedua, sedangkan Nopi itu
menunjukkan bulan kelahiran saya yaitu bulan November dan nama Yana dan Yanti
hanya tambahan.
Saya dibesarkan oleh orang tua yang luar
biasa hebatnya. Orang tua yang selalu mengajarkan saya untuk hidup mandiri dan
hemat. Terutama bapak, sifat bapak yang sedikit lebih keras membuat saya
terlahir menjadi anak yang mandiri. Mungkin di luar sana masih ada perempuan
seusia saya yang sama sekali tidak bisa memasak. Tetapi, itu tidak berlaku bagi
saya. Sejak kelas lima SD saya dan saudara telah diberikan bekal oleh bapak
serta ibu untuk gotong-royong membantu pekerjaan rumah yang biasanya dikerjakan
oleh bapak dan ibu. Setelah mandiri, pelajaran yang selanjutnya adalah hemat.
Bapak memang benar-benar mengajarkan hemat. Pernah suatu ketika, saat kenaikan
kelas yaitu dua SMP. Biasanya setiap tahun ajaran baru semua peralatan baik
buku, sepatu, bahkan baju berganti menjadi yang baru. Begitu juga dengan
teman-teman saya. Saat itu saya juga merasakan hal yang sama. Saya ingin
memiliki sepatu baru. Karena sepatu yang lama itu terlalu jadul. Ya, walaupun
ketika itu keadaan sepatu masih layak pakai. Akhirnya, saya memberanikan diri
berbicara kepada bapak tentang keinginan itu. Apa yang saya dapatkan? Hanya
sebuah kata penolakan. Bapak mengatakan bahwa sepatu itu masih bagus dan masih
bisa dipakai untuk satu semester lagi. Lagi pula, tidak ada kerusakan yang
fatal pada sepatu jadul itu. Mau tidak mau saya harus menerima keputusan itu.
“Belajarlah untuk hemat, kalau masih bisa dipakai kenapa harus beli yang baru”
begitu pesan bapak. Rasanya memang tidak ada salahnya, jika mengambil keputusan
untuk hemat dengan syarat tidak boleh berlebihan. Takutnya, kata hemat itu
lama-lama akan menjelma menjadi sebuah sikap yang menakutkan, yaitu pelit.
Selain mengajarkan untuk mandiri dan hemat, mereka
juga orang tua yang selalu mengingatkan saya betapa pentingnya agama dalam
hidup saya. Alhamdulillah saya telah mendapatkan ilmu agama sejak kecil. Bahkan
sejak umur lima tahun pun ibu mulai mengajak saya sholat. Meskipun saat itu
saya belum memahami apa sebenarnya sholat itu. Kebiasaan dari kecil ini membawa
dampak yang baik untuk pekembangan saya ke depannya. Selain itu, saya tidak
akan mendapatkan izin keluar rumah jikalau waktu sholat telah tiba dan saya
belum menunaikannya. Pertama memang karena paksaan, namun lama-kelamaan saya
benar-benar memahami bahwa sholat yang paling baik itu adalah sholat yang tepat
waktu. Pelajaran selanjutnya setelah sholat ialah puasa. Masih jelas diingatan
saya, saat saya masih duduk di bangku Taman Kanak-kanak (TK) saya mulai belajar
berpuasa. Bukan sampai tenggelamnya matahari hanya setengah hari saja yaitu
sekitar pukul 12.00 WIB. Pada dasarnya semua hal yang baik akan lebih baik lagi
jika diterapkan sejak kita masih kecil karena proses yang berlangsung sejak
dini dan secara terus-menerus akan menghasilkan sesuatu kebiasaan yang baik.
Seperti pepatah, ala bisa karna terbiasa. Pasangan orang tua yang hebat itu
adalah bapak Suyanto dan ibu Siti Khodijah yang menikah pada tanggal 12 April
1992. Subhanallah.
Saya menghabiskan masa kecil di desa
terpencil yang penuh dengan kekurangan itu. Hingga pada akhirnya saya dan
keluarga pindah ke kota. Sebelum kepindahan itu saya sempat merasakan bagaimana
rasanya duduk di bangku Taman Kanak-kanak (TK). Masa dimana semuanya serba ibu
karena memang setiap pagi ibu harus menyiapkan bekal yang akan saya dan saudara
kembar saya bawa. Semuanya serba sama, nyaris
tak ada yang berbeda. Entah itu tas, sepatu, ikat rambut, ikat pinggang, kaos
kaki, dan lain sebagainya. Ya, sejak masih bayi semua yang saya dan kembaran
saya kenakan selalu sama. Masih tergambar jelas dalam ingatan saya ketika ibu
guru meminta saya berdiri ke depan kelas dan menyanyikan sebuah lagu. Saya
terdiam dan merasa takut tetapi ibu guru tetap saja memaksa. Keadaan tertekan
ini, membuat saya memberanikan diri
untuk berdiri ke muka kelas tetapi tidak untuk menyanyi terlebih hanya menuruti
apa yang ibu guru katakan tadi. Saya yang merasa makin ketakutan saat berada di
muka kelas ini mulai kehilangan kendali. Saya menangis sejadi-jadinya di muka
kelas. Kelas yang tadinya hening, pecah menjadi lautan tawa. Teman-teman yang
tadinya terdiam, terpingkal-pingkal melihat ulah saya. Tangisan saya pun
berhenti ketika ibu guru meminta saudara kembar saya untuk bernyanyi
bersama-sama. Walaupun tangisan berhenti, tetap saja saya tak mau bernyanyi. Semua
ini saya dapatkan hanya tiga bulan saja karena setelah ini saya dan keluarga
pindah ke kota.
Kepindahan ini dikarenakan bapak pindah
tugas. Ya, bapak saya yang bertugas sebagai tulang punggung keluarga yang bekerja
menjadi seorang pahlawan tanpa jasa di SMP Negeri 1 Salek Jaya harus berpindah
ke SMA Negeri 1 Pendopo. Selain menjadi tenaga pengajar di sana khususnya mata pelajaran matematika, bapak juga
menjabat sebagai wakil kepala sekolah bagian kurikulum di sana. Untuk menambah
penghasilan, bapak juga membuka les privat di rumah. Sedang, ibu saya hanya
seorang ibu rumah tangga biasa. Sebenarnya dulu sewaktu tamat SMA ibu pernah
memiliki keinginan menjadi seorang perawat. Namun, keinginan ibu tidak didukung
orang tuanya. Kepercayaan “wanita itu
tempat kerjanya hanya di dapur dan di rumah” masih lekat dipikiran
orangtuanya. Akhirnya, ibu harus mengubur keinginannya dan sekarang menjadi ibu rumah tangga biasa.
Ibu saya adalah sosok wanita yang tidak kenal lelah. Untuk membantu bapak
mencari nafkah, ibu membiasakan diri menjadi seorang wirausaha walaupun hanya
kecil-kecilan. Ibu mulai mencoba terjun ke dunia kewirausahaan ini saat
mengandung anak pertama hingga sekarang. Keripik singkong, itulah olahan yang
ibu saya jual. Dari warung ke warung hingga ke minimarket-minimarket terdekat.
Dari satu kilo singkong sekarang bisa berkarung-karung singkong yang
dihabiskan.
Nikmat Allah sungguh luar biasa, ini juga sekaligus
jawaban dari doa-doa dan usaha kami selama ini. Karena pada tahun ini, bapak
harus menanggungbeban demi membiayai saya dan saudara lainnya mengenyam
pendidikan di perguruan tinggi. Kakak tertua di keluarga saya, saat ini sedang
mempersiapkan skripsinya di salah satu universitas di Bandung tepatnya
Universitas Komputer yang disingkat dengan UNIKOM yang katanya menjadi
universitas salah satu personil boyband ternama Indonesia. Jufri Bagus Rahmawan
itu namanya. Biasa dipanggil Mas Jufri.
Karena kata ibu itu panggilan orang jawa untuk laki-laki yang lebih tua
daripada kita. Kebetulan saya memang berasal dari suku Jawa. Pria kelahiran 30
Maret 1993 ini, sangat menggemari olahraga basket. Dia adalah kakak terhebat
bagi saya. Karena kami berdua adalah patner yang sama dalam hal tim sepakbola.
Saya dan kakak saya sama-sama menyukai sebuah klub dari Inggris yang terkenal
dengan julukan “Red Devils”. Bagi
saya, mas Jufri adalah pemberi informasi yang paling baik. Semua hal mengenai tim kesayangan saya ini tidak ada yang
terlewatkan mulai dari pemain hingga asal-usul nama tim itu sendiri. Saya pun
mendapat dukungan dari saudara kembar saya yang ternyata diam-diam menyukai tim “Red Devils” ini. Kami bertiga mulai berlomba-lomba mengumpulkan
kostum yang dikenakan pemain saat bertanding.
Selain kompak dengan tim kesayangan, saya
dan saudara yang lainnya pun terlihat kompak ketika menyukai jenis makanan.
Salah satunya, keripik setan. Bukan
karena bentuknya seperti setan tetapi karena rasa pedasnya diluar tingkat pedas
orang-orang biasanya. Keripik yang didapat setelah penantian yang lama karena
di daerah saya belum ada gerai makan atau minimarket yang menyediakannya.
Terpaksa harus menunggu hingga kepulangan sang kakak tercinta. Hanya oleh-oleh
itu yang tidak pernah absen, kami request
disetiap kesempatan kepulangan Mas
Jufri. Walaupun rasanya persis dengan namanya, itu semua tidak meluluhkan niat
kami untuk itu. Saya dan saudara kembar saya selalu mempersiapkan sesajen ketika ingin menyantapnya. Kami
terlebih dahulu menyiapkan minuman manis sebagai antisipasi saat rasa pedas
menghampiri. Tetap saja rasa pedas itu menyiksa lidah saya. Bahkan airmata
menetes dengan sendirinya. Kenikmatannya itu terletak pada bumbu cabai yang
khas itu. Lain halnya dengan sang kakak, yang selalu menyediakan satu gelas
susu yang akan diminumnya setelah melahap kripik tersebut. Alasannya supaya
perut tidak kontraksi.
Dalam dua hal ini kami bertiga terlihat
kompak. Namun, tidak ketika sedang berbagi tugas membersihkan rumah. Saya dan
saudara kembar saya memiliki porsi yang jauh lebih banyak dibanding sang kakak.
Menurutnya, anak tertua itu harus dimanja ditambah lagi karena dia anak laki-laki
satu-satunya di rumah. Sebab pekerjaan rumah yang saya dan saudara kembar saya
lakukan adalah pekerjaan perempuan yang tidak seharusnya dia lakukan. Kalau
sudah begini pasti cecok mulut hadir. Saya yang cenderung lebih cengeng dibanding yang lainnya hanya
bisa menangis kesal. Namun hal semacam itu tidak berlangsung lama mungkin hanya
satu sampai dua jam. Setelah itu, suasana kembali seperti biasanya.
Ternyata sifat cengeng ini menular. Adik saya, yang bernama Indah Putri Rahma Sari
hampir memiliki sifat yang sama. Hanya bedanya adik saya lebih percaya diri
dibandingkan dengan saya. Saya tergolong orang yang pemalu. Orang yang lebih
memilih diam di setiap kesempatan yang saya anggap asing. Sifat percaya diri
yang dimiliki adik saya ini terbukti pada saat dia mengikuti semua perlombaan
yang diadakan di sekolahnya hingga pada suatu ketika dia menawarkan diri kepada
gurunya agar dia bisa mementaskan sebuah tarian ketika acara perpisalahan kakak
kelasnya. Terakhir dia memenangkan lomba vokal grup yang semua gerakannya
berasal dari pemikirannya sendiri. Dia berhasil merebut juara ketiga bahkan
setelah itu, kakak kelasnya ingin berlatih menari dengan menempatkan adik saya
sebagai koreografernya. Ternyata dia
mengikuti jejak saya karena ketika duduk
dibangku SD, saya terhitung sering menampilkan sebuah tarian khas Palembang
yaitu Gending Sriwijaya.
Perempuan kecil kelahiran 6 Januari 2004
ini, sekarang sedang menempuh pendidikannya di sebuah SD dekat rumah yang
dulunya menjadi tempat saya dan saudara kembar saya menimba ilmu, yaitu SD
Negeri 17 Pendopo. Dari kelas 1 SD
hingga kelas 4 SD, dia selalu menduduki peringat tiga besar di kelasnya dan
yang lebih membanggakannya lagi dia
mengikuti TK/TPA Ar-Rohim (Taman Kanak/Kanak atau Taman Pendidikan Alqur’an)
yang mendapatkan peringat kedua saat pengambilan hasil evaluasinya. Tidak jauh
berbeda ketika saya menimbah ilmu di SD.
Saya dan kembaran saya selalu mendapatkan
peringkat yang baik, tetapi entah kenapa saat kelas 2 SD saya mendapatkan
peringkat ke tujuh dan saudara kembar saya harus puas berada di peringkat lima.
Setidaknya dia lebih beruntung dibandingkan saya. Waktu itu tepatnya sabtu
pagi, ibu saya pergi ke sekolah karena semua wali murid hari ini diharuskan
datang untuk pengambilan raport. Kebetulan saat itu saya memutuskan untuk tidak
ikut ibu ke sekolah karena saya merasa yakin bahwa semua nilai yang saya
dapatkan baik. Setelah pembagian raport, ibu bergegas kembali ke rumah. Setibanya
di rumah, ibu hanya diam dan menyodorkan hasil pembelajaran itu kepada saya. Alhasil
dengan semangatnya saya rebut raport itu dengan semangat. Saya terkejut ketika
melihat peringkat yang tertulis di kolom itu adalah angka 7. Saya yang memang
memiliki sifat cengeng, seketika menangis tersedu.
Begitu pula halnya dengan saudara kembar
saya. Saya dan saudara kembar saya sama-sama tidak percaya dengan apa yang kami
dapatkan sekarang ini. Kami berdua benar-benar kecewa, namun bapak dan ibu
tetap menguatkan dan meminta saya dan saudara kembar saya agar lebih rajin
belajar. Padahal saya dan saudara kembar saya mampu menjawab soal dengan baik
dan belajar dengan giat. Apa daya hasil yang saya dapatkan tidak sesuai dengan
keinginan saya, sungguh memprihatinkan. Sebenarnya bukan hanya itu saja yang
membuat saya begitu kecewa. Satu hal yang lebih membuat saya kecewa. Saya tidak
mendapatkan hadiah dari wali kelas. Perasaan manusiawi yang dirasakan setiap anak
SD ketika ia melihat temannya mendapatkan hadiah tetapi tidak untuk dirinya
sendiri.
Seirama dengan adik perempuan, saya juga
mengikuti TK/TPA tetapi bukan di Ar-Rohin melainkan di An-Nazzah. Berbeda
dengan adik saya yang selalu tampil berani dan percaya diri. Saya dengan sikap
malu, merasa takut saat pertama kali mengikutinya. Sedangkan saudara kembar
saya tampil lebih berani dibanding saya. Tak terasa kegiatan hari ini selesai
walaupun harus dilewati dengan rasa takut. Ketika diperjalanan pulang, aku
berlari dengan kencangnya. Tidak mempedulikan keadaan jalan. Rupanya di tengah
jalan ada sebuah batu yang lumayan besarnya dan saya tergelincir. Seragam yang
saya kenakan kotor pada bagian lututnya sobek. Malu, saya benar-benar malu.
Jika berbicara prestasi, setidaknya adik
saya lebih baik dan pintar jika dibandingkan dengan saya. Sebenarnya menurut
bapak, anak yang pintar itu bukan sekedar yang mengerti apa itu IPA atau IPS
atau matematika, tetapi, anak yang pintar itu adalah anak yang meletakkan dunia
dan akhiratnya secara seimbang. Bukan hanya terfokus pada pelajaran tetapi juga
pada agama. Bapak dan ibu yang memang membiasakan anak-anaknya sejak usia dini
melakukan perintah Allah ini. Nampaknya memberikan efek yang berbeda pada diri
saya. Hingga pada saat saya menginjak waktu remaja. Pada saat itu mungkin remaja lainnya
mengalami kesulitan ketika ingin melaksanakan shalat dengan berbagai alasannya,
syukur Alhamdulillah itu tidak saya
rasakan.
Prioritas lain yang bapak terapkan kepada
anak-anaknya adalah jenjang pendidikan yang harus kami dapatkan adalah sekolah
negeri. Seiring dengan hal itu, saya menikmati tiga tahun waktu SMP di sebuah
SMP Negeri 1 Pendopo. Tepatnya sekolah
dimana bapak saya bertugas. Itu bukan artinya saya bebas melanggar peraturan
yang ada. Terlebih berada di posisi seperti saya sekarang ini adalah posisi
yang sulit karena saya harus membuktikan bahwa saya adalah anak dari bapak Suyanto
seorang guru matematika yang memiliki adab. Bukan berarti itu menjadi beban
saya, karena seharusnya hal itu harus dijadikan semangat saya dalam menempuh
pendidikan disini. Tanpa diduga-duga Alhamdulillah,
saudara kembar saya diberikan amanah untuk menjadi ketua OSIS. Bukan
semata-mata karena bapak. Sebenarnya, ada beberapa orang yang dicalonkan, tetap
saja Lisda yang terpilih. Menurut penjelasan Pembina OSIS, saudara kembar saya
memiliki kriterianya bukan karena memandang bapak sebagai rekan kerjanya.
Sementara saya menjadi sekretarisnya. Tentu saja ini akan menjadi sebuah
pelajaran yang luar biasa bagi kami berdua. Saya dan saudara kembar saya pun
bertekad untuk membuat bapak bangga dengan cara menjalani amanah ini dengan
baik. Bapak tak banyak bicara, hanya bertanya apakah benar Lisda dipilih
menjadi OSIS. Sebaris pertanyaan itu saja, kemudian ditambah sedikit wejangan
jalanilah semuanya dengan baik.
Alhamdulillah, semuanya
berjalan dengan lancar dan baik. Salah satunya ketika rencana studytour kami mendapat restu sang
Kepala Sekolah. Proposal yang susah payah dibuat dapat ditandatangani sang
Kepala Sekolah. Saat itu proposal yang saya buat ialah pengajuan studytour ke PTBA ditambah dengan wisata goa Putri dan
Air terjun bedegong. Pengalaman yang
mungkin tidak akan saya dapatkan dua kali. Seminggu sebelum keberangkatan saya
dan teman-teman disibukkan dengan peserta yang ingin mendaftar studytour. Lumayan semua siswa ikut
antusias. Mentari mulai terbit, tibalah hari keberangkatan. Semua persiapan
telah disiapkan. Bus dipenuhi siswa-siswi dengan seragam putih-birunya. Sebuah
perusahaan batubara yang akan dijadikan tujuan utama. Rasa takjub menghampiri
saya ketika kali pertamanya saya menginjakan kaki di sana. Perusahaan ini
termasuk salah satu perusahaan terbesar yang dikelola di daerah ini. Hal ini
disebabkan penghasilan utama di daerah tersebut (Muara Enim) adalah batubara.
Jadi, wajar jika perusahaan ini terlihat begitu luar biasa. Semua tersusun
rapi, bersih, dan indah. Kedatangan saya dan teman-teman pun disambut oleh
pihak perusahaan. Agenda pertama yang akan dilakukan ialah penjelasan dari
pihak perusahaan yaitu mengenai bagaimana batubara diproduksi. Setelah itu,
dilanjutkan dengan turun ke lapangan melihat kondisi di luar. Saya dan
teman-teman dikumpulkan di sebuah ruangan yang dilengkapi dengan fasilitas
proyektor. Di ruangan itu saya dan teman-teman menyaksikan sebuah video
dokumenter mengenai produksi batubara. Dilanjutkan dengan sebuah perjalanan
menuju lapangan. Saya dan teman-teman pun mendapatkan kesempatan menjadi pegawai.
Saya dan teman-teman diizinkan melakukan perjalanan dengan menggunakan bus
perusahaan. Sebelumnya saya dan teman-teman diwajibkan menggunakan helm
keamanan. Persis pegawai di perusahaan, bedanya saya dan teman-teman tidak
menggunakan seragam pegawai melainkan seragam putih-biru. Sesampainya di
lapangan saya benar-benar bedecak kagum, pemandangan yang saya dapatkan sungguh
indah. Dari kejauhan nampak mobil-mobil besar yang lalu lalang. Saya dan
teman-teman hanya diizinkan melihat dari kejauhan saja, tepatnya di atas bukit.
Walau tidak terlalu dekat semuanya terlihat jelas. Sungguh besar kuasa Sang
Pencipta, sumber daya alam yang tersebar di seluruh bumi ibu pertiwi yang
semuanya dapat dimanfaatkan dan ini tugas kami para generasi muda untuk terus
melestarikan dan menjaganya dengan baik. Keterbatasan waktulah yang harus
memisahkan kami dari tempat yang menajubkan ini. Keadaan ini ditambah karena
cuaca tidak mendukung kedatangan kami. Tiba-tiba, hujan turun dengan derasnya.
Tentu saja ini memaksa kami untuk lekas kembali ke perusahaan dan melanjutkan
perjalanan selanjutnya.
Diguyur hujan sepanjang perjalanan ke goa
putri, membuat jalanan ke goa sedikit licin. Cuaca sejuk ini pun memaksa kedua
mata saya untuk terlelap. Setiba disana, teman disamping kiri saya segera
membangunkan saya. Beruntung cuaca hanya mendung tak lagi hujan. Sebelum pergi
ke goa, kami bersama-sama menunaikan sholat dzuhur terlebih dahulu. Sholat
selesai, itu artinya saatnya kami menuju goa. Perasaan gembira pun
menghantarkan kami hingga ke dalam goa. Gelap, itulah kesan pertama yang kami
dapatkan. Hingga kami menemukan bau yang entah berasal dari mana. Di atas goa
tersebut dihiasi dengan relief-relief. Sedikit berhati-hati dan tertatih-tatih kami
langkahkan kaki kami, sebab jalanan di dalam goa benar-benar licin. Jika tidak
berhati-hati kami akan terjatuh. Keadaan goa yang makin terjal dan licin
membuat kami kehilangan izin. Krisis kepercayaan, saat itu kami tidak mendapat
kepercayaan untuk melanjutkan peerjalanan. Sang Pembina terlalu khawatir akan
terjadi suatu hal kepada kami, terlebih karena kami perempuan. Walau sedikit
kesal, kami memutuskan untuk mematuhi apa yang diminta sang Pembina. Kami
berbalik arah. Bukan perjalanan yang sia-sia, ternyata saat kami berbalik arah
seorang teman saya mengatakan bahwa di dekat jalan keluar ini akan kita temukan
pemandian sang dewi. Konon katanya, jika kita mencuci wajah dengan menggunakan
air di sana akan awet muda. Untuk menuju
tempat itu kita harus menuruni beberapa anak tangga dan tentunya masih dalam
keadaan waspada. Jika tidak kami akan tergelincir. Perjalanan di dalam goa pun
ditutup dengan keajaiban batu menangis. Memang benar batu itu terlihat menangis
karena mengeluarkan air. Padahal tidak ada air sama sekali di dekatnya.
Rasa lelah mulai menghantui kami, peserta studytour. Perjalanan ini pun akan
ditutup dengan wisata air terjun. Itulah yang paling dinanti-nantikan semua
peserta studytour kali ini. Jarak
menuju ke sana pun lumayan jauh. Jalan yang berkelok-kelok akan menjadi perjalanan
kami selanjutnya. Setelah jalanan terjal dan licin di dalam goa. Hingga
akhirnya, kami sampai ke tempat tujuan. Rasa ingin tahu yang luar biasa ini,
melupakan rasa lelah yang ada pada diri kami. Tak sabar rasanya menaiki anak
tangga yang nantinya akan membawa kami ke air terjun itu. Ada sekitar 60-80
anak tangga yang harus kami naiki untuk mencapai tujuan. Tangga per tangga kami naiki suara air terjun samar-samar
terdengar hingga pada bagian anak tangga yang terakhir suara itu benar-benar
terdengar. Volume debit air yang kencang membuat air yang turun dari atas
menimbulkan suara yang sangat keras hingga bermula dari di anak tangga.
Percikan air pun membasahi wajah kami. Air terjun tersebut dipisahkan oleh
sebuah jembatan yang jika kita berdiri di sana akan terkena percikan air terjun
tersebut. Lagi-lagi, saya benar-benar takjub pada kekuasaan Sang Pencipta
memang luar biasa indahnya. Walau rasa lelah menghantui diri saya dan peserta studytour yang lainnya. Tetapi saya
yakin, pastilah mereka merasakan hal yang sama seperti yang saya rasakan, yaitu
memang benar ini sebuah perjalanan yang menyenangkan. Mungkin tak ada kata yang
mampu meyakinkan bahwa aku pernah berkunjung ke sana. Hanya lewat foto aku
merasakannya. Bahwa memang benar aku pernah berkunjung ke sana.
Masih banyak pengalaman yang saya rasakan
selama tiga tahun. Menikmati masa-masa putih-biru di sekolah menengah ini.
Sebenarnya penantian tiga tahun itu, bertujuan untuk memperoleh sebuah kertas
bertuliskan kata “LULUS”. Sayang, pada saat bahagia itu saya tak mendapat izin
untuk mengambil surat kelulusan itu. Bapak melarang saya, lebih baik berada di
rumah daripada pergi ke sekolah. Bapak takut saya dan saudara kembar saya ikut coret-coretan baju sekolah. Telepon
genggam pun terus berdering. Teman-teman menanyakan kenapa saya dan saudara
kembar saya tidak hadir saat momen-momen menegangkan sekaligus membahagiakan
itu. Saya hanya menjawab, bapak tak mengizinkan. Mereka pun tak dapat berbuat
apa-apa. Syukur alhamdulillah,
semuanya lulus. Benar saja teman-teman saya melakukan aksi hura-hura itu.
Wejangan dari bapak pun tak digubris. Untuk kali ini bapak memang benar dan
akan selalu benar. Bapak tahu apa yang terbaik untuk anaknya.
Tak berbeda dengan anak SMP kebanyakan, saya
juga memiliki sahabat karib sekaligus teman sebangku saya yang bernama Windya
Sandiah yang memang telah lama saya kenal sejak SD. Dia adalah sosok sahabat
yang supel dan mengasyikan. Dia juga adalah orang yang mandiri yang tidak mau
mengandalkan orang lain. Sayangnya, saat kelas dua SMP kami harus terpisah
karena saya masuk kelas unggulan sementara ia tidak. Hal itu tak menyurutkan
persahabatan kami, sekali seminggu atau sebulan kami selalu menyempatkan
bertemu dan bercanda gurau bersama. Ketika kelas tiga SMP kami kembali bersatu
dalam satu kelas. Tidak hanya Windy, saya juga memiliki sahabat yang lainnya.
Esa, Pipin, Pera, Nanda, Anggun, Ella, Devi, Dewi, Renny, Tari dan banyak lagi
yang tak bisa saya sebutkan satu persatu. Merekalah yang membuat masa
putih-biru terasa lebih indah. Mereka juga yang membuat masa SMP saya terasa
begitu berarti.
Hal yang tak bisa dilupakan ketika SMP
adalah saat hari ulangtahun saya dan Lisda. Saya mendapatkan kejutan dari
sahabat saya Devi dan kawan-kawan. Tak pernah saya duga bahwa mereka telah
merencanakan sebuah kejutan untuk saya. Siang itu, ketika saya hendak pergi ke
sekolah untuk mengikuti les tambahan. Tak beberapa jauh dari rumah mereka telah
bersiap-siap dan saat saya berada di hadapan mereka. Mereka menyanyikan lagu
selamat ulang tahun dan membawa agar-agar berwarna merah jambu berbentu love dan dihiasi dengan lilin kecil.
Saya dan Lisda terkejut dan tak dapat berkata apa-apa. Saya haru, sedih,
bahagia semuanya berperang menjadi satu. Sungguh kejutan yang luar biasa yang
akan selalu diingat selama-lamanya. Terima kasih sahabat.
Hal lain yang terbesit dipikiran saya
adalah ketika saya masih duduk di bangku satu SMP, saat jam olahraga pastilah
saya dan Windy mencari tempat bersantai tepatnya duduk di bawah pohon yang
telah tumbang untuk menghabiskan jam pelajaran saat itu. Itulah hal yang selalu
saya dan Windy lakukan ketika jam olahraga tiba karena baik saya ataupun Windy
tak menyukai pelajaran itu. Ternyata efek kemalasan itu berlanjut hingga kelas
tiga SMP. Ketika itu saya dan sahabat satu regu termasuk juga Lisda mendapatkan
sebuah kejadian yang lucu tapi menjengkelkan. Saat itu guru olahraga kami tidak
bisa hadir dikarenakan pergi ke luar kota untuk menyelesaikan tugas sekolah.
Mengetahui hal itu, kami sepakat tidak memakai seragam olahraga, tetapi ada
beberapa orang di kelas yang memakai seragam olahraga. Sementara yang tidak
memakai seragam olahraga duduk di kelas, namun hal itu tak berlaku untuk kami.
Kami mengobrol di teras tepatnya di depan kelas dan tertawa terbahak-bahak
tanpa peduli dengan sekeliling kami.
Tanpa sepengetahuan kami, ternyata ada
seorang guru Bahasa Indonesia kami Pak Hamid yang tengah mengintai kami dari
kejauhan. Pak Hamid adalah guru yang terkenal paling kejam bagi kalangan siswa.
Kami tak menyadari hal itu dan tetap saja asyik bercanda bersama. Ketika Pak
Hamid makin mendekat, satu dari beberapa bagian dari kami tersadar bahwa kami
dalam posisi tidak aman, yaitu Ella. Belum sempat Ella mengatakan hal itu
kepada kami, tiba-tiba Pak Hamid dengan suara lantang menunjuk ke arah kami
sambil memegang giginya. Entah apa yang dikatakan Bapak, kami tak mendengarnya
karena memang jaraknya lumayan jauh. Kami tetap acuh tak acuh walaupun perasaan
takut telah menyerang kami. Akhirnya, Pak Hamid mulai mendekat, rupanya ia
meminta kami untuk masuk kelas. Pak Hamid mulai mengintrogasi kami dengan
nadanya yang cetus. Pak Hamid menanyakan kenapa kami berada di luar dan apa
mata pelajaran kami ketika itu. Betapa marahnya Pak Hamid, ketika mengetahui
bahwa saat itu mata pelajaran kami adalah olahraga.
Pak Hamid mulai menghakimi kami dengan
pertanyaan, kenapa kalian tak memakai seragam olahraga padahal ini adalah
jamnya? Kami tak dapat menjawab apa-apa hanya berbisik-bisik kecil. Belum
sempat menjawab, kami dipanggil satu persatu ke kelas. Tak hanya itu, kami
mendapatkan sebuah cinderamata dari Pak Hamid pagi itu, yaitu sebuah jeweran
dari Pak Hamid. Pak Hamid menarik telinga kami satu persatu hingga memerah.
Ketika giliran Nanda, ia mendapatkan double
jeweran yang tadinya berada di muka pintu kelas ketika dilepaskan tarikan
itu ia terhempas hingga ke kelas. Kasihan Nanda, untungnya saya tak begitu.
Bukan sedih, bukan juga menangis, tetapi malah tertawa ketika kami saling
pandang-pandangan dan melihat betapa merahnya telinga kami. Dapat dibayangkan
betapa panasnya telinga kami pada waktu itu.
Kami merasa menyesal kenapa tak memakai
seragam pagi itu. Kalaupun tak memakai seragam seharusnya kami cukup duduk di
kelas saja. Sekarang hanya rasa malu yang
tertinggal bersamaan menghilangnya rasa panas ditelinga akibat tarikan
Pak Hamid beberapa menit yang lalu.Ketika itu teman-teman yang berada di kelas
hanya terpaku melihat kejadian itu. Di lain sisi, Pipin dan Pera merasa kesal
dan dendam terhadap Pak Hamid. Mereka berdua berencana ketika jam tambahan
nanti siang tepatnya pelajaran Bahasa Indonesia. Mereka tidak akan tertawa
sedikitpun apalagi tersenyum kepada Pak Hamid yang terkadang menghibur kami
dengan candanya. Itu sisi lain dari Pak Hamid, selain beliau guru yang galak
tetapi beliau juga pandai melawak.
Tanpa sepengetahuan kami juga ternayata di
sebelah ruang kelas kami anak IX.2 sedang belajar IPS yang gurunya adalah wali
kelas kami. Ternyata beliau melihat kejadian itu. Benar saja, sehabis pelajaran
olahraga selesai kami melanjutkan pembelajaran hari ini dengan mata pelajaraan
IPS. Walau berberat hati menerima apa yang disampaikannya tetap saja kami
mendapatkan petuah dari sang wali kelas. Setidaknya itu bisa dijadikan
pelajaran untuk ke depannya. Bel berbunyi itu tandanya jam pelajaran hari ini
berakhir. Kami bergegas pulang untuk beristirahat karena siang nanti kami akan
mengikuti les tambahan dengan Pak Hamid.
Bel berbunyi, itu tandanya jam tambahan
akan segera dimulai. Pera dan Pipin mulai menjalankan rencananya. Kami anggota
satu regu pun bermaksud demikian. Sungguh, saya dan lainnya kecuali mereka
berdua tak bisa bertahan dengan rencana itu. Akhirnya, kami tertawa
terbahak-bahak juga tetapi hal tersebut tak berlaku untuk keduanya. Padahal
siang itu, Pak Hamid bercerita sangat lucu dibanding hari-hari lainnya. Hingga
pelajaran berakhir mereka berdua tetap bertahan dan berhasil menyelesaikan
rencana mereka. Luar biasa, itulah sahabat saya. Itulah kenangan terindah
bersama almarhum Pak Hamid yang akan saya dan teman lainnya tidak akan
melupakannya. Selain kenakalan tersebut, saya juga memiliki prestasi akademik
yang Alhamdulillah selalu mendapat
peringkat 3 besar.
Sekarang seragam putih-biru akan segera berganti
menjadi putih-abu. Masa yang katanya paling indah. Masa yang selalu menjadi
ingatan dan akan dikenang selamanya. Begitulah orang-orang mengindahkan masa
itu. Kini saya pun merasakan hal tersebut. Banyak sekali pengalamanan yang
rasakan selama masa itu. Bahagia, sedih, amarah, lelah, putus asa, persahabatan
dan banyak lagi lainnya yang tak bisa disebutkan satu per satu. Semua itu saya
dapatkan di masa putih-abu. Bermula pada tiga hari pertama di SMA Negeri 1
Pendopo, itu nama sekolahnya. Tiga hari bersejarah itu dinamakan masa orientasi
siswa (MOS). Setiap siswa baru pasti akan menghadapi tiga hari tersebut. Hari
dimana rasa malu harus dibuang jauh, sebab kakak senior telah menyiapkan
kegiatan-kegiatan yang akan merobohkan rasa malu itu. Bayangkan saja, semua
siswa laki-laki pada saat itu diminta mengenakan baju daster. Baju yang
harusnya digunakan ibu mereka di rumah kini mereka kenakan di sekolah. Lucu,
itulah kesan yang paling mendominasi penampilan mereka.
Tidak hanya siswa laki-laki yang
mendapatkan hal semacam itu. Siswa perempuan pun tak terlepas dari incaran
kakak senior. Semua siswa perempuan diminta untuk mengikat rambutnya dengan
tali plastik dengan jumlah ikatan yang harus banyak. Selain itu, para siswa
baru ini juga diminta untuk membawa botol bayi lengkap dengan isinya. Lalu,
harus mengenakan topi dari bakul nasi yang dihiasi dengan permen. Tak lupa juga
membuat tas dari kantong plastik yang harus diisi dengan berbagai macam
jajanan. Ketika semua persiapan lengkap kami harus berjalan dengan menggunakan
kostum tersebut. Sungguh malu rasanya, menjadi tontonan orang-orang di sekitar
sekolah. Rasa malu itu pun bercampur lelah, sebab para siswa baru harus
meraskan panasnya apel siang.
Semua hal itu tak akan pernah saya
lupakan, termasuk kecelakaan motor tiga hari berturut-turut yang saya alami
bersama Lisda selama mos (masa orienasi siswa) itu berlangsung. Memang, Lisda
terkesan belum terlalu pandai mengendarai kendaraan beroda dua itu. Hal ini
dikarenakan Lisda baru mencoba mengendarai motor saat lulus SMP. Hari pertama
saat ingin berangkat, semua nampak baik-baik saja walaupun rasa cemas kerap
menghampiri saya dan Lisda. Akhirnya, sampai ke sekolah dengan baik-baik saja,
namun tak diduga saat perjalanan pulang terjadi peristiwa yang memalukan
sekaligus menyakitkan Saat keluar dari gerbang sekolah, motor yang saya dan
Lisda kendarai oleng dan itu mengakibatkan kami berdua terguling di jalan.
Beruntung ada kakak senior yang dengan sigapnya menolong saya dan Lisda. Hanya
luka-luka kecil saja tak ada luka yang serius, tapi motornya tergores aspal.
Rupanya tak hanya saya dan Lisda yang mengalami hal semacam itu. Ada siswa baru
juga yang saya tak tahu namanya, motor yang ia tumpangi menumbur warung di
dekat sekolah. Tak ada luka hanya malu yang didapatkan.
Hari kedua, persiapan untuk mos (masa
orientasi siswa) hari ini berantakan. Persiapan yang tak matang ini
mengakibatkan saya dan Lisda kesiangan dan terburu-buru. Saat perjalanan menuju
ke sekolah, ada sebuah rasa mengganjal di dalam hati, tetapi entah apa
sebabnya. Lisda yang biasanya mengendarai motor dengan perlahan, hari ini
kecepatannya bertambah tak seperti biasanya. Beberapa meter terlewati, tak ada
yang mengkhawatirkan semuanya baik-baik saja. Tiba-tiba, dari kejauhan tampak
seorang pejalan kaki dan seorang kakek yang membawa kerupuk dagangannya dengan
menggunakan sepeda sebagai alat transportasinya. Lama-kelamaan semakin mendekat, jarak
kendaraan saya dan Lisda pun lenyap, ini membuat saya dan Lisda makin dekat
dengan dua orang itu. Lisda yang belum terlalu pandai mengendarai motor,
membuatnya terdiam dan bingung. Kecepatan diturunkan, tetapi klakson tak bisa
dibunyikannya. Petaka pun tak bisa
dielakkan lagi.
Gubrakkkkkkkkk………
Seketika langit kelabu, entah apa yang
baru saja terjadi. Saya dan Lisda kehilangan keseimbangan. Rupanya, kami telah
terjatuh dari motor dan menabrak sang kakek penjual kerupuk itu. Sungguh
situasi saat itu sangat kalut. Saya dan Lisda merasa takut, karena ini kali
pertamanya kami menabrak orang. Beberapa saat setelah kejadian itu, ada seorang
bapak-bapak paruhbaya yang membentak saya dan Lisda. Ia mengatakan bahwa saya
dan Lisda akan dijebloskan ke dalam penjara. Panik, mungkin itulah yang
menggambarkan rasa hati saya dan Lisda ketika itu. Saya dan Lisda takut kalau
sampai kakek tersebut mengalami luka yang parah. Saya tak berani menatapnya,
sedangkan Lisda sibuk dengan kebingungannya yang harus meminta tolong kepada
siapa.
Tak berselang lama, ternyata ada
bapak-bapak yang menemui saya dan Lisda. Sungguh tak disangka ternyata baapak tersebut
adalah orang tua dari teman SMP saya dulu. Saya dan Lisda memang mengenalnya,
karena bapak tersebut sering bersilahturami ke rumah. Akhirnya, bapak tersebutlah yang mau menolong saya dan
Lisda. Lalu dengan sigap, ia menelpon
bapak dan mengabari keadaan kami berdua. Dari pembicaraan mereka berdua, saya
bisa menggambarrkan bagaimana khawatirnya bapak dan ibu di rumah saat mendengar
kabar itu.
Beberapa menit setelah pembicaraan via
telepon itu selesai, bapak pun tiba di tempat kejadian. Bapak langsung menemui
saya dan Lisda serta menanyakan bagaimana keadaan saya dan Lisda tentunya.
Setelah mengetahui keadaan anaknya, bapak menemui kakek yang menjadi korban,
karena kesalahan saya dan Lisda. Alhamdulillah, kondisinya tak begitu parah
hanya luka kecil saja, sedangkan roda sepedanya mengalami kerusakan yang
lumayan parah. Sebagai gantinya, bapak memberikan beberapa rupiah sebagai
pengganti kerusakan dan biaya pengobatan sang kakek.
Selesainya masalah itu, mengartikan saya
dan Lisda harus segera berangkat ke sekolah karena semua calon siswa baru harus
melunasi hutangnya selama tiga hari. Sejalan dengan itu, bapak tak langsung
pulang ke rumah. Ia berhenti di sebuah kedai di dekat tempat kejadian. Rupanya
di sana ada seorang bapak yang sedang bercerita kepada si pemilik kedai bahwa
tadi pagi ketika ia berjalan ke kebun, ia hampir meninggal ditabrak pengendara
motor. Mendengar hal itu, bapak segera merespon bahwa pengendara motor yang
dimaksud itu adalah anaknya. Bapak meminta maaf juga menjelaskan kepada bapak
pejalan kaki bahwa memang anaknya belum terlalu terlatih untuk mengendarai
motor, tetapi karena tuntutan sekolah yang jaraknya lumayan jauh mengharuskan
mereka berani. Tiada disangka juga kalau kejadian semacam ini bisa terjadi.
Satu hal lagi yang harus diketahui oleh saya, Lisda, ataupun bapak mengenai
suatu kebenaran yang menyatakan bahwa ternyata yang menyebabkan kakek itu
terjatuh adalah pengendara motor yang berlainan arah yang menabraknya. Ketika
itu memang keadaan sang kakek tak seimbang akibat saya dan Lisda menabraknya,
dari arah berbeda pula sang kakek ditabrak orang lain.
Di sekolah, calon siswa baru menjadi
bulan-bulanan sang senior, sama seperti hari pertama. Bedanya hanya kemarin
agak canggung sekarang mulai terbiasa. Tetap dalam kondisi yang sama. Tak
terasa hari kedua berakhir begitu saja. Menyisakan rasa lelah dan dahaga,
karena sebelum pulang calon siswa baru harus mengikuti apel siang. Sebentar
lagi penjajahan ini akan segera merdeka. Pasalnya, besok adalah hari terakhir mos.
Setelah itu, semua calon siswa baru termasuk saya akan menjadi siswa SMA Negeri
1 Pendopo bukan sebagai calon siswa lagi.
Tibalah hari terakhir mos, ini artinya
sebuah kebebasan. Semangat menggebu mendera jiwa saya. Pagi itu, seperti biasa
saya pergi ke sekolah bersama saudara kembar saya. Tak berbeda pada hari
pertama ataupun kedua. Hari ketiga pun saya mengalami peristiwa seperti
kemarin, namun hari ini bukan saya yang menabrak malah saya yang ditabrak. Yah,
pagi ini saya ditabrak oleh saudara kembar saya sendiri tepatnya di depan
rumah.
Peristiwa ini bermula ketika saya dan
Lisda ingin pergi ke sekolah. Layaknya seperti hari-hari kemarin, Lisda yang
menjadi sopirnya dan saya menjadi penumpangnya. Sialnya, ketika itu saya
berdiri tepat di depan motor yang dibawa oleh Lisda. Lalu, begitu saja ia
menabrak saya yang tepat berada di depannya, motor pun hilang kendali.
Akhirnya, Lisda terjatuh dan saya berlari menjauh karena ditabrak si Lisda.
Melihat hal itu ibu menjerit sekeras-kerasnya. Akibatnya, para tetangga
berdatangan ke rumah. Mereka mengira tabung gas di rumah saya bocor. Padahal
yang terjadi pagi ini, Lisda menabrak saudara kembarnya sendiri. Tak ada luka
yang parah, hanya tergores sedikit saja akibat terkena atap kandang kelinci
yang tepat berada di depan saya, sedangkan Lisda hanya seragamnya yang terkena
tanah. Tak dapat dibayangkan seandainya tak ada kandang kelinci itu, mungkin
saya akan terseret hingga ke tembok.
Tiga hari setiap pagi, selalu saya dapati
peristiwa yang sama mulai jatuh sendiri, menabrak, bahkan ditabrak. Setiap pagi
juga saya dan Lisda tak pernah terlambat. Hal itu dikarenakan saya selalu
berangkat lebih awal, karena jika sudah ramai Lisda akan mengalami kesulitan
saat perjalanan. Dalam keadaan yang sama saya mengikuti mos pada pagi ini
hingga siang nanti. Agenda demi agenda telah
dilakukan hingga terakhir pada agenda peresmian siswa-siswi tahun ajaran baru. Sekarang
resmi sudah saya menjadi siswi di
sekolah ini dan terus berjuang hingga kelas tiga SMA nanti. Mulai saat itu juga
saya memutuskan unttuk berkerudung, mengganti kebiasaan yang sudah terbiasa
salah. Kewajiban yang beberapa tahun ini terabaikan. Alhamdulillah, keputusan ini saya ambil tanpa paksaan siapapun,
namun karena keinginan sendiri.
Di SMA itulah saya menghabiskan masa-masa
putih-abu dengan semua hiasannya, ada bahagia ada pula duka. Semua saya rasakan
di sana. Memang ketika kelas satu SMA saya sedikit merasa asing karena belum
terbiasa dengan keadaannya. Seiring bergulirnya waktu, saya mulai beradaptasi
dengan hal tersebut, yang dulunya teman sedikit sekarang menjadi banyak. Saya
mulai mengenal dan merasa nyaman dengan situasi baru ini. Saat semester ganjil
pada kelas satu SMA, saya terpisah dengan saudara kembar saya dan ketika
semester genap saya dan Lisda kembali bertemu disatu kelas yang sama yaitu X.I
hingga tamat SMA. Lisda mempunyai sahabat baru yang bernama Eva Salsabila. Ia
seorang gadis yang berasal dari Bandung, ia pindah ke Palembang karena ikut
keluarganya. Ia juga sahabat saya dan tak ketinggalan juga Windah dan Andin
sebagai pelengkapnya. Bersama merekalah saya menghabiskan masa putih-abu.
Tak terasa kelas satu SMA berlalu begitu
saja. Sekarang saatnya penentuan jurusan, IPA atau IPS. Ternyata kami semua masuk
jurusan IPA. Itu artinya kami bisa berkumpul lagi. Berbeda dengan kelas satu
kemarin, di kelas dua ini saya mulai diajak berorganisasi fokusnnya ke OSIS
bidang rohis. Jadi, setiap hari jumat kami secara bergiliran datang ke kelas
yang lainnya untuk mengumpulkan infaq. Hingga saat itu, saya yang diminta untuk
mengumpulkannya. Rasa malu dan sedikit takut menghampiri saya. Wajar, karena
saat ini saya masih junior. Bagaimana tidak menghadapi kakak-kakak senior yang
bisanya hanya menghardik adik juniornya. Meskipun tak semuanya begitu, tetapi
presepsi itu sulit untuk dirubah. Mau tidak mau itu adalah tugas saya yang
harus saya lakukan. Mulai dari kelas pertama hingga tiba di kelas terakhir
semuanya nampak biasa saja. Tidak ada hal seperti yang saya takutkan. Selain
aktif berorganisasi saya juga sering mengikuti olimpiade yang berada di luar
kota. Walaupun tak ada satupun olimpiade yang dapat saya taklukan, tetapi tak
mengapa. Lumayan untuk menambah wawasan.
Semenjak SMA juga saya mulai menyukai
kegiatan pramuka. Ketika pembagian hak angket ekstrakulikuler di kelas satu
yang lalu saya mulai aktif mengikutinya. Mulai dari baris-berbaris hingga outbond. Tidak berbeda jauh dengan mos
(masa orientasi siswa) tetap saja saya selaku anak junior dan teman-teman yang
lainnya menjadi bulan-bulanan kakak senior. Kalau di kegiatan pramuka itu
laksana dan bantara sedangkan kami baru bagian pemula atau penegak. Kegiatan
yang diadakan setiap sabtu sore itu wajib saya ikuti karena saya telah
memilihnya. Hal yang paling membosankan memang ketika bertemu dengan kakak
junior yang agak cerewet. Pastilah bisa ditebak bahwa kegiatan hari itu pasti
membosankan. Satu agenda yang tak terlupakan juga ketika pramuka ialah kejutan
saat salah satu dari anggota berulang tahun. Mulailah kakak laksana dan bantara
mulai bersiasat. Jadilah orang yang berulang tahun itu mangsanya, dicaci-maki,
disuruh ini-itu, dan banyak lagi caranya hingga nanti korbannya itu sedih dan
paling parah sampai menangis. Untungnya, saya tak pernah merasakan hal itu.
Banyak kegiatan lain yang saya alami
ketika duduk dibangku dua SMA ini. Adanya jika ada hari-hari besar. Pasti akan
ada kegiatan yang dilaksanakan, misalnya: saat Isra’ Mi’raj, Maulid Nabi, 17
Agustus, pesantren kilat saat bulan Ramadhan, buka puasa bersama dan agenda
kegiatan yang lainnya. Semua kegiatan itupun tak luput dari ingatan saya.
Berjuang dan belajar bersama demi naik kelas. Jam-jam yang membosankan,
contohnya ketika jam pelajaran fisika dan kimia. Upacara setiap hari senin,
apel setiap pagi, yasinan bersama, hingga senam sehat setiap hari sabtu. Selalu
menghiasi hari-hari saya bangku SMA ini. Begitulah semuanya berjalan dengan
teratur hingga saat yang dinanti pun tiba, yaitu berada di kelas tiga. Selain
kelulusan yang berada di depan mata juga saya dan teman-teman seangkatan merasa
bangga karena menjadi penghuni tertua selain guru, tata usaha, dan penjaga
sekolah.
Sekarang junior telah berganti menjadi
senior. Menjadi senior yang biasanya ditakuti dan disegani adik-adik kelasnya.
Semua junior memanggil kita dengan sebutan kak Lisma. Inilah saatnya kita
berada di puncak tertinggi setelah dua tahun merasa terjajah oleh kak senior.
Saat kegiatan pramuka tak diperintah tetapi memerintah, namun tak berarti sok
berkuasa dan menghardik karena semua ada aturan mainnya dan bukan pula ajang
balas dendam. Hanya saja ada rasa bangga dan kebanyakan orang berkata
siswa-siswi kelas tiga SMA itu jadi siswa-siswi kesayangan gurunya. Setiap hari
selalu diingatkan belajar yang lebih intensif berbeda dengan kelas dua ataupun
satu SMA. Seolah-olah para guru benar-benar mengkhawatirkan siswa-siswinya.
Takut bahwa mereka tidak akan sukses saat UN nanti terlebih kepada siswa-siswi
IPS yang sering bolos sekolah. Memang pemandangan tersebut kerapkali terjadi di
kalangan siswa-siswi IPS. Berbeda dengan kami kalangan siswa-siswi IPA.
Waktu yang tersisa pun hanya beberapa
bulan saja sebelum UN berlangsung dan sehabis itu saya dan teman yang lainnya
akan menganggur sambil menunggu hasil kelulusan setelah itu bimbel untuk ikut
SBMPTN, kuliah, kerja, dan lain sebagainya. Kekompakan dan kebersamaan kelas
pun makin terasa. Rasa itu pun bermunculan bersamaan dengan benih-benih rasa
bosan diliputi kemalasan yang luar biasa. Sering saya dan teman satu kelas
bolos untuk menghindari les tambahan atau mencari-cari alasan supaya tidak
belajar. Misalnya, saat les tambahan pelajaran Biologi yang kebetulan gurunya
adalah wali kelas dari kelas XII IPA 1. Pasti saya dan teman-teman merencanakan
kegiatan bersih-bersih kelas dengan alasan tidak ada waktu luang untuk
melakukan kegiatan tersebut. Ibu Rina, nama wali kelas saya pada saat itu. Tidak menyadari
niat jahat saya dkk (dan kawan-kawan), bu Rina hanya mengizinkan kebetulan saat
itu ada lomba kebersihan kelas. Benar saja rencana saya dkk diterima dengan
baik. Kalau sudah begitu agenda bersih-bersih yang tadinya sudah direncanakan
itu akan berubah menjadi agenda rumpi dan beristirahat para anggota kelas.
Hanya satu-sepuluh menit kegiatan bersih-bersih itu benar-benar terlaksana
sisanya dihabiskan dengan begitu saja. Jika beruntung ibu Rina tak mengawasi
kami dan jika buntung saya dkk mendapat pengawasan ketat hingga jam berakhir.
Sebenarnya ada sepuluh atau ribuan alasan
para siswa-siswi kelas tiga baik IPA ataupun IPS untuk tidak mengikuti les
tambahan. Keluhan pertama ialah lelah dan penat karena seharian dari pagi
hingga siang belajar lalu ditambah pula hingga sore, kata mereka itu tidak
manusiawi. Keluhan tak bermutu lainnya adalah malas, ketiduran, sakit-sakitan,
kepanasan, atau kehujanan. Mereka menjadikan semuanya menjadi alas an untuk
menghindarinya. Setidaknya, jurusan IPA sedikit lebih rajin dibandingkan
jurusan IPS. Hal ini tergambar jelas, siswa-siswi yang mengikuti les tambahan
tak lebih dari dua puluh orang dari empat puluhan siswa per kelasnya.
Semangat siswa-siswinya berbanding jauh
dengan semangat para gurunya. Pernah suatu kali, ibu yang mengajar les tambahan
telah tiba di kelas namun tak satupun dari kelas mereka yang datang. Hal yang
serupa pun pernah terjadi di kelas saya. Saat itu les tambahan matematika.
Sebenarnya tak niat saya ataupun yang lainnya untuk melakukan hal yang hina semacam
itu, tetapi rasa lelah yang menghantui saya dkk luar biasa hebatnya. Mau tidak
mau saya dkk harus meninggalkan kelas. Keesokan paginya, saya dkk ketakutan
akan diberi sanksi seperti kelas-kelas yang lain. Kebetulan pagi ini jadwal
mata pelajaran saya dkk adalah matematika. Ibu Marnona, itulah namanya.
Saat ibu Marnona tiba di kelas, semuanya
terdiam dan keadaan bisa kembali normal ketika ibu Marnona mulai melanjutkan
pelajaran. Beruntung saya dkk tidak mendapatkan hukuman seperti yang lainnya.
Disela-sela pembelajaran, tiba-tiba ibu Marnona bertanya kemana kalian kemarin
dan kenapa saat saya datang ke kelas kalian pintunya telah terkunci rapat.
Salah satu dari teman kelas menjawab sekaligus meminta maaf kepada ibu Marnona
dan berjanji tidak akan meninggalkan les tambahan. Les tambahan memang
benar-benar menjadi momok yang menyebalkan sekaligus melelahkan bagi setiap
siswa-siswi kelas tiga. Beruntung satu bulan sebelum UN praktik tersebut
dihentikan. Siswa-siswi diminta belajar dirumah baik individu ataupun
berkelompok.
Ketika satu bulan menjelang UN, saya dkk
mulai bersemangat untuk belajar. Rasanya sudah terlambat. Meski begitu
intensitas belajar saya dkk mulai bertambah. Dimana-mana saya melihat
siswa-siswi membawa macam-macam buku prediksi UN yang lumayan tebal. Beberapa
kali Try Out pun telah dilaksanakan
untuk membantu saya dkk. Sebelum UN, para siswa-siswi pun disibukkan dengan
yang namanya Ujian Praktik yang benar-benar menguras energi. Di mulai dari
praktik agama hingga mulok. Dari sekian banyak bahan yang dipraktikan, hal yang
paling berkesan adalah ketika pelajaran mulok. Dimana setiap siswa-siswi
diminta untuk menyiapkan sebuah makanan sajian lengkap dengan hiasan mejanya.
Inilah yang menjadi favoritnya yaitu,
makan-makan. Selama dua hari masing-masing regu menyiapkan apa-apa saja yang
dibutuhkan. Saat itu regu saya berbeda dengan saudara kembar saya. Regu saya
mengambil menu ikan gurame, capcai, perkedel tahu, dan lain-lainnya. Sementara
tugas saya menyiapkan sup buah. Setelah hari penilaian tiba, semua regu sibuk
menyiapkan segala sesuatunya dan menatanya sedemikian rupa sehingga semua
Nampak begitu cantik dan menawan. Semua makanan bervariasi, berbagai jenis
makanan ada di sana. Setelah siap, tibalah waktunya penilian semua guru dating
ke kelas untuk ikut makan bersama. Sungguh ramai kelas pada saat itu layaknya
hajatan besar-besaran. Inilah nilai kebersamaan yang tak dapat tergantikan,
dimana setiap teman yang satu dengan yang lainnya saling berbagi makanan dan
saling mencicipi makanan dari regu satu ke regu yang lainnya. Pada saat itu
juga kebersamaan para siswa dengan gurunya dapat tergambar jelas. Lagi-lagi hanya
sebuah foto yang dapat menyakinkan saya bahwa peristiwa itu pernah terjadi.
Setelah semuanya selesai dengan diiringi
rasa lelah kami membersihkan kelas yang dipenuhi dengan sampah dan minuman yang
tertumpah sehingga lantai Nampak tak karuan. Rasa lelah yang menjadi-jadi itu
tak menghalangi semangat kami untuk tetap membersihkan semua kotoran yang ada.
Sampai semuanya bersih. Barulah kami bisa pulang ke rumah untuk beristirahat.
Berakhir ujian praktik menunjukkan bahwa UN akan segera tiba. Perjuangann
selama tiga tahun akan ditentukan tiga hari ke depan. Tentu rasa gugup selalu
menghampiri, namun satu demi satu hari terlalui. Hingga akhirnya saya dkk
berada di hari terakhir UN. Saya dkk melepas nomor ujian di meja masing-masing
dengan harapan semoga lulus.
Sejak saat itu, saya dkk tak kunjung
bertemu lagi. Semuanya mulai sibuk mencari tujuan mereka selanjutnya. Saya dkk
dipertemukan kembali saat latihan untuk tampil di perpisahan nanti. Kurang
lebih sekitar sebulan saya dkk berlatih hingga saat perpisahan itu tiba. Saya
dkk memutuskan untuk memakai kebaya berwarna ungu sebagai busana yang akan
dikenakan nanti. Waktu yang tak pernah
mau bersahabat pun membawa saya dkk pada hari perpisahan itu. Paginya semua tata
rias diwajah nampak cantik, namun tak lama setelah persembahan lagu hymne guru
dan sebuah puisinya tata rias diwajah mulai luntur akibat terkena airmata yang
menetes. Ditambah ketika acara bersalam-salaman, isak-tangis tertumpah ruah
disana baik guru ataupun siswa-siswinya. Itulah pertanda bahwa acara perpisahan
telah berakhir. Foto-foto bersama teman-teman ataupun guru adalah menjadi
penutupnya walaupun keadaan tata rias tak beraturan lagi.
Setelah itu, ada pengumuman mengenai hasil
kelulusan dan sebelumnya semua siswa-siswi SMA N 1 Pendopo membuat surat
perjanjian tidak akan melakukan kegiatan coret-mencoret setelah diumumkannya
kelulusan. Setiap siswa-siswi pun diminta membawa materai 6000 untuk tanda
buktinya dan siswa-siswi yang bersangkutan dilarang datang ke sekolah yang
diperbolehkan datang hanya walinya saja. Alhamdulillah, semua siwa-siwi lulus.
Ternyata perjuangan beberapa tahun belakang membuahkan keberhasilan. Hanya
menunggu nilai yang berhasil saya dkk dapatkan. Selanjutnya, yang
ditunggu-tunggu selain pengumuman kelulusan ialah pengumumsn SNMPTN (Seleksi
Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Ternyata saya tidak lulus, sementara
Lisda saudara kembar saya lulus untuk pilihan kedua, yaitu PAUD di Universitas
Negeri Padang.
Memang keinginan saya dan Lisda ialah
melanjutkan kuliah di Padang. Sungguh itu satu kunci untuk mewujudkannya,
walaupun saya tidak lulus, tetapi beberapa hari setelah pengumuman itu bibi
dari Pekanbaru memberi kabar dan meminta saya dan Lisda untuk kuliah di sana.
Bibi pun siap menawarkan untuk tinggal di rumahnya. Ibu yang memang keberatan
dengan keinginan saya pergi merantau seakan mengisyaratkan nada setuju, lagi
pula di Pekanbaru ada keluarga yang bisa mengawasi saya saat berada jauh dari
mereka, baik kakak, adik, ataupun kembarannya semua berkumpul di Pekanbaru.
Keinginan ibu pun dimantapkan dengan izin yang diberikan bapak. Walau berberat
hati meninggalkan SNMPTN, Lisda dan saya mencoba menerimanya. Akhirnya, ketika
SBPMTN saya mengambil pilihan Universitas Riau sebagai tujuannya dengan jurusan
PGSD dan Bahasa Indonesia begitu juga halnya dengan Lisda hanya saja berbeda
jurusannya.
Setelah mendaftar SBMPTN ternyata lokasi
yang saya dapatkan berada di Palembang. Begitupun dengan Lisda dan dua teman
lainnya. Lokasi kami pun berjauhan saya di SMA Negeri 2 Puncak Sekuning, Lisda
di Universitas Taman Siswa Veteran, sementara iyak dan windah di Kampus Ogan
bedanya satu di SMA Srijaya Negara satu lagi di SMP. Tes yang diadakan dua hari
membuat saya dkk harus menginap di rumah
bibi di Palembang karena jarak dari tempat tinggal saya lumayan jauh kira-kira
dibutuhkan waktu lima jam untuk sampai ke Palembang.
Saya dkk berangkat amat pagi supaya ketika
sampai di Palembang bisa survey ke lokasi masing-masing. Tujuannya supaya saya
dkk tidak kebingungan mencari ruangan saat tes nanti. Alhamdulillah, semua berjalan sesuai rencana. Saya dkk tiba di
Palembang tepat pukul 11.00 WIB. Sesampainya di sana, saya dkk beristirahat
karena nanti sore akan melanjutkan perjalanan ke lokasi tes. Pada sore harinya,
saya dkk melihat lokasi tes bersama orang tua salah satu teman saya dan
tentunya bapak saya. Setelah menemani saya dkk ke lokasi tes, bapak dan orang
tua pun pulang ke Pendopo. Mereka berharap saya dkk dapat menjawab soal tes
dengan baik. Di rumah bibi saya dkk
disambut dengan hangat walaupun saya dkk harus tidur bersempit-sempitan namun
dapat terkalahkan dengan sikap sang bibi yang begitu bersahabat. Selama dua
hari, saya dkk merepotkan bibi karena setiap bagi bibi menyempatkan membuatkan
sarapan pagi lengkap dengan segelas teh. Biarpun bibi repot dengan
pekerjaannya, yah bibi bekerja sebagi tukang cuci di rumah orang sedangkan
paman pekerjaannya buruh bangunan. Semoga kehadiran saya dkk tak menambah
bebannya karena saya dkk membawakan beberapa makanan pokok untuk membantu bibi
saat kedatangan kami.
Pada malamnya berbagai macam soal telah
saya coba kembali untuk menaklukan soal-soal yang akan dihadapi. Sebelumnya
sekitar dua minggu yang lalu, saya telah mencobanya. Tetap saja, ketika hari
pengeksekusian terjadi saya tak mampu menaklukannya. Selain persiapan yang
tidak serius dan terkait materi yang tidak memadai membuat saya kalang-kabut
dalam menjawab soal-soal TPA pada harri pertama. Begitupun dengan hari kedua
saya berlari jauh meninggalkan pelajaran SMA saya. Tiga tahun selama SMA
rasanya tak memberikan efek apa-apa. Bagaimana tidak, soal yang saya hadapi
adalah materi jurusan IPS. Mana mungkin saya mampu menguasainya. Berakhirnya
tes, menandakan waktunya pulang. Terima kasih bibi yang telah bersedia menerima
saya dkk selama dua hari. Juga kepada paman yang telah bersedia mengantar dan
menjemput ke lokasi ketika melaksanakan tes.
Beberapa waktu setelah tes itu, tak jua
menghasilkan satu keputusan apapun. Benar saja saya dkk tak ada yang lulus.
Mengetahui hal itu, bapak segera mengambil keputusan agar secepatnya pergi ke
Pekanbaru untuk mendaftar ke universitas yang lainnya. Tepatnya, beberapa hari
sebelum Ramadhan saya dan keluarga berangkat. Malam harinya, rumah diramaikan
dengan isak tangis saya dan Lisda yang sangat sedih karena ingin merantau jauh
ke sana. Tak hanya saya dan Lisda, ibu dan adik bungsu pun ikut menangis.
Maklum tak pernah sebelumnya saya dan Lisda pergi sejauh itu untuk waktu yang
cukup lama. Semalaman suntuk saya dan Lisda sibuk mempersiapkan perlengkapan
yang akan dibutuhkan di sana. Rasanya seperti mimpi, keluar dari dunia kecil
saya di sini. Angan-angan kuliah di Padang harus berganti dengan perjalanan Ke
Pekanbaru. Manusia hanya bisa berencana namun Allahlah yang memiliki kuasa.
Pagi sekali saya dan keluarga berangkat ke
Palembang untuk menunggu bus yang akan membawa saya dan keluarga ke Pekanbaru.
Setelah beberapa jam di perjalanan yang lancar, akhirnya saya dan keluarga tiba
di tempat penantian bus lebih awal dari jadwal keberangkatan. Berhubung pada
saat itu, ada bus yang berhenti. Bapak mencoba bernego kepada sang sopir,
bisakah kami sekeluarga pindah bus sebab jikalau ingin menunggu bus seperti
dijadwal itu masih membutuhkan waktu yang lama. Beruntung sang sopir bisa diajak
berkompromi. Akhirnya, saya dan keluarga menggunakan bus tersebut. Bus itulah
yang nantinya akan membawa saya dan keluarga ke kota baru saya. Kota yang
nantinya akan menjadi penampung mimpi-mimpi saya. Kota yang akan memberikan
saya banyak hal dan tentunya kota yang telah dipilihkan Allah untuk saya.
Perjalanan yang telah ditempuh selama
kira-kira 24 jam menandakan sebentar lagi saya dan keluarga akan sampai ke kota
baru itu. Benar saja, bus berhenti ini menandakan bahwa perjalanan yang
melelahkan ini akan segera berakhir. Setiba-tibanya di Pekanbaru, bapak segera
menelpon bibi untuk memberi kabar kedatangan kami. Barang-barang yang dibawa
telah diturunkan dari bus. Satu per satu barang bapak teliti untuk memastikan
tak ada barang yang tertinggal. Tak beberapa kemudian bibi datang bersama
anaknya, bang Apri, yang ketika itu mengendarai mobil sedannya dan mobil itulah
yang membawa saya dan keluarga ke rumah bibi. Sesampainya di rumah bibi,
kondisi saya sedikit lebih membaik. Pasalnya, hampir sehari satu malam, kaki
saya terbungkus sepatu dan siang ini alhamdulillah
telah terbebaskan. Ternyata kaki saya sedikit membesar alias membengkak.
Menurut penjelasan ibu, kejadian semacam itu terjadi karena semalaman suntuk
kaki menggantung saat duduk di bus. Wajar saja, satu harian saya duduk di bus
dengan posisi kaki menggantung. Hal itu makin diperparah dengan kelelahan luar
biasa yang terasa dipundak saya.
Kelelahan itu pun terobati setelah
beberapa hari di kota baru itu. Memang untuk beberapa hari keluarga tinggal di
kota ini, sambil menunggu saya dan lisda mendapatkan sebuah perguruan tinggi.
Perasaan sedih beberapa hari ini juga kerap kali menghantui perasaan saya.
Terbesit dibenak saya bagaimana kalau bapak, ibu, serta adik kembali ke
Palembang pastilah hati saya begitu sedih. Maklumlah ini adalah kali pertamanya
saya harus berpisah dengan keluarga untuk waktu yang lama. Sejauh ini belum
pernah, saya dan lisda berjauhan atau berpisah dengan keluarga apalagi sejauh
dan selama ini. Kalau pun ada paling hanya untuk beberapa hari saja. Mau tidak
mau, suka tidak suka, semuanya harus dilalui. Toh, ini juga keinginan saya dan lisda untuk pergi merantau.
Padahal sudah beberapa kali ibu menawarkan untuk kuliah di Palembang, tetapi
tetap saja saya memaksa untuk merantau dan konsenkuensi dari pilihan itu adalah
berpisah dengan keluarga.
Selama beberapa hari itu juga mereka
menghantarkan saya untuk mendaftar ke perguruan tinggi. Kali pertama itu saya
pergi ke Universitas Islam Riau (UIR) bersama saudara kembar, bapak, bibi, dan
bang Apri. Setelah mendapatkan informasi mengenai pendaftaran mahasiswa baru,
saya dan keluarga melanjutkan perjalanan ke Universitas Islam Negeri Sultan
Syarif Kasim (UIN SUSKA). Perjalanan lumayan jauh diiringi dengan kemacetan
yang tak berlangsung lama. Sesampainya di sana, saya melihat banyak sekali
orang yang tak lain ialah calon mahasiswa baru di sana. Mereka nampak antusias
dan bersemangat. Di samping itu, bapak turun dari mobil dan berusaha mencari
informasi mengenai universitas tersebut. Tak disangka ternyata pendaftaran
telah ditutup kemarin. Keputusan pahit pun harus saya terima. Salah satunya
harapan hanya UIR.
Keesokan harinya, saya ingin mendaftar ke
UIR lengkap dengan membawa persyaratannya. Keberangkatan hari ini ditemani oleh
keluarga kecil saya yaitu bapak, ibu, dan adik. Mereka menemani saya dan
tentunya Lisda untuk mendaftar ke universitas tersebut. Berbeda dengan calon
pendaftar yang lain, mereka hanya mengajak kakak atau teman bahkan ada yang
sendiri sedangkan saya bersama rombongan keluarga. Keluarga pun harus ikut
menunggu sebab antrian pagi ini lumayan panjang. Selang beberapa menit nama
saya dan lisda dipanggil. Perjalanan hari ini berakhir bersamaan dengan
berakhirnya registrasi dan pembayaran uang pendaftaran.
Dua hari setelah kedatangan saya dan
keluarga, menyusul pula kedatangan bulan yang paling ditunggu-tunggu oleh orang
muslim di penjuru dunia, tepatnya bulan ramadhan. Awal bulan ramadhan tahun ini
memang sedikit berbeda. Hal ini dikarenakan saya dan keluarga berpuasa di kota
baru ini. Tidak hanya tempat, namun dalam suasana yang berbeda pula. Selama
tiga hari berpuasa di kota baru ini, akhirnya tibalah hari kepulangan mereka.
Hampir semalaman saya memikirkan akan hari itu. Rasa sedih tak ingin pergi dari
hati, entah apa yang akan saya lakukan tanpa mereka sebab semua hal di kota
baru ini terasa asing.
Sore ini kesedihan itu makin menjadi-jadi.
Rasanya, saya tak ingin hari esok itu ada. Kesedihan itu semakin bertambah
ketika saya mendengar bapak memesan tiket untuk keberangkatan besok. Sesal tak
ada arti, memang semua keputusan ini adalah kehendak saya. Gelap mulai datang,
ternyata kesedihan itu bukan hanya menghantui saya namun menghantui pikiran
adik saya. Rupanya, dia sangat bersedih harus berpisah dengan saya dan juga
Lisda. Waktu yang tak dapat diharapkan untuk mencegah kedatangan esok hari
semakin mencekik kebersamaan ini. Mata tak ingin terpejamkan, takut hari esok
telah datang tetapi inilah kehidupan yang tak akan mungkin berhenti dan berhenti
berputar.
Sekejap saya terbangun, mendengar
panggilan ibu yang meminta saya untuk melaksanakan sholat subuh. Ternyata hari
itu telah tiba, dengan perasaan sedih saya memulai aktivitas hari ini. Melihat
tas berisi pakaian mereka yang telah dikemas tadi malam, semakin membuat saya
berada di puncak kesedihan. Tepatnya pukul setengah satu, isak tangis mewarnai
wajah saya setelah sekian lama berusaha menahan namun tak mampu tertahankan.
Walau dihati terasa malu kepada tante dan om yang kali itu menghantar mereka.
Sesekali saya memalingkan wajah supaya mereka tak melihat linangan air mata
saya. Hingga sampailah saya dan keluarga ke lokasi bus tersebut. Tanpa
berlama-lama bus tersebut dengan segera menyambut kedatangan mereka dan siap
membawa mereka pulang ke rumah saya.
Mereka berpamitan, memeluk saya dan Lisda.
“Jaga diri baik-baik ya di sini” itulah pesan ibu dan bapak sebelum naik ke
bus. Saya tak sanggup memandang wajah adik saya. Saya benar-benar yakin,
sebenarnya ia ingin menangis hanya saja ia berusaha menahannya. Saat melihat
mereka naik ke bus, sungguh hati saya benar-benar dalam keadaan pilu. Air mata
yang tak berani saya utarakan kala itu berhasil membuat bibir saya gemetar.
Teramat berat rasanya menahan linangan itu tetapi kalau pun harus dijatuhkan
mungkin saat ini sangat tidak tepat. Lagi-lagi saya coba menahannya. Mereka
makin tak nampak dipandangan. Hanya saja terlihat dari jendela bus, ada sebuah
tangan yang melambai kepada saya dan Lisda. Tangan itu ialah tangan ibu.
Lambaian itupun disambut kembali dengan lambaian adik dan bapak. Saya dan Lisda
pun membalas lambaian tersebut. Bus tersebut makin jauh dan menghilang dari
pandangan.
Sebelum pulang ke rumah bibi, om dan tante
mengajak saya dan Lisda mengunjungi rumah mereka. Berhasil, seharian di sana
saya dan Lisda tak berani menitikan air mata. Pasalnya, saya dan Lisda malu
jikalau harus menangis, sebab anak om dan tante juga sama seperti status saya
saat ini, menjadi anak rantauan. Hanya saja kota rantauan anaknya tak jauh dari
sini. Kalaupun harus menangis, saya dan Lisda harus dengan cekatan
menghapusnya. Hari semakin sore, akhirnya om dan tante mengantar saya dan juga
Lisda kembali ke rumah bibi. Sudahlah, tak ada alasan lagi yang mampu menahan
rintikan air mata saya. Suasana ini diperkeruh dengan keadaan rumah bibi yang
sangat sepi. Tumpah ruahlah semua kesedihan saat itu. Tak peduli lagi dengan
rasa malu tersebut. Kesedihan itu pun makin berlarut-larut dan kesedihan
terberat selama tiga hari yang saya alami berhasil menyiksa batin saya. Hampir
setiap tidur siang, saya selalu bermimpi berada di rumah. Ditambah ibu yang hampir
setiap hari menghubungi saya dan adik saya, setiap kali menghubungi saya dapat
dipastikan akan ada pertumpahan air mata di sana. Keadaan itu semakin
mempersulit saya untuk terbiasa dengan semua hal yang terkesan asing bagi saya.
Mungkin semuanya hanya butuh waktu. Saya harus memiliki ribuan waktu bahkan
jutaan waktu yang lebih banyak untuk terbiasa menjalani aktivitas asing ini.
Dua minggu telah berlalu, tak terasa
semuanya telah berhasil saya lalui. Walaupun perjuangan selama beberapa minggu
itu sangat menguras kesedihan saya yang memang sedang berusaha berteman dengan situasi kota baru ini. Tak
terasa tes perguruan tinggi telah dilalui. Hingga pada hasil akhir yang
mengisyaratkan saya berhasil lulus di UIR dengan Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia sebagai program studinya. Sebenarnya bapak kaget kenapa pilihan kedua
yang lulus padahal jurusan pertama yang saya ambil ialah jurusan Pendidikan
Bahasa Inggris. Ternyata bapak tak mengetahui saya mengubah pemilihan program
studi tersebut. Bahwasanya pilihan pertama saya memanglah Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia bukan Pendidikan Bahasa Inggris karena memang saya lebih suka
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia terlebih saya sangat suka menulis sastra
sekalipun hasilnya pas-pasan saja. Bapak pun memakluminya dengan lapang dada.
Sementara itu, Lisda lulus dengan pilihan pertamanya pada program studi
Pendidikan sendratasik.
Berhubung semua urusan mengenai perkulihan
telah diselesaikan, ini artinya saya diizinkan mudik ke Palembang. Kebetulan
sekali libur sebelum perkulihan bertepatan dengan momen hari raya Idul Fitri
dengan begitu saya bisa dipastikan akan pulang kampug. Tanpa banyak alasan,
saya dan bibi memesan sebuah tiket yang siap membawa saya ke Palembang.
Awalnya, saya mendapatkan tiket bus full
AC namun beberapa waktu saat keberangkatan tiba ternyata bus yang
diharapkan tak bisa berangkat hari ini. Saya bersama saudara kembar saya tak
ingin lagi menunda keberangkatan kami kali ini, dengan berat hati kami memilih
bus kelas ekonomi. Modalnya hanya nekad, ini untuk pertama kalinya perjalanan
sejauh ini harus saya nikmati berdua
hanya dengan saudara kembar saya.
Di pikiran saya, kekurangan bus kelas
ekonomi hanya terletak pada penggunann AC saja. Ternyata lebih parah dari itu.
Para perokok alias pecandu racun mulai menghisap racun mereka saat perjalanan
akan segera dimulai. Keadaan ini semakin parah lagi, selepas adzan maghrib,
ketika itu waktunya berbuka puasa para penumpang pencandu racun yang tadinya
berusaha menahan menghisapnya sekarang menjadi-jadi. Ini memang sebuah bencana.
Saya adalah orang yang sangat anti rokok karena memang bapak tak pernah merokok
dari bujangan hingga saat ini. Ingin rasanya saya menegur mereka, tapi apa daya
saya tak memiliki kuasa untuk melarangnya. Lagi-lagi inilah konsenkuensi atas
pilihan saya yang harus diterima dengan besar hati. Sekalipun harus menghirup
racun dan harus menahan rasa lapar lebih lama. Untunglah, sebelum berangkat
saya telah mempersiapkan roti dan sebotol teh dingin untuk jaga-jaga jikalau
bus tak berhenti saat berbuka puasa. Saat jam telah menunjukkan pukul 20.00 WIB
barulah bus berhenti. Barulah saya bisa mengisi kekosongan lambung yang telah berhasil
saya tahan selama beberapa jam terakhir ini.
Pada akhirnya perjalanan itu berakhir
ketika saya melihat sebuah gerbang besar bertuliskan SMA Negeri 1 Pendopo.
Perjalanan yang melelahkan ini telah berakhir. Ibu menyambut kedatangan saya
dan saudara kembar saya dengan hangat begitu juga dengan bapak serta adik
bungsu saya. Mereka hampir tidak percaya bahwa yang berada dihadapan mereka
adalah anak kembarnya yang dulu tak bisa apa-apa jikalau tanpa mereka. Ya,
memang semuanya telah berubah. Seiring bergulirnya waktu, anak kembar kalian
telah menjadi anak kembar yang dewasa bukan anak kembar yang masih manja bukan
juga anak kembar yang dulu mereka timang. Sekitar dua minggu saya dan saudara
kembar mengobati rasa rindu terhadap mereka, tetapi waktu jua yang harus
memisahkannya. Saya harus kembali ke kota baru di sana guna melanjutkan
semester selanjutnya. Sekalipun berat, saya haruslah menerimanya dengan ikhlas.
Lagi-lagi perjalanan ini penuh dengan air
mata. Mungkin jikalau air mata ini bukanlah berasal dari Tuhan, saya yakin air
mata yang saya punya telah kehabisan persediaannya. Kali itu, saya hanya
ditemani bapak pergi ke tempat peristirahatan bus yang nantinya akan membawa
saya kembali ke negeri perantauan. Iba rasanya melihat bapak yang mulai merasa
letih menemani saya menunggu kedatangan bus. Sampai-sampai bapak tertidur di
bangku panjang yang tempatnya bersebrangan dengan bangku saya. Saya hanya bisa
melirik ke arah tersebut dengan tatapan kesedihan. Bapaklah yang selama ini
berkorban banyak hal demi masa depan saya dan saudara yang lainnya. Tak lama
kemudian, bus pun datang. Selamat jalan Palembang, selamat datang Pekanbaru.
Kampus, itulah tujuan saya berada di sini.
Ini kali pertamanya saya memulai aktivitas perkuliahan. Mengenal dari keasingan
itulah tugas saya sekarang. Bertemu dengan teman-teman baru yang sama sekali belum
bertemu sebelumnya. Selama tiga hari, sebagai calon mahasiswa baru saya pun
mendapatkan pengalaman yang bernama ospek dan selama itu juga saya harus
merasakan penatnya berjalan hingga betapa sakit dan susahnya di tipu orang.
Orang awam seperti saya menjadi target orang-orang yang tak berperasaan.
Hari kedua ospek, saya dan kembaran saya
dilarikan oleh bus kota hingga ke Universitas Riau yang bertepat di Panam.
Entah telinga mereka yang salah atau mereka yang sengaja membuat saya dan
saudara kembar saya gelisah. Padahal jikalau saya percaya kepada oplet (angkot)
tentulah saya tidak akan dilarikan sejauh itu, tetapi rasa gengsi saya begitu
tinggi bersamaan dengan lamanya kedatangan angkot memaksa saya harus memilih
bus kota tanpa melihat arah tujuannya. Saya menaiki tangga bus kota dengan
yakinnya. Lagi pula di sudut belakang sana, ada laki-laki seusia saya yang
mengenakan seragam persis dengan seragam yang saya kenakan ketika itu. Sang
kernek bus kota meyakinkan saya dengan dua kali pertanyaan yang saya jawab
dengan kata UIR (Universitas Islam Riau). Yakinlah sudah semua keraguan saya
dan saya mulai menikmati perjalanannya.
Beberapa waktu kemudian, waktu tenang yang
baru saya dapatkan seakan terusik. Rute perjalanan yang biasanya saya tempuh
kemarin berbeda dengan hari ini. Saya mencoba bertanya lagi kepada kernek bus,
lagi-lagi dia menenangkan saya. Dia mengatakan bahwa kita antar penumpang yang
lain dulu. Puncaknya, ketika saya melihat anak laki-laki itu turun di depan
sebuah bangunan universitas bertuliskan UNRI (Universitas Riau) dan berhasil
meledak saat sang sopir bersamaan dengan pegawainya meminta saya turun. Betapa
kikuknya saya, saya melawan dengan mengatakan bahwa ini bukan jurusan saya,
tetapi mau apalagi mereka hanya meminta saya mencari kendaraan lain dan meminta
maaf setelah itu berlalu begitu saja.
Sekarang tinggal saya berdua dengan
saudara kembar saya menanti pertolongan dari Sang Kuasa. Tiba-tiba sebuah
angkot berwarna kuning melintas, lalu menawarkan tumpangan tentunya dengan
imbalan uang karena memang itulah mata pencaharian mereka. Sang sopir begitu
terkejut mendengar jurusan yang saya ucapkan. Setelah penjelasan yang saya
tuturkan dengan senang hati ia mau mengantar hanya saja tariff sedikit lebih
mahal. Ia meminta saya memberinya rupiah sebanyak Rp60.000,00 dengan alasan itu
bukan jurusan saya. Saya menyetujuinya namun siapa sangka ketika saya merogoh
saku kemeja putih saya uang yang tersisa hanya sekitar Rp42.000,00. Sang sopir
meresponnya dengan terdiam beberapa menit hingga menarik kesimpulan bahwa ia
menyetujuinya. Terlambat, itulah kenyataan yang harus diterima.
Masa ospek telah usai, jadwal perkuliahan
segera dimulai. Pada perkuliahan ini juga saya bertemu dengan teman-teman baru.
Salah satunya bernama Relly Meiwati. Dialah teman yang paling dekat dengan saya
pada waktu itu. Hingga waktu mempertemukan saya dengan teman yang lainnya.
Kebetulan saat itu saya mendapatkan kelas D, kelas yang selalu menjadi teman
disetiap semester saya. Saya juga mendapatkan kesempatan dipercayakan menjadi
wakil ketua kelas.
Sungguh menjadi sebuah pengalaman yang tak
terlupakan tepatnya ketika saya berada di semester satu, saya berkesempatan oleh
Allah untuk pertama kalinya mengunjungi sebuah daerah bernama Bengkalis.
Kebetulan kala itu, saya berangkat bersama rombongan HIMA PBI (Himpunan
Mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia) untuk menghadiri sebuah acara resepsi
pernikahan ketua prodi Bahasa dan Sastra Indonesia. Mengunjungi pantai selat
panjang hingga kelelehan yang memaksa saya dan rombongan tidur di Masjid Raya
Siak tepatnya di pelataran masjid karena penjaga hanya mengizinkan saya dan
rombongan beristirahat di tempat itu. Laki-laki mengambil tempat di tangga
sedangkan perempuan jauh di pelataran masjid. Kemudian, batasan waktu yang
diberikan hanya sampai jam tiga dini hari. Selebihnya saya dan rombongan harus
angkat kaki dari masjid itu. Dinginnya lantai keramik pada malam itu memaksa
saya untuk tidur dengan mengenakan mukenah saya supaya aurat tetap terjaga dan
terbebas dari hisapan sang nyamuk. Ketika jam menunjukkan pukul tiga dini hari
saya dan rombongan melanjutkan perjalanan. Perjalanan dilanjutkan hingga sampai
ke tempat tujuan yaitu kota Pekanbaru.
Perjalanan yang sama juga saya rasakan
juga ketika semester dua. Ketika Allah member kesempatan saya berkunjung ke
kota yang terkenal dengan jam gadangnya yaitu kota Padang. Berbeda dengan
perjalanan sebelumnya, pada perjalanan ini tak ada ritual menginap di masjid
hanya saja saya harus beristirahat di mobil selama satu hari penuh. Berangkat
setelah isya dan kembali esok harinya pukul tiga dini hari. Perjalanan ini
sungguh melatih otot-otot tangan dan kaki saya karena menurut saya agenda kali
ini lebih dominan dengan berjalan kaki. Memang terdapat sebuah kepuasan
tersendiri ketika berada di sana, namun rasa letih yang menghantui makin
membuat resah hati.
Tanpa mandi saya dan saudara kembar saya
serta rombongan yang lain pergi berkunjung jam gadang. Tak terbilang betapa
terusiknya badan merasa tak nyaman dengan keadaan. Apalah daya memikirkan diri
sendiri, teman yang lain pun tak berisau hati mereka tetap bergembira dan
membuat gambar diri mereka sambil berdiri di depan jam gadang. Mereka asyik
berbelanja dan saya harus berduka, itu sangatlah tidak mungkin. Letakkan saja
diri ini pada kenyamanan karena saya berada diantara teman-teman yang belum
merasakan nikmatnya guyuran air di pagi itu. Saya pun hanyut dalam kegembiraan,
menikmati pemandangan dari ketinggian sungguh sangat menawan.
Sayang, tak beberapa lama dari kegembiraan
itu. Semua penumpang para wisata harus dikecewakan dengan alasan tujuan utama
ke Lembah Harau harus dibatalkan mengingat hari sedang turun hujan dan mulai larut
malam. Kekecewaan ini menghantarkan saya merebahkan tubuh yang mulai lelah.
Kelelahan itu semakin terasa ketika saya lirik jam di handphone saya, ternyata jam telah menunjukkan larut malam. Saya
mulai cemas karena esok saya ada jadwal perkuliahan dan saya juga tak tahu
bagaimana caranya pulang. Berdebatan di bus kali itu mengharuskan penumpangnya
menginap di kos kakak senior. Untungnya, saudara kembar saya memiliki teman
yang letak kosnya tak berjauhan dari pemberhentian bus. Sesampainya, di sana
saya segera merebahkan tubuh saya yang saat itu sangat lelah, kaki dan tangan
saya terasa ngilu. Perjalanan
seharian yang memancing adrenalin.
Masih banyak hal lain yang mewarnai
perjalanan saya dalam menuntut ilmu ini. Mulai membiasakan segala hal yang berhubungan
dengan dunia perkuliahan, mengenali para dosen, hingga berjuang mengerjakan
tugas yang mereka berikan. Puncaknya ketika musim ujian tiba dengan seragam
kebaya putih dan sebuah kain batik berwarna hijau sebagai bawahan lengkap
dengan kerudung hijaunya, menjadi saksi perjuangan para mahasiswi UIR. Selain
itu, para mahasiswa tampil rapi layaknya pegawai kantoran dengan seragam kemeja
ditambah celana hitam lengkap dengan dasinya menjadi pemandangan yang biasa
ketika musim itu tiba. Selama satu atau dua minggu saya dan mahasiswa yang
lainnya berjuang menaklukan soal demi soal yang datang demi menggapai sebuah
kesuksesan.
Perjuangan selama beberapa hari pun,
membuahkan hasil yang menggembirakan sebab Allah mengizinkan saya memperoleh IP
sebesar 3,82. Menurut saya pencapaian itu sungguh membutuhkan perjuangan yang
luar biasa. Terlepas dari itu semua, penilaian bukanlah harga mati yang harus
terpenuhi. Sebenarnya ada suatu hal yang lebih berarti dibalik semua itu, yaitu
sebuah proses pendewasaan. Dimana saat ujian berlangsung kita diminta jujur dan
tak boleh melalukan kecurangan. Ketika perkuliahan kita dilatih agar dapat
memahami teman satu kelas kita, melatih diri untuk menghormati dosen yang telah
memberikan ilmunya kepada kita, melatih wujud kepedulian kita, kesabaran kita,
dan yang jelas perjuangan kita dalam menuntut ilmu. Itulah hal yang paling
utama dibanding segalanya.
Bukan
hanya ilmu dunia yang saya dapatkan diperkuliahan ini, tetapi ilmu akhirat pun
saya dapatkan di sini. Semua perubahan ini telah membuka lebar mata dan hati
saya betapa banyak kekurangan yang ada pada diri saya sebagai seorang hamba.
Memang ilmu tanpa iman bukanlah apa-apa, juga sebaliknya. Haruslah diimbangi
antara keduanya agar proses perkuliahan ini bukanlah semata-mata mengejar nilai
namun memperbaiki jiwa dan akhlak sebagai perwujudan kasih sayang terhadap Sang Pencipta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar