Sedikit
merapikan kerudung yang terkena deruan angin selama di kendaraan. Sedikit kusut
terkena hentaman helm keamaan berkendara. Selangkah di depan sana, sudah
terlihat jelas perempuan tinggi dengan senyummnya yang manis berbalut kerudung merah
jambunya. Kak Ica. Itu dia orangnya, kakak angkatku di kota baruku ini.
“Hei,
adik kembar....” sapanya pagi ini.
“Iya
kak Ica....” balasku padanya.
Tersenyum
dan dia berjalan bersamaku menuju kelas pagi ini. Kebetulan pagi ini jadwal
perkuliahan kami sama.
Awal
pertemuan dengannya, ketika aku dan dia sama-sama ikut pergi ke suatu daerah
bersama organisasi kampusku, HIMA PBI (Himpunan Mahasiswa Pendidikan Bahasa
Indonesia), untuk menghadiri pesta pernikahan Ka. Prodi jurusan kami. Cukup
jauh perjalanannya, kita harus menempuh daratan dan kemudian menyebrang laut.
Berangkat pukul 10 pagi, tiba pukul 12 tengah malam.
Ketika
itu, ka Ica kebetulan satu penginapan denganku di kediaman salah satu anggota
HIMA yang terletak di daerah yang sama dengan acara tersebut. Sebenarnya hanya
sore itu saja, aku dan ka Ica bertemu di satu kamar yang sama.
Permulaannya
begini. Sangat sederhana. Sambil menunggu jadwal mandi sore. Kami
berbincang-bincang seumpama telah lama mengenal. Naluri mahasiswa yang terkesan
baru, membawaku antusias bertanya beberapa hal mengenai pelajaran juga tentang
karakter penilaian para dosen yang mulia itu. Tak banyak yang berbeda dalam hal
mata kuliah, hanya berbeda satu dua rupa sebab kurikulum baru mengikat masa
kami.
Disinilah
mulai ada pembicaraan sedikit pribadi. Seperti nama, mulai tersebutkan.
“Ica.”
kata kakak cantik itu mengajakku bersalaman.
“Lisma,
kak” jawabku dengan menyebutkan nama.
“Kamu
semester berapa dik?” tanyanya lagi padaku.
“Saya
baru semester satu. Kakak sendiri?” balasku padanya, membuka perkenalan sore
itu makin jauh.
“Kakak
semester tiga dik. Salam kenal yaa” senyum membujur di pipinya, sangat manis.
Sejak
itulah mulai terlibat rasa saling bersahabat. Mungkin. Bagi pemahamanku.
Satu
hal lagi tercipta. Ketika hendak menghadiri pesta, kak Ica, begitu aku
memanggilnya. Nama singkat dari Pricilia-nya. Anak kedua dari dua bersaudara.
Tentulah ia merindukan kehadiran sesosok teman. Kak Ica kehilangan kerudung
berwarna biru dongkernya. Sibuknya pagi ini, ia mencari kerudung tersebut.
Tertaut pada kelelahan, yang membuatnya menyerah dan memutuskan mencari
pinjaman. Begitu saja, ia teringat padaku. Keberuntungan masih Allah limpahkan
kepada kak Ica. Ternyata kerudungku yang berwarna persis dengan kerudung yang dicarinya
tidak masuk dalam daftar penggunaan hari ini. Ya, hari ini aku memutuskan untuk
mengenakan kerudung berwarna ungu. Dengan mudahnya aku meminjamkan kerudung
berwarna biru dongker pada Kak Ica. Satu lagi jalan, membuka dinding
persahabatan diantara kami.
Semenjak
kejadian dan kepergian ke daerah itu, intensitas perjumpaan semakin sering.
Mulai bertukar nomor telepon. Juga pin BB. Semakin dekat, begitu ceritanya.
Satu
pesan yang terlihat di layar blackberryku.
Kami asyik mengobrol di media BBM itu. Hingga kak Ica mengirim sebuah obrolan
yang membuat aku tersenyum dan merasa sedikit malu.
Jujur, ketika pertama kakak melihat
adik dan teman adik kakak melihat ada ketulusan di hati kalian. Kalian berbeda
dengan kebanyakan. Kalian sangat tulis. Kalau boleh, maukan berteman dengan
kakak? Atau jika mau anggap saja kakak layaknya kakak kalian sendiri..
Aku bingung hendak membalas apa, yang
jelas kebahagiaan ada di sana. Sebab aku hanya pendatang baru yang mencoba lebih
mengenal kota baruku. Aku menganggukan kepala yang entah akan kusampaikan pada
siapa. Lalu, segera membalasnya.
Kakak berlebihan. Semua orang pasti
akan memiliki ketulusan yang sama. Jika yang dihadapinya seseorang yang juga
sama tulus hatinya. Terima kasih atas penawarannya, kak. Jujur saya sangat
menginginkannya.
Pesan yang menghantarkanku pada ucapan
terima kasih kepada Allah. Dulu aku bingung, hendak berkawan siapa. Aku hanya
pendatang baru yang mencari kawan dan mencoba ingin mengenal dunia baruku.
Dunia perantauanku. Sekarang, Allah menghadirkan seorang teman dan sekaligus
kakak.
Kadang makan bersama, kadang berjumpa
sengaja dan berbagi canda tawa. Kadang sedikit masalahku, ku coba berbagi
dengan kak Ica. Berharap akan ada penyelesaian dari bertukar pikiran. Banyak
hal yang bisa aku pelajari darinya. Mungkin karena dari segi kehidupan, kak Ica
lebih memahaminya dan lebih dahulu terjun menghadapinya. Jadi, tak jarang
jikalau aku harus bertanya dan meminta saran kepadanya. Kedua orang tua kami
pun sudah saling mengerti dan memahami.
Aku bersama kembaranku dan temanku ikut
andil meramaikan hari kelahirannya. Jauh-jauh perjalanan aku tempuh menaiki
roda dua dengan dibonceng sambil membawa kue yang sudah dipesan. Anehnya, kami
sempat bertanya padanya mengenai alamat. Aku tak peduli kalau dia curiga.
Karena sejak beberapa minggu sengaja membuat jarak padanya.
Tiba di kediaman kak Ica. Kejutan.
Walaupun ia telah menanti di depan pintu dan berhasil mengintai kue yang kami
bawa saat menghidupkan api di lilin-lilin kecilnya. Aku bahagia bisa membagi
cerita bahagia bersamanya.
Sekarang, giliranku. Aku sedikit kecewa.
Ada ucapan istimewa. Namun, kelihatan tak antusias. Entah hanya perasaanku
saja. Atau bagaimana. Berlalu begitu saja. Semua sahabatku juga begitu. Hingga
beberapa hari setelahnya. Mendapat sebuah kejutan yang berhasil membuat
saudara kembarku terharu.
Kak Ica terus menghubungi kembaranku.
Berkali-kali ia mencoba ingin menemui kami berdua. Ada hal penting yang akan
diucapkannya. Berulang kali membuat jadwal. Berulang kali juga gagal. Berkali-kali.
Berakhirnya, ketika aku dan kak Ica menghadiri penutupan acara bulan bahasa.
Dia mengajak aku dan kembaranku keluar ruangan dan ia menerima salam kami
dengan hangat.
Dia mengulurkan tangannya dengan sebuah
kotak. Aku menyebutknya kado. Sedikit tersenyum dihatiku, menyatakan kak Ica
masih mengingatnya. Kotak yang lumayan besar. Cantik dibungkus kertas
berbintang warna-warni yang menghiasi warna putihnya.
Namun, kak Ica sedikit mengalami
kesedihan. Aku dan kembaranku menangkapnya. Dan kak Ica mulai membaginya.
Sedikit cerita dan berharap ada jalan keluarnya di sana. Itulah persahabatan,
mengenal suka juga duka. Semua harus saling menguatkan, agar tak terlalu rapuh
untuk menyelesaikannya sendirian. Setelah pertemuan dan sedikit perbincangan
kami pulang dan ingin membukanya, ya kado itu.
Ku coba membukanya. Mengeluarkan kota
dari balutan kertas berbintang. Berbentuk bungkusan. Nampak tak terlalu besar.
Sekarang berubah berlapis kertas koran. Banyak sekali diberi selotip
dibagiannya. Aku sobek saja satu kali, kemudian ada lagi, dan ada lagi. Aku
sobek lagi, dan ada satu lagi. Aku kira telah habis, ku sobek sekali lagi,
akhirnya ada satu lagi dan itulah menjadi kertas koran terakhir sebelum aku
bisa menemukan kado yang sebenarnya. Cantik. Ada dua. Satu berwarna merah
dengan bunga-bunga dan satunya lagi berwarna abu-abu polos. Kerudung. Itu
hadiahnya. Aku dan kembaranku sangat menyukainya. Layaklah, jika harus dibalut
berapa kali. Kan untuk mendapatkan suatu yang indah harus ada perjuangan.
Aku hanya heran, detail sekali kak Ica
membungkusnya. Seperti hendak menyembunyikannya dahulu sebelum berhasil dibuka.
Aku sedikit geli. Ada saja ulah kakakku satu ini. Di dalam hati berbisik kecil:
kado berlapis. Sedikit tertawa.
Esoknya kak Ica menceritakan persoalan ini.
Bahkan katanya, kado itu masih akan di lapisinya dengan beberapa lembar koran
lagi. Hanya saja kak Ica mendapat teguran dari mamanya.
“Sudahlah, Ica. Apalagi yang mau
diperbuat dengan kado si kembar itu?” mama kak Ica berusaha memberhentikan
lilitan koran yang lebih banyak.
“Hehehe..” hanya kalimat itu yang kak
Ica lontarkan.
Terima kasih kak Ica. Terima kasih telah
memutuskan untuk menghiasi ruang di hari ku dan kembaranku. Terima kasih kado
berlapisnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar