Episode
yang Tertunda
Lisma Nopiyanti
Lisma Nopiyanti
Pagi
itu, kenapa mentari tak mau menampakkan kekuatannya. Kutatap ia masih
berselimut awan kelabu. Malu-malu. Malah beberapa detik kemudian perlahan
menitik-nitik air memercik di helmku. Kunikmati saja. Walaupun nyatanya hatiku
tak akan bisa meresapinya begitu dalam. Bisik lirihku, makin menyeruak di dalam
benakku. Rintihan-rintihan air hujan pun hampir memenuhi seragam putih-abu yang
ku kenakan saat itu. Aku begitu terlarut dalam keadaan. Oh mentari. Kau
membuatku bersedih.
Rintik
pun makin ramai, aku berlari kencang dengan sepeda motorku. Mencoba menerobos
jalanan yang liuk dengan air. Belum lagi antrian panjang kendaraan-kendaraan
roda empat, membuat pagiku makin kelabu. Sesekali kudapati kesempatan, jalanan
kecil, kulewati. Hingga akhirnya aku bisa keluar dari keramaian itu dan mencoba
berteduh di balik sebuah gedung, yang benar-benar tak sengaja aku menujunya.
Aku sedikit menyesal. Setelah beberapa menit yang lalu, aku menyadari bahwa aku
berada di gedung itu. Gedung dimana episodeku berasal.
...
Aku,
Ana, Videl, dan Ika. Itulah keluarga kecilku kala masa itu. Kebetulan di awal
semester kelas X ada momen terbesar yang dinantikan semua warga SMA
Al-Islamiyah. Pasalnya pada bulan itu, akan ada sebuah pagelaran drama spektakuler
yang akan ditampilan oleh seluruh siswa-siswi baru. Aku tak begitu menikmati
berita itu, karena aku terlalu kaku. Terlalu umum dan tak berkarakter, jika
harus berhadapan dengan khalayak. Aku cenderung hidup di belakang layar.
Menulis, salah satunya. Itulah sebabnya, Joya, sang kapten, menawarkanku untuk
membuat naskah pada pementasan itu.
Sebenarnya penolakan akan segera muncul, namun setelah aku perhitungkan dengan
keberadaan kekurangmampuanku ini, aku menyetujuinya. Tidak berada di panggung,
hanya di belakang layar. Tersenyum.
Setelah
berdebat begitu hebat dengan beberapa pendapat sahabatku. Keadaan mulai
berubah, yang tadinya hening, sekarang pecah oleh suara-suara kreatif yang
keluar dari mulutku dan juga sahabatku. Hingga, akhirnya aku menemukan sebuah
kesimpulan. Drama tradisional, dengan judul “Bawang Merah dan Putih”. Segala
persiapan disiapkan secara matang, pementasan di mulai, dan sempurna di sebuah
gedung yang lumayan mewah. Gedung itu.
Rupanya,
kesempurnaan itu bukan milik kelas X.A saja. Kesempurnaan itu juga berlaku pada
kelas X.C. Aku tercengang, agak terpesona. Bahkan serius. Mataku terpaku tak
mampu berkedip pada pemeran drama itu. Perangainya, penjiwaananya, mampu
menggambarkan sosok yang diperankannya saat itu. Berlalu. Aku tak ingin
melepaskan kekaguman begitu saja kepada orang yang tak pernah aku kenal. Namun,
tak bisa tertutupi rasa itu sungguh besar. Di gedung itu, rasa itu mulai
bertemu. Episodeku dimulai.
Waktu
berlalu tanpa tertunda. X.A akan segera berakhir. Setelah libur berkenaan
dengan kemerdekaan seusai UAS, semua siswa memulai perjalanan barunya di kelas
XI, begitupun aku. Namun, sedikit tertampar batinku. Ketika aku tau, aku yang
terasingkan. Aku menjadi warga XI. D. Sedangkan, ketiga lainnya menghuni kelas
C, dan ternyata dia juga. Kecewa berpisah dengan mereka, sahabatku atau karena
aku tak bisa satu warga bersama dia. Aku tersadar, itu perasaan yang salah. Kekecewaan
mengalir dan berseling menjadi kebiasaan, aku mulai terbiasa dengan keadaan
yang seperti sekarang ini. Aku dan ketiganya masih bisa bersenda-gurau walau
tak sewarga dengan mereka.
Perlahan
demi perlahan rasa kecewa itu datang, ketika aku tau mereka mulai dekat dengan
si dia, pemeran yang apik itu. Bahkan si Ana, sering menceritakannya padaku,
tentang tingkah lakunya, juga penampilannya. Begitu juga dengan Ika, bahkan ia
menjulukinya dengan nama “Papa”, itulah perannya. Seorang papa yang bijaksana
juga berwibawa yang menyayangi keluarganya. Namun, kekecewaan itu tak bertahan
lama, ia segera pergi.
Pada
suatu kesempatan, mereka bertiga mengajakku berkumpul setelah sekian hari,
sekian minggu mereka tak ada menghubungiku. Pertemuan yang dihadiri oleh
beberapa anggota baru. Mereka memberi tahuku akan kedatangan teman-teman
barunya, termasuklah “dia”. Aku pasti datang, bukan untuk dia, untuk sahabatku
tepatnya.
Begitu
kaku kehadiran namaku ditengah-tengah warga baru mereka. Aku sedikit resah,
kehadiranku akan menyebabkan kebekuan.
Aku
langkahkan saja. Hingga aku berhenti di sebuah kursi yang telah dipersiapkan untukku
tepat berada lurus terletak dia di depanku. Aku merunduk saja, sedikit. Aku
berkata-kata sekenanya saja dan selesai. Sahabatku, ketiganya sedikit heran
pada perilakuku yang tidak seperti biasanya. Kuharap mereka tak berimajinasi
apa-apa. Aku hanya sedikit asing dengan suasana baru juga warga baru. Setelah
pertemuan itu, keakraban diantara mereka makin erat. Bukan hanya “dia” teman
baru ketiganya, namun ada beberapa orang juga. Anehnya, mereka selalu
melibatkan aku. Sementara kebekuan itu, perlahan mencair. Aku mulai mengenal
mereka, juga dia. Sedikit berbeda.
Mereka
sibuk dengan ekstrakulikuler mereka dan aku juga, juga dia. Disela-sela
kegiatan, mereka juga sering latihan beberapa minggu sekali, bahkan ada satu
dua kalinya mereka mengajakku. Tertawa dengan tingkah laku dia bersama
temannya. Bersenda-gurau. Sebuah Rasa. Aku mulai menyelidiki keberadaannya.
Semakin jauh, dia semakin terbuka. Menceritakan seorang perempuan yang
disayanginya, semuanya hampir setiap pembicaraan. Aku sebenarnya telah mencurinya
terlebih dahulu, aku menghampiri akunnya dan menemukan informasi itu. Perempuan
yang selalu dia banggakan. Belakangan, ibu dari perempuan itu sangat sayang
padanya. Sudah, kuabaikan saja.
Semakin
ke sini, makin dekat persahabatan mereka. Mereka bertiga selalu menyempatkan
menceritakan pemeran drama itu kala perjumpaannya denganku. Aku terkadang
bersemangat, biasa, atau malas. Karena sedikit bosan dengan topik yang sama.
Namun, kalau tidak ada cerita, aku tak tau berita.
Akhir-akhir
ini terdengar dan terasa olehku. Videl selalu menjadi perhatian dia saat mereka
berkumpul. Selalu saja videl, yang teringat olehnya. Saat tak bersama ketiga
sahabatku, dia seperti tak mengenaliku. Sekarang, dia hanya mampu memberi
perhatian juga panggilan juga kata-kata romantis picisan yang menurutku
berlebihan pada sahabatku, Videl. Hanya gurauan katanya.
Aku
tersadar, aku hanya mengaguminya di dunia yang berbeda, di dunia panggung.
Bukan dalam kehidupan nyata. Perasaan yang entah apa dan bagaimana ini hanya
akan merusak keadaan. Biarlah. Aku tak mau memperdulikannya, ini bukan saat
yang tepat. Perasaan sepersekian dari pendidikan. Walau hati sedikit terkena
goresan, apalah daya rasa itu hanya ketidakmungkinan. Karena aku tidak mau
mengungkapkannya, aku yakin ini bukanlah waktunya, dan Allah mencintai-Nya.
Lebih baik aku selalu mendukung hal positif yang ketiga sahabatku lalui bersama
dia. Terkadang angin-angin tipis pengharapan muncul, menghilang secepatnya. Aku
hanya bisa mengaamiinkan doa-doa baiknya. Mungkin saat ini episodeku dengan dia
harus tertunda, jika Allah berkehendak mungkin episode-episode ini akan ada
lanjutannya. Sekarang, aku memilih mengaburkan bersama keyakinan yang aku
miliki saat ini. Lebih baik menatap masa depanku, dari pada harus merayu pada
rasa yang tak jelas itu. Aku memilih sendiri dan taat, menjauhkan rasa itu
terlebih dahulu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar