Minggu, 22 Juni 2014

Seberkas Kisahku di Bumi Pertiwi

     Nama saya Lisma Nopiyanti, tetapi biasanya teman-teman khususnya teman akrab saya memanggil saya dengan sebutan mot. Kata mereka itu panggilan kesayangan untuk saya. Saya lahir di sebuah desa di daerah Salek Jaya. Tepatnya di Provinsi Sumatera Selatan dengan Palembang sebagai ibukotanya. Di daerah yang mendapat julukkan “kota pempek” inilah,  saya dilahirkan. Ya, di sebuah desa terpencil yang masih menggunakan sepeda sebagai alat transpor-tasinya. Bahkan untuk merasakan terangnya lampu pada malam hari, penduduk sekitar harus menggunakan akumulator.
Sungguh memprihatinkan, namun keadaan itu tidak mampu menu-tupi indahnya kebersamaan di sana. Ibarat pepatah suka sama dijinjing ringan sama dipikul. Itulah semboyan mereka. Setiap kesedihan mereka rasakan bersama dan saat kebahagiaan hadir di hadapan mereka, mereka selalu membaginya. Selain pemasokan listrik yang belum memadai, kurangnya tenaga medis di sana pun memaksa persalinan ibu hanya dibantu oleh seorang dukun beranak. Tepatnya pada hari minggu pagi, 27 November 1994 kira-kira sekitar pukul enam pagi saya terlahir ke dunia, tetapi saya tidak dilahirkan seorang diri, rupanya Allah memberi saya saudara kembar. Alhamdulillah.

     Kelahiran saya pun menjadi perbincangan hangat di lingkungan desa. Bagaimana tidak memiliki anak kembar adalah suatu hal yang luar biasa. Bapak yang tidak pernah menduga akan hal itu hanya memiliki persediaan untuk satu orang bayi saja, baik perlengkapan bahkan nama. Tanpa pikir panjang bapak memutuskan untuk pergi ke sebuah pasar dadakan yang hadir setiap hari minggu itu, demi melengkapi persediaan yang ada. Sesampainya di pasar, ternyata bapak mendapatkan bonus dari sang penjual. Sang penjual yang baik ini, memberikan perlengkapan secara cuma-cuma kepada bapak sesaat setelah bapak menceritakan kelahiran anak kembarnya. Tak ketinggalan juga para tetangga yang baik hati, memberikan sumbangan berupa perlengkapan bayi yang dulu digunakan saat proses kelahiran anak mereka. Kehangatan memang tergambar jelas di lingkungan desa yang sederhana ini. Saya tak pernah merasa terkucilkan walaupun saya dibesarkan dari desa yang penuh kekurangan ini. Alam yang indah serta menyejukkan mata mampu menghapuskan segala kekurangannya.

     Saya benar-benar beruntung dilahirkan di tempat ini tentunya bersama saudara kembar saya. Bagi saya terlahir sebagai anak kembar adalah anugerah paling indah yang pernah Sang Pencipta berikan kepada saya.  Terima kasih Allah, karena saya yakin tidak semua orang memiliki kesempatan yang sama seperti halnya saya. Bahkan banyak juga diantara mereka terlahir cacat atau kembar siam. Beruntungnya, saya tidak merasakan hal semacam itu. Alhamdulillah saya dan saudara kembar saya terlahir dalam keadaan sehat dan sempurna.  Lisda Nopiyana, itu nama saudara kembar saya. Nama itu adalah nama alternatif yang diberikan oleh bapak karena nama pertama yang telah bapak siapkan hanya satu dan untuk satu anak saja, yaitu Diah Renita. Siapa sangka anak yang terlahir kembar. Ternyata nama tersebut memiliki makna yaitu Lisma, artinya pertama karena saat itu saya terlahir pertama dibanding saudara kembar saya. Lisda, ya artinya kedua, sedangkan Nopi itu menunjukkan bulan kelahiran saya yaitu bulan November dan nama Yana dan Yanti hanya tambahan.

     Saya dibesarkan oleh orang tua yang luar biasa hebatnya. Orang tua yang selalu mengajarkan saya untuk hidup mandiri dan hemat. Terutama bapak, sifat bapak yang sedikit lebih keras membuat saya terlahir menjadi anak yang mandiri. Mungkin di luar sana masih ada perempuan seusia saya yang sama sekali tidak bisa memasak. Tetapi, itu tidak berlaku bagi saya. Sejak kelas lima SD saya dan saudara telah diberikan bekal oleh bapak serta ibu untuk gotong-royong membantu pekerjaan rumah yang biasanya dikerjakan oleh bapak dan ibu. Setelah mandiri, pelajaran yang selanjutnya adalah hemat. Bapak memang benar-benar mengajarkan hemat. Pernah suatu ketika, saat kenaikan kelas yaitu dua SMP. Biasanya setiap tahun ajaran baru semua peralatan baik buku, sepatu, bahkan baju berganti menjadi yang baru. Begitu juga dengan teman-teman saya. Saat itu saya juga merasakan hal yang sama. Saya ingin memiliki sepatu baru. Karena sepatu yang lama itu terlalu jadul. Ya, walaupun ketika itu keadaan sepatu masih layak pakai. Akhirnya, saya memberanikan diri berbicara kepada bapak tentang keinginan itu. Apa yang saya dapatkan? Hanya sebuah kata penolakan. Bapak mengatakan bahwa sepatu itu masih bagus dan masih bisa dipakai untuk satu semester lagi. Lagi pula, tidak ada kerusakan yang fatal pada sepatu jadul itu. Mau tidak mau saya harus menerima keputusan itu. “Belajarlah untuk hemat, kalau masih bisa dipakai kenapa harus beli yang baru” begitu pesan bapak. Rasanya memang tidak ada salahnya, jika mengambil keputusan untuk hemat dengan syarat tidak boleh berlebihan. Takutnya, kata hemat itu lama-lama akan menjelma menjadi sebuah sikap yang menakutkan, yaitu pelit.

     Selain mengajarkan untuk mandiri dan hemat, mereka juga orang tua yang selalu mengingatkan saya betapa pentingnya agama dalam hidup saya. Alhamdulillah saya telah mendapatkan ilmu agama sejak kecil. Bahkan sejak umur lima tahun pun ibu mulai mengajak saya sholat. Meskipun saat itu saya belum memahami apa sebenarnya sholat itu. Kebiasaan dari kecil ini membawa dampak yang baik untuk pekembangan saya ke depannya. Selain itu, saya tidak akan mendapatkan izin keluar rumah jikalau waktu sholat telah tiba dan saya belum menunaikannya. Pertama memang karena paksaan, namun lama-kelamaan saya benar-benar memahami bahwa sholat yang paling baik itu adalah sholat yang tepat waktu. Pelajaran selanjutnya setelah sholat ialah puasa. Masih jelas diingatan saya, saat saya masih duduk di bangku Taman Kanak-kanak (TK) saya mulai belajar berpuasa. Bukan sampai tenggelamnya matahari hanya setengah hari saja yaitu sekitar pukul 12.00 WIB. Pada dasarnya semua hal yang baik akan lebih baik lagi jika diterapkan sejak kita masih kecil karena proses yang berlangsung sejak dini dan secara terus-menerus akan menghasilkan sesuatu kebiasaan yang baik. Seperti pepatah, ala bisa karna terbiasa. Pasangan orang tua yang hebat itu adalah bapak Suyanto dan ibu Siti Khodijah yang menikah pada tanggal 12 April 1992. Subhanallah.

     Saya menghabiskan masa kecil di desa terpencil yang penuh dengan kekurangan itu. Hingga pada akhirnya saya dan keluarga pindah ke kota. Sebelum kepindahan itu saya sempat merasakan bagaimana rasanya duduk di bangku Taman Kanak-kanak (TK). Masa dimana semuanya serba ibu karena memang setiap pagi ibu harus menyiapkan bekal yang akan saya dan saudara kembar saya bawa. Semuanya serba sama, nyaris tak ada yang berbeda. Entah itu tas, sepatu, ikat rambut, ikat pinggang, kaos kaki, dan lain sebagainya. Ya, sejak masih bayi semua yang saya dan kembaran saya kenakan selalu sama. Masih tergambar jelas dalam ingatan saya ketika ibu guru meminta saya berdiri ke depan kelas dan menyanyikan sebuah lagu. Saya terdiam dan merasa takut tetapi ibu guru tetap saja memaksa. Keadaan tertekan ini, membuat saya  memberanikan diri untuk berdiri ke muka kelas tetapi tidak untuk menyanyi terlebih hanya menuruti apa yang ibu guru katakan tadi. Saya yang merasa makin ketakutan saat berada di muka kelas ini mulai kehilangan kendali. Saya menangis sejadi-jadinya di muka kelas. Kelas yang tadinya hening, pecah menjadi lautan tawa. Teman-teman yang tadinya terdiam, terpingkal-pingkal melihat ulah saya. Tangisan saya pun berhenti ketika ibu guru meminta saudara kembar saya untuk bernyanyi bersama-sama. Walaupun tangisan berhenti, tetap saja saya tak mau bernyanyi. Semua ini saya dapatkan hanya tiga bulan saja karena setelah ini saya dan keluarga pindah ke kota.

     Kepindahan ini dikarenakan bapak pindah tugas. Ya, bapak saya yang bertugas sebagai tulang punggung keluarga yang bekerja menjadi seorang pahlawan tanpa jasa di SMP Negeri 1 Salek Jaya harus berpindah ke SMA Negeri 1 Pendopo. Selain menjadi tenaga pengajar di sana  khususnya mata pelajaran matematika, bapak juga menjabat sebagai wakil kepala sekolah bagian kurikulum di sana. Untuk menambah penghasilan, bapak juga membuka les privat di rumah. Sedang, ibu saya hanya seorang ibu rumah tangga biasa. Sebenarnya dulu sewaktu tamat SMA ibu pernah memiliki keinginan menjadi seorang perawat. Namun, keinginan ibu tidak didukung orang tuanya. Kepercayaan “wanita itu tempat kerjanya hanya di dapur dan di rumah” masih lekat dipikiran orangtuanya. Akhirnya, ibu harus mengubur keinginannya  dan sekarang menjadi ibu rumah tangga biasa. Ibu saya adalah sosok wanita yang tidak kenal lelah. Untuk membantu bapak mencari nafkah, ibu membiasakan diri menjadi seorang wirausaha walaupun hanya kecil-kecilan. Ibu mulai mencoba terjun ke dunia kewirausahaan ini saat mengandung anak pertama hingga sekarang. Keripik singkong, itulah olahan yang ibu saya jual. Dari warung ke warung hingga ke minimarket-minimarket terdekat. Dari satu kilo singkong sekarang bisa berkarung-karung singkong yang dihabiskan. 

     Nikmat Allah sungguh luar biasa, ini juga sekaligus jawaban dari doa-doa dan usaha kami selama ini. Karena pada tahun ini, bapak harus menanggungbeban demi membiayai saya dan saudara lainnya mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Kakak tertua di keluarga saya, saat ini sedang mempersiapkan skripsinya di salah satu universitas di Bandung tepatnya Universitas Komputer yang disingkat dengan UNIKOM yang katanya menjadi universitas salah satu personil boyband ternama Indonesia. Jufri Bagus Rahmawan itu namanya. Biasa dipanggil Mas Jufri. Karena kata ibu itu panggilan orang jawa untuk laki-laki yang lebih tua daripada kita. Kebetulan saya memang berasal dari suku Jawa. Pria kelahiran 30 Maret 1993 ini, sangat menggemari olahraga basket. Dia adalah kakak terhebat bagi saya. Karena kami berdua adalah patner yang sama dalam hal tim sepakbola. Saya dan kakak saya sama-sama menyukai sebuah klub dari Inggris yang terkenal dengan julukan “Red Devils”. Bagi saya, mas Jufri adalah pemberi informasi yang paling baik. Semua hal mengenai  tim kesayangan saya ini tidak ada yang terlewatkan mulai dari pemain hingga asal-usul nama tim itu sendiri. Saya pun mendapat dukungan dari saudara kembar saya yang ternyata diam-diam  menyukai tim “Red Devils” ini. Kami bertiga mulai berlomba-lomba mengumpulkan kostum yang dikenakan pemain saat bertanding.

     Selain kompak dengan tim kesayangan, saya dan saudara yang lainnya pun terlihat kompak ketika menyukai jenis makanan. Salah satunya, keripik setan. Bukan karena bentuknya seperti setan tetapi karena rasa pedasnya diluar tingkat pedas orang-orang biasanya. Keripik yang didapat setelah penantian yang lama karena di daerah saya belum ada gerai makan atau minimarket yang menyediakannya. Terpaksa harus menunggu hingga kepulangan sang kakak tercinta. Hanya oleh-oleh itu yang tidak pernah absen, kami request disetiap kesempatan kepulangan Mas Jufri. Walaupun rasanya persis dengan namanya, itu semua tidak meluluhkan niat kami untuk itu. Saya dan saudara kembar saya selalu mempersiapkan sesajen ketika ingin menyantapnya. Kami terlebih dahulu menyiapkan minuman manis sebagai antisipasi saat rasa pedas menghampiri. Tetap saja rasa pedas itu menyiksa lidah saya. Bahkan airmata menetes dengan sendirinya. Kenikmatannya itu terletak pada bumbu cabai yang khas itu. Lain halnya dengan sang kakak, yang selalu menyediakan satu gelas susu yang akan diminumnya setelah melahap kripik tersebut. Alasannya supaya perut tidak kontraksi.

     Dalam dua hal ini kami bertiga terlihat kompak. Namun, tidak ketika sedang berbagi tugas membersihkan rumah. Saya dan saudara kembar saya memiliki porsi yang jauh lebih banyak dibanding sang kakak. Menurutnya, anak tertua itu harus dimanja ditambah lagi karena dia anak laki-laki satu-satunya di rumah. Sebab pekerjaan rumah yang saya dan saudara kembar saya lakukan adalah pekerjaan perempuan yang tidak seharusnya dia lakukan. Kalau sudah begini pasti cecok mulut hadir. Saya yang cenderung lebih cengeng dibanding yang lainnya hanya bisa menangis kesal. Namun hal semacam itu tidak berlangsung lama mungkin hanya satu sampai dua jam. Setelah itu, suasana kembali seperti biasanya.

     Ternyata sifat cengeng ini menular. Adik saya, yang bernama Indah Putri Rahma Sari hampir memiliki sifat yang sama. Hanya bedanya adik saya lebih percaya diri dibandingkan dengan saya. Saya tergolong orang yang pemalu. Orang yang lebih memilih diam di setiap kesempatan yang saya anggap asing. Sifat percaya diri yang dimiliki adik saya ini terbukti pada saat dia mengikuti semua perlombaan yang diadakan di sekolahnya hingga pada suatu ketika dia menawarkan diri kepada gurunya agar dia bisa mementaskan sebuah tarian ketika acara perpisalahan kakak kelasnya. Terakhir dia memenangkan lomba vokal grup yang semua gerakannya berasal dari pemikirannya sendiri. Dia berhasil merebut juara ketiga bahkan setelah itu, kakak kelasnya ingin berlatih menari dengan menempatkan adik saya sebagai koreografernya.  Ternyata dia mengikuti  jejak saya karena ketika duduk dibangku SD, saya terhitung sering menampilkan sebuah tarian khas Palembang yaitu Gending Sriwijaya.

     Perempuan kecil kelahiran 6 Januari 2004 ini, sekarang sedang menempuh pendidikannya di sebuah SD dekat rumah yang dulunya menjadi tempat saya dan saudara kembar saya menimba ilmu, yaitu SD Negeri  17 Pendopo. Dari kelas 1 SD hingga kelas 4 SD, dia selalu menduduki peringat tiga besar di kelasnya dan yang lebih membanggakannya lagi  dia mengikuti TK/TPA Ar-Rohim (Taman Kanak/Kanak atau Taman Pendidikan Alqur’an) yang mendapatkan peringat kedua saat pengambilan hasil evaluasinya. Tidak jauh berbeda ketika saya menimbah ilmu di SD.

     Saya dan kembaran saya selalu mendapatkan peringkat yang baik, tetapi entah kenapa saat kelas 2 SD saya mendapatkan peringkat ke tujuh dan saudara kembar saya harus puas berada di peringkat lima. Setidaknya dia lebih beruntung dibandingkan saya. Waktu itu tepatnya sabtu pagi, ibu saya pergi ke sekolah karena semua wali murid hari ini diharuskan datang untuk pengambilan raport. Kebetulan saat itu saya memutuskan untuk tidak ikut ibu ke sekolah karena saya merasa yakin bahwa semua nilai yang saya dapatkan baik. Setelah pembagian raport, ibu bergegas kembali ke rumah. Setibanya di rumah, ibu hanya diam dan menyodorkan hasil pembelajaran itu kepada saya. Alhasil dengan semangatnya saya rebut raport itu dengan semangat. Saya terkejut ketika melihat peringkat yang tertulis di kolom itu adalah angka 7. Saya yang memang memiliki sifat cengeng, seketika menangis tersedu.

     Begitu pula halnya dengan saudara kembar saya. Saya dan saudara kembar saya sama-sama tidak percaya dengan apa yang kami dapatkan sekarang ini. Kami berdua benar-benar kecewa, namun bapak dan ibu tetap menguatkan dan meminta saya dan saudara kembar saya agar lebih rajin belajar. Padahal saya dan saudara kembar saya mampu menjawab soal dengan baik dan belajar dengan giat. Apa daya hasil yang saya dapatkan tidak sesuai dengan keinginan saya, sungguh memprihatinkan. Sebenarnya bukan hanya itu saja yang membuat saya begitu kecewa. Satu hal yang lebih membuat saya kecewa. Saya tidak mendapatkan hadiah dari wali kelas. Perasaan manusiawi yang dirasakan setiap anak SD ketika ia melihat temannya mendapatkan hadiah tetapi tidak untuk dirinya sendiri.

     Seirama dengan adik perempuan, saya juga mengikuti TK/TPA tetapi bukan di Ar-Rohin melainkan di An-Nazzah. Berbeda dengan adik saya yang selalu tampil berani dan percaya diri. Saya dengan sikap malu, merasa takut saat pertama kali mengikutinya. Sedangkan saudara kembar saya tampil lebih berani dibanding saya. Tak terasa kegiatan hari ini selesai walaupun harus dilewati dengan rasa takut. Ketika diperjalanan pulang, aku berlari dengan kencangnya. Tidak mempedulikan keadaan jalan. Rupanya di tengah jalan ada sebuah batu yang lumayan besarnya dan saya tergelincir. Seragam yang saya kenakan kotor pada bagian lututnya sobek. Malu, saya benar-benar malu.

     Jika berbicara prestasi, setidaknya adik saya lebih baik dan pintar jika dibandingkan dengan saya. Sebenarnya menurut bapak, anak yang pintar itu bukan sekedar yang mengerti apa itu IPA atau IPS atau matematika, tetapi, anak yang pintar itu adalah anak yang meletakkan dunia dan akhiratnya secara seimbang. Bukan hanya terfokus pada pelajaran tetapi juga pada agama. Bapak dan ibu yang memang membiasakan anak-anaknya sejak usia dini melakukan perintah Allah ini. Nampaknya memberikan efek yang berbeda pada diri saya. Hingga pada saat saya menginjak waktu remaja.  Pada saat itu mungkin remaja lainnya mengalami kesulitan ketika ingin melaksanakan shalat dengan berbagai alasannya, syukur Alhamdulillah itu tidak saya rasakan.

     Prioritas lain yang bapak terapkan kepada anak-anaknya adalah jenjang pendidikan yang harus kami dapatkan adalah sekolah negeri. Seiring dengan hal itu, saya menikmati tiga tahun waktu SMP di sebuah SMP Negeri 1 Pendopo.  Tepatnya sekolah dimana bapak saya bertugas. Itu bukan artinya saya bebas melanggar peraturan yang ada. Terlebih berada di posisi seperti saya sekarang ini adalah posisi yang sulit karena saya harus membuktikan bahwa saya adalah anak dari bapak Suyanto seorang guru matematika yang memiliki adab. Bukan berarti itu menjadi beban saya, karena seharusnya hal itu harus dijadikan semangat saya dalam menempuh pendidikan disini. Tanpa diduga-duga Alhamdulillah, saudara kembar saya diberikan amanah untuk menjadi ketua OSIS. Bukan semata-mata karena bapak. Sebenarnya, ada beberapa orang yang dicalonkan, tetap saja Lisda yang terpilih. Menurut penjelasan Pembina OSIS, saudara kembar saya memiliki kriterianya bukan karena memandang bapak sebagai rekan kerjanya. Sementara saya menjadi sekretarisnya. Tentu saja ini akan menjadi sebuah pelajaran yang luar biasa bagi kami berdua. Saya dan saudara kembar saya pun bertekad untuk membuat bapak bangga dengan cara menjalani amanah ini dengan baik. Bapak tak banyak bicara, hanya bertanya apakah benar Lisda dipilih menjadi OSIS. Sebaris pertanyaan itu saja, kemudian ditambah sedikit wejangan jalanilah semuanya dengan baik.

     Alhamdulillah, semuanya berjalan dengan lancar dan baik. Salah satunya ketika rencana studytour kami mendapat restu sang Kepala Sekolah. Proposal yang susah payah dibuat dapat ditandatangani sang Kepala Sekolah. Saat itu proposal yang saya buat ialah pengajuan studytour  ke PTBA ditambah dengan wisata goa Putri dan Air terjun bedegong.  Pengalaman yang mungkin tidak akan saya dapatkan dua kali. Seminggu sebelum keberangkatan saya dan teman-teman disibukkan dengan peserta yang ingin mendaftar studytour. Lumayan semua siswa ikut antusias. Mentari mulai terbit, tibalah hari keberangkatan. Semua persiapan telah disiapkan. Bus dipenuhi siswa-siswi dengan seragam putih-birunya. Sebuah perusahaan batubara yang akan dijadikan tujuan utama. Rasa takjub menghampiri saya ketika kali pertamanya saya menginjakan kaki di sana. Perusahaan ini termasuk salah satu perusahaan terbesar yang dikelola di daerah ini. Hal ini disebabkan penghasilan utama di daerah tersebut (Muara Enim) adalah batubara. Jadi, wajar jika perusahaan ini terlihat begitu luar biasa. Semua tersusun rapi, bersih, dan indah. Kedatangan saya dan teman-teman pun disambut oleh pihak perusahaan. Agenda pertama yang akan dilakukan ialah penjelasan dari pihak perusahaan yaitu mengenai bagaimana batubara diproduksi. Setelah itu, dilanjutkan dengan turun ke lapangan melihat kondisi di luar. Saya dan teman-teman dikumpulkan di sebuah ruangan yang dilengkapi dengan fasilitas proyektor. Di ruangan itu saya dan teman-teman menyaksikan sebuah video dokumenter mengenai produksi batubara. Dilanjutkan dengan sebuah perjalanan menuju lapangan. Saya dan teman-teman pun mendapatkan kesempatan menjadi pegawai. Saya dan teman-teman diizinkan melakukan perjalanan dengan menggunakan bus perusahaan. Sebelumnya saya dan teman-teman diwajibkan menggunakan helm keamanan. Persis pegawai di perusahaan, bedanya saya dan teman-teman tidak menggunakan seragam pegawai melainkan seragam putih-biru. Sesampainya di lapangan saya benar-benar bedecak kagum, pemandangan yang saya dapatkan sungguh indah. Dari kejauhan nampak mobil-mobil besar yang lalu lalang. Saya dan teman-teman hanya diizinkan melihat dari kejauhan saja, tepatnya di atas bukit. Walau tidak terlalu dekat semuanya terlihat jelas. Sungguh besar kuasa Sang Pencipta, sumber daya alam yang tersebar di seluruh bumi ibu pertiwi yang semuanya dapat dimanfaatkan dan ini tugas kami para generasi muda untuk terus melestarikan dan menjaganya dengan baik. Keterbatasan waktulah yang harus memisahkan kami dari tempat yang menajubkan ini. Keadaan ini ditambah karena cuaca tidak mendukung kedatangan kami. Tiba-tiba, hujan turun dengan derasnya. Tentu saja ini memaksa kami untuk lekas kembali ke perusahaan dan melanjutkan perjalanan selanjutnya.

     Diguyur hujan sepanjang perjalanan ke goa putri, membuat jalanan ke goa sedikit licin. Cuaca sejuk ini pun memaksa kedua mata saya untuk terlelap. Setiba disana, teman disamping kiri saya segera membangunkan saya. Beruntung cuaca hanya mendung tak lagi hujan. Sebelum pergi ke goa, kami bersama-sama menunaikan sholat dzuhur terlebih dahulu. Sholat selesai, itu artinya saatnya kami menuju goa. Perasaan gembira pun menghantarkan kami hingga ke dalam goa. Gelap, itulah kesan pertama yang kami dapatkan. Hingga kami menemukan bau yang entah berasal dari mana. Di atas goa tersebut dihiasi dengan relief-relief. Sedikit berhati-hati dan tertatih-tatih kami langkahkan kaki kami, sebab jalanan di dalam goa benar-benar licin. Jika tidak berhati-hati kami akan terjatuh. Keadaan goa yang makin terjal dan licin membuat kami kehilangan izin. Krisis kepercayaan, saat itu kami tidak mendapat kepercayaan untuk melanjutkan peerjalanan. Sang Pembina terlalu khawatir akan terjadi suatu hal kepada kami, terlebih karena kami perempuan. Walau sedikit kesal, kami memutuskan untuk mematuhi apa yang diminta sang Pembina. Kami berbalik arah. Bukan perjalanan yang sia-sia, ternyata saat kami berbalik arah seorang teman saya mengatakan bahwa di dekat jalan keluar ini akan kita temukan pemandian sang dewi. Konon katanya, jika kita mencuci wajah dengan menggunakan air  di sana akan awet muda. Untuk menuju tempat itu kita harus menuruni beberapa anak tangga dan tentunya masih dalam keadaan waspada. Jika tidak kami akan tergelincir. Perjalanan di dalam goa pun ditutup dengan keajaiban batu menangis. Memang benar batu itu terlihat menangis karena mengeluarkan air. Padahal tidak ada air sama sekali di dekatnya.

     Rasa lelah mulai menghantui kami, peserta studytour. Perjalanan ini pun akan ditutup dengan wisata air terjun. Itulah yang paling dinanti-nantikan semua peserta studytour kali ini. Jarak menuju ke sana pun lumayan jauh. Jalan yang berkelok-kelok akan menjadi perjalanan kami selanjutnya. Setelah jalanan terjal dan licin di dalam goa. Hingga akhirnya, kami sampai ke tempat tujuan. Rasa ingin tahu yang luar biasa ini, melupakan rasa lelah yang ada pada diri kami. Tak sabar rasanya menaiki anak tangga yang nantinya akan membawa kami ke air terjun itu. Ada sekitar 60-80 anak tangga yang harus kami naiki untuk mencapai tujuan. Tangga per  tangga kami naiki suara air terjun samar-samar terdengar hingga pada bagian anak tangga yang terakhir suara itu benar-benar terdengar. Volume debit air yang kencang membuat air yang turun dari atas menimbulkan suara yang sangat keras hingga bermula dari di anak tangga. Percikan air pun membasahi wajah kami. Air terjun tersebut dipisahkan oleh sebuah jembatan yang jika kita berdiri di sana akan terkena percikan air terjun tersebut. Lagi-lagi, saya benar-benar takjub pada kekuasaan Sang Pencipta memang luar biasa indahnya. Walau rasa lelah menghantui diri saya dan peserta studytour yang lainnya. Tetapi saya yakin, pastilah mereka merasakan hal yang sama seperti yang saya rasakan, yaitu memang benar ini sebuah perjalanan yang menyenangkan. Mungkin tak ada kata yang mampu meyakinkan bahwa aku pernah berkunjung ke sana. Hanya lewat foto aku merasakannya. Bahwa memang benar aku pernah berkunjung ke sana.

     Masih banyak pengalaman yang saya rasakan selama tiga tahun. Menikmati masa-masa putih-biru di sekolah menengah ini. Sebenarnya penantian tiga tahun itu, bertujuan untuk memperoleh sebuah kertas bertuliskan kata “LULUS”. Sayang, pada saat bahagia itu saya tak mendapat izin untuk mengambil surat kelulusan itu. Bapak melarang saya, lebih baik berada di rumah daripada pergi ke sekolah. Bapak takut saya dan saudara kembar saya ikut coret-coretan baju sekolah. Telepon genggam pun terus berdering. Teman-teman menanyakan kenapa saya dan saudara kembar saya tidak hadir saat momen-momen menegangkan sekaligus membahagiakan itu. Saya hanya menjawab, bapak tak mengizinkan. Mereka pun tak dapat berbuat apa-apa. Syukur alhamdulillah, semuanya lulus. Benar saja teman-teman saya melakukan aksi hura-hura itu. Wejangan dari bapak pun tak digubris. Untuk kali ini bapak memang benar dan akan selalu benar. Bapak tahu apa yang terbaik untuk anaknya.

     Tak berbeda dengan anak SMP kebanyakan, saya juga memiliki sahabat karib sekaligus teman sebangku saya yang bernama Windya Sandiah yang memang telah lama saya kenal sejak SD. Dia adalah sosok sahabat yang supel dan mengasyikan. Dia juga adalah orang yang mandiri yang tidak mau mengandalkan orang lain. Sayangnya, saat kelas dua SMP kami harus terpisah karena saya masuk kelas unggulan sementara ia tidak. Hal itu tak menyurutkan persahabatan kami, sekali seminggu atau sebulan kami selalu menyempatkan bertemu dan bercanda gurau bersama. Ketika kelas tiga SMP kami kembali bersatu dalam satu kelas. Tidak hanya Windy, saya juga memiliki sahabat yang lainnya. Esa, Pipin, Pera, Nanda, Anggun, Ella, Devi, Dewi, Renny, Tari dan banyak lagi yang tak bisa saya sebutkan satu persatu. Merekalah yang membuat masa putih-biru terasa lebih indah. Mereka juga yang membuat masa SMP saya terasa begitu berarti.

     Hal yang tak bisa dilupakan ketika SMP adalah saat hari ulangtahun saya dan Lisda. Saya mendapatkan kejutan dari sahabat saya Devi dan kawan-kawan. Tak pernah saya duga bahwa mereka telah merencanakan sebuah kejutan untuk saya. Siang itu, ketika saya hendak pergi ke sekolah untuk mengikuti les tambahan. Tak beberapa jauh dari rumah mereka telah bersiap-siap dan saat saya berada di hadapan mereka. Mereka menyanyikan lagu selamat ulang tahun dan membawa agar-agar berwarna merah jambu berbentu love dan dihiasi dengan lilin kecil. Saya dan Lisda terkejut dan tak dapat berkata apa-apa. Saya haru, sedih, bahagia semuanya berperang menjadi satu. Sungguh kejutan yang luar biasa yang akan selalu diingat selama-lamanya. Terima kasih sahabat.

     Hal lain yang terbesit dipikiran saya adalah ketika saya masih duduk di bangku satu SMP, saat jam olahraga pastilah saya dan Windy mencari tempat bersantai tepatnya duduk di bawah pohon yang telah tumbang untuk menghabiskan jam pelajaran saat itu. Itulah hal yang selalu saya dan Windy lakukan ketika jam olahraga tiba karena baik saya ataupun Windy tak menyukai pelajaran itu. Ternyata efek kemalasan itu berlanjut hingga kelas tiga SMP. Ketika itu saya dan sahabat satu regu termasuk juga Lisda mendapatkan sebuah kejadian yang lucu tapi menjengkelkan. Saat itu guru olahraga kami tidak bisa hadir dikarenakan pergi ke luar kota untuk menyelesaikan tugas sekolah. Mengetahui hal itu, kami sepakat tidak memakai seragam olahraga, tetapi ada beberapa orang di kelas yang memakai seragam olahraga. Sementara yang tidak memakai seragam olahraga duduk di kelas, namun hal itu tak berlaku untuk kami. Kami mengobrol di teras tepatnya di depan kelas dan tertawa terbahak-bahak tanpa peduli dengan sekeliling kami.

     Tanpa sepengetahuan kami, ternyata ada seorang guru Bahasa Indonesia kami Pak Hamid yang tengah mengintai kami dari kejauhan. Pak Hamid adalah guru yang terkenal paling kejam bagi kalangan siswa. Kami tak menyadari hal itu dan tetap saja asyik bercanda bersama. Ketika Pak Hamid makin mendekat, satu dari beberapa bagian dari kami tersadar bahwa kami dalam posisi tidak aman, yaitu Ella. Belum sempat Ella mengatakan hal itu kepada kami, tiba-tiba Pak Hamid dengan suara lantang menunjuk ke arah kami sambil memegang giginya. Entah apa yang dikatakan Bapak, kami tak mendengarnya karena memang jaraknya lumayan jauh. Kami tetap acuh tak acuh walaupun perasaan takut telah menyerang kami. Akhirnya, Pak Hamid mulai mendekat, rupanya ia meminta kami untuk masuk kelas. Pak Hamid mulai mengintrogasi kami dengan nadanya yang cetus. Pak Hamid menanyakan kenapa kami berada di luar dan apa mata pelajaran kami ketika itu. Betapa marahnya Pak Hamid, ketika mengetahui bahwa saat itu mata pelajaran kami adalah olahraga.

     Pak Hamid mulai menghakimi kami dengan pertanyaan, kenapa kalian tak memakai seragam olahraga padahal ini adalah jamnya? Kami tak dapat menjawab apa-apa hanya berbisik-bisik kecil. Belum sempat menjawab, kami dipanggil satu persatu ke kelas. Tak hanya itu, kami mendapatkan sebuah cinderamata dari Pak Hamid pagi itu, yaitu sebuah jeweran dari Pak Hamid. Pak Hamid menarik telinga kami satu persatu hingga memerah. Ketika giliran Nanda, ia mendapatkan double jeweran yang tadinya berada di muka pintu kelas ketika dilepaskan tarikan itu ia terhempas hingga ke kelas. Kasihan Nanda, untungnya saya tak begitu. Bukan sedih, bukan juga menangis, tetapi malah tertawa ketika kami saling pandang-pandangan dan melihat betapa merahnya telinga kami. Dapat dibayangkan betapa panasnya telinga kami pada waktu itu.

     Kami merasa menyesal kenapa tak memakai seragam pagi itu. Kalaupun tak memakai seragam seharusnya kami cukup duduk di kelas saja. Sekarang hanya rasa malu yang  tertinggal bersamaan menghilangnya rasa panas ditelinga akibat tarikan Pak Hamid beberapa menit yang lalu.Ketika itu teman-teman yang berada di kelas hanya terpaku melihat kejadian itu. Di lain sisi, Pipin dan Pera merasa kesal dan dendam terhadap Pak Hamid. Mereka berdua berencana ketika jam tambahan nanti siang tepatnya pelajaran Bahasa Indonesia. Mereka tidak akan tertawa sedikitpun apalagi tersenyum kepada Pak Hamid yang terkadang menghibur kami dengan candanya. Itu sisi lain dari Pak Hamid, selain beliau guru yang galak tetapi beliau juga pandai melawak.

     Tanpa sepengetahuan kami juga ternayata di sebelah ruang kelas kami anak IX.2 sedang belajar IPS yang gurunya adalah wali kelas kami. Ternyata beliau melihat kejadian itu. Benar saja, sehabis pelajaran olahraga selesai kami melanjutkan pembelajaran hari ini dengan mata pelajaraan IPS. Walau berberat hati menerima apa yang disampaikannya tetap saja kami mendapatkan petuah dari sang wali kelas. Setidaknya itu bisa dijadikan pelajaran untuk ke depannya. Bel berbunyi itu tandanya jam pelajaran hari ini berakhir. Kami bergegas pulang untuk beristirahat karena siang nanti kami akan mengikuti les tambahan dengan Pak Hamid.

     Bel berbunyi, itu tandanya jam tambahan akan segera dimulai. Pera dan Pipin mulai menjalankan rencananya. Kami anggota satu regu pun bermaksud demikian. Sungguh, saya dan lainnya kecuali mereka berdua tak bisa bertahan dengan rencana itu. Akhirnya, kami tertawa terbahak-bahak juga tetapi hal tersebut tak berlaku untuk keduanya. Padahal siang itu, Pak Hamid bercerita sangat lucu dibanding hari-hari lainnya. Hingga pelajaran berakhir mereka berdua tetap bertahan dan berhasil menyelesaikan rencana mereka. Luar biasa, itulah sahabat saya. Itulah kenangan terindah bersama almarhum Pak Hamid yang akan saya dan teman lainnya tidak akan melupakannya. Selain kenakalan tersebut, saya juga memiliki prestasi akademik yang Alhamdulillah selalu mendapat peringkat 3 besar.

     Sekarang seragam putih-biru akan segera berganti menjadi putih-abu. Masa yang katanya paling indah. Masa yang selalu menjadi ingatan dan akan dikenang selamanya. Begitulah orang-orang mengindahkan masa itu. Kini saya pun merasakan hal tersebut. Banyak sekali pengalamanan yang rasakan selama masa itu. Bahagia, sedih, amarah, lelah, putus asa, persahabatan dan banyak lagi lainnya yang tak bisa disebutkan satu per satu. Semua itu saya dapatkan di masa putih-abu. Bermula pada tiga hari pertama di SMA Negeri 1 Pendopo, itu nama sekolahnya. Tiga hari bersejarah itu dinamakan masa orientasi siswa (MOS). Setiap siswa baru pasti akan menghadapi tiga hari tersebut. Hari dimana rasa malu harus dibuang jauh, sebab kakak senior telah menyiapkan kegiatan-kegiatan yang akan merobohkan rasa malu itu. Bayangkan saja, semua siswa laki-laki pada saat itu diminta mengenakan baju daster. Baju yang harusnya digunakan ibu mereka di rumah kini mereka kenakan di sekolah. Lucu, itulah kesan yang paling mendominasi penampilan mereka.

     Tidak hanya siswa laki-laki yang mendapatkan hal semacam itu. Siswa perempuan pun tak terlepas dari incaran kakak senior. Semua siswa perempuan diminta untuk mengikat rambutnya dengan tali plastik dengan jumlah ikatan yang harus banyak. Selain itu, para siswa baru ini juga diminta untuk membawa botol bayi lengkap dengan isinya. Lalu, harus mengenakan topi dari bakul nasi yang dihiasi dengan permen. Tak lupa juga membuat tas dari kantong plastik yang harus diisi dengan berbagai macam jajanan. Ketika semua persiapan lengkap kami harus berjalan dengan menggunakan kostum tersebut. Sungguh malu rasanya, menjadi tontonan orang-orang di sekitar sekolah. Rasa malu itu pun bercampur lelah, sebab para siswa baru harus meraskan panasnya apel siang.

     Semua hal itu tak akan pernah saya lupakan, termasuk kecelakaan motor tiga hari berturut-turut yang saya alami bersama Lisda selama mos (masa orienasi siswa) itu berlangsung. Memang, Lisda terkesan belum terlalu pandai mengendarai kendaraan beroda dua itu. Hal ini dikarenakan Lisda baru mencoba mengendarai motor saat lulus SMP. Hari pertama saat ingin berangkat, semua nampak baik-baik saja walaupun rasa cemas kerap menghampiri saya dan Lisda. Akhirnya, sampai ke sekolah dengan baik-baik saja, namun tak diduga saat perjalanan pulang terjadi peristiwa yang memalukan sekaligus menyakitkan Saat keluar dari gerbang sekolah, motor yang saya dan Lisda kendarai oleng dan itu mengakibatkan kami berdua terguling di jalan. Beruntung ada kakak senior yang dengan sigapnya menolong saya dan Lisda. Hanya luka-luka kecil saja tak ada luka yang serius, tapi motornya tergores aspal. Rupanya tak hanya saya dan Lisda yang mengalami hal semacam itu. Ada siswa baru juga yang saya tak tahu namanya, motor yang ia tumpangi menumbur warung di dekat sekolah. Tak ada luka hanya malu yang didapatkan.

     Hari kedua, persiapan untuk mos (masa orientasi siswa) hari ini berantakan. Persiapan yang tak matang ini mengakibatkan saya dan Lisda kesiangan dan terburu-buru. Saat perjalanan menuju ke sekolah, ada sebuah rasa mengganjal di dalam hati, tetapi entah apa sebabnya. Lisda yang biasanya mengendarai motor dengan perlahan, hari ini kecepatannya bertambah tak seperti biasanya. Beberapa meter terlewati, tak ada yang mengkhawatirkan semuanya baik-baik saja. Tiba-tiba, dari kejauhan tampak seorang pejalan kaki dan seorang kakek yang membawa kerupuk dagangannya dengan menggunakan sepeda sebagai alat transportasinya.  Lama-kelamaan semakin mendekat, jarak kendaraan saya dan Lisda pun lenyap, ini membuat saya dan Lisda makin dekat dengan dua orang itu. Lisda yang belum terlalu pandai mengendarai motor, membuatnya terdiam dan bingung. Kecepatan diturunkan, tetapi klakson tak bisa dibunyikannya. Petaka pun  tak bisa dielakkan lagi.

     Gubrakkkkkkkkk………

     Seketika langit kelabu, entah apa yang baru saja terjadi. Saya dan Lisda kehilangan keseimbangan. Rupanya, kami telah terjatuh dari motor dan menabrak sang kakek penjual kerupuk itu. Sungguh situasi saat itu sangat kalut. Saya dan Lisda merasa takut, karena ini kali pertamanya kami menabrak orang. Beberapa saat setelah kejadian itu, ada seorang bapak-bapak paruhbaya yang membentak saya dan Lisda. Ia mengatakan bahwa saya dan Lisda akan dijebloskan ke dalam penjara. Panik, mungkin itulah yang menggambarkan rasa hati saya dan Lisda ketika itu. Saya dan Lisda takut kalau sampai kakek tersebut mengalami luka yang parah. Saya tak berani menatapnya, sedangkan Lisda sibuk dengan kebingungannya yang harus meminta tolong kepada siapa.

     Tak berselang lama, ternyata ada bapak-bapak yang menemui saya dan Lisda. Sungguh tak disangka ternyata baapak tersebut adalah orang tua dari teman SMP saya dulu. Saya dan Lisda memang mengenalnya, karena bapak tersebut sering bersilahturami ke rumah. Akhirnya,  bapak tersebutlah yang mau menolong saya dan Lisda.  Lalu dengan sigap, ia menelpon bapak dan mengabari keadaan kami berdua. Dari pembicaraan mereka berdua, saya bisa menggambarrkan bagaimana khawatirnya bapak dan ibu di rumah saat mendengar kabar itu.

     Beberapa menit setelah pembicaraan via telepon itu selesai, bapak pun tiba di tempat kejadian. Bapak langsung menemui saya dan Lisda serta menanyakan bagaimana keadaan saya dan Lisda tentunya. Setelah mengetahui keadaan anaknya, bapak menemui kakek yang menjadi korban, karena kesalahan saya dan Lisda. Alhamdulillah, kondisinya tak begitu parah hanya luka kecil saja, sedangkan roda sepedanya mengalami kerusakan yang lumayan parah. Sebagai gantinya, bapak memberikan beberapa rupiah sebagai pengganti kerusakan dan biaya pengobatan sang kakek.

     Selesainya masalah itu, mengartikan saya dan Lisda harus segera berangkat ke sekolah karena semua calon siswa baru harus melunasi hutangnya selama tiga hari. Sejalan dengan itu, bapak tak langsung pulang ke rumah. Ia berhenti di sebuah kedai di dekat tempat kejadian. Rupanya di sana ada seorang bapak yang sedang bercerita kepada si pemilik kedai bahwa tadi pagi ketika ia berjalan ke kebun, ia hampir meninggal ditabrak pengendara motor. Mendengar hal itu, bapak segera merespon bahwa pengendara motor yang dimaksud itu adalah anaknya. Bapak meminta maaf juga menjelaskan kepada bapak pejalan kaki bahwa memang anaknya belum terlalu terlatih untuk mengendarai motor, tetapi karena tuntutan sekolah yang jaraknya lumayan jauh mengharuskan mereka berani. Tiada disangka juga kalau kejadian semacam ini bisa terjadi. Satu hal lagi yang harus diketahui oleh saya, Lisda, ataupun bapak mengenai suatu kebenaran yang menyatakan bahwa ternyata yang menyebabkan kakek itu terjatuh adalah pengendara motor yang berlainan arah yang menabraknya. Ketika itu memang keadaan sang kakek tak seimbang akibat saya dan Lisda menabraknya, dari arah berbeda pula sang kakek ditabrak orang lain.

     Di sekolah, calon siswa baru menjadi bulan-bulanan sang senior, sama seperti hari pertama. Bedanya hanya kemarin agak canggung sekarang mulai terbiasa. Tetap dalam kondisi yang sama. Tak terasa hari kedua berakhir begitu saja. Menyisakan rasa lelah dan dahaga, karena sebelum pulang calon siswa baru harus mengikuti apel siang. Sebentar lagi penjajahan ini akan segera merdeka. Pasalnya, besok adalah hari terakhir mos. Setelah itu, semua calon siswa baru termasuk saya akan menjadi siswa SMA Negeri 1 Pendopo bukan sebagai calon siswa lagi.

     Tibalah hari terakhir mos, ini artinya sebuah kebebasan. Semangat menggebu mendera jiwa saya. Pagi itu, seperti biasa saya pergi ke sekolah bersama saudara kembar saya. Tak berbeda pada hari pertama ataupun kedua. Hari ketiga pun saya mengalami peristiwa seperti kemarin, namun hari ini bukan saya yang menabrak malah saya yang ditabrak. Yah, pagi ini saya ditabrak oleh saudara kembar saya sendiri tepatnya di depan rumah.

     Peristiwa ini bermula ketika saya dan Lisda ingin pergi ke sekolah. Layaknya seperti hari-hari kemarin, Lisda yang menjadi sopirnya dan saya menjadi penumpangnya. Sialnya, ketika itu saya berdiri tepat di depan motor yang dibawa oleh Lisda. Lalu, begitu saja ia menabrak saya yang tepat berada di depannya, motor pun hilang kendali. Akhirnya, Lisda terjatuh dan saya berlari menjauh karena ditabrak si Lisda. Melihat hal itu ibu menjerit sekeras-kerasnya. Akibatnya, para tetangga berdatangan ke rumah. Mereka mengira tabung gas di rumah saya bocor. Padahal yang terjadi pagi ini, Lisda menabrak saudara kembarnya sendiri. Tak ada luka yang parah, hanya tergores sedikit saja akibat terkena atap kandang kelinci yang tepat berada di depan saya, sedangkan Lisda hanya seragamnya yang terkena tanah. Tak dapat dibayangkan seandainya tak ada kandang kelinci itu, mungkin saya akan terseret hingga ke tembok.

     Tiga hari setiap pagi, selalu saya dapati peristiwa yang sama mulai jatuh sendiri, menabrak, bahkan ditabrak. Setiap pagi juga saya dan Lisda tak pernah terlambat. Hal itu dikarenakan saya selalu berangkat lebih awal, karena jika sudah ramai Lisda akan mengalami kesulitan saat perjalanan. Dalam keadaan yang sama saya mengikuti mos pada pagi ini hingga siang nanti. Agenda demi  agenda telah dilakukan hingga terakhir pada agenda peresmian siswa-siswi tahun ajaran baru. Sekarang resmi sudah saya  menjadi siswi di sekolah ini dan terus berjuang hingga kelas tiga SMA nanti. Mulai saat itu juga saya memutuskan unttuk berkerudung, mengganti kebiasaan yang sudah terbiasa salah. Kewajiban yang beberapa tahun ini terabaikan. Alhamdulillah, keputusan ini saya ambil tanpa paksaan siapapun, namun karena keinginan sendiri.

     Di SMA itulah saya menghabiskan masa-masa putih-abu dengan semua hiasannya, ada bahagia ada pula duka. Semua saya rasakan di sana. Memang ketika kelas satu SMA saya sedikit merasa asing karena belum terbiasa dengan keadaannya. Seiring bergulirnya waktu, saya mulai beradaptasi dengan hal tersebut, yang dulunya teman sedikit sekarang menjadi banyak. Saya mulai mengenal dan merasa nyaman dengan situasi baru ini. Saat semester ganjil pada kelas satu SMA, saya terpisah dengan saudara kembar saya dan ketika semester genap saya dan Lisda kembali bertemu disatu kelas yang sama yaitu X.I hingga tamat SMA. Lisda mempunyai sahabat baru yang bernama Eva Salsabila. Ia seorang gadis yang berasal dari Bandung, ia pindah ke Palembang karena ikut keluarganya. Ia juga sahabat saya dan tak ketinggalan juga Windah dan Andin sebagai pelengkapnya. Bersama merekalah saya menghabiskan masa putih-abu.

     Tak terasa kelas satu SMA berlalu begitu saja. Sekarang saatnya penentuan jurusan, IPA atau IPS. Ternyata kami semua masuk jurusan IPA. Itu artinya kami bisa berkumpul lagi. Berbeda dengan kelas satu kemarin, di kelas dua ini saya mulai diajak berorganisasi fokusnnya ke OSIS bidang rohis. Jadi, setiap hari jumat kami secara bergiliran datang ke kelas yang lainnya untuk mengumpulkan infaq. Hingga saat itu, saya yang diminta untuk mengumpulkannya. Rasa malu dan sedikit takut menghampiri saya. Wajar, karena saat ini saya masih junior. Bagaimana tidak menghadapi kakak-kakak senior yang bisanya hanya menghardik adik juniornya. Meskipun tak semuanya begitu, tetapi presepsi itu sulit untuk dirubah. Mau tidak mau itu adalah tugas saya yang harus saya lakukan. Mulai dari kelas pertama hingga tiba di kelas terakhir semuanya nampak biasa saja. Tidak ada hal seperti yang saya takutkan. Selain aktif berorganisasi saya juga sering mengikuti olimpiade yang berada di luar kota. Walaupun tak ada satupun olimpiade yang dapat saya taklukan, tetapi tak mengapa. Lumayan untuk menambah wawasan.

     Semenjak SMA juga saya mulai menyukai kegiatan pramuka. Ketika pembagian hak angket ekstrakulikuler di kelas satu yang lalu saya mulai aktif mengikutinya. Mulai dari baris-berbaris hingga outbond. Tidak berbeda jauh dengan mos (masa orientasi siswa) tetap saja saya selaku anak junior dan teman-teman yang lainnya menjadi bulan-bulanan kakak senior. Kalau di kegiatan pramuka itu laksana dan bantara sedangkan kami baru bagian pemula atau penegak. Kegiatan yang diadakan setiap sabtu sore itu wajib saya ikuti karena saya telah memilihnya. Hal yang paling membosankan memang ketika bertemu dengan kakak junior yang agak cerewet. Pastilah bisa ditebak bahwa kegiatan hari itu pasti membosankan. Satu agenda yang tak terlupakan juga ketika pramuka ialah kejutan saat salah satu dari anggota berulang tahun. Mulailah kakak laksana dan bantara mulai bersiasat. Jadilah orang yang berulang tahun itu mangsanya, dicaci-maki, disuruh ini-itu, dan banyak lagi caranya hingga nanti korbannya itu sedih dan paling parah sampai menangis. Untungnya, saya tak pernah merasakan hal itu.

     Banyak kegiatan lain yang saya alami ketika duduk dibangku dua SMA ini. Adanya jika ada hari-hari besar. Pasti akan ada kegiatan yang dilaksanakan, misalnya: saat Isra’ Mi’raj, Maulid Nabi, 17 Agustus, pesantren kilat saat bulan Ramadhan, buka puasa bersama dan agenda kegiatan yang lainnya. Semua kegiatan itupun tak luput dari ingatan saya. Berjuang dan belajar bersama demi naik kelas. Jam-jam yang membosankan, contohnya ketika jam pelajaran fisika dan kimia. Upacara setiap hari senin, apel setiap pagi, yasinan bersama, hingga senam sehat setiap hari sabtu. Selalu menghiasi hari-hari saya bangku SMA ini. Begitulah semuanya berjalan dengan teratur hingga saat yang dinanti pun tiba, yaitu berada di kelas tiga. Selain kelulusan yang berada di depan mata juga saya dan teman-teman seangkatan merasa bangga karena menjadi penghuni tertua selain guru, tata usaha, dan penjaga sekolah.

     Sekarang junior telah berganti menjadi senior. Menjadi senior yang biasanya ditakuti dan disegani adik-adik kelasnya. Semua junior memanggil kita dengan sebutan kak Lisma. Inilah saatnya kita berada di puncak tertinggi setelah dua tahun merasa terjajah oleh kak senior. Saat kegiatan pramuka tak diperintah tetapi memerintah, namun tak berarti sok berkuasa dan menghardik karena semua ada aturan mainnya dan bukan pula ajang balas dendam. Hanya saja ada rasa bangga dan kebanyakan orang berkata siswa-siswi kelas tiga SMA itu jadi siswa-siswi kesayangan gurunya. Setiap hari selalu diingatkan belajar yang lebih intensif berbeda dengan kelas dua ataupun satu SMA. Seolah-olah para guru benar-benar mengkhawatirkan siswa-siswinya. Takut bahwa mereka tidak akan sukses saat UN nanti terlebih kepada siswa-siswi IPS yang sering bolos sekolah. Memang pemandangan tersebut kerapkali terjadi di kalangan siswa-siswi IPS. Berbeda dengan kami kalangan siswa-siswi IPA.

     Waktu yang tersisa pun hanya beberapa bulan saja sebelum UN berlangsung dan sehabis itu saya dan teman yang lainnya akan menganggur sambil menunggu hasil kelulusan setelah itu bimbel untuk ikut SBMPTN, kuliah, kerja, dan lain sebagainya. Kekompakan dan kebersamaan kelas pun makin terasa. Rasa itu pun bermunculan bersamaan dengan benih-benih rasa bosan diliputi kemalasan yang luar biasa. Sering saya dan teman satu kelas bolos untuk menghindari les tambahan atau mencari-cari alasan supaya tidak belajar. Misalnya, saat les tambahan pelajaran Biologi yang kebetulan gurunya adalah wali kelas dari kelas XII IPA 1. Pasti saya dan teman-teman merencanakan kegiatan bersih-bersih kelas dengan alasan tidak ada waktu luang untuk melakukan kegiatan tersebut. Ibu Rina, nama wali  kelas saya pada saat itu. Tidak menyadari niat jahat saya dkk (dan kawan-kawan), bu Rina hanya mengizinkan kebetulan saat itu ada lomba kebersihan kelas. Benar saja rencana saya dkk diterima dengan baik. Kalau sudah begitu agenda bersih-bersih yang tadinya sudah direncanakan itu akan berubah menjadi agenda rumpi dan beristirahat para anggota kelas. Hanya satu-sepuluh menit kegiatan bersih-bersih itu benar-benar terlaksana sisanya dihabiskan dengan begitu saja. Jika beruntung ibu Rina tak mengawasi kami dan jika buntung saya dkk mendapat pengawasan ketat hingga jam berakhir.

     Sebenarnya ada sepuluh atau ribuan alasan para siswa-siswi kelas tiga baik IPA ataupun IPS untuk tidak mengikuti les tambahan. Keluhan pertama ialah lelah dan penat karena seharian dari pagi hingga siang belajar lalu ditambah pula hingga sore, kata mereka itu tidak manusiawi. Keluhan tak bermutu lainnya adalah malas, ketiduran, sakit-sakitan, kepanasan, atau kehujanan. Mereka menjadikan semuanya menjadi alas an untuk menghindarinya. Setidaknya, jurusan IPA sedikit lebih rajin dibandingkan jurusan IPS. Hal ini tergambar jelas, siswa-siswi yang mengikuti les tambahan tak lebih dari dua puluh orang dari empat puluhan siswa per kelasnya.

     Semangat siswa-siswinya berbanding jauh dengan semangat para gurunya. Pernah suatu kali, ibu yang mengajar les tambahan telah tiba di kelas namun tak satupun dari kelas mereka yang datang. Hal yang serupa pun pernah terjadi di kelas saya. Saat itu les tambahan matematika. Sebenarnya tak niat saya ataupun yang lainnya untuk melakukan hal yang hina semacam itu, tetapi rasa lelah yang menghantui saya dkk luar biasa hebatnya. Mau tidak mau saya dkk harus meninggalkan kelas. Keesokan paginya, saya dkk ketakutan akan diberi sanksi seperti kelas-kelas yang lain. Kebetulan pagi ini jadwal mata pelajaran saya dkk adalah matematika. Ibu Marnona, itulah namanya.

     Saat ibu Marnona tiba di kelas, semuanya terdiam dan keadaan bisa kembali normal ketika ibu Marnona mulai melanjutkan pelajaran. Beruntung saya dkk tidak mendapatkan hukuman seperti yang lainnya. Disela-sela pembelajaran, tiba-tiba ibu Marnona bertanya kemana kalian kemarin dan kenapa saat saya datang ke kelas kalian pintunya telah terkunci rapat. Salah satu dari teman kelas menjawab sekaligus meminta maaf kepada ibu Marnona dan berjanji tidak akan meninggalkan les tambahan. Les tambahan memang benar-benar menjadi momok yang menyebalkan sekaligus melelahkan bagi setiap siswa-siswi kelas tiga. Beruntung satu bulan sebelum UN praktik tersebut dihentikan. Siswa-siswi diminta belajar dirumah baik individu ataupun berkelompok.

     Ketika satu bulan menjelang UN, saya dkk mulai bersemangat untuk belajar. Rasanya sudah terlambat. Meski begitu intensitas belajar saya dkk mulai bertambah. Dimana-mana saya melihat siswa-siswi membawa macam-macam buku prediksi UN yang lumayan tebal. Beberapa kali Try Out pun telah dilaksanakan untuk membantu saya dkk. Sebelum UN, para siswa-siswi pun disibukkan dengan yang namanya Ujian Praktik yang benar-benar menguras energi. Di mulai dari praktik agama hingga mulok. Dari sekian banyak bahan yang dipraktikan, hal yang paling berkesan adalah ketika pelajaran mulok. Dimana setiap siswa-siswi diminta untuk menyiapkan sebuah makanan sajian lengkap dengan hiasan mejanya.

     Inilah yang menjadi favoritnya yaitu, makan-makan. Selama dua hari masing-masing regu menyiapkan apa-apa saja yang dibutuhkan. Saat itu regu saya berbeda dengan saudara kembar saya. Regu saya mengambil menu ikan gurame, capcai, perkedel tahu, dan lain-lainnya. Sementara tugas saya menyiapkan sup buah. Setelah hari penilaian tiba, semua regu sibuk menyiapkan segala sesuatunya dan menatanya sedemikian rupa sehingga semua Nampak begitu cantik dan menawan. Semua makanan bervariasi, berbagai jenis makanan ada di sana. Setelah siap, tibalah waktunya penilian semua guru dating ke kelas untuk ikut makan bersama. Sungguh ramai kelas pada saat itu layaknya hajatan besar-besaran. Inilah nilai kebersamaan yang tak dapat tergantikan, dimana setiap teman yang satu dengan yang lainnya saling berbagi makanan dan saling mencicipi makanan dari regu satu ke regu yang lainnya. Pada saat itu juga kebersamaan para siswa dengan gurunya dapat tergambar jelas. Lagi-lagi hanya sebuah foto yang dapat menyakinkan saya bahwa peristiwa itu pernah terjadi.

     Setelah semuanya selesai dengan diiringi rasa lelah kami membersihkan kelas yang dipenuhi dengan sampah dan minuman yang tertumpah sehingga lantai Nampak tak karuan. Rasa lelah yang menjadi-jadi itu tak menghalangi semangat kami untuk tetap membersihkan semua kotoran yang ada. Sampai semuanya bersih. Barulah kami bisa pulang ke rumah untuk beristirahat. Berakhir ujian praktik menunjukkan bahwa UN akan segera tiba. Perjuangann selama tiga tahun akan ditentukan tiga hari ke depan. Tentu rasa gugup selalu menghampiri, namun satu demi satu hari terlalui. Hingga akhirnya saya dkk berada di hari terakhir UN. Saya dkk melepas nomor ujian di meja masing-masing dengan harapan semoga lulus.

     Sejak saat itu, saya dkk tak kunjung bertemu lagi. Semuanya mulai sibuk mencari tujuan mereka selanjutnya. Saya dkk dipertemukan kembali saat latihan untuk tampil di perpisahan nanti. Kurang lebih sekitar sebulan saya dkk berlatih hingga saat perpisahan itu tiba. Saya dkk memutuskan untuk memakai kebaya berwarna ungu sebagai busana yang akan dikenakan nanti. Waktu  yang tak pernah mau bersahabat pun membawa saya dkk pada hari perpisahan itu. Paginya semua tata rias diwajah nampak cantik, namun tak lama setelah persembahan lagu hymne guru dan sebuah puisinya tata rias diwajah mulai luntur akibat terkena airmata yang menetes. Ditambah ketika acara bersalam-salaman, isak-tangis tertumpah ruah disana baik guru ataupun siswa-siswinya. Itulah pertanda bahwa acara perpisahan telah berakhir. Foto-foto bersama teman-teman ataupun guru adalah menjadi penutupnya walaupun keadaan tata rias tak beraturan lagi.

     Setelah itu, ada pengumuman mengenai hasil kelulusan dan sebelumnya semua siswa-siswi SMA N 1 Pendopo membuat surat perjanjian tidak akan melakukan kegiatan coret-mencoret setelah diumumkannya kelulusan. Setiap siswa-siswi pun diminta membawa materai 6000 untuk tanda buktinya dan siswa-siswi yang bersangkutan dilarang datang ke sekolah yang diperbolehkan datang hanya walinya saja. Alhamdulillah, semua siwa-siwi lulus. Ternyata perjuangan beberapa tahun belakang membuahkan keberhasilan. Hanya menunggu nilai yang berhasil saya dkk dapatkan. Selanjutnya, yang ditunggu-tunggu selain pengumuman kelulusan ialah pengumumsn SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Ternyata saya tidak lulus, sementara Lisda saudara kembar saya lulus untuk pilihan kedua, yaitu PAUD di Universitas Negeri Padang.

     Memang keinginan saya dan Lisda ialah melanjutkan kuliah di Padang. Sungguh itu satu kunci untuk mewujudkannya, walaupun saya tidak lulus, tetapi beberapa hari setelah pengumuman itu bibi dari Pekanbaru memberi kabar dan meminta saya dan Lisda untuk kuliah di sana. Bibi pun siap menawarkan untuk tinggal di rumahnya. Ibu yang memang keberatan dengan keinginan saya pergi merantau seakan mengisyaratkan nada setuju, lagi pula di Pekanbaru ada keluarga yang bisa mengawasi saya saat berada jauh dari mereka, baik kakak, adik, ataupun kembarannya semua berkumpul di Pekanbaru. Keinginan ibu pun dimantapkan dengan izin yang diberikan bapak. Walau berberat hati meninggalkan SNMPTN, Lisda dan saya mencoba menerimanya. Akhirnya, ketika SBPMTN saya mengambil pilihan Universitas Riau sebagai tujuannya dengan jurusan PGSD dan Bahasa Indonesia begitu juga halnya dengan Lisda hanya saja berbeda jurusannya.

     Setelah mendaftar SBMPTN ternyata lokasi yang saya dapatkan berada di Palembang. Begitupun dengan Lisda dan dua teman lainnya. Lokasi kami pun berjauhan saya di SMA Negeri 2 Puncak Sekuning, Lisda di Universitas Taman Siswa Veteran, sementara iyak dan windah di Kampus Ogan bedanya satu di SMA Srijaya Negara satu lagi di SMP. Tes yang diadakan dua hari membuat saya dkk  harus menginap di rumah bibi di Palembang karena jarak dari tempat tinggal saya lumayan jauh kira-kira dibutuhkan waktu lima jam untuk sampai ke Palembang.

     Saya dkk berangkat amat pagi supaya ketika sampai di Palembang bisa survey ke lokasi masing-masing. Tujuannya supaya saya dkk tidak kebingungan mencari ruangan saat tes nanti. Alhamdulillah, semua berjalan sesuai rencana. Saya dkk tiba di Palembang tepat pukul 11.00 WIB. Sesampainya di sana, saya dkk beristirahat karena nanti sore akan melanjutkan perjalanan ke lokasi tes. Pada sore harinya, saya dkk melihat lokasi tes bersama orang tua salah satu teman saya dan tentunya bapak saya. Setelah menemani saya dkk ke lokasi tes, bapak dan orang tua pun pulang ke Pendopo. Mereka berharap saya dkk dapat menjawab soal tes dengan baik.  Di rumah bibi saya dkk disambut dengan hangat walaupun saya dkk harus tidur bersempit-sempitan namun dapat terkalahkan dengan sikap sang bibi yang begitu bersahabat. Selama dua hari, saya dkk merepotkan bibi karena setiap bagi bibi menyempatkan membuatkan sarapan pagi lengkap dengan segelas teh. Biarpun bibi repot dengan pekerjaannya, yah bibi bekerja sebagi tukang cuci di rumah orang sedangkan paman pekerjaannya buruh bangunan. Semoga kehadiran saya dkk tak menambah bebannya karena saya dkk membawakan beberapa makanan pokok untuk membantu bibi saat kedatangan kami.

     Pada malamnya berbagai macam soal telah saya coba kembali untuk menaklukan soal-soal yang akan dihadapi. Sebelumnya sekitar dua minggu yang lalu, saya telah mencobanya. Tetap saja, ketika hari pengeksekusian terjadi saya tak mampu menaklukannya. Selain persiapan yang tidak serius dan terkait materi yang tidak memadai membuat saya kalang-kabut dalam menjawab soal-soal TPA pada harri pertama. Begitupun dengan hari kedua saya berlari jauh meninggalkan pelajaran SMA saya. Tiga tahun selama SMA rasanya tak memberikan efek apa-apa. Bagaimana tidak, soal yang saya hadapi adalah materi jurusan IPS. Mana mungkin saya mampu menguasainya. Berakhirnya tes, menandakan waktunya pulang. Terima kasih bibi yang telah bersedia menerima saya dkk selama dua hari. Juga kepada paman yang telah bersedia mengantar dan menjemput ke lokasi ketika melaksanakan tes.

     Beberapa waktu setelah tes itu, tak jua menghasilkan satu keputusan apapun. Benar saja saya dkk tak ada yang lulus. Mengetahui hal itu, bapak segera mengambil keputusan agar secepatnya pergi ke Pekanbaru untuk mendaftar ke universitas yang lainnya. Tepatnya, beberapa hari sebelum Ramadhan saya dan keluarga berangkat. Malam harinya, rumah diramaikan dengan isak tangis saya dan Lisda yang sangat sedih karena ingin merantau jauh ke sana. Tak hanya saya dan Lisda, ibu dan adik bungsu pun ikut menangis. Maklum tak pernah sebelumnya saya dan Lisda pergi sejauh itu untuk waktu yang cukup lama. Semalaman suntuk saya dan Lisda sibuk mempersiapkan perlengkapan yang akan dibutuhkan di sana. Rasanya seperti mimpi, keluar dari dunia kecil saya di sini. Angan-angan kuliah di Padang harus berganti dengan perjalanan Ke Pekanbaru. Manusia hanya bisa berencana namun Allahlah yang memiliki kuasa.

     Pagi sekali saya dan keluarga berangkat ke Palembang untuk menunggu bus yang akan membawa saya dan keluarga ke Pekanbaru. Setelah beberapa jam di perjalanan yang lancar, akhirnya saya dan keluarga tiba di tempat penantian bus lebih awal dari jadwal keberangkatan. Berhubung pada saat itu, ada bus yang berhenti. Bapak mencoba bernego kepada sang sopir, bisakah kami sekeluarga pindah bus sebab jikalau ingin menunggu bus seperti dijadwal itu masih membutuhkan waktu yang lama. Beruntung sang sopir bisa diajak berkompromi. Akhirnya, saya dan keluarga menggunakan bus tersebut. Bus itulah yang nantinya akan membawa saya dan keluarga ke kota baru saya. Kota yang nantinya akan menjadi penampung mimpi-mimpi saya. Kota yang akan memberikan saya banyak hal dan tentunya kota yang telah dipilihkan Allah untuk saya.

     Perjalanan yang telah ditempuh selama kira-kira 24 jam menandakan sebentar lagi saya dan keluarga akan sampai ke kota baru itu. Benar saja, bus berhenti ini menandakan bahwa perjalanan yang melelahkan ini akan segera berakhir. Setiba-tibanya di Pekanbaru, bapak segera menelpon bibi untuk memberi kabar kedatangan kami. Barang-barang yang dibawa telah diturunkan dari bus. Satu per satu barang bapak teliti untuk memastikan tak ada barang yang tertinggal. Tak beberapa kemudian bibi datang bersama anaknya, bang Apri, yang ketika itu mengendarai mobil sedannya dan mobil itulah yang membawa saya dan keluarga ke rumah bibi. Sesampainya di rumah bibi, kondisi saya sedikit lebih membaik. Pasalnya, hampir sehari satu malam, kaki saya terbungkus sepatu dan siang ini alhamdulillah telah terbebaskan. Ternyata kaki saya sedikit membesar alias membengkak. Menurut penjelasan ibu, kejadian semacam itu terjadi karena semalaman suntuk kaki menggantung saat duduk di bus. Wajar saja, satu harian saya duduk di bus dengan posisi kaki menggantung. Hal itu makin diperparah dengan kelelahan luar biasa yang terasa dipundak saya.

     Kelelahan itu pun terobati setelah beberapa hari di kota baru itu. Memang untuk beberapa hari keluarga tinggal di kota ini, sambil menunggu saya dan lisda mendapatkan sebuah perguruan tinggi. Perasaan sedih beberapa hari ini juga kerap kali menghantui perasaan saya. Terbesit dibenak saya bagaimana kalau bapak, ibu, serta adik kembali ke Palembang pastilah hati saya begitu sedih. Maklumlah ini adalah kali pertamanya saya harus berpisah dengan keluarga untuk waktu yang lama. Sejauh ini belum pernah, saya dan lisda berjauhan atau berpisah dengan keluarga apalagi sejauh dan selama ini. Kalau pun ada paling hanya untuk beberapa hari saja. Mau tidak mau, suka tidak suka, semuanya harus dilalui. Toh, ini juga keinginan saya dan lisda untuk pergi merantau. Padahal sudah beberapa kali ibu menawarkan untuk kuliah di Palembang, tetapi tetap saja saya memaksa untuk merantau dan konsenkuensi dari pilihan itu adalah berpisah dengan keluarga.

     Selama beberapa hari itu juga mereka menghantarkan saya untuk mendaftar ke perguruan tinggi. Kali pertama itu saya pergi ke Universitas Islam Riau (UIR) bersama saudara kembar, bapak, bibi, dan bang Apri. Setelah mendapatkan informasi mengenai pendaftaran mahasiswa baru, saya dan keluarga melanjutkan perjalanan ke Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim (UIN SUSKA). Perjalanan lumayan jauh diiringi dengan kemacetan yang tak berlangsung lama. Sesampainya di sana, saya melihat banyak sekali orang yang tak lain ialah calon mahasiswa baru di sana. Mereka nampak antusias dan bersemangat. Di samping itu, bapak turun dari mobil dan berusaha mencari informasi mengenai universitas tersebut. Tak disangka ternyata pendaftaran telah ditutup kemarin. Keputusan pahit pun harus saya terima. Salah satunya harapan hanya UIR.

     Keesokan harinya, saya ingin mendaftar ke UIR lengkap dengan membawa persyaratannya. Keberangkatan hari ini ditemani oleh keluarga kecil saya yaitu bapak, ibu, dan adik. Mereka menemani saya dan tentunya Lisda untuk mendaftar ke universitas tersebut. Berbeda dengan calon pendaftar yang lain, mereka hanya mengajak kakak atau teman bahkan ada yang sendiri sedangkan saya bersama rombongan keluarga. Keluarga pun harus ikut menunggu sebab antrian pagi ini lumayan panjang. Selang beberapa menit nama saya dan lisda dipanggil. Perjalanan hari ini berakhir bersamaan dengan berakhirnya registrasi dan pembayaran uang pendaftaran.

     Dua hari setelah kedatangan saya dan keluarga, menyusul pula kedatangan bulan yang paling ditunggu-tunggu oleh orang muslim di penjuru dunia, tepatnya bulan ramadhan. Awal bulan ramadhan tahun ini memang sedikit berbeda. Hal ini dikarenakan saya dan keluarga berpuasa di kota baru ini. Tidak hanya tempat, namun dalam suasana yang berbeda pula. Selama tiga hari berpuasa di kota baru ini, akhirnya tibalah hari kepulangan mereka. Hampir semalaman saya memikirkan akan hari itu. Rasa sedih tak ingin pergi dari hati, entah apa yang akan saya lakukan tanpa mereka sebab semua hal di kota baru ini terasa asing.

     Sore ini kesedihan itu makin menjadi-jadi. Rasanya, saya tak ingin hari esok itu ada. Kesedihan itu semakin bertambah ketika saya mendengar bapak memesan tiket untuk keberangkatan besok. Sesal tak ada arti, memang semua keputusan ini adalah kehendak saya. Gelap mulai datang, ternyata kesedihan itu bukan hanya menghantui saya namun menghantui pikiran adik saya. Rupanya, dia sangat bersedih harus berpisah dengan saya dan juga Lisda. Waktu yang tak dapat diharapkan untuk mencegah kedatangan esok hari semakin mencekik kebersamaan ini. Mata tak ingin terpejamkan, takut hari esok telah datang tetapi inilah kehidupan yang tak akan mungkin berhenti dan berhenti berputar.

     Sekejap saya terbangun, mendengar panggilan ibu yang meminta saya untuk melaksanakan sholat subuh. Ternyata hari itu telah tiba, dengan perasaan sedih saya memulai aktivitas hari ini. Melihat tas berisi pakaian mereka yang telah dikemas tadi malam, semakin membuat saya berada di puncak kesedihan. Tepatnya pukul setengah satu, isak tangis mewarnai wajah saya setelah sekian lama berusaha menahan namun tak mampu tertahankan. Walau dihati terasa malu kepada tante dan om yang kali itu menghantar mereka. Sesekali saya memalingkan wajah supaya mereka tak melihat linangan air mata saya. Hingga sampailah saya dan keluarga ke lokasi bus tersebut. Tanpa berlama-lama bus tersebut dengan segera menyambut kedatangan mereka dan siap membawa mereka pulang ke rumah saya.

     Mereka berpamitan, memeluk saya dan Lisda. “Jaga diri baik-baik ya di sini” itulah pesan ibu dan bapak sebelum naik ke bus. Saya tak sanggup memandang wajah adik saya. Saya benar-benar yakin, sebenarnya ia ingin menangis hanya saja ia berusaha menahannya. Saat melihat mereka naik ke bus, sungguh hati saya benar-benar dalam keadaan pilu. Air mata yang tak berani saya utarakan kala itu berhasil membuat bibir saya gemetar. Teramat berat rasanya menahan linangan itu tetapi kalau pun harus dijatuhkan mungkin saat ini sangat tidak tepat. Lagi-lagi saya coba menahannya. Mereka makin tak nampak dipandangan. Hanya saja terlihat dari jendela bus, ada sebuah tangan yang melambai kepada saya dan Lisda. Tangan itu ialah tangan ibu. Lambaian itupun disambut kembali dengan lambaian adik dan bapak. Saya dan Lisda pun membalas lambaian tersebut. Bus tersebut makin jauh dan menghilang dari pandangan.

     Sebelum pulang ke rumah bibi, om dan tante mengajak saya dan Lisda mengunjungi rumah mereka. Berhasil, seharian di sana saya dan Lisda tak berani menitikan air mata. Pasalnya, saya dan Lisda malu jikalau harus menangis, sebab anak om dan tante juga sama seperti status saya saat ini, menjadi anak rantauan. Hanya saja kota rantauan anaknya tak jauh dari sini. Kalaupun harus menangis, saya dan Lisda harus dengan cekatan menghapusnya. Hari semakin sore, akhirnya om dan tante mengantar saya dan juga Lisda kembali ke rumah bibi. Sudahlah, tak ada alasan lagi yang mampu menahan rintikan air mata saya. Suasana ini diperkeruh dengan keadaan rumah bibi yang sangat sepi. Tumpah ruahlah semua kesedihan saat itu. Tak peduli lagi dengan rasa malu tersebut. Kesedihan itu pun makin berlarut-larut dan kesedihan terberat selama tiga hari yang saya alami berhasil menyiksa batin saya. Hampir setiap tidur siang, saya selalu bermimpi berada di rumah. Ditambah ibu yang hampir setiap hari menghubungi saya dan adik saya, setiap kali menghubungi saya dapat dipastikan akan ada pertumpahan air mata di sana. Keadaan itu semakin mempersulit saya untuk terbiasa dengan semua hal yang terkesan asing bagi saya. Mungkin semuanya hanya butuh waktu. Saya harus memiliki ribuan waktu bahkan jutaan waktu yang lebih banyak untuk terbiasa menjalani aktivitas asing ini.

     Dua minggu telah berlalu, tak terasa semuanya telah berhasil saya lalui. Walaupun perjuangan selama beberapa minggu itu sangat menguras kesedihan saya yang memang sedang berusaha  berteman dengan situasi kota baru ini. Tak terasa tes perguruan tinggi telah dilalui. Hingga pada hasil akhir yang mengisyaratkan saya berhasil lulus di UIR dengan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia sebagai program studinya. Sebenarnya bapak kaget kenapa pilihan kedua yang lulus padahal jurusan pertama yang saya ambil ialah jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Ternyata bapak tak mengetahui saya mengubah pemilihan program studi tersebut. Bahwasanya pilihan pertama saya memanglah Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia bukan Pendidikan Bahasa Inggris karena memang saya lebih suka Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia terlebih saya sangat suka menulis sastra sekalipun hasilnya pas-pasan saja. Bapak pun memakluminya dengan lapang dada. Sementara itu, Lisda lulus dengan pilihan pertamanya pada program studi Pendidikan sendratasik.

     Berhubung semua urusan mengenai perkulihan telah diselesaikan, ini artinya saya diizinkan mudik ke Palembang. Kebetulan sekali libur sebelum perkulihan bertepatan dengan momen hari raya Idul Fitri dengan begitu saya bisa dipastikan akan pulang kampug. Tanpa banyak alasan, saya dan bibi memesan sebuah tiket yang siap membawa saya ke Palembang. Awalnya, saya mendapatkan tiket bus full AC namun beberapa waktu saat keberangkatan tiba ternyata bus yang diharapkan tak bisa berangkat hari ini. Saya bersama saudara kembar saya tak ingin lagi menunda keberangkatan kami kali ini, dengan berat hati kami memilih bus kelas ekonomi. Modalnya hanya nekad, ini untuk pertama kalinya perjalanan sejauh ini harus saya nikmati berdua  hanya dengan saudara kembar saya.

     Di pikiran saya, kekurangan bus kelas ekonomi hanya terletak pada penggunann AC saja. Ternyata lebih parah dari itu. Para perokok alias pecandu racun mulai menghisap racun mereka saat perjalanan akan segera dimulai. Keadaan ini semakin parah lagi, selepas adzan maghrib, ketika itu waktunya berbuka puasa para penumpang pencandu racun yang tadinya berusaha menahan menghisapnya sekarang menjadi-jadi. Ini memang sebuah bencana. Saya adalah orang yang sangat anti rokok karena memang bapak tak pernah merokok dari bujangan hingga saat ini. Ingin rasanya saya menegur mereka, tapi apa daya saya tak memiliki kuasa untuk melarangnya. Lagi-lagi inilah konsenkuensi atas pilihan saya yang harus diterima dengan besar hati. Sekalipun harus menghirup racun dan harus menahan rasa lapar lebih lama. Untunglah, sebelum berangkat saya telah mempersiapkan roti dan sebotol teh dingin untuk jaga-jaga jikalau bus tak berhenti saat berbuka puasa. Saat jam telah menunjukkan pukul 20.00 WIB barulah bus berhenti. Barulah saya bisa mengisi kekosongan lambung yang telah berhasil saya tahan selama beberapa jam terakhir ini.

     Pada akhirnya perjalanan itu berakhir ketika saya melihat sebuah gerbang besar bertuliskan SMA Negeri 1 Pendopo. Perjalanan yang melelahkan ini telah berakhir. Ibu menyambut kedatangan saya dan saudara kembar saya dengan hangat begitu juga dengan bapak serta adik bungsu saya. Mereka hampir tidak percaya bahwa yang berada dihadapan mereka adalah anak kembarnya yang dulu tak bisa apa-apa jikalau tanpa mereka. Ya, memang semuanya telah berubah. Seiring bergulirnya waktu, anak kembar kalian telah menjadi anak kembar yang dewasa bukan anak kembar yang masih manja bukan juga anak kembar yang dulu mereka timang. Sekitar dua minggu saya dan saudara kembar mengobati rasa rindu terhadap mereka, tetapi waktu jua yang harus memisahkannya. Saya harus kembali ke kota baru di sana guna melanjutkan semester selanjutnya. Sekalipun berat, saya haruslah menerimanya dengan ikhlas.

     Lagi-lagi perjalanan ini penuh dengan air mata. Mungkin jikalau air mata ini bukanlah berasal dari Tuhan, saya yakin air mata yang saya punya telah kehabisan persediaannya. Kali itu, saya hanya ditemani bapak pergi ke tempat peristirahatan bus yang nantinya akan membawa saya kembali ke negeri perantauan. Iba rasanya melihat bapak yang mulai merasa letih menemani saya menunggu kedatangan bus. Sampai-sampai bapak tertidur di bangku panjang yang tempatnya bersebrangan dengan bangku saya. Saya hanya bisa melirik ke arah tersebut dengan tatapan kesedihan. Bapaklah yang selama ini berkorban banyak hal demi masa depan saya dan saudara yang lainnya. Tak lama kemudian, bus pun datang. Selamat jalan Palembang, selamat datang Pekanbaru.

     Kampus, itulah tujuan saya berada di sini. Ini kali pertamanya saya memulai aktivitas perkuliahan. Mengenal dari keasingan itulah tugas saya sekarang. Bertemu dengan teman-teman baru yang sama sekali belum bertemu sebelumnya. Selama tiga hari, sebagai calon mahasiswa baru saya pun mendapatkan pengalaman yang bernama ospek dan selama itu juga saya harus merasakan penatnya berjalan hingga betapa sakit dan susahnya di tipu orang. Orang awam seperti saya menjadi target orang-orang yang tak berperasaan.

     Hari kedua ospek, saya dan kembaran saya dilarikan oleh bus kota hingga ke Universitas Riau yang bertepat di Panam. Entah telinga mereka yang salah atau mereka yang sengaja membuat saya dan saudara kembar saya gelisah. Padahal jikalau saya percaya kepada oplet (angkot) tentulah saya tidak akan dilarikan sejauh itu, tetapi rasa gengsi saya begitu tinggi bersamaan dengan lamanya kedatangan angkot memaksa saya harus memilih bus kota tanpa melihat arah tujuannya. Saya menaiki tangga bus kota dengan yakinnya. Lagi pula di sudut belakang sana, ada laki-laki seusia saya yang mengenakan seragam persis dengan seragam yang saya kenakan ketika itu. Sang kernek bus kota meyakinkan saya dengan dua kali pertanyaan yang saya jawab dengan kata UIR (Universitas Islam Riau). Yakinlah sudah semua keraguan saya dan saya mulai menikmati perjalanannya.

     Beberapa waktu kemudian, waktu tenang yang baru saya dapatkan seakan terusik. Rute perjalanan yang biasanya saya tempuh kemarin berbeda dengan hari ini. Saya mencoba bertanya lagi kepada kernek bus, lagi-lagi dia menenangkan saya. Dia mengatakan bahwa kita antar penumpang yang lain dulu. Puncaknya, ketika saya melihat anak laki-laki itu turun di depan sebuah bangunan universitas bertuliskan UNRI (Universitas Riau) dan berhasil meledak saat sang sopir bersamaan dengan pegawainya meminta saya turun. Betapa kikuknya saya, saya melawan dengan mengatakan bahwa ini bukan jurusan saya, tetapi mau apalagi mereka hanya meminta saya mencari kendaraan lain dan meminta maaf setelah itu berlalu begitu saja.

     Sekarang tinggal saya berdua dengan saudara kembar saya menanti pertolongan dari Sang Kuasa. Tiba-tiba sebuah angkot berwarna kuning melintas, lalu menawarkan tumpangan tentunya dengan imbalan uang karena memang itulah mata pencaharian mereka. Sang sopir begitu terkejut mendengar jurusan yang saya ucapkan. Setelah penjelasan yang saya tuturkan dengan senang hati ia mau mengantar hanya saja tariff sedikit lebih mahal. Ia meminta saya memberinya rupiah sebanyak Rp60.000,00 dengan alasan itu bukan jurusan saya. Saya menyetujuinya namun siapa sangka ketika saya merogoh saku kemeja putih saya uang yang tersisa hanya sekitar Rp42.000,00. Sang sopir meresponnya dengan terdiam beberapa menit hingga menarik kesimpulan bahwa ia menyetujuinya. Terlambat, itulah kenyataan yang harus diterima.

     Masa ospek telah usai, jadwal perkuliahan segera dimulai. Pada perkuliahan ini juga saya bertemu dengan teman-teman baru. Salah satunya bernama Relly Meiwati. Dialah teman yang paling dekat dengan saya pada waktu itu. Hingga waktu mempertemukan saya dengan teman yang lainnya. Kebetulan saat itu saya mendapatkan kelas D, kelas yang selalu menjadi teman disetiap semester saya. Saya juga mendapatkan kesempatan dipercayakan menjadi wakil ketua kelas.

     Sungguh menjadi sebuah pengalaman yang tak terlupakan tepatnya ketika saya berada di semester satu, saya berkesempatan oleh Allah untuk pertama kalinya mengunjungi sebuah daerah bernama Bengkalis. Kebetulan kala itu, saya berangkat bersama rombongan HIMA PBI (Himpunan Mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia) untuk menghadiri sebuah acara resepsi pernikahan ketua prodi Bahasa dan Sastra Indonesia. Mengunjungi pantai selat panjang hingga kelelehan yang memaksa saya dan rombongan tidur di Masjid Raya Siak tepatnya di pelataran masjid karena penjaga hanya mengizinkan saya dan rombongan beristirahat di tempat itu. Laki-laki mengambil tempat di tangga sedangkan perempuan jauh di pelataran masjid. Kemudian, batasan waktu yang diberikan hanya sampai jam tiga dini hari. Selebihnya saya dan rombongan harus angkat kaki dari masjid itu. Dinginnya lantai keramik pada malam itu memaksa saya untuk tidur dengan mengenakan mukenah saya supaya aurat tetap terjaga dan terbebas dari hisapan sang nyamuk. Ketika jam menunjukkan pukul tiga dini hari saya dan rombongan melanjutkan perjalanan. Perjalanan dilanjutkan hingga sampai ke tempat tujuan yaitu kota Pekanbaru.

     Perjalanan yang sama juga saya rasakan juga ketika semester dua. Ketika Allah member kesempatan saya berkunjung ke kota yang terkenal dengan jam gadangnya yaitu kota Padang. Berbeda dengan perjalanan sebelumnya, pada perjalanan ini tak ada ritual menginap di masjid hanya saja saya harus beristirahat di mobil selama satu hari penuh. Berangkat setelah isya dan kembali esok harinya pukul tiga dini hari. Perjalanan ini sungguh melatih otot-otot tangan dan kaki saya karena menurut saya agenda kali ini lebih dominan dengan berjalan kaki. Memang terdapat sebuah kepuasan tersendiri ketika berada di sana, namun rasa letih yang menghantui makin membuat resah hati.

     Tanpa mandi saya dan saudara kembar saya serta rombongan yang lain pergi berkunjung jam gadang. Tak terbilang betapa terusiknya badan merasa tak nyaman dengan keadaan. Apalah daya memikirkan diri sendiri, teman yang lain pun tak berisau hati mereka tetap bergembira dan membuat gambar diri mereka sambil berdiri di depan jam gadang. Mereka asyik berbelanja dan saya harus berduka, itu sangatlah tidak mungkin. Letakkan saja diri ini pada kenyamanan karena saya berada diantara teman-teman yang belum merasakan nikmatnya guyuran air di pagi itu. Saya pun hanyut dalam kegembiraan, menikmati pemandangan dari ketinggian sungguh sangat menawan.

     Sayang, tak beberapa lama dari kegembiraan itu. Semua penumpang para wisata harus dikecewakan dengan alasan tujuan utama ke Lembah Harau harus dibatalkan mengingat hari sedang turun hujan dan mulai larut malam. Kekecewaan ini menghantarkan saya merebahkan tubuh yang mulai lelah. Kelelahan itu semakin terasa ketika saya lirik jam di handphone saya, ternyata jam telah menunjukkan larut malam. Saya mulai cemas karena esok saya ada jadwal perkuliahan dan saya juga tak tahu bagaimana caranya pulang. Berdebatan di bus kali itu mengharuskan penumpangnya menginap di kos kakak senior. Untungnya, saudara kembar saya memiliki teman yang letak kosnya tak berjauhan dari pemberhentian bus. Sesampainya, di sana saya segera merebahkan tubuh saya yang saat itu sangat lelah, kaki dan tangan saya terasa ngilu. Perjalanan seharian yang memancing adrenalin.

     Masih banyak hal lain yang mewarnai perjalanan saya dalam menuntut ilmu ini. Mulai membiasakan segala hal yang berhubungan dengan dunia perkuliahan, mengenali para dosen, hingga berjuang mengerjakan tugas yang mereka berikan. Puncaknya ketika musim ujian tiba dengan seragam kebaya putih dan sebuah kain batik berwarna hijau sebagai bawahan lengkap dengan kerudung hijaunya, menjadi saksi perjuangan para mahasiswi UIR. Selain itu, para mahasiswa tampil rapi layaknya pegawai kantoran dengan seragam kemeja ditambah celana hitam lengkap dengan dasinya menjadi pemandangan yang biasa ketika musim itu tiba. Selama satu atau dua minggu saya dan mahasiswa yang lainnya berjuang menaklukan soal demi soal yang datang demi menggapai sebuah kesuksesan.

     Perjuangan selama beberapa hari pun, membuahkan hasil yang menggembirakan sebab Allah mengizinkan saya memperoleh IP sebesar 3,82. Menurut saya pencapaian itu sungguh membutuhkan perjuangan yang luar biasa. Terlepas dari itu semua, penilaian bukanlah harga mati yang harus terpenuhi. Sebenarnya ada suatu hal yang lebih berarti dibalik semua itu, yaitu sebuah proses pendewasaan. Dimana saat ujian berlangsung kita diminta jujur dan tak boleh melalukan kecurangan. Ketika perkuliahan kita dilatih agar dapat memahami teman satu kelas kita, melatih diri untuk menghormati dosen yang telah memberikan ilmunya kepada kita, melatih wujud kepedulian kita, kesabaran kita, dan yang jelas perjuangan kita dalam menuntut ilmu. Itulah hal yang paling utama dibanding segalanya.
     Bukan hanya ilmu dunia yang saya dapatkan diperkuliahan ini, tetapi ilmu akhirat pun saya dapatkan di sini. Semua perubahan ini telah membuka lebar mata dan hati saya betapa banyak kekurangan yang ada pada diri saya sebagai seorang hamba. Memang ilmu tanpa iman bukanlah apa-apa, juga sebaliknya. Haruslah diimbangi antara keduanya agar proses perkuliahan ini bukanlah semata-mata mengejar nilai namun memperbaiki jiwa dan akhlak sebagai perwujudan kasih sayang terhadap Sang Pencipta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar