Rabu, 18 Februari 2015

Cerpen: "Episode yang Tertunda"



Episode yang Tertunda
Lisma Nopiyanti
Pagi itu, kenapa mentari tak mau menampakkan kekuatannya. Kutatap ia masih berselimut awan kelabu. Malu-malu. Malah beberapa detik kemudian perlahan menitik-nitik air memercik di helmku. Kunikmati saja. Walaupun nyatanya hatiku tak akan bisa meresapinya begitu dalam. Bisik lirihku, makin menyeruak di dalam benakku. Rintihan-rintihan air hujan pun hampir memenuhi seragam putih-abu yang ku kenakan saat itu. Aku begitu terlarut dalam keadaan. Oh mentari. Kau membuatku bersedih.

Rintik pun makin ramai, aku berlari kencang dengan sepeda motorku. Mencoba menerobos jalanan yang liuk dengan air. Belum lagi antrian panjang kendaraan-kendaraan roda empat, membuat pagiku makin kelabu. Sesekali kudapati kesempatan, jalanan kecil, kulewati. Hingga akhirnya aku bisa keluar dari keramaian itu dan mencoba berteduh di balik sebuah gedung, yang benar-benar tak sengaja aku menujunya. Aku sedikit menyesal. Setelah beberapa menit yang lalu, aku menyadari bahwa aku berada di gedung itu. Gedung dimana episodeku berasal.
...
Aku, Ana, Videl, dan Ika. Itulah keluarga kecilku kala masa itu. Kebetulan di awal semester kelas X ada momen terbesar yang dinantikan semua warga SMA Al-Islamiyah. Pasalnya pada bulan itu, akan ada sebuah pagelaran drama spektakuler yang akan ditampilan oleh seluruh siswa-siswi baru. Aku tak begitu menikmati berita itu, karena aku terlalu kaku. Terlalu umum dan tak berkarakter, jika harus berhadapan dengan khalayak. Aku cenderung hidup di belakang layar. Menulis, salah satunya. Itulah sebabnya, Joya, sang kapten, menawarkanku untuk membuat  naskah pada pementasan itu. Sebenarnya penolakan akan segera muncul, namun setelah aku perhitungkan dengan keberadaan kekurangmampuanku ini, aku menyetujuinya. Tidak berada di panggung, hanya di belakang layar. Tersenyum.
Setelah berdebat begitu hebat dengan beberapa pendapat sahabatku. Keadaan mulai berubah, yang tadinya hening, sekarang pecah oleh suara-suara kreatif yang keluar dari mulutku dan juga sahabatku. Hingga, akhirnya aku menemukan sebuah kesimpulan. Drama tradisional, dengan judul “Bawang Merah dan Putih”. Segala persiapan disiapkan secara matang, pementasan di mulai, dan sempurna di sebuah gedung yang lumayan mewah. Gedung itu.
Rupanya, kesempurnaan itu bukan milik kelas X.A saja. Kesempurnaan itu juga berlaku pada kelas X.C. Aku tercengang, agak terpesona. Bahkan serius. Mataku terpaku tak mampu berkedip pada pemeran drama itu. Perangainya, penjiwaananya, mampu menggambarkan sosok yang diperankannya saat itu. Berlalu. Aku tak ingin melepaskan kekaguman begitu saja kepada orang yang tak pernah aku kenal. Namun, tak bisa tertutupi rasa itu sungguh besar. Di gedung itu, rasa itu mulai bertemu. Episodeku dimulai.
Waktu berlalu tanpa tertunda. X.A akan segera berakhir. Setelah libur berkenaan dengan kemerdekaan seusai UAS, semua siswa memulai perjalanan barunya di kelas XI, begitupun aku. Namun, sedikit tertampar batinku. Ketika aku tau, aku yang terasingkan. Aku menjadi warga XI. D. Sedangkan, ketiga lainnya menghuni kelas C, dan ternyata dia juga. Kecewa berpisah dengan mereka, sahabatku atau karena aku tak bisa satu warga bersama dia. Aku tersadar, itu perasaan yang salah. Kekecewaan mengalir dan berseling menjadi kebiasaan, aku mulai terbiasa dengan keadaan yang seperti sekarang ini. Aku dan ketiganya masih bisa bersenda-gurau walau tak sewarga dengan mereka.
Perlahan demi perlahan rasa kecewa itu datang, ketika aku tau mereka mulai dekat dengan si dia, pemeran yang apik itu. Bahkan si Ana, sering menceritakannya padaku, tentang tingkah lakunya, juga penampilannya. Begitu juga dengan Ika, bahkan ia menjulukinya dengan nama “Papa”, itulah perannya. Seorang papa yang bijaksana juga berwibawa yang menyayangi keluarganya. Namun, kekecewaan itu tak bertahan lama, ia segera pergi.
Pada suatu kesempatan, mereka bertiga mengajakku berkumpul setelah sekian hari, sekian minggu mereka tak ada menghubungiku. Pertemuan yang dihadiri oleh beberapa anggota baru. Mereka memberi tahuku akan kedatangan teman-teman barunya, termasuklah “dia”. Aku pasti datang, bukan untuk dia, untuk sahabatku tepatnya.
Begitu kaku kehadiran namaku ditengah-tengah warga baru mereka. Aku sedikit resah, kehadiranku akan menyebabkan kebekuan.
Aku langkahkan saja. Hingga aku berhenti di sebuah kursi yang telah dipersiapkan untukku tepat berada lurus terletak dia di depanku. Aku merunduk saja, sedikit. Aku berkata-kata sekenanya saja dan selesai. Sahabatku, ketiganya sedikit heran pada perilakuku yang tidak seperti biasanya. Kuharap mereka tak berimajinasi apa-apa. Aku hanya sedikit asing dengan suasana baru juga warga baru. Setelah pertemuan itu, keakraban diantara mereka makin erat. Bukan hanya “dia” teman baru ketiganya, namun ada beberapa orang juga. Anehnya, mereka selalu melibatkan aku. Sementara kebekuan itu, perlahan mencair. Aku mulai mengenal mereka, juga dia. Sedikit berbeda.
Mereka sibuk dengan ekstrakulikuler mereka dan aku juga, juga dia. Disela-sela kegiatan, mereka juga sering latihan beberapa minggu sekali, bahkan ada satu dua kalinya mereka mengajakku. Tertawa dengan tingkah laku dia bersama temannya. Bersenda-gurau. Sebuah Rasa. Aku mulai menyelidiki keberadaannya. Semakin jauh, dia semakin terbuka. Menceritakan seorang perempuan yang disayanginya, semuanya hampir setiap pembicaraan. Aku sebenarnya telah mencurinya terlebih dahulu, aku menghampiri akunnya dan menemukan informasi itu. Perempuan yang selalu dia banggakan. Belakangan, ibu dari perempuan itu sangat sayang padanya. Sudah, kuabaikan saja.
Semakin ke sini, makin dekat persahabatan mereka. Mereka bertiga selalu menyempatkan menceritakan pemeran drama itu kala perjumpaannya denganku. Aku terkadang bersemangat, biasa, atau malas. Karena sedikit bosan dengan topik yang sama. Namun, kalau tidak ada cerita, aku tak tau berita. 
Akhir-akhir ini terdengar dan terasa olehku. Videl selalu menjadi perhatian dia saat mereka berkumpul. Selalu saja videl, yang teringat olehnya. Saat tak bersama ketiga sahabatku, dia seperti tak mengenaliku. Sekarang, dia hanya mampu memberi perhatian juga panggilan juga kata-kata romantis picisan yang menurutku berlebihan pada sahabatku, Videl. Hanya gurauan katanya.
Aku tersadar, aku hanya mengaguminya di dunia yang berbeda, di dunia panggung. Bukan dalam kehidupan nyata. Perasaan yang entah apa dan bagaimana ini hanya akan merusak keadaan. Biarlah. Aku tak mau memperdulikannya, ini bukan saat yang tepat. Perasaan sepersekian dari pendidikan. Walau hati sedikit terkena goresan, apalah daya rasa itu hanya ketidakmungkinan. Karena aku tidak mau mengungkapkannya, aku yakin ini bukanlah waktunya, dan Allah mencintai-Nya. Lebih baik aku selalu mendukung hal positif yang ketiga sahabatku lalui bersama dia. Terkadang angin-angin tipis pengharapan muncul, menghilang secepatnya. Aku hanya bisa mengaamiinkan doa-doa baiknya. Mungkin saat ini episodeku dengan dia harus tertunda, jika Allah berkehendak mungkin episode-episode ini akan ada lanjutannya. Sekarang, aku memilih mengaburkan bersama keyakinan yang aku miliki saat ini. Lebih baik menatap masa depanku, dari pada harus merayu pada rasa yang tak jelas itu. Aku memilih sendiri dan taat, menjauhkan rasa itu terlebih dahulu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar