Selasa, 04 Maret 2014

Sebelas Februari

    Hari ini tepatnya tanggal 11 februari 2014. Aku kembali naik angkutan umum, pasalnya temanku yang biasa menjemputku hari ini tak memiliki Jam kuliah yang sama denganku. Aku sedikit ragu dan takut, aku takut peristiwa lalu terulang kembali. Ketika aku ditipu oleh bus kota yang katanya mau mengantarku ke kampus. Tapi.. Setidaknya aku beruntung, karena aku tak sendiri. Aku pergi bersama saudara kembarku.
Hari ini kami bangun lebih awal daripada biasanya. Sejak malam sebelum tidur aku begitu gelisah. Aku terbangun tengah malam. Lalu tertidur lagi. Hingga jam menunjukkan pukul 4 pagi. Aku kembali tertidur dan terbangun saat muadzin mengumandangkan adzan pertanda subuh telah tiba. Aku bergegas bangun dari tempat tidurku dan bersiap-siap untuk pergi ke kampus. Seusai semuanya selesai, kami berangkat. Selama perjalanan menuju halte aku dan saudara kembarku bercanda gurau. Namun, selama itu juga aku berpikir. Berpikir saat saudara kembarku pergi ke kampus sendirian tanpa aku. Dia harus berjalan kaki sekitar sebelum melewati jembatan penyebrangan yang nantinya berhenti di halte. Panas, lelah. Semua campur-campur. Hihihi mungkin seperti gado-gado, makanan yang terkenal dengan campuran berbagai macam sayur yang diguyur dengan kuah kacang yang digiling, yang ada dibenakku hanya bagaimana nanti ketika pelajaran di kampus. Pasti konsentrasi tidak akan ku dapatkan karena baju basah kuyup bermandikan keringat.Tapi tak pernah ku lihat raut kesedihan ataupun penyesalan diwajah lisda saudara kembarku.

   Tak terasa sekarang aku dan saudara kembarku berada diujung jembatan penyebrangan. Ini saatnya menunggu kedatangan angkot. Menunggu. Menunggu. Menunggu.. Itu adalah hal yang sangat membosankan. Hingga pada akhirnya angkot yang dinanti pun tiba. Huaaaaa lega.. Tapi rasa lega itu tak bertahan lama. Rasa lega itu tercabik-cabik, ibarat kaca mungkin sekarang pecah. Bahkan pecah berhamburan. Pak sopir yang sedikit menyebalkan itu memaksa muatan angkot. Dijejal-jejal kan penumpang. Hingga untuk duduk pun sangat sesak. Aku heran, kenapa pak sopir lebih mementingkan keamanan penumpangnya. Kejadian itu makin dihiasi dengan bau-bau yang tak karuan. Ya kalau beruntung angkot yang kami tumpangi bebas asap rokok, bebas jejal-jejalan, dan yang lebih indahnya lagi suasana di angkot itu loh.. rapi dan bersih..
Layaknya hotel kamar VIP lah, tapi bedanya ini angkot 'kelas VIP' Itu kalau beruntung.. Lah kalau buntung yaa.. angkot kelas umum dengan berbagai macam hiasannya. Entah itu bau rokok, bau belanjaan, musik yang terlalu kecang, dan yang lebih menyakitkan lagi, jalannya 'lambat' persis siput..

   Kapan tiba di kampus? Cuma itu pertanyaan yang mendominasi dipikiranku. Hingga akhirnya aku menemukan jawabannya. Hmmmm... Alhamdulillah.. Lega rasanya. Melihat plang Universitas Islam Riau. Tapi perjalanan tidak berhenti sampai disini. Kami harus menempuh perjalanan lagi dengan berjalan kaki hingga tiba di gedung FKIP. Kebetulan gedung ini terletak di paling ujung Universitas Islam Riau. Lelah, ya pasti lelah. Inilah hidup tak selamanya yang kita inginkan dan yang kita harapkan itu tak selamanya indah. Terkadang butuh pengorbanan demi mencapai kebahagiaan. Layaknya pendaki gunung yang selalu memenangkan kebahagiaannya saat mereka mencapai puncak dan melihat semua keindahan di sekelilingnya.

   Tak terasa kami telah melewati gedung hukum, ya itu artinya aku dan saudara kembarku harus berpisah. Aku pergi ke kost temannku yang tak jauh dari kampus. Hal itu terjadi karena jam kuliahku masih sekitar satu jam lagi. Sedangkan kan lisda, saudara kembarku harus bergegas pergi ke gedung FKIP. Selama perjalanan ke kost, aku kembali terbayang saudara kembarku. Aku sangat menaruh haru padanya. Belum hilang lelahnya perjalanan ke kampus di tambah untuk sampai ke kelasnya, dia harus menaiki anak tangga yang lumayan banyak. Tapi, aku yakin semuanya akan lunas terbayar, saat melihat nilai akhir semester 1 ini. Akhirnya aku sampai ke kost temanku, dan itu artinya saatnya aku beristirahat sebelum berjalan kaki kembali ke kampus. Intinya naik angkot bukan dosa, bukan kesalahan, dan aku harus membiasakan keadaan ini. Terkadang egoku tak bersahabat. Aku merasa malu. Selebihnya aku akan mencoba menikmati semuanya. Tak peduli cemooh orang. Karena aku dan saudara kembarku lebih beruntung. Dibandingkan seorang teman lisda yang nasibnya kurang beruntung seperti kami. Bahkan, ada kalanya ia benar-benar tak memiliki uang sekedar untuk naik angkot saja. Pada akhirnya ia berjalan kaki ke kampus. Jarak yang ditumpuh pun lumayan memprihatinka kira-kira sekitar satu kilo. Pada saat sampai ke kampus pakaiannya yang rapi itu basah diguyur keringat. Setidaknya aku harus banyak-banyak bersyukur. Terima kasih Allah. Sungguh Engkau selalu menyayangi hamba-Mu.

2 komentar: