Rabu, 18 Februari 2015

Kado Berlapis



Sedikit merapikan kerudung yang terkena deruan angin selama di kendaraan. Sedikit kusut terkena hentaman helm keamaan berkendara. Selangkah di depan sana, sudah terlihat jelas perempuan tinggi dengan senyummnya yang manis berbalut kerudung merah jambunya. Kak Ica. Itu dia orangnya, kakak angkatku di kota baruku ini.

“Hei, adik kembar....” sapanya pagi ini.
“Iya kak Ica....” balasku padanya.
Tersenyum dan dia berjalan bersamaku menuju kelas pagi ini. Kebetulan pagi ini jadwal perkuliahan kami sama.
Awal pertemuan dengannya, ketika aku dan dia sama-sama ikut pergi ke suatu daerah bersama organisasi kampusku, HIMA PBI (Himpunan Mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia), untuk menghadiri pesta pernikahan Ka. Prodi jurusan kami. Cukup jauh perjalanannya, kita harus menempuh daratan dan kemudian menyebrang laut. Berangkat pukul 10 pagi, tiba pukul 12 tengah malam.
Ketika itu, ka Ica kebetulan satu penginapan denganku di kediaman salah satu anggota HIMA yang terletak di daerah yang sama dengan acara tersebut. Sebenarnya hanya sore itu saja, aku dan ka Ica bertemu di satu kamar yang sama.
Permulaannya begini. Sangat sederhana. Sambil menunggu jadwal mandi sore. Kami berbincang-bincang seumpama telah lama mengenal. Naluri mahasiswa yang terkesan baru, membawaku antusias bertanya beberapa hal mengenai pelajaran juga tentang karakter penilaian para dosen yang mulia itu. Tak banyak yang berbeda dalam hal mata kuliah, hanya berbeda satu dua rupa sebab kurikulum baru mengikat masa kami.
Disinilah mulai ada pembicaraan sedikit pribadi. Seperti nama, mulai tersebutkan.
“Ica.” kata kakak cantik itu mengajakku bersalaman.
“Lisma, kak” jawabku dengan menyebutkan nama.
“Kamu semester berapa dik?” tanyanya lagi padaku.
“Saya baru semester satu. Kakak sendiri?” balasku padanya, membuka perkenalan sore itu makin jauh.
“Kakak semester tiga dik. Salam kenal yaa” senyum membujur di pipinya, sangat manis.
Sejak itulah mulai terlibat rasa saling bersahabat. Mungkin. Bagi pemahamanku.
Satu hal lagi tercipta. Ketika hendak menghadiri pesta, kak Ica, begitu aku memanggilnya. Nama singkat dari Pricilia-nya. Anak kedua dari dua bersaudara. Tentulah ia merindukan kehadiran sesosok teman. Kak Ica kehilangan kerudung berwarna biru dongkernya. Sibuknya pagi ini, ia mencari kerudung tersebut. Tertaut pada kelelahan, yang membuatnya menyerah dan memutuskan mencari pinjaman. Begitu saja, ia teringat padaku. Keberuntungan masih Allah limpahkan kepada kak Ica. Ternyata kerudungku yang berwarna persis dengan kerudung yang dicarinya tidak masuk dalam daftar penggunaan hari ini. Ya, hari ini aku memutuskan untuk mengenakan kerudung berwarna ungu. Dengan mudahnya aku meminjamkan kerudung berwarna biru dongker pada Kak Ica. Satu lagi jalan, membuka dinding persahabatan diantara kami.
Semenjak kejadian dan kepergian ke daerah itu, intensitas perjumpaan semakin sering. Mulai bertukar nomor telepon. Juga pin BB. Semakin dekat, begitu ceritanya.
Satu pesan yang terlihat di layar blackberryku. Kami asyik mengobrol di media BBM itu. Hingga kak Ica mengirim sebuah obrolan yang membuat aku tersenyum dan merasa sedikit malu.
Jujur, ketika pertama kakak melihat adik dan teman adik kakak melihat ada ketulusan di hati kalian. Kalian berbeda dengan kebanyakan. Kalian sangat tulis. Kalau boleh, maukan berteman dengan kakak? Atau jika mau anggap saja kakak layaknya kakak kalian sendiri..
Aku bingung hendak membalas apa, yang jelas kebahagiaan ada di sana. Sebab aku hanya pendatang baru yang mencoba lebih mengenal kota baruku. Aku menganggukan kepala yang entah akan kusampaikan pada siapa. Lalu, segera membalasnya.
Kakak berlebihan. Semua orang pasti akan memiliki ketulusan yang sama. Jika yang dihadapinya seseorang yang juga sama tulus hatinya. Terima kasih atas penawarannya, kak. Jujur saya sangat menginginkannya.
Pesan yang menghantarkanku pada ucapan terima kasih kepada Allah. Dulu aku bingung, hendak berkawan siapa. Aku hanya pendatang baru yang mencari kawan dan mencoba ingin mengenal dunia baruku. Dunia perantauanku. Sekarang, Allah menghadirkan seorang teman dan sekaligus kakak.
Kadang makan bersama, kadang berjumpa sengaja dan berbagi canda tawa. Kadang sedikit masalahku, ku coba berbagi dengan kak Ica. Berharap akan ada penyelesaian dari bertukar pikiran. Banyak hal yang bisa aku pelajari darinya. Mungkin karena dari segi kehidupan, kak Ica lebih memahaminya dan lebih dahulu terjun menghadapinya. Jadi, tak jarang jikalau aku harus bertanya dan meminta saran kepadanya. Kedua orang tua kami pun sudah saling mengerti dan memahami.
Aku bersama kembaranku dan temanku ikut andil meramaikan hari kelahirannya. Jauh-jauh perjalanan aku tempuh menaiki roda dua dengan dibonceng sambil membawa kue yang sudah dipesan. Anehnya, kami sempat bertanya padanya mengenai alamat. Aku tak peduli kalau dia curiga. Karena sejak beberapa minggu sengaja membuat jarak padanya.
Tiba di kediaman kak Ica. Kejutan. Walaupun ia telah menanti di depan pintu dan berhasil mengintai kue yang kami bawa saat menghidupkan api di lilin-lilin kecilnya. Aku bahagia bisa membagi cerita bahagia bersamanya.
Sekarang, giliranku. Aku sedikit kecewa. Ada ucapan istimewa. Namun, kelihatan tak antusias. Entah hanya perasaanku saja. Atau bagaimana. Berlalu begitu saja. Semua sahabatku juga begitu. Hingga beberapa hari setelahnya. Mendapat sebuah kejutan yang berhasil membuat saudara  kembarku terharu.
Kak Ica terus menghubungi kembaranku. Berkali-kali ia mencoba ingin menemui kami berdua. Ada hal penting yang akan diucapkannya. Berulang kali membuat jadwal. Berulang kali juga gagal. Berkali-kali. Berakhirnya, ketika aku dan kak Ica menghadiri penutupan acara bulan bahasa. Dia mengajak aku dan kembaranku keluar ruangan dan ia menerima salam kami dengan hangat.
Dia mengulurkan tangannya dengan sebuah kotak. Aku menyebutknya kado. Sedikit tersenyum dihatiku, menyatakan kak Ica masih mengingatnya. Kotak yang lumayan besar. Cantik dibungkus kertas berbintang warna-warni yang menghiasi warna putihnya.
Namun, kak Ica sedikit mengalami kesedihan. Aku dan kembaranku menangkapnya. Dan kak Ica mulai membaginya. Sedikit cerita dan berharap ada jalan keluarnya di sana. Itulah persahabatan, mengenal suka juga duka. Semua harus saling menguatkan, agar tak terlalu rapuh untuk menyelesaikannya sendirian. Setelah pertemuan dan sedikit perbincangan kami pulang dan ingin membukanya, ya kado itu.
Ku coba membukanya. Mengeluarkan kota dari balutan kertas berbintang. Berbentuk bungkusan. Nampak tak terlalu besar. Sekarang berubah berlapis kertas koran. Banyak sekali diberi selotip dibagiannya. Aku sobek saja satu kali, kemudian ada lagi, dan ada lagi. Aku sobek lagi, dan ada satu lagi. Aku kira telah habis, ku sobek sekali lagi, akhirnya ada satu lagi dan itulah menjadi kertas koran terakhir sebelum aku bisa menemukan kado yang sebenarnya. Cantik. Ada dua. Satu berwarna merah dengan bunga-bunga dan satunya lagi berwarna abu-abu polos. Kerudung. Itu hadiahnya. Aku dan kembaranku sangat menyukainya. Layaklah, jika harus dibalut berapa kali. Kan untuk mendapatkan suatu yang indah harus ada perjuangan.
Aku hanya heran, detail sekali kak Ica membungkusnya. Seperti hendak menyembunyikannya dahulu sebelum berhasil dibuka. Aku sedikit geli. Ada saja ulah kakakku satu ini. Di dalam hati berbisik kecil: kado berlapis. Sedikit tertawa.
Esoknya kak Ica menceritakan persoalan ini. Bahkan katanya, kado itu masih akan di lapisinya dengan beberapa lembar koran lagi. Hanya saja kak Ica mendapat teguran dari mamanya.
“Sudahlah, Ica. Apalagi yang mau diperbuat dengan kado si kembar itu?” mama kak Ica berusaha memberhentikan lilitan koran yang lebih banyak.
“Hehehe..” hanya kalimat itu yang kak Ica lontarkan.
Terima kasih kak Ica. Terima kasih telah memutuskan untuk menghiasi ruang di hari ku dan kembaranku. Terima kasih kado berlapisnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar